Categories
Uncategorized

Kekuatan Imajinasi dalam Revolusi Damai *)

Aksi Peringatan Darurat pada 22 Agustus lalu masih hangat. Rentetan protes menyebar bagai ledakan ke berbagai kota di Indonesia dalam waktu singkat. Siapa pun tergerak termasuk golongan yang jarang turun ke jalan seperti pekerja kantoran. Rupanya kesabaran rakyat sudah sangat tipis. Sehari sebelumnya, hanya dengan pesan peringatan garuda biru yang buram beserta sirene mengalir luas di media sosial, tanpa pengorganisasian matang, rakyat sepakat untuk protes besar. Semua adalah akumulasi kemarahan terhadap pemerintahan tidak bermoral yang mencurangi demokrasi selama dua periode Jokowi. Tapi kemudian aksi-aksi itu mereda.

Jika memang kemarahan rakyat itu beralasan kuat, maka seharusnya aksi-aksi protes akan terus terjadi dalam mengawal demokrasi dalam dua bulan mendatang. Massa rakyat Indonesia sudah semakin berpengalaman dan banyak belajar dalam aksi-aksi sebelumnya. Di satu sisi mereka terlatih mentalnya dari kegagalan memperjuangkan hak pada aksi-aksi yang pernah dilakukan. Misalnya gagal mencegah undang-undang cipta kerja. Di sisi lain, demonstrasi itu sangat melelahkan secara fisik, makan biaya, mengganggu rutinitas pekerjaan, berisiko luka parah oleh kebrutalan aparat. Titik antiklimaks adalah ketika rakyat menjadi ragu dan menyerah sehingga perlawanan panjang yang sesungguhnya dilindungi secara konstitusional semakin melemah.

Konstitusi kita dimaksudkan untuk membahagiakan orang-orang biasa. Bukan mengatur kita untuk tunduk pada sosok raja, korporasi, atau pemerintah “neo-kolonial”. Konstitusi memberikan gambaran alternatif tentang sebuah dunia baru yang lebih beradab, demokratis, egalitarian, dan nyaman bagi semua. Namun gambaran itu tidak terlalu tajam seperti potret yang buram pada masa sekarang. Sebab teks konstitusi itu hanya disuarakan di upacara formal berupa “mantera keramat” 1945 yang makin miskin contoh dan kehilangan rasa. Sebuah aksi yang melibatkan ribuan orang biasa adalah kesempatan untuk menerjemahkan gambaran tadi menjadi lebih jelas, dan terhubung dengan kita yang sedang berada pada situasi Indonesia sekarang yang jungkir balik.

Kekuatan Imajinasi dan ‘Politik Prefiguratif’

Sebuah revolusi baru akan berhasil jika didukung oleh kekuatan imajinasi. Antropolog yang sekaligus seorang aktivis David Graeber dalam Revolution in Reverse berargumen bahwa imajinasi memainkan peran penting bagi para demonstran untuk selalu menemukan motivasi untuk bergabung dalam gerakan. Dunia beradab berkeadilan tidak boleh hanya bertengger sebagai teks pembukaan konstitusi, tapi harus dapat menjadi bagian dari imajinasi kolektif. Apa yang harus dilakukan oleh para pemimpin aksi, seniman, aktivis dan kita semua adalah membangun imajinasi dan membumikannya Hal ini disebut prefigurative politics yang merujuk pada praktik politik yang mencoba menciptakan dan mencerminkan masyarakat ideal yang diinginkan di masa depan melalui tindakan dan struktur organisasi saat ini. Dengan kata lain ‘politik prefiguratif’ adalah upaya untuk “mewujudkan” atau “memperlihatkan” bentuk masyarakat yang diinginkan melalui cara-cara yang digunakan dalam perjuangan politik sehari-hari.

Maka perlu ada landasan bersamayang masuk akal dan dapat dicerna oleh banyak orang yang menyatukan perbedaan-perbedaan berbasis kelas, etnis, agama. Misalnya situasi sekarang adalah: “yang kaya makin kaya, yang miskin makin miskin”. Maka dunia yang dibayangkan baik bisa diwujudkan ketika “semua orang leluasa saling rajin berbagi”. Tunjukkan secara langsung melalui tindakan aksi bagaimana kita mampu mempraktikkan dunia penuh keadilan dengan saling memberi makan minum, saling menjaga, bergembira bersama dan tolong menolong dalam tiap aksi. Ketika pemerintah atau lembaga KPK mencla-mencle, dan pilih kasih demi melindungi anak penguasa, perlihatkan kita berani untuk jujur dan malu untuk curang. Ketika pejabat negara bersikap monolog, tuli atau tone deaf, perlihatkan kita adalah ribuan orang yang senang dialog dan mendengarkan satu sama lain. Ketika hierarki birokrasi meruwetkan hidup, perlihatkan suasana egalitarian membuat hidup jadi mudah.

Revolusi adalah Kesabaran

Hal ini mungkin, tapi tidak mudah. Pertama, gagasan kekerasan dan penghancuran adalah imajinasi politik satu-satunya yang khas melekat pada kaum konservatif seperti penguasa yang memang selalu hidup dalam struktur hierarkis yang dianggapnya alami dan wajar sehingga harus dipertahankan mati-matian. Pandangan bersifat hegemonik yang berimbas pada kita sebagai rakyat yang selalu membayangkan dengan ngeri bahwa revolusi itu ongkos sosialnyamahal, penuh pertumpahan darah, dan menghancurkan fasilitas publik. Rasa takut ini dinanti penguasa karena akan melahirkan status quo. Sudah saatnya imajinasi kekerasan yang merupakan fotokopi buram dari perilaku para penguasa kolonial dibuang ke tong sampah.

Kedua, masih diperlukan lebih lebih banyak pemimpin aksi sebagai intelektual organik. Mereka yang memiliki kecerdasan untuk membuat narasi cerita membangun imajinasi Indonesia demokratis dan inklusif yang mudah dicerna. Mereka yang mampu memancing empati, membuat paham, dan merasakan kegawatan yang akan terjadi jika demokrasi mati melalui ragam ekspresi seni. Kekuatan estetika terdalam adalah kemampuan menawarkan realitas alternatif yang membuat orang membuka mata, tergerak hatinya, dan bersama-sama memperjuangkan perubahan ke arah lebih kehidupan lebih baik di masa depan. Harapan ini besar karena semakin banyak aksi-aksi kolaboratif para seniman negeri ini yang keluar studio dan galeri dan hadir secara kolektif. Mereka melibatkan warga untuk membuat perubahan sosial yang bermakna di desa-desa dan pinggir kota dengan bertani organik bersama, membuat karya bersama di kawasan kumuh. Logikanya begini, jika negara abai, maka hidup mandiri dan artistik adalah perlawanan.

Ketiga, perlunya kesabaran. Perjuangan itu bisa sangat panjang karena menempatkan diri sebagai oposisi kritis dan cerdas itu “bukan budaya kita”, tidak diajarkan di sekolah, dan belum menjadi kearifan lokal dalam kehidupan sebagai warganegara Indonesia modern yang terdidik. Tapi belajar melalui Aksi Kamisan, kita memiliki lentera penyemangat dalam lorong gelap yang panjang itu. Revolusi adalah kesabaran. Sisanya hanyalah momentum.

Revolusi non-kekerasan lebih efektif ketika wujudnya adalah semacam karnaval empati yang damai penuh warna, merangkul semua pihak, berdialog, memperlihatkan kebaikan—walau tuntutannya tetap tajam. Tampil artistik tentunya membingungkan aparat untuk bereaksi keras. Demonstran dituntut mampu membuat aparat membangun imajinasi untuk dapat mengidentifikasi kembali bahwa dibalik seragam dan senjata, mereka juga manusia yang ingin berbuat baik pada manusia lain. Tawarannya adalah pembangunan alternatif yang kreatif dan imajinatif, yang secara bertahap menantang dan menggantikan struktur kekuasaan yang ada menjadi lebih demokratis, sambil meminimalkan kerugian dan penderitaan yang sering terjadi dalam revolusi dengan kekerasan. Kalau dalam dua bulan, mereka masih “pura-pura demokratis”, jagalah api revolusi tetap menyala.

*) Dimuat di Kompas link-nya ini.

Categories
Uncategorized

Building the Values of Intellectual Resistance

The closing statement of Yanuar Nugroho’s opinion piece, “Declaring resistance against the arbitrary rule of political authorities in this election may be our last defense in fighting for democracy” (Kompas 31/1/2024), is a strong call. This article intends to continue that anger. The question is, can resistance be carried out, and who will lead it?

Most people are already tired of struggling to make ends meet because their wages cannot keep up with household expenses. They are busy with odd jobs fighting their poverty. The people’s concerns come from the physical threats they face in dealing with tomorrow, not the intellectual vision of the next 5-10 years. Intellectuals and the people have not yet become united in fighting for a long-lasting democracy.

Some Indonesian intellectuals do resist, but their methods mainly involve writing statements and organizing small-scale seminars. Intellectuals are not influencers with millions of followers, so their resistance functions more as solace in small echo chambers filled with other intellectuals. Meanwhile, the “common people” are fragmented and disconnected from the intellectuals.

Towards universal resistance

Meanwhile, what Yanuar Nugroho means is a call for a grand universal resistance. In this case, the “we” referred to must be as large as the Indonesian people. In the collection of manuscripts “Prison Notebooks,” Antonio Gramsci reflected as an activist, stating: “Every person is a philosopher, intellectual, and legislator” (Hoare & Smith, 1971). The meaning is that a person’s capacity as an intellectual can be formed in their workplace as long as it is organized. Intellectuality is not characterized by complex thoughts but by clear essential thoughts that everyone, through diverse social organizations and movements, can follow. In this condition, the organized people become both fighters and thinkers who possess civil intelligence and strong bargaining power against the authorities as part of a resilient civil society.

The state seems to understand this threat, so the people must be domesticated and isolated from social movements from an early age. National consciousness materials in the school curriculum, starting from elementary school, are designed to direct citizens towards national discipline and obedience without questioning.

The concept of rights is always accompanied by obligations, seemingly neutralizing each other. In the workplace, the formation of unions is always hindered. On many occasions, people are intimidated and not allowed to discuss sensitive topics related to ethnicity, religion, race, and intergroup relations (known as SARA in Indonesian), as if differences are always ready to explode and people are not allowed to talk about them. On the other hand, the state has successfully created an appearance of politeness as the highest achievement in national life compared to anything else. The variety of comments on social media about presidential and vice-presidential debates does not touch upon the content of programs and arguments. Still, it focuses on the body language and politeness of the candidates. The consequence is mass blindness. There is no significant resistance when six pieces of hundred-thousand rupiah bills from their own tax money are packaged as “social aid” gifts before the elections.

Culture is activated values
Culture is born from the relations of various values agreed upon as things deemed good according to collective morals. At the same time, these values are continuously created due to our actions. The problem is that culture does not stand in space or float in the air waiting to be interpreted. Culture is activated values for specific purposes, including manipulative purposes. When a crude action, such as violating rules and morals, is wrapped in polite and sacred actions, an ambiguous situation arises to understand the values created from that contradiction. The creation of value ambiguity is continuously being done in the current presidential election atmosphere to build a new culture in the future that is anti-democratic and controlled by the cloak of national politeness hegemony.

The function of organic intellectuals to directly open the people’s eyes to the power games of the ruling class is urgent. The intellectual work that needs to be done is to shed light on the people that democratic values are inherent in our constitutional values. Therefore, the task of intellectuals is to translate it into simple language that the state should not act against rules, human rights, cultural rights, socio-economic rights, the right to freedom of speech, and the right to thrive and be happy.

Indonesia still has good people on the front lines. They are militant activists who face the risk of being arrested and detained by the authorities because of their voices. Meanwhile, professors and teachers have not fulfilled these organic functions to the maximum. The problem is that Indonesian lecturers do not have the liberal luxury like Foucault and Sartre to go to the streets not as professors but as activists. Campus life is already designed to be packed with administrative matters that are exaggerated to prevent them from leaving campus. But until when?

In the face of our democracy crisis, we need not just an intellectual public providing knowledge for the public’s benefit through research alone. It goes far beyond that. We need intellectual activists who remind citizens of their rights and obligations to fight against injustice and oppression. Intellectual activists are not content with staying in the classroom and teaching because their souls are constantly disturbed. They engage in performative actions by directly involving the people, creating social relationships with them, experiencing their suffering, discussing it, and then translating the essence of oppression into easily understandable language. Let us become these activists and work together for a better future.

To sow the seeds of resistance, the boundaries between science, art, and activism must become fluid. Artists, scientists, workers, and individuals across different identities should come together as citizens with equal rights to fight for our shared Indonesia. Haven’t we already been doing this? Yes, but the impact has been limited because intellectuals only “come down from the mountain” when there is danger. They should not return to the solitude of the mountain when the storm subsides. Who else will protect the people?

Iwan Meulia Pirous Ph.D. candidate in Fine Arts and Design, Bandung Institute of Technology
Researcher for the Indonesian Anthropology Study Forum

Article in Indonesian: https://t.co/uRFj0q7M35 (Kompas Newspaper).

Categories
Uncategorized

Membangun Nilai Budaya Perlawanan Intelektual

Perlawanan dapat hadir sebagai nilai budaya

Kalimat penutup dari opini Yanuar Nugroho: “Menyatakan perlawanan terhadap kesewenang-wenangan penguasa politik dalam pemilu kali ini barangkali adalah pertahanan terakhir kita memperjuangkan demokrasi” (Kompas 31/1/2024), adalah seruan keras. Tulisan ini bermaksud melanjutkan kemarahan itu.  Pertanyaannya sanggupkah perlawanan dilakukan, dan siapa yang akan memimpinnya?

Sebagian besar rakyat sudah letih berakrobat untuk sekadar selamat karena gaji dan upahnya tidak mampu mengejar belanja rumah tangga. Mereka sibuk kerja serabutan melawan kemiskinannya masing-masing. Kecemasan rakyat berasal dari ancaman fisik untuk menghadapi besok, bukan kecemasan dengan visi intelektual jangka panjang menghadapi 5-10 tahun ke depan. Intelektual dan rakyat belum menjadi satu untuk memperjuangkan demokrasi agar berumur panjang. Kaum intelektual Indonesia memang ada yang melawan, tetapi metode perlawanannya kebanyakan mengambil  bentuk menulis pernyataan sikap, membentuk seminar gaungnya kecil. Kaum intelektual bukan influencer dengan jutaan followers, sehingga perlawanan mereka lebih berfungsi sebagai pelipur lara dalam echo chambers kecil berisi para intelektual juga. Sementara “rakyat biasa” juga terpecah-pecah dan tidak terkoneksi pada kaum intelektual.

Sementara apa yang dimaksud Yanuar Nugroho adalah seruan perlawanan semesta yang besar. Dalam hal ini “kita” yang dimaksud haruslah sebesar rakyat Indonesia sendiri. Dalam kumpulan naskah Catatan dalam Penjara, Antonio Gramsci menulis refleksinya sebagai aktivis yaitu: “setiap orang adalah filsuf, intelektual, dan legislator ” (Hoare & Smith, 1971). Maksudnya adalah kapasitas seseorang sebagai intelektual dapat yang dibentuk di tempat-tempat kerjanya, asalkan dibentuk secara terorganisir.  Intelektualitas tidak ditandai dalam bentuk pikiran ruwet, tapi pikiran esensial yang jernih yang dapat diikuti akal sehat setiap orang melalui organisasi dan gerakan sosial yang beraneka ragam.  Dalam kondisi ini rakyat terorganisir menjadi petarung sekaligus pemikir yang memiliki kecerdasan sipil dan daya tawar tinggi terhadap penguasa sebagai bagian masyarakat madani yang tangguh.

Negara tampaknya mengerti ancaman ini maka rakyat harus dibuat jinak dan terisolir dari gerakan sosial sejak kecil. Materi kesadaran bernegara dalam kurikulum sekolah sejak sekolah dasar didesain untuk mengarahkan warganegara pada sikap disiplin nasional dan patuh kepada negara tanpa bertanya-tanya. Konsep hak selalu ditempelkan dengan konsep kewajiban seakan akan saling menetralkan. Dalam kondisi kerja, pembentukan serikat selalu dipersulit. Dalam banyak kesempatan, rakyat ditakut-takuti tidak boleh bicara SARA (Suku Agama Ras dan Antargolongan) seakan perbedaan-perbedaan selalu siap meledak dan rakyat tidak boleh membicarakannya. Sebaliknya, negara berhasil menciptakan seakan-akan sopan santun dalam nada bicara, bahasa tubuh adalah prestasi tertinggi dalam kehidupan berbangsa dibanding hal lain. Ragam komentar di media sosial tentang debat capres dan cawapres tidak menyinggung isi program dan argumen, tetapi bahasa tubuh dan kesopanan para calon. Konsekuensinya adalah kebutaan massal. Tidak ada perlawanan berarti ketika enam lembar seratus ribuan yang berasal dari uang pajaknya sendiri dikemas sebagai hadiah bansos menjelang pemilu.

Kebudayaan adalah nilai-nilai yang diaktifkan

Kebudayaan lahir karena relasi-relasi dari berbagai nilai yang disepakati sebagai hal-hal yang dianggap baik sesuai moral kolektif. Pada saat yang sama, nilai-nilai itu diciptakan terus sebagai hasil dari tindakan-tindakan kita. Persoalannya, kebudayaan tidak berdiri di ruang kosong atau mengambang di udara menunggu ditafsirkan maknanya. Kebudayaan adalah nilai-nilai yang diaktifkan untuk tujuan tertentu termasuk tujuan manipulatif. Apabila suatu tindakan kasar seperti pelanggaran aturan dan moral hadir dibungkus oleh tindakan santun dan suci, terjadi situasi ambigu bagi kita untuk memahami nilai yang tercipta dari kontradiksi itu. Penciptaan ambiguitas nilai sedang dilakukan terus dalam suasana pilpres sekarang untuk membangun kebudayaan baru di masa depan yang anti demokratis yang dikontrol oleh selubung hegemoni sopan-santun nasional.

Fungsi-fungsi intelektual organik untuk  turun langsung membukakan mata rakyat agar sadar akan daya kecoh penguasa sudah sangat mendesak. Kerja-kerja intelektual yang harus dilakukan adalah memberi terang pada rakyat bahwa nilai-nilai demokrasi melekat dengan nilai-nilai konstitusi kita. Maka tugas para intelektual adalah menerjemahkan ke dalam bahasa sederhana bahwa negara tidak boleh bertindak melawan aturan, HAM, hak berkebudayaan, hak sosial-ekonomi, hak untuk bebas bersuara, hak untuk cerdas dan bahagia.

Indonesia masih memiliki orang-orang baik di garis depan. Mereka adalah para aktivis militan yang menghadapi risiko ditangkap dan diamankan aparat karena suaranya. Sementara dosen, guru, profesor belum melakukan fungsi-fungsi organik itu dengan maksimal. Masalahnya dosen-dosen Indonesia tidak punya kemewahan liberal sebesar Foucault dan Sartre yang dapat turun ke jalan bukan sebagai profesor tapi aktivis. Kehidupan kampus sudah didesain padat dengan penjara tetek-bengek urusan administratif yang dilebih-lebihkan untuk mencegah mereka keluar kampus. Tapi sampai kapan?

 Menghadapi krisis demokrasi kita, yang diperlukan bukan lagi tingkatan intelektual publik yang memberikan pengetahuannya untuk kepentingan publik melalui riset saja, namun harus jauh daripada itu, yaitu aktivis intelektual yang mengingatkan warganegara akan hak-hak dan kewajibannya untuk melawan ketidakadilan dan penindasan. Aktivis intelektual tidak terlalu betah diam di kelas dan mengajar karena batinnya selalu terusik. Mereka melakukan aksi performatif dengan turun langsung mengajak rakyat, menciptakan relasi sosial dengan rakyat, menghirup penderitaan, mendiskusikannya, dan kemudian menerjemahkan esensi penindasan dalam bahasa yang mudah dimengerti.

Demi menanam benih-benih perlawanan, garis pemisah antara sains, seni, dan gerakan harus sangat cair. Seniman, ilmuwan, buruh dan kategori lintas identitas harus mulai bersatu sebagai warganegara dengan hak-hak yang setara untuk memperjuangkan Indonesia milik kita semua.

Bukankah kita sudah melakukannya? Sudah, tapi kurang berdampak karena para intelektual baru “turun gunung” ketika ada bahaya. Seharusnya mereka jangan kembali ke gunung yang sepi itu ketika badai mereda. Siapa lagi yang menjaga rakyat?

Categories
essays

Komentar “Selamat Tinggal Proletariat”

Artikel di Kompas 30 April 2022 berjudul: Selamat Tinggal Proletariat tulisan Rekson Silaban menceritakan bahwa buruh tidak lagi berada dalam situasi klasik yang tegang dengan majikannya. Tidak ada lagi konflik kelas antara proletar dan kapitalis. Kecerdasan kapitalisme membuat buruh “naik derajat” menjadi mitra bisnis startup. Maka perjuangan buruh di masa depan menjadi lebih halus, lebih pada strategi kerjasama dan dialog dengan majikan. Dalam situasi ini, buruh akan mendapatkan kesejahteraan dan dukungan publik.

Tapi apa betul? Hal yang tidak terjawab jelas adalah ketidakpastian masa depan bagi dunia yang terus melahirkan bonus demografi. Dunia terus melahirkan bayi-bayi yang kelak semakin terlibat dalam persaingan kerja makin ketat. Bayi-bayi itu kelak akan mendapatkan identitas ketika bekerja yaitu identitas buruh.

Dalam perspektif kewarganegaraan dan politik, mereka pun akan menjadi publik. Dalam perspektif kelas kita baru akan melihat ekosistem yang real. Piramida status sosial ekonomi makin lancip, dan generasi baru makin rentan kemiskinan. Jadi apa yang dimaksud dengan dukungan publik? Siapa publik yang dimaksud?

Bagaimana pun kita bekerja alias memburuh walau kadang majikan kita tidak pernah jelas. Di rumah, di kantor, di jalanan, di kendaraan umum. Mungkin dengan gadget masing-masing. Apa yang ada di kepala ketika membayangkan identitas diri? Sebagai bagian dari publik? Sebagai bagian dari buruh? Atau bagian dari yang lain? Apakah artikel “Selamat tinggal Proletariat” itu sebuah perpisahan bahagia? Atau sebuah firasat gelisah yang akan menjadi nyata?

Apakah kita atau Anda ini buruh?

Kita mulai dari Kelas Buruh. Kata buruh identik dengan orang yang bekerja di pabrik. Tetapi sebetulnya kelompok pekerja yang bekerja di perkantoran sebagai profesional, memiliki jenjang karier, asuransi, pensiun masih tatap masuk dalam kategori kelas buruh atau proletar. Sebab tetap ada kesamaan fundamental yaitu mereka tidak berada dalam posisi sangat mampu untuk memiliki alat-alat produksi.

Maka seorang ahli ekonomi Inggris Guy Standing  dalam buku The Precariat The New Dangerous Class (2011), ingin mempertajam kategori kelas dari sosiolog Karl Marx dengan menambahkan dua kategori kelas sesudah elite yaitu:  Salariat yang diisi oleh pekerja kantoran, pegawai negeri, Profician, atau para profesional seperti para teknisi dan tenaga ahli. Lalu baru kemudian kelas Proletariat dalam pengertian klasik analisis kelas Marx, dan ditutup oleh kelas prekariat. Sebuah kelas baru yang kabur sosoknya.

Salariat dan Profician, adalah klasifikasi buruh yang mungkin selamat dan berhasil negosiasi dengan kecerdasan kapitalisme. Namun bagaimana dengan Proletariat apalagi Prekariat?

Munculnya Kelas Prekariat

Siapakah mereka? Seiring peningkatan efisiensi produksi, semenjak akhir 1980-an neoliberalisme ekonomi menciptakan sistem fleksibel bagi bisnis untuk semakin ekspansif secara global. Pabrik dapat berdiri jauh di luar negeri asalnya untuk menekan ongkos produksi dengan mencari kawasan buruh murah dengan sistem kontrak jangka pendek dan tidak tetap. Kelas buruh di seluruh dunia terpengaruh. Kaum buruh pabrik atau proletar paling merasakan dampaknya karena segala kepastian hidup berangsur hilang. Namun keadaan makin parah ketika efisiensi produktivitas ini tidak menimbulkan  peningkatan kualitas ekonomi banyak orang. Inilah awal kondisi terbentuknya kelas prekariat.

Istilah buruh telah menjadi ikon yang dikenal internasional. Sebagai buruh, seseorang berada dalam kepastian identitas kelasnya. Mereka memiliki simbol bersama, serikat, jenjang karier, asuransi, jaminan pensiun, dan perlindungan hukum. Perpaduan itu membentuk kebudayaan buruh yang kita kenal sekarang. Tidak semua buruh di dunia bernasib sama, tapi kepastian hidup selalu ada dan dapat diperjuangkan sebagai hak-hak buruh.

Tidak ada kepastian dalam relasi kerja produksi prekariat. Seiring dengan kontrak kerja berjangka pendek, visi masa depan pun menjadi pendek. Mobilitas kerja cenderung semakin horizontal karena mereka akan mengerjakan pekerjaan yang kurang lebih sama di pabrik atau kantor yang baru dengan kontrak yang pendek juga. Mereka selalu jadi orang baru di kantor baru dengan pekerjaan yang sama, tidak punya jaringan pertemanan kuat untuk membangun kepercayaan (trust), tidak mendapat hak pensiun dan jaminan-jaminan lainnya. Kondisi hidup menjadi tidak pasti dan pekerjaan demi pekerjaan sifatnya datang dan pergi.

Formalitas hubungan kerja tidak mengikat antara buruh dan majikan itu dibungkus aneka bentuk istilah “penghiburan” misalnya: partner, freelancer  dan  part-time.  Termasuk bahwa mereka sering berada dalam kondisi in-between jobs, sebuah istilah yang terlalu diromantiskan untuk menyembunyikan kecemasan “kerja serabutan”. Prekariat itu mungkin kita atau Anda juga yang merasa sebagai kelas menengah berpendidikan, punya keterampilan, sarat pengalaman,  tapi berada dalam kondisi tidak menentu (precarious condition). Secara psikologis pekerjaannya repetitif, membosankan, tidak memberi kebebasan berpikir, walau dapat saja diberi judul hebat misal “creative division”.  Dalam banyak kasus pendapatannya tidak seberapa, beban kerja besar, dan tetap dituntut membawa etos kerja profesional. Antropolog David Graeber menyebut suatu jenis perkerjaan ini sebagai bullshit jobs. Sebab pekerjaan-pekerjaannya bukan saja membosankan tapi miskin value dan tidak penting bagi manusia yang seharusnya punya waktu luang untuk berbudaya.

Masalahnya, jika ingin membandingkan, kaum prekariat tidak memiliki “perangkat kebudayaan” untuk menghadapi tekanan kemiskinan struktural. Berbeda dengan kategori lumpenproletariat (orang miskin strata terbawah) seperti gelandangan yang memang dipaksa untuk berstrategi sosial,  dan adaptif  hidup “di luar struktur formal negara” secara turun-temurun.  Gelandangan tanpa dokumen formal apa pun, walau berada dalam  kondisi kemiskinan absolut, akan tetap punya daya lenting.  Mereka mengembangkan jaringan sosial antar mereka dalam fungsi pengolahan dan penguraian sampah sebagai contoh. Sesuatu  yang terasa menakjubkan dan banyak ditulis dalam etnografi tentang kebudayaan kemiskinan di kota-kota besar.

Formasi kelas prekariat adalah proses dan tidak absolut. Lebih tepat mereka adalah merupakan generasi yang perlahan-lahan turun kelas mengarah pada posisi kelas prekariat. Bisa jadi kategorinya cair menampung para salariat dan profician yang mengalami dampak putus hubungan kerja. Generasi orang tuanya adalah kelas buruh yang mapan atau para salariat yang  membayangkan anak-anak mereka juga mendapatkan kenyamanan kaum buruh dengan bekerja di perkantoran dan mendapatkan gaji tetap, serta aneka tunjangan. Sebuah angan-angan yang sulit diwujudkan oleh generasi berikutnya yaitu generasi muda sekarang yang kerja paruh waktu. Bukan karena malas, tapi persaingan keras. Lalu kemudian terjebak di kerja-kerja mekanis dalam sekrup industri yang tidak terlalu bermakna untuk hidup berkebudayaan.

Mobilitas turun kelas terjadi di mana-mana. Kita dapat melihat dari berubahnya pola pemukiman Jakarta sebagai ilustrasi. Bukankah keluarga-keluarga yang dulu mampu tinggal di pusat kota satu-persatu pindah ke wilayah sub-urban yang lebih murah karena tidak mampu?  Tercipta sebuah gap antara generasi. Anak-anak merasa kecewa dan gagal karena tidak dapat memenuhi keinginan orang tua, sementara generasi tua merasa generasi muda menjadi milenial manja dan tidak mampu kerja keras untuk sukses. Padahal kondisi ini akibat dampak bonus demografi, persaingan makin tinggi dan biaya hidup makin mahal. Surplus tenaga kerja yang tidak dibarengi struktur pendukung kesejahteraan.

Sebagai kelas sosial, prekariat dapat sampai pada titik nadir. Tidak seperti kelas buruh yang identitasnya lebih jelas, prekariat tidak memiliki solidaritas karena cenderung tidak terlihat, anonim, dan merasa sendirian sekalipun jumlah mereka banyak. Seperti kita umumnya, mereka juga mengonsumsi citra kesuksesan para influencer, youtuber, atau gemerlap kemewahan pesohor yang membuat marah dalam kesepian. Mereka juga aktif menciptakan meme lucu atau shit-posting sebagai kritik. Namun sampai titik mana orang dapat membuat humor menertawai diri sendiri sementara kesenjangan makin tampil vulgar dan hidup makin susah?

Prekariat merupakan Bahaya?

Dalam kondisi serba tidak menentu, kelas prekariat cenderung mudah untuk menghantam kelompok lain termasuk sesamanya misalnya kaum migran, etnis, tertentu, kelompok minoritas atau siapa saja. Saling tuduh-menuduh antara “cebong” dan “kadrun” adalah contoh konflik horizontal dalam kelas Prekariat.  Premanisme, radikalisme, ekstrimisme,  dan cara-cara kekerasan adalah buah dari kondisi kelas prekariat itu. Wajah prekariat dapat bertopeng religius, dapat pula nasionalis. Mereka pun mudah direkrut untuk tujuan politik praktis. 

Dalam kondisi sosial Indonesia sekarang, bisa jadi para prekariat  ada di mana-mana. Mudah marah. Mereka hadir sebagai kerumunan asing di tengah massa, tapi gagal dikenali. Maka negara menggunakan kategori bias dengan pendekatan keamanan untuk menuduhnya dengan istilah-istilah sarat stigma. Misalnya anarkis, kaum intoleran, anti kebangsaan, provokator, penunggang, oknum, dan sebagainya. Sementara untuk merespons, negara akan makin banyak membuat pelatihan-pelatihan untuk penguatan karakter kebangsaan, kebinekaan dan anjuran-anjuran moral sebagai upaya memadamkan api.

Saatnya menyadari bahwa kondisi pembentukan kelas prekariat merupakan dampak dari kebijakan Neo-liberalisme seperti Omnibus Law. Sebuah kekerasan struktural yang tidak memihak pada keselamatan dan keamanan kerja rakyat Indonesia yaitu kita sendiri.  Sebagian besarnya adalah buruh part-time penuh kegelisahan. Situasi bagai api dalam sekam. Selamat Hari Buruh sepantasnya selalu diucapkan dalam medan perjuangan.

Categories
essays Orba Resurrection Apocalypse

Tunda Demokrasi demi “Kehendak Rakyat”

Menteri Koordinator Bidang Maritim dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan mendesak pemilu harus ditunda dengan alasan bahwa pemerintah mendengar “big data suara rakyat”. Dua parpol yaitu PKB dan PSI pun bersuara senada melalui mekanisme amandemen konstitusi. Kabar terakhir datang dari Asosiasi Pemerintah Desa Indonesia, yang mendeklarasikan “Jokowi tiga periode”, walau kemudian dibantah oleh ketuanya yang merasa dicatut. Presiden berkali-kali merespons dengan diplomatis: “wacana penundaan pemilu tidak bisa dilarang sebab hal itu bagian dari demokrasi, namun kita harus tunduk dan patuh pada konstitusi.”

Pernyataan berulang Presiden Jokowi ini bersayap dan lemah karena menyampaikan banyak makna pesan. Makna pertama adalah normatif bahwa demokrasi menjaga kebebasan berpendapat. Makna kedua pragmatis yaitu demokrasi memiliki tombol on-off yang dapat ditekan bila perlu. Suara-suara sekitar presiden melahirkan makna ketiga yang substantif dan merangkum sekaligus kabur: “demokrasi dapat ditunda, dikurangi jika rakyat menginginkan demikian”. Hal ini tidak biasa mengingat karakter Jokowi yang terbukti mampu dan tegas memberhentikan menteri yang “tidak sesuai dengan visi-misi presiden”.

Apakah demokrasi dapat dikorbankan? Studi-studi antropologi pada masyarakat-masyarakat skala kecil beragam etnis sudah lama mengungkap bahwa demokrasi adalah esensi masyarakat yang universal dilakukan untuk keselamatan umum. Demokrasi bukan barang impor, Ia adalah bagian naluri sosial manusia. Walau berbeda-beda nama dan kompleksitasnya, namun tetap bertujuan substantif yaitu menjamin kekuasaan selalu dapat dikontrol dalam bekerja membela suara rakyat. Kompleksitas dan macam-macam penerapan demokrasi dari mulai kelompok kecil sampai masyarakat skala negara bangsa sesungguhnya dapat diukur. Parameternya adalah bekerjakah sistem check and balance, sejauh mana perlindungan publik, dan apakah partisipasi publik bersifat inklusif? Dengan tiga ukuran itu, demokrasi tidak dapat dijadikan alasan untuk membela pembangunan, memupuk laba, apalagi memperlama masa kekuasaan. Jadi bila ada pertanyaan apakah demokrasi dapat ditunda? Kita harus bertanya balik: Apakah kehendak rakyat dapat ditunda karena kehendak rakyat? Jawabannya adalah sangat tidak. Jika kita menjawab ya. Maka ada pemahaman yang salah dalam cara kita berdemokrasi.

Dalam antologi Demokrasi di Indonesia dari Stagnasi ke Regresi (2021), 16 peneliti menulis hasil risetnya dengan khawatir tentang praktik-praktik pemunduran kualitas demokrasi Indonesia semenjak masa pasca Reformasi ’98 sampai sekarang. Buku itu penting karena mengungkap bahwa mundurnya demokrasi dapat terjadi oleh sesuatu yang seolah-olah tampak demokratis, apalagi bagi mata rakyat biasa yang bukan ahli ilmu politik. Berikut adalah salah satu contoh: pada periode pertama pemerintahan Jokowi-Kalla di tahun 2014, Ia menghadapi kenyataan bahwa walaupun menang pemilu, kekuasaannya terancam oleh oposisi yang bergabung dalam Koalisi Merah Putih (pimpinan Prabowo) yang dominan di DPRD. Pemerintahan baru ini menghimpun partai-partai pendukung yang gagal berkuasa sehingga satu-persatu menyatakan masuk ke dalam koalisi lingkaran kekuatan lembaga eksekutif dengan dukungan hukum dengan nama Koalisi Indonesia Hebat. Lama kelamaan partai yang bergabung bertambah sehingga menjadi mayoritas di parlemen dengan nama Koalisi Pendukung Pemerintah (KP3). Di tahap ini terjadilah ‘penggelembungan kekuasaan eksekutif ‘ yang melampaui wewenang sekaligus pengempisan kekuatan oposisi di parlemen atau proses executive aggrandiszement (Power 2021) yang merusak mekanisme check and balance dalam demokrasi dengan tidak kentara karena dilindungi hukum.

Bisa jadi rakyat pemilih presiden—atau kita yang awam politik—sangat senang karena Jokowi menjadi “jagoan” yang kuat. Apa yang tidak disadari adalah presiden sebetulnya sebuah hanyalah institusi politik yang menjalankan pemerintahan. Jika lembaga tersebut terlalu kuat tanpa oposisi institusional maka institusi tersebut menjadi raksasa tunggal tanpa kendali. Thomas Power menulis dengan melindungi nama informannya, yaitu menjelang pemilu 2019, terjadi mobilisasi politik sampai ke daerah-daerah yang memaksa para kepala daerah untuk mendukung Jokowi-Ma’ruf untuk jabatan periode kedua dengan ancaman apabila menolak maka ada kemungkinan kasus-kasus korupsi yang dilakukannya akan dibongkar kejaksaan agung (ibid. hal. 401). Tentu saja banyak dari kita termasuk saya tidak menduga bahwa keadaan dapat separah ini. Namun hasil riset tadi memberi tanda bahaya bahwa terlepas korupsi meraja-lela, kejahatan itu dilakukan sebagai alat pemerasan untuk tujuan rekrutmen politik. Padahal suara oposisi tidak boleh ditempatkan pada situasi yang menekan menyulitkan dan mengancam dari birokrasi maupun aparat keamanan karena sifat oposisinya itu. Jadi, wacana penundaan pemilu dengan memobilisasi “suara kepala desa”, sebetulnya skenario yang dapat diramalkan. Tapi sesungguhnya apa yang sedang terjadi?

Dunia yang Semakin Sulit untuk Demokrasi Sehat

Konteks sosial ekonomi dunia memang memburuk secara global dan berdampak pada demokrasi. Polarisasi antara kelas kaya dan miskin semakin lebar. Orang miskin makin banyak sementara basis kelas menengah yang sebetulnya menjadi reaktor progresif untuk perubahan semakin menghilang. Kita mungkin tidak sadar bahwa semakin tidak relevan untuk memimpikan menyekolahkan anak-anak menjadi ilmuwan, aktivis, seniman, novelis, filsuf dalam keadaan serba darurat dan harga pendidikan yang makin mahal. Kita hanya ingin anak-anak kita lolos dari kemiskinan dan semoga cepat kerja, makmur secara ekonomi. Maka cita-cita untuk membentuk kelas menengah kritis berpendidikan tinggi yang sadar politik semakin jauh. Generasi baru semakin tercabut dari angan-angan untuk menjadi pembaharu. Mereka menjadi buruh industri paruh waktu yang bekerja keras demi sekadar hidup. Tidak ada waktu untuk berpikir melawan, dan kritis. Mungkin malah justru mereproduksi pikiran pikiran para elite kolot atau diam, atau sekadar clueless ikut arus.

Hal ini juga turut menjelaskan mengapa retorika-retorika konservatif khas elite seperti: kejayaan, kesalehan dan kemakmuran dalam bungkusan ide nasionalisme puritan dianggap lebih menarik daripada diskusi kritis soal demokratisasi politik yang sehat, cerdas dan beradab. Di satu sisi kondisi ini dapat menjadi tanah yang subur untuk semakin tumbuhnya populisme bahkan fasisme jahat di kemudian hari. Di sisi lain rakyat yang jadi korban merasa diselamatkan oleh sebuah ilusi psikologis tentang kestabilan ekonomi yang diciptakan sekelompok elite politik.

Apa yang dapat dilakukan oleh warganegara terutama ketika kelas menengahnya semakin tipis dan tidak kritis? Pertama, dengan tetap berteriak sekeras-kerasnya bahwa demokrasi memang tidak dapat ditunda. Kedua, kita sebagai rakyat biasa perlu belajar ilmu politik lebih keras lagi supaya mengerti bahwa presiden adalah suatu bentuk institusi politik yang diatur konstitusi yang kita hormati. Kita harus mengubah cara menilai dari “moral seorang pemimpin menuju moral kelembagaan”. Artinya presiden bukan orang sakti yang menentukan kegagalan atau keberhasilan pembangunan. Ia ada hanya karena kita memilihnya bersama-sama. Ia akan selalu dikawal oleh lembaga legislatif dan yudikatif yang kapabel. Ketika tugas itu berakhir, kita akan memilih lagi sesuai amanah konstitusi. Ketiga, untuk jangka panjang perlu pendidikan demokrasi dan proses demokratisasi yang fokus pada substansi (bukan prosedur teknis) yaitu mengapa kekuasaan dalam demokrasi harus terbatas, dikawal sehingga akuntabel, serta melibatkan partisipasi publik dengan spektrum yang luas.

Harapan selalu ada. Tampilnya kaum muda dalam partai politik adalah berita baik bagi demokrasi. Namun melihat mereka berpikir untuk dapat melakukan amandemen konstitusi untuk tujuan memperpanjang jabatan presiden adalah pendidikan buruk untuk demokrasi. Mungkin ini memperlihatkan wajah sesungguhnya dari situasi kepartaian kita yang berada dalam situasi ideologi sentris dan berkompromi pada status-quo oligarki. Partai-partai masih berupa sekumpulan orang berebut pengaruh dan belum mewakili spektrum ideologi, kelas, dan kultural masyarakat Indonesia dari “ujung kiri ke ujung kanan”. Jangan sampai wacana “Tiga Periode” menjadi awal munculnya kekuasaan absolut di masa depan. Maka mencegah pemilu diperlambat adalah langkah penting yang harus dilakukan sekarang juga.

Referensi:

Power, T & E Warburton (Ed.) Demokrasi di Indonesia dari Stagnasi ke Regresi. Jakarta: Yayasan Kurawal, 2021.

Categories
Orba Resurrection Apocalypse quicknotes

Demokrasi Indonesia dari Stagnasi ke Regresi

Ini bukan sebuah resensi. Melainkan sebuah anjuran untuk membaca. Buku Demokrasi Indonesia dan Stagnansi ke Regresi (Penyunting: Thomas Power dan Eve Warburton, 2021), memberikan berita buruk tentang kualitas demokrasi Indonesia yang telah sampai pada titik terendah semenjak Soeharto jatuh. Sebanyak 16 peneliti menulis rusaknya pilar-pilar demokrasi. Berikut hal-hal yang saya ingat dan susah lupa:

  • Terjadi penguatan lembaga eksekutif yang meniadakan kekuatan oposisi di parlemen. Lembaga eksekutif justru malah menghimpun partai-partai yang gagal berkuasa sehingga satu-persatu masuk ke dalam lingkaran kekuatan lembaga eksekutif. Artinya demokrasi bekerja tanpa kontrol oposisi.
  • Saya pun kaget. Pada periode kedua pemerintahan JKW, terjadi usaha-usaha penggiringan suara kepada kepala-kepala daerah di berbagai tempat di Indonesia dengan ancaman pidana korupsi jika ada penolakan. Melibatkan partai tertentu sebagai mesin dan bekerja sama dengan Kejaksaan Agung (hal. 401).
  • Terjadinya polarisasi politik sampai ke tingkat keluarga.
  • UU ITE yang membuat takut dan menekan kebebasan sipil berpendapat.
  • Adanya usaha menumbuhkan kepercayaan publik, bahwa kekuatan ekstrem Islam (termasuk Islam transnasional) adalah bahaya bagi demokrasi sehingga boleh dibubarkan. Padahal demokrasi sejati tidak boleh membubarkan ormas karena sudah ada penegak hukum yang akan menindak dengan pasal-pasal hukum.
  • Represi dan kriminalisasi kepada aktivis-aktivis kontra kebijakan pemerintah. Bahkan tidak ada tempat aman bagi aktivis-aktivis yang sudah besar dan diakui dalam gerakan sosial. Ini adalah fenomena berbahaya karena kita tidak dapat melupakan sejarah bahwa aktivisme adalah nenek moyang dari perubahan sosial.
  • Semakin banyaknya media oligarki yang bermain politik sehingga sulit menemukan pers independen.
  • Pemerintah lebih menggunakan pendengung dan algoritma media sosial untuk membentuk opini publik. Bukannya menggunakan ruang-ruang diskusi nyata.
  • Adanya usaha-usaha sistematik dan terang benderang untuk melemahkan KPK. Padahal KPK dibentuk karena penanganan hukum kasus korupsi sudah lemah.
  • Terjadi akselerasi penggunaan kekerasan di Papua baik fisik, verbal, dan simbolis. Adanya kriminalisasi terhadap perjuangan kelompok separatis. Dalam aturan internasional kelompok perjuangan kemerdekaan tidak dapat disebut sebagai kelompok kriminal bersenjata.
  • Terjadi Zero Sum Game dalam politik Indonesia yang meniadakan jalan tengah dengan membayangkan lawan politik sebagai kategori hewan yang harus dibasmi (“kadal gurun”).
  • Ada peningkatan ambang batas dari 2,5 persen di tahun 2009 menjadi 3,5 persen di 2014 dan 4 persen di 2019 sebagai syarat sebuah partai masuk parlemen. Bahkan untuk partai partai baru, threshold ini sangat ketat. Konsekuensinya partai partai politik sebetulnya tidak mewakili realitas politik para pemilih yang luas. Kaum progresif spektrum kiri dan muslim puritan tidak terwakili dan bergerak menjadi massa mengambang di luar parlemen.

Waduh!

Menyimpulkan hal di atas, terlihat bahwa masalah yang cukup berat terletak pada strategi politik kebudayaan negara Indonesia sendiri yang didesain untuk pragmatis dan berpihak pada kepentingan-kepentingan sempit atau partisan bahkan investasi. Kebudayaan politik Indonesia jauh dari diskusi publik yang berasal dari nilai-nilai ideologis partai-partai, tapi sangat dekat pada usaha-usaha personal untuk melanggengkan kekuatan dan kekuasaan.

Buku ini adalah kenyataan buruk. Ditulis dengan riset berhati-hati, beragam metode, dan menggunakan sumber dokumen publik serta wawancara (dengan melindungi kerahasiaan informan). Siapa yang seharusnya membaca? Harusnya Anda, sehingga bisa membantahnya dengan tulisan lain, atau menjadi mengerti betapa jauhnya jarak antara harapan dan kenyataan. Buat saya buku ini berguna memberikan validasi ilmiah dan benang-benang merah berbagai kondisi penurunan demokrasi yang saya alami. Saya melihat gambaran yang cukup lengkap sebagai bekal mensikapi pemilu mendatang.

Categories
essays

Konflik Wadas

Saat ini konflik keras antara pemerintah dan para petani Wadas sedang ditengahi dengan usaha-usaha dialog antar warga yang kontra pertambangan batu andesit dan aparat. Persoalan Konflik Wadas diharapkan selesai ketika luka trauma akibat kekerasan aparat terhadap warga terobati. Insiden ini mutlak dianggap sebagai kesalahan prosedural. Apa betul?

 Bagi golongan masyarakat agraris, tanah berfungsi sebagai penopang kehidupan utama. Dengan mengolah dan menanam di atasnya, mereka mendapatkan hasil agrikultur untuk dimakan atau dijual ke pasar sebagai cara memenuhi kebutuhan konsumsi. Memang selalu ada sumber pencaharian lain sampingan misalnya memelihara ternak,ikan atau menjual jasa tenaga sebagai buruh dan merantau musiman.  Signifikansi tanah diperlihatkan dari ekspresi-ekspresi kebudayaan pertanian mudah terlihat melalui ritual adat, cerita-cerita lisan, dan nyanyian-nyanyian yang menceritakan tentang kesuburan dan kehidupan berkelanjutan yang berpusat di pertanian.

Sejarah agraria Indonesia mencatat perlawanan-perlawanan keras ketika tanah-tanah pertanian yang merupakan milik komunal dialihkan kepemilikannya. Para petani yang menyerahkan tanah kepada pihak asing dianggap sama dengan menyerahkan nyawa mereka sendiri. Konflik agraria menjadi sangat tajam dan berdarah karena memang terkait dengan usaha-usaha petani menyelamatkan satu-satunya investasi yang menyambung nyawa. Cerita-cerita petani brutal yang mengamuk kemudian mengisi pembangunan kita dari masa ke masa.

Apa yang harusnya diganti rugi?

Narasi-narasi propaganda “anti komunisme” dalam kebudayaan populer diwarnai secara bias mengaitkan kebuasan petani ketika mereka menjadi kaum cerdas secara politik dan malawan ketidakadilan. Contohnya seperti adegan-adegan awal film Pengkhianatan G30S/PKI Arifin C. Noer tentang serombongan petani menyerang orang-orang di surau. Ada stigma politik yang memang dibangun sehingga ekspresi perlawanan petani dianggap sebagai kriminalitas tingkat gawat sehingga perlu rombongan polisi sampai ribuan seperti yang terjadi di Wadas sekarang.

Dampak peristiwa Wadas ini tidak saja menimbulkan reaksi pada kelompok-kelompok masyarakat sipil dalam gerakan sosial pro demokrasi yang menyuarakan penindasan, isu lingkungan, HAM, dan hak-hak sosial budaya, tetapi juga turut meresahkan kelompok-kelompok “non-gerakan” seperti komunitas ilmiah berbasis universitas, dan konsultan independen.  terutama di bidang sosial-konservasi. Mereka berusaha bekerja profesional mengikuti standar intrnasional yang tunduk pasda aturan HAM, sementara negara sendiri main paksa di depan mata.

Sesungguhnya yang lebih penting dari bujuk-membujuk adalah menggantikan kerugian yaitu dengan kompensasi. Itu pun hanya dapat dilakukan jika para petani bersedia. Tapi kesediaan itu sulit sekali datang karena tidak ada manusia bisnis yang rela dan mampu mengganti kehidupan yang hilang. Ganti rugi senilai harga tanah dianggap menyelesaikan kehilangan dengan adanya sejumlah uang yang dianggap menutupi kerugian-kerugian petani.

Namun demikian ganti rugi itu tidak akan pernah dianggap seimbang kerena adanya perbedaan makna tanah bagi petani dan bagi pengembang. Bagi para ekonom, nilai investasi tanah pertanian dapat diukur dengan sejumlah uang secara objektif.  Skema kompensasi yang paling “irit biaya” misalnya dengan mengganti biaya penanaman dan menaksir besaran hasil dari tanaman-tanaman yang berada di atasnya ditambah dengan nilai tanah itu sendiri, dan uang-uang lain untuk melupakan kesedihan akibat kehidupan yang terampas. Uang ganti rugi ini dianggap cukup untuk membeli waktu selama mencari mata pencaharian yang lain. Namun kemana kerugian petani dari akumulasi kerja berupa waktu dan tenaga yang hilang bertahun-tahun dalam mengelola dan akumulasi keuntungan dari hasil panen yang diproyeksikan akan hilang di masa depan?

Apa yang akan terjadi bagi kaum agraris ketika menerima sejumlah uang tunai? Mereka hanya cukup waktu untuk menghabiskan uang penghiburan tersebut untuk konsumsi, sementara dalam waktu yang terus berjalan, uang tersebut pun akan mengalami penyusutan karena inflasi dan kenaikan-kenaikan harga barang. Jurang kemiskinan menanti di depan mata.

 Cara yang lebih manusiawi lagi adalah mengukur penurunan kualitas lingkungan yang terjadi akibat proyek pembangunan misalnya dengan rusaknya sumber mata air, kotornya udara, buruknya pemandangan, dan kerentanan terhadap bencana alam sebagai kehidupan normal baru di masa depan. Kerusakan alam dan sosial ini harus dikalkulasi sebagai bagian dari ganti rugi. Tujuannya, kerusakan-kerusakan tersebut harus menjadi sangat minimal dampaknya jika tidak dapat tergantikan sama sekali. Baru kemudian menggantikan tanah garapan baik sawah, ladang, dan kebun sehingga penerima kompensasi tidak perlu mengganti gaya hidup bertani untuk bekerja di sektor lain yang persaingannya sangat tinggi, tidak dikuasai bagai meloloskan diri dari lubang jarum. Jika nilai labour yang hilang tidak dapat diganti, maka tanah garapan baru harus disediakan.

Para petani tidak perlu melakukan alih kerja dan alih kebudayaan sehingga kehilangan jati diri dari makna kerja sebagai petani. Kerja tani tidak dengan mudah diganti kerja-kerja lainnya. Apakah pemerintah  mau menempuh jalan ini? Misalnya membayar tenaga riset imparsial, menciptakan udara bersih, mencarikan lahan pertanian subut baru, atau menghitung-hitung bagi keuntungan yang adil dan berjangka panjang untuk petani dari keuntungan bisnisnya di tanah tersebut?

Apa yang sedang terjadi di Wadas dengan proyek pemerintah membangun bendungan dan pertambangan batu alam akan mendatangkan kerugian yang fatal bagi petani Wadas yang memang sudah hidup makmur dengan pertanian dan usaha perkebunannya. Hasil penelitian Walhi mengatakan bahwa tanah Wadas adalah “tanah surga” pertanian dengan hasil kayu keras dan tanaman perkebunan yang sangat menopang kehidupan ekonomi warga desa dengan hasil 8,5 milyar pertahun untuk komoditas pertanian dan 5.5 milyar per lima tahun untuk hasil kayu keras. Batu-batuan alam yang menjadi penyangga air tanah memengang peranan kunci. Perubahan bentang alam akan memperburuk atau mematikan apa yang tumbuh diatasnya.

Tapi seperti biasa, negara ini sudah matang pengalaman dengan perampasan ruang kehidupan sebagai pengorbanan suci warganegara bagi negaranya yang sedang giat membangun misalnya dari kasus Kedung Ombo tahun 1983. Perampasan tanah pertanian ini merupakan pengulangan lagu-lagu lama tentang kekerasan agraria di Indonesia. Dampak sosial yang sudah terjadi adalah munculnya kelas-kelas sosial baru dengan ciri-ciri miskin yang bekerja serabutan, kesulitan menabung, dan menyusun rencana jangka panjang. Mereka tidak dapat terserap ke dalam industri pabrik karena tidak ada tempat dan tidak ada pengalaman dan melahirkan generasi miskin di masa depan dengan segala kerentanan dan bahaya.

Maka itu perlawanan petani Wadas harus dilihat sebagai pelajaran terutama yang hidup di kota dan mencerna apapun dari media (juga dari sosmed dan buzzer). Orang kota yang makan dari supermarket, selalu punya jarak dengan petani. Padahal penderitaan orang kota juga sudah banyak, apalagi jika cuma buruh biasa. Mereka tergantung upah, berebut tunjangan, dibayar murah dan serba tidak pasti. Seharusnya orang kota punya rasa hormat bagi petani yang punya kedaulatan pangan walau cuma seorang petani. Membela harga diri petani sebetulnya mirip dengan membela diri kita sendiri yang sama-sama rentan di hadapan negara yang sangat kuat kuasanya.

Categories
essays

Pandemi dan Ekosistem Kultural

Kita di tengah ledakan pandemi Covid-19. Bagaimana melihatnya sebagai fenomena kultural?

Indonesia berada dalam posisi tertinggi dunia untuk jumlah kasus dan kematian baru karena Covid-19. Belum pernah berita kematian begitu banyak datang dari lingkaran pertemanan dekat bahkan saudara dalam waktu singkat seperti senapan mesin. Oksigen habis, IGD penuh, dokter, perawat, relawan berguguran, pasien bergelimpangan. Sosial media penuh teriakan minta tolong. Semua orang sedang menghindari mati sekitar tiga minggu ini. Dunia mencemaskan Indonesia sebagai episentrum Covid-19 saat ini. Tentu mereka bertanya mengapa negara ini begitu terlambat mengantisipasi dan membuat pilihan-pilihan salah? Ada beberapa faktor kultural yang membantu menjelaskan.

Absennya nilai budaya Risk Society

Kurang lebih 30 tahun lalu, sosiolog Jerman Ulrich Beck mengkhawatirkan bahwa ada suatu masa ketika semua pencapaian kehidupan modern yang identik dengan produksi, inovasi, dan teknologi akan menghantam seperti bumerang. Inilah ‘masa modern kedua’ (second modernity) ketika kegiatan produksi sehari-hari yang tadinya aman secara diam-diam memproduksi hal lain secara aktif tanpa disadari yaitu produksi risiko yang terus membesar. Beck memang menulis dalam konteks ledakan reaktor Chernobyl tahun 1986, tetapi tesisnya menjadi panutan dan relevan dalam studi-studi kritis tentang risiko peradaban sampai hari ini. Beck mengatakan bahwa jalan untuk selamat adalah adanya usaha untuk membangun iklim sosial yang disebut risk society atau model masyarakat yang memahami risiko skala katastrofe sebagai buah kemajuannya. Hal ini dilakukan melalui transparansi data melibatkan kerja sama antara politisi, penyelenggara negara, komunitas ilmuwan dan praktisi berbagai bidang dalam membangun kebijakan.

Dalam model risk society, surplus bisnis harus dialihkan untuk membiayai kesiapan penanganan risiko, dan bukan untuk ekspansi usaha. Dalam kondisi berubahnya ekosistem dan iklim sebagai konsekuensi kegiatan bisnis ekstraktif sumber daya alam, risk society seharusnya dianggap sebagai nilai budaya nasional. Diterjemahkan dalam tradisi riset dan kurikulum. Namun nilai budaya ini tidak dikenal di Indonesia sebagai sebuah negara yang membayar ongkos-ongkos politik dari kegiatan ekstraksi sumber daya alam. Justru kemudian Indonesia menjadi murid setia nilai-nilai ekonomi neoliberalisme yang minim memikirkan dampak-dampak jangka panjang terhadap kehidupan sosial dan alam.  

Tidak lampu peringatan yang menyala di negara ini ketika Wuhan melakukan lockdown dua tahun lalu. Tidak ada imajinasi kolektif di kalangan elite akan bahaya. Pemerintah berkelakar tentang virus ini. Padahal akses informasi terbuka. Banyak dokter-dokter yang menyempatkan diri menulis catatan-catatan dari rumah sakit masing-masing di seluruh dunia. Para ahli pun membuat ragam proyeksi tentang gelombang-gelombang melalui algoritma dan statistik yang mudah di-googling namun tidak dianggap sebuah prediksi ilmiah yang akan terjadi. Padahal film-film fiksi ilmiah sudah memperingatkan kita sejak lama. Film-film thriller tentang dunia distopia dan apokalips selalu bermula dari reaksi pemerintah yang lamban, memprioritaskan ekonomi, dan mengacuhkan peran ilmuwan.

Neoliberalisme Kesehatan

Prinsip Neoliberalisme percaya bahwa kinerja ekonomi menjadi sempurna ketika sektor-sektor publik yang dikuasai negara—dengan  alasan untuk kepentingan rakyat banyak—diserahkan pada swasta yang bersaing. Bisnis adalah bisnis dan jangan diberi rintangan atau beban. Banyak negara-negara kemudian mengalihkan tanggung-jawab sosial misalnya pelayanan kesehatan publik kepada swasta.  Ketika Covid-19 terlanjur meledak awal tahun 2020, negara-negara yang telah secara radikal memperbesar peran swasta berbayar di bidang pelayanan kesehatan cenderung untuk rentan terhadap menangani gelombang Covid-19.

Ketika sistem kesehatan rakyat dibayang-bayangi oleh dualisme pembiayaan antara negara dan swasta, maka terjadi standar ganda. Pelayanan negara yang murah atau gratis menjadi mundur kualitasnya. Orang yang tak mampu membayar jadi korban. Amerika Serikat, Inggris, Spanyol, Jerman, Italia lebih terpukul dibandingkan dengan negara-negara yang masih memiliki watak welfare state yang melayani semua orang tanpa pandang bulu misalnya Swedia, Finlandia, Norwegia. Sementara kesiapan Cina, Taiwan, Jepang, Cuba, Singapura, Selandia Baru sebagai negara-negara yang tidak asing dengan prinsip sosialisme relatif lebih responsif dan sigap.

Mudah dipahami meski nilai nasionalisme menjadi pakaian ritual harian, nafas Neoliberalisme terlanjur menduduki kabinet kita. Rakyat adalah beban kecuali mereka yang bayar. Tentu terjadi polemik karena bagaimana pun pada masa lalu konstitusi kita ditulis dengan semangat sosialisme. Polemik-polemik tentang vaksin berbayar menunjukkan pemerintahan yang bingung dan tidak kompak juga berakibat pada melambatnya penanganan pandemi. Jika pertumbuhan dan keselamatan ekonomi nasional harus berada di atas keselamatan rakyat, maka posisi rakyat adalah garda depan yang dikorbankan. Berakhir atau tidaknya wabah kemudian dianggap tergantung kepada kedisiplinan rakyat dalam melaksanakan protokol kesehatan sebagai jalan terakhir. Konsekuensinya UU Karantina Wilayah tidak akan pernah diaktifkan sekalipun itu sesuai konstitusi dan Pancasila.  Adalah sebuah tragedi bila kematian dianggap wajar sebagai sebuah statistik perhitungan skenario terburuk sebagai sebuah collateral damage sebagaimana operasi militer. Dalam polemik dan tarik-menarik kepentingan, kita akan kehilangan waktu dan momentum bertindak.

Neoliberalisme menghapus empati terhadap tragedi. Negara membandingkan angka kesembuhan dan angka kematian harian dengan menyimpulkan selisihnya sebagai berita baik lewat media. Propaganda ini bertujuan mengontrol kebenaran ilusif yaitu bahwa “kita-baik-baik saja”.  Virusnya tidak terlalu bahaya karena banyak yang sembuh. Usaha mengontrol kebenaran dengan terus menebarkan optimisme palsu tidak mempertimbangkan akibat psikologis dari matematika kejam dan minim empati untuk banyak keluarga yang kehilangan. Hal ini juga merupakan penghinaan terbuka terhadap tenaga kesehatan yang terus berguguran dan pasien yang sedang berebutan nafas. Apakah kita mau hidup dalam nilai ini?

Militansi hasil Algoritma Informasi

Mengenai informasi. Negara-negara underdog dengan internet lambat kemungkinan justru lebih bertahan. Jauh sebelum Covid-19, dunia sudah terjerembap dalam ketidakmampuan menghadapi risiko dari teknologi algoritma sosial media. Internet justru membuat manusia terkotak-kotak dalam ekstremnya opini politik hasil olahan kecerdasan buatan.  Merupakan pil pahit bahwa wabah ini subur dalam ekosistem favoritnya yaitu sifat suka meremehkan, sombong, egois, bebal, serakah, dan keras kepala yang dibentuk oleh opini-opini artifisial itu. Kita hidup dalam dunia yang berbahaya dan absurd ketika justru terbuai oleh hasrat-hasrat teknologi canggih tapi sekaligus menjadi tentara-tentara siber penyebar hoaks  yang diperbudak oleh gawai-gawai dan biaya sewa internet yang kita bayar sendiri. Filsuf Martin Heidegger sudah meramalkan bahaya dalam esai profetik tahun 1954 jauh sebelum adanya kecerdasan buatan yaitu jangan sekali-kali kita berpikir bahwa teknologi adalah instrumen yang membebaskan manusia. Teknologi punya kemampuan otonom untuk memerangkap manusia dan memaksanya bertindak sesuai logika teknologi itu. Persis dengan hari ini ketika teknologi sosial media justru melahirkan militansi yang galak misalnya gerakan anti-vaksin, teori konspirasi, anti-masker, nasionalis buta residu-residu pilpres dan sejenisnya.  

Categories
essays

Apa Hubungan NKCTH dan Human Rights?

Komentar terhadap tulisan Bung Usman Hamid. Baca disini

Saya nonton Nanti Kita Cerita tentang Hari Ini (NKCTH) di bioskop yang penuh penonton, duduk di baris belakang bersama istri. Hanya berbekal info: “katanya bagus”. Sisanya biar nasib yang membawa. Tulisan ini berguna untuk yang agak kesel dengan film ini. Film ini bermaksud memberi pesan pada penonton tentang human rights, tapi filmya sendiri bukan soal itu. Penyebab film ini mengesalkan kira-kira begini:

Gangguan pertama. Film Nanti Kita Cerita Tentang Hari Ini menggunakan teknik kilas balik yang baru saya sadari setelah 10 menit film ini main. Bisa jadi karena kilas baliknya keseringan, sampai saya pikir ada dua keluarga. Baiklah, sebuah keluarga yang tumbuh dengan masalah-masalah rumah tangga. Walau belum tahu, apa sih sebetulnya masalah keluarga ini.

Keluarga ini terdiri dari bapak, ibu, dan tiga anak yang tinggal serumah. Keluarga yang berusaha bahagia. Bapak adalah seorang pemarah, posesif, penuh aturan. Anak sulungnya yang bernama Angkasa kerja di dunia tata panggung hiburan. Anak keduanya Aurora adalah seniman yang sedang membina karir, anak ketiganya, Awan adalah arsitek yang baru mulai bekerja. Sosok ibu tidak dominan dan banyak diam. Film ini penuh adegan marah-marah di rumah karena tokoh ayah yang over-protective terhadap anak terutama anak bungsu. Sementara kondisi Jakarta tidak memungkinkan untuk sang kakak sulung harus jemput-jemput adik tepat waktu. Si anak tengah lebih banyak berdiam di rumah menyiapkan pameran perdananya. Adegan-adegan yang memperpanjang adalah Awan yang sedang dekat dengan cowok yang bekerja sebagai manajer band.

Artinya keluarga dalam film ini sangat biasa. Gambaran keluarga di kota besar yang normal bagaikan tetangga kita di sebelah rumah. Tidak ada ketegangan yang dialami anggota keluarga misanya karena dikejar debt collector, korban pelanggaran HAM, trauma kekerasan seksual, perselingkuhan, penyakit, cacat badan, cacat mental, dan lain-lain. Ayahnya biasa-biasa saja. Tidak terjerat kemiskinan. Karyawan kantor tipikal kelas menengah, punya rumah, ada istri, ada anak-anak sehat yang berprestasi. Sebagai anak-anak mereka rileks karena steril dari stigma yang biasa dirasakan sebagai pelanggaran human rights.

Gangguan kedua: Penonton tidak tahu masalanya keluarga ini apa. Jadi itu masalahnya? Itulah anehnya. Di masa lalu Awan tidak lahir sendiri. Dia punya satu saudara kembar yang meninggal di RS persis setelah lahir. Kematian ini dirahasiakan kepada Aurora dan Awan. Hanya Angkasa dan tentu ibu yang tahu, tapi selalu dilarang buka mulut. Kematian itu membekas pada bapak sehingga jadi posesif dan pemarah. Bukankah Tuhan masih memberi satu anak sehat untuk dibawa pulang ke rumah? Apakah jadi masalah?

Keluarga selalu punya duka. Kematian karena alasan alami walau pedih, adalah duka yang sangat sosial. Sehingga kesedihan itu sebetulnya cepat disembuhkan oleh keluarga yang masih hidup, tetangga, dan perjalanan hidup dengan pengalaman baru. Selalu ada yang membasuh, sehingga kesedihan berubah menjadi rasa syukur kepada kehidupan dan rasa manis mengenang yang meninggal. Apalagi kembarannya Awan, belum cukup untuk meninggalkan duka mendalam. Bahkan dia belum pernah berinteraksi sosial dengan keluarganya. Kita tidak asing dengan keguguran, bukan?

Sebagai penonton generasi 80-an, saya masih latah mencari moral of the story dari sebuah film. Tokoh ayah menggambarkan seorang lelaki yang tidak pandai mensyukuri apa yang dipunyai. Banyak kisah gelap bertema keluarga yang layak film, tapi bukan ini. Kalau saja bayi yang meninggal itu bangkit gentayangan menuntut hak hidup, now we are talking.

Film ini tidak menceritakan apa-apa tentang human rights. Apa yang menyebabkan Usman Hamid menganggap film NKCTH sebagai pintu untuk memahami Human Rights Indonesia ? Atau saya yang ketiduran di bioskop, ya?

Angkasa dan Bapaknya tidak terkait dengan histori pelanggaran human rights Indonesia. Mungkin mereka menjadi massa mengambang yang bingung walau tidak digelisahkan oleh issue tersebut.

Ingin kabur dari bioskop, tapi susah karena duduk terlalu belakang dan penonton ekstra penuh. Mereka menikmati dan memuji. Saya teralienasi sambil tendang-tendang kaki istri.

Categories
Orba Resurrection Apocalypse Uncategorized

Golput disambut pelukan mesra Orba

Saya membaca artikel Ariel Heryanto Setengah Abad Golput
(Tempo, 10 Februari 2019). Bagus, dengan bahasa lugas. Tulisan Ariel Heryanto ini menjadi “demotivator” yang baik. Juga karena kita mudah bosan dengan para motivator, kan.

Ada tiga hal penting yang saya temukan di tulisan itu. Pertama: sejarah mengapa Golput itu ada sejak 1971 sebagai gerakan politik aktif melawan Orde Baru yang memang nggak butuh pemilu. Negara berkembang memang cenderung tinggi partisipasi politiknya karena orang dipaksa voting. Sebaliknya di negara demokratis yang maju justru punya kecenderungan trend partisipasi politik yang rendah. Saya jadi ingat, di masa Orba, mahasiswa yang mampu menganalisis seperti di atas sudah dianggap kritis oleh dosennya. Sebab di masa itu, jika Golkar unggul tapi di bawah 80 persen, artinya para birokrat partai pucat-pasi. Apalagi kalau ada presentase orang yang nggak memilih. Oh, ya. Golkar memang aneh, bahkan di buku teks kuliah Pengantar Ilmu Politik (buku warna biru itu, lho) dari Prof. Miriam Budiardjo dikatakan: “Golkar bukan partai politik, tapi menjalankan fungsi-fungsi partai politik“.

Kedua, tahun 1998 tidak ada revolusi, yang ada adalah Reformasi. Gerakan ganti baju sementara orang-orangnya masih dia-dia juga. Walau sekarang susah untuk naik jadi RI 1 atau RI 2, “kerajaan-kerajaan” para aktor di bawah posisi itu masih langgeng. Walhasil, partai-partai baru di masa reformasi lebih banyak didominasi baju-baju baru yang dikenakan para kutu loncat berslogan anti Orba, tanpa “ideologi anti Orde Baru”. Isu-isu publik seperti kesejahteraan umum, kerusakan ekologis, korupsi, penyelesaian HAM masa lalu, tidak menjadi perhatian sungguh-sungguh di parlemen. Wakil-wakil rakyat itu sibuk oleh isu-isu overkill atau subyek-subyek persoalan yang dilebih-lebihkan secara sengaja supaya terdengar sangat gawat. Padahal isu-isu itu tak ada dalam rencana-rencana kerja. Apa yang dianggap penting: isu ancaman terhadap kehidupan beragama (kriminalisasi ulama), bahaya kebangkitan PKI, ancaman asing, orientasi seks menyimpang, dan pamer-pamer siapa yang paling nasionalis. Tuduhan-tuduhan dan diskusi panas jamak berlangsung di medsos. Seakan-akan politisi itu pada nggak ngantor. Semuaya sibuk serang-tangkis mencari simpati menjelang pilpres. Maka menurut Ariel Heryanto (atau menurut saya yang membaca beliau), rakyat Indonesia mengalami frustasi besar. Orba belum mati-mati.

Ketiga, adanya Golput “baru”. Golput zaman Soeharto adalah statement politik terhadap demokrasi yang senyap kritik. Masa itu Orba menciptakan massa mengambang dengan mencabut semua ekspresi politik dalam kegiatan-kegiatan publik termasuk kampus, kantor, birokrasi. Hari ini Golput “baru” hadir karena bising. Demokrasi televisi tampil dengan drama thriller mendekati horror yang menyalak di setiap saluran TV. Sebagaimana pun nyaringnya pemerintah menceritakan keberhasilan pembangunan infrastruktur dan ekonomi, suaranya selalu kalah besar oleh berisiknya para politisi oposisi. Mereka yang dulu disebut massa mengambang, kini pemirsa terpapar yang timbul tenggelam dalam badai emosi.

Melihat siapa para Golput “baru”. Menurut jejak pendapat surat-surat kabar, generasi muda “milenial” tidak terlalu suka model komunikasi politik yang menggurui, dogmatis, dan menyuruh-nyuruh. Mereka tidak tertarik dengan cara para orang tua meramaikan politik dengan festival, deklarasi, dan kegiatan publik yang menggunakan tubuh. Namun mereka tetap menggugat sesuatu. Setidaknya generasi orangtuanya yang terlihat primitif, cemas, dan arogan. Mereka yang suka melabel-label seenaknya orang-orang muda sebagai: “generasi mecin“, generasi milenial,gamers, malas turun ke jalan untuk protes politik.Dihubungkan dengan keadaan ekonomi yang relatif datar-datar saja: mengalami hidup nyaman dengan harga barang konsumsi terjangkau dan stabil.

Tentu “millenial” punya pertimbangan sendiri untuk memilih posisinya di pilpres nanti. Mereka adalah 14 juta suara yang mendengar Orba dari cerita. Mereka yang entah kangen Orba atau alergi terhadapnya lebih berbekal referensi cerita nostalgia orangtuanya daripada pengalaman aktual. Mereka yang dibentuk opininya oleh algoritma medsos yang selalu mengarahkan pada hal-hal yang trending. Survey CSIS 2017 mengatakan bahwa generasi “milenial” (mereka berusia 17-24 tahun pada tahun 2017) dan “non-milenial” (diatas 24 tahun), sebetulnya tidak terlalu jauh berbeda. Keduanya optimis melihat masa depan, rajin menonton televisi, cenderung memilih partai politik pemain lama, dan perilaku keagamaannya sama-sama konservatif. Selera dalam pemilihan kandidat presiden pun tidak jauh berbeda. Namun dalam survey lain, ditemukan juga pola skeptis terhadap institusi atau branding. Kelihatannya “milenial” tidak mudah menjadi fanatik untuk satu hal. Maka mengatakan bahwa “milenial” cenderung akan menjadi golput bisa jadi berlebihan. Beda milenial dan non-milenial hanyalah karena mereka masih muda dan tidak mudah percaya. Tapi mereka punya skill mencari data dan melakukan verifikasi lebih baik dan sigap terhadap kebenaran-kebenaran dibalik sebuah berita. Apalagi jika berita tersebut bersifat sensasional. Bukankah yang rajin mengirim ulang segala macam berita adalah orang-orang tua yang dulunya biasa dengan kehidupan analog?

Ada pula karakter golongan sempalan “Post-Orba” yang merupakan “veteran golputers“. Mereka menyatakan anti Orba, punya pengalaman Reformasi ’98, tapi tetap memilih menjadi golput di masa pemerintahan Jokowi. Katanya bahwa pemerintah sekarang dengan komposisi aktor oligarkinya masih merupakan wajah buram dari pemerintahan Orde Baru. Mereka pun sadar sepenuhnya tentang hal sipil politik warganegara untuk menjadi golput. Pemerintahan dianggap perpanjangan sistem korup lama. Jenderal-jenderal yang itu-itu saja masih hilir mudik dalam kabinet aktif. Pemerintahan belum berhasil membuka telanjang persoalan HAM. Semua persoalan dan keberhasilan atau pun kelambatan mereka tinjau dari parameter HAM. Kelompok “intelektual idealis” ini masih satu generasi dengan kelompok “intelektual realistis” 1998 yang juga kecewa, tapi masih bisa memberi apresiasi terhadap kinerja pemerintahan sekarang. Bagaimana pun juga banyak kebaikan dibuat dan tidak semuanya harus ditinjau dari kacamata HAM. Para realis memilih tidak golput.

Di atas semua itu, Orba masih kuat secara kultural dan adaptif. Bahkan Jokowi yang sama sekali tidak punya hubungan kekerabatan darah maupun sosial dengan “keluarga Orba” pun harus berstrategi dengan melibatkan wajah-wajah Orba dalam lingkaran terdalam kepresidenannya yang bagai dililit gurita. Kuatnya Orba berbuah reaksi  skeptis para veteran golputers. Mereka yang selalu bertanya: “ngapain sih, Jokowi deket-deket jendral Anu, Anu? Bakal kabur pemilihnya nanti!” Orba masa kini adaptif menggunakan simbol-simbol utama yang masih bisa dipakai dan efektif yaitu penguatan politisasi sektarian. Kendaraan yang ampuh untuk menyapu rintangan apa saja terhadap perubahan progresif. Dengan baju agama, metodenya masih resep sama yaitu menggunakan ketakutan-ketakutan dan ancaman untuk menciptakan solidaritas terhadap kebertahanan status-quo. Tidak mudah untuk melepaskan diri dari gurita tersebut.

Sekarang saya ingin meloncat. Saya pakai kata “kultural” karena teringat Antonio Gramsci yang selalu mengkritik gerakan sosial revolusioner sebagai angan-angan yang tak pernah terwujud dan bagaimana revolusi fisik selalu kemungkinan besar gagal. Kegagalan itu disebabkan setiap rezim yang mapan selalu tahan banting. Mereka melakukan hegemoni kultural atau membangun cara-cara berpikir massal yang masuk akal, melibatkan nilai-nilai kebangsaan yang sakral, dan menciptakan musuh-musuh bersama. Bahan bangunan yang digunakan adalah fondasi sejarah yang disusun sedemikian rupa untuk menjelaskan wajah rakyatnya. Hegemoni adalah wajah populer, pelukan mesra, sekaligus sebuah jaket anti peluru yang sulit tembus.

Maka perlawanan terhadapnya tidak pernah terlalu mudah. Strategi counter hegemony yang efektif harus menggunakan elemen-elemen kultural yang sama untuk mengambil hati rakyat. Dalam konteks Indonesia maka wajar sekali Jokowi harus menggunakan semua senjata. Tapi bagaimana kalau musuhnya kebal peluru? Dia masih bisa menembak dengan peluru good governance, menangkap sebanyak mungkin koruptor yang bisa ditangkap tapi merelakan yang benar-benar besar untuk lolos. Perlawanan terhadap korupsi disukai rakyat sebagai cara melawan Orba karena punya legitimasi kuat secara internasional dan telah menjadi barometer global. Tapi diluar ususan itu, jaket anti peluru masih tebal. Prabowo tentu paham itu. Jokowi memang bisa bersikap adil terhadap pelanggaran-pelanggaran hukum dengan membiarkan mekanisme hukum berjalan. Tapi tidak untuk membatalkan produk undang-undang jahat buatan Orba (TAP MPR XXV/1966), atau intervensi terhadap gejala penguatan sektarian dalam penyusunan perundang-undangan. Jika ia melakukannya maka usaha perlawanan nya berumur pendek, tidak sesuai kebudayaan nasional kita dan rakyat akan menolak. Juga sudah menjadi kebudayaan nasional Indonesia bahwa perubahan hanya dilakukan oleh pemerintahan dan bukan desakan-desakan kolektif berupa gerakan sosial yang teratur. Selagi HAM belum menjadi agenda rakyat melainkan hanya milik NGO, maka waktu yang diperlukan masih sangat panjang. Dalam kacamata idealis seorang human rights defender, tentunya insiden berdarah melibatkan aparat, atau penahanan tanpa pengadilan di Papua, lebih penting sebagai pertimbangan memilih (atau Golput) daripada usaha pemerintah untuk membangun infrastruktur demi cita-cita keadilan sosial.

Di sisi lain tentunya Orba melawan balik dengan jurus-jurus yang dipahaminya: yaitu manipulasi. Selagi rakyat masih rentan dalam membedakan dengan jelas antara politisasi dan ibadah, maka agama merupakan jaket kuat untuk Orba berlindung dan menyerang. Serang-menyerang menggunakan “logika kultural” yang sama akan terus dilakukan demi meraih simpati. Masih akan panjang membangun hegemoni tandingan itu. Kesadaran hak sipil politik itu penting sekali, oleh karena itu gunakan secara baik. Sebaik-baiknya adalah untuk menyerang yang jahat. Jika dulu jadi Golput dilarang Orba maka hari ini jadi Golput diketawain Orba.

Artikel Prof. Ariel ini bagus banget untuk menjadi referensi, tapi ditulis dari jauh. Dengan mengandalkan pada teks-teks pertarungan yang sedang terjadi sebagai analisis cultural studies, menurut saya belum menangkap kegelisahan dan keresahan orang Indonesia yang sedang emosional meraih harapan akan Indonesia. Dengan segala tarik menarik antara hal hal ilusif seperti nasionalisme, subsidi dan kebutuhan nyata tentang fasilitas-fasilitas kesejahteraan rakyat yang butuh kecerdasan manajerial. Belum menggambarkan tentang bagaimana berat hati untuk memilih seorang pemimpin dalam peperangan wacana yang melukai banyak orang ketika ketaatan beragama dan kerukunan keluarga menjadi taruhannya.

Jakarta 14 Februari 2019