Categories
essays

Komentar “Selamat Tinggal Proletariat”

Artikel di Kompas 30 April 2022 berjudul: Selamat Tinggal Proletariat tulisan Rekson Silaban menceritakan bahwa buruh tidak lagi berada dalam situasi klasik yang tegang dengan majikannya. Tidak ada lagi konflik kelas antara proletar dan kapitalis. Kecerdasan kapitalisme membuat buruh “naik derajat” menjadi mitra bisnis startup. Maka perjuangan buruh di masa depan menjadi lebih halus, lebih pada strategi kerjasama dan dialog dengan majikan. Dalam situasi ini, buruh akan mendapatkan kesejahteraan dan dukungan publik.

Tapi apa betul? Hal yang tidak terjawab jelas adalah ketidakpastian masa depan bagi dunia yang terus melahirkan bonus demografi. Dunia terus melahirkan bayi-bayi yang kelak semakin terlibat dalam persaingan kerja makin ketat. Bayi-bayi itu kelak akan mendapatkan identitas ketika bekerja yaitu identitas buruh.

Dalam perspektif kewarganegaraan dan politik, mereka pun akan menjadi publik. Dalam perspektif kelas kita baru akan melihat ekosistem yang real. Piramida status sosial ekonomi makin lancip, dan generasi baru makin rentan kemiskinan. Jadi apa yang dimaksud dengan dukungan publik? Siapa publik yang dimaksud?

Bagaimana pun kita bekerja alias memburuh walau kadang majikan kita tidak pernah jelas. Di rumah, di kantor, di jalanan, di kendaraan umum. Mungkin dengan gadget masing-masing. Apa yang ada di kepala ketika membayangkan identitas diri? Sebagai bagian dari publik? Sebagai bagian dari buruh? Atau bagian dari yang lain? Apakah artikel “Selamat tinggal Proletariat” itu sebuah perpisahan bahagia? Atau sebuah firasat gelisah yang akan menjadi nyata?

Apakah kita atau Anda ini buruh?

Kita mulai dari Kelas Buruh. Kata buruh identik dengan orang yang bekerja di pabrik. Tetapi sebetulnya kelompok pekerja yang bekerja di perkantoran sebagai profesional, memiliki jenjang karier, asuransi, pensiun masih tatap masuk dalam kategori kelas buruh atau proletar. Sebab tetap ada kesamaan fundamental yaitu mereka tidak berada dalam posisi sangat mampu untuk memiliki alat-alat produksi.

Maka seorang ahli ekonomi Inggris Guy Standing  dalam buku The Precariat The New Dangerous Class (2011), ingin mempertajam kategori kelas dari sosiolog Karl Marx dengan menambahkan dua kategori kelas sesudah elite yaitu:  Salariat yang diisi oleh pekerja kantoran, pegawai negeri, Profician, atau para profesional seperti para teknisi dan tenaga ahli. Lalu baru kemudian kelas Proletariat dalam pengertian klasik analisis kelas Marx, dan ditutup oleh kelas prekariat. Sebuah kelas baru yang kabur sosoknya.

Salariat dan Profician, adalah klasifikasi buruh yang mungkin selamat dan berhasil negosiasi dengan kecerdasan kapitalisme. Namun bagaimana dengan Proletariat apalagi Prekariat?

Munculnya Kelas Prekariat

Siapakah mereka? Seiring peningkatan efisiensi produksi, semenjak akhir 1980-an neoliberalisme ekonomi menciptakan sistem fleksibel bagi bisnis untuk semakin ekspansif secara global. Pabrik dapat berdiri jauh di luar negeri asalnya untuk menekan ongkos produksi dengan mencari kawasan buruh murah dengan sistem kontrak jangka pendek dan tidak tetap. Kelas buruh di seluruh dunia terpengaruh. Kaum buruh pabrik atau proletar paling merasakan dampaknya karena segala kepastian hidup berangsur hilang. Namun keadaan makin parah ketika efisiensi produktivitas ini tidak menimbulkan  peningkatan kualitas ekonomi banyak orang. Inilah awal kondisi terbentuknya kelas prekariat.

Istilah buruh telah menjadi ikon yang dikenal internasional. Sebagai buruh, seseorang berada dalam kepastian identitas kelasnya. Mereka memiliki simbol bersama, serikat, jenjang karier, asuransi, jaminan pensiun, dan perlindungan hukum. Perpaduan itu membentuk kebudayaan buruh yang kita kenal sekarang. Tidak semua buruh di dunia bernasib sama, tapi kepastian hidup selalu ada dan dapat diperjuangkan sebagai hak-hak buruh.

Tidak ada kepastian dalam relasi kerja produksi prekariat. Seiring dengan kontrak kerja berjangka pendek, visi masa depan pun menjadi pendek. Mobilitas kerja cenderung semakin horizontal karena mereka akan mengerjakan pekerjaan yang kurang lebih sama di pabrik atau kantor yang baru dengan kontrak yang pendek juga. Mereka selalu jadi orang baru di kantor baru dengan pekerjaan yang sama, tidak punya jaringan pertemanan kuat untuk membangun kepercayaan (trust), tidak mendapat hak pensiun dan jaminan-jaminan lainnya. Kondisi hidup menjadi tidak pasti dan pekerjaan demi pekerjaan sifatnya datang dan pergi.

Formalitas hubungan kerja tidak mengikat antara buruh dan majikan itu dibungkus aneka bentuk istilah “penghiburan” misalnya: partner, freelancer  dan  part-time.  Termasuk bahwa mereka sering berada dalam kondisi in-between jobs, sebuah istilah yang terlalu diromantiskan untuk menyembunyikan kecemasan “kerja serabutan”. Prekariat itu mungkin kita atau Anda juga yang merasa sebagai kelas menengah berpendidikan, punya keterampilan, sarat pengalaman,  tapi berada dalam kondisi tidak menentu (precarious condition). Secara psikologis pekerjaannya repetitif, membosankan, tidak memberi kebebasan berpikir, walau dapat saja diberi judul hebat misal “creative division”.  Dalam banyak kasus pendapatannya tidak seberapa, beban kerja besar, dan tetap dituntut membawa etos kerja profesional. Antropolog David Graeber menyebut suatu jenis perkerjaan ini sebagai bullshit jobs. Sebab pekerjaan-pekerjaannya bukan saja membosankan tapi miskin value dan tidak penting bagi manusia yang seharusnya punya waktu luang untuk berbudaya.

Masalahnya, jika ingin membandingkan, kaum prekariat tidak memiliki “perangkat kebudayaan” untuk menghadapi tekanan kemiskinan struktural. Berbeda dengan kategori lumpenproletariat (orang miskin strata terbawah) seperti gelandangan yang memang dipaksa untuk berstrategi sosial,  dan adaptif  hidup “di luar struktur formal negara” secara turun-temurun.  Gelandangan tanpa dokumen formal apa pun, walau berada dalam  kondisi kemiskinan absolut, akan tetap punya daya lenting.  Mereka mengembangkan jaringan sosial antar mereka dalam fungsi pengolahan dan penguraian sampah sebagai contoh. Sesuatu  yang terasa menakjubkan dan banyak ditulis dalam etnografi tentang kebudayaan kemiskinan di kota-kota besar.

Formasi kelas prekariat adalah proses dan tidak absolut. Lebih tepat mereka adalah merupakan generasi yang perlahan-lahan turun kelas mengarah pada posisi kelas prekariat. Bisa jadi kategorinya cair menampung para salariat dan profician yang mengalami dampak putus hubungan kerja. Generasi orang tuanya adalah kelas buruh yang mapan atau para salariat yang  membayangkan anak-anak mereka juga mendapatkan kenyamanan kaum buruh dengan bekerja di perkantoran dan mendapatkan gaji tetap, serta aneka tunjangan. Sebuah angan-angan yang sulit diwujudkan oleh generasi berikutnya yaitu generasi muda sekarang yang kerja paruh waktu. Bukan karena malas, tapi persaingan keras. Lalu kemudian terjebak di kerja-kerja mekanis dalam sekrup industri yang tidak terlalu bermakna untuk hidup berkebudayaan.

Mobilitas turun kelas terjadi di mana-mana. Kita dapat melihat dari berubahnya pola pemukiman Jakarta sebagai ilustrasi. Bukankah keluarga-keluarga yang dulu mampu tinggal di pusat kota satu-persatu pindah ke wilayah sub-urban yang lebih murah karena tidak mampu?  Tercipta sebuah gap antara generasi. Anak-anak merasa kecewa dan gagal karena tidak dapat memenuhi keinginan orang tua, sementara generasi tua merasa generasi muda menjadi milenial manja dan tidak mampu kerja keras untuk sukses. Padahal kondisi ini akibat dampak bonus demografi, persaingan makin tinggi dan biaya hidup makin mahal. Surplus tenaga kerja yang tidak dibarengi struktur pendukung kesejahteraan.

Sebagai kelas sosial, prekariat dapat sampai pada titik nadir. Tidak seperti kelas buruh yang identitasnya lebih jelas, prekariat tidak memiliki solidaritas karena cenderung tidak terlihat, anonim, dan merasa sendirian sekalipun jumlah mereka banyak. Seperti kita umumnya, mereka juga mengonsumsi citra kesuksesan para influencer, youtuber, atau gemerlap kemewahan pesohor yang membuat marah dalam kesepian. Mereka juga aktif menciptakan meme lucu atau shit-posting sebagai kritik. Namun sampai titik mana orang dapat membuat humor menertawai diri sendiri sementara kesenjangan makin tampil vulgar dan hidup makin susah?

Prekariat merupakan Bahaya?

Dalam kondisi serba tidak menentu, kelas prekariat cenderung mudah untuk menghantam kelompok lain termasuk sesamanya misalnya kaum migran, etnis, tertentu, kelompok minoritas atau siapa saja. Saling tuduh-menuduh antara “cebong” dan “kadrun” adalah contoh konflik horizontal dalam kelas Prekariat.  Premanisme, radikalisme, ekstrimisme,  dan cara-cara kekerasan adalah buah dari kondisi kelas prekariat itu. Wajah prekariat dapat bertopeng religius, dapat pula nasionalis. Mereka pun mudah direkrut untuk tujuan politik praktis. 

Dalam kondisi sosial Indonesia sekarang, bisa jadi para prekariat  ada di mana-mana. Mudah marah. Mereka hadir sebagai kerumunan asing di tengah massa, tapi gagal dikenali. Maka negara menggunakan kategori bias dengan pendekatan keamanan untuk menuduhnya dengan istilah-istilah sarat stigma. Misalnya anarkis, kaum intoleran, anti kebangsaan, provokator, penunggang, oknum, dan sebagainya. Sementara untuk merespons, negara akan makin banyak membuat pelatihan-pelatihan untuk penguatan karakter kebangsaan, kebinekaan dan anjuran-anjuran moral sebagai upaya memadamkan api.

Saatnya menyadari bahwa kondisi pembentukan kelas prekariat merupakan dampak dari kebijakan Neo-liberalisme seperti Omnibus Law. Sebuah kekerasan struktural yang tidak memihak pada keselamatan dan keamanan kerja rakyat Indonesia yaitu kita sendiri.  Sebagian besarnya adalah buruh part-time penuh kegelisahan. Situasi bagai api dalam sekam. Selamat Hari Buruh sepantasnya selalu diucapkan dalam medan perjuangan.

Categories
essays Orba Resurrection Apocalypse

Tunda Demokrasi demi “Kehendak Rakyat”

Menteri Koordinator Bidang Maritim dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan mendesak pemilu harus ditunda dengan alasan bahwa pemerintah mendengar “big data suara rakyat”. Dua parpol yaitu PKB dan PSI pun bersuara senada melalui mekanisme amandemen konstitusi. Kabar terakhir datang dari Asosiasi Pemerintah Desa Indonesia, yang mendeklarasikan “Jokowi tiga periode”, walau kemudian dibantah oleh ketuanya yang merasa dicatut. Presiden berkali-kali merespons dengan diplomatis: “wacana penundaan pemilu tidak bisa dilarang sebab hal itu bagian dari demokrasi, namun kita harus tunduk dan patuh pada konstitusi.”

Pernyataan berulang Presiden Jokowi ini bersayap dan lemah karena menyampaikan banyak makna pesan. Makna pertama adalah normatif bahwa demokrasi menjaga kebebasan berpendapat. Makna kedua pragmatis yaitu demokrasi memiliki tombol on-off yang dapat ditekan bila perlu. Suara-suara sekitar presiden melahirkan makna ketiga yang substantif dan merangkum sekaligus kabur: “demokrasi dapat ditunda, dikurangi jika rakyat menginginkan demikian”. Hal ini tidak biasa mengingat karakter Jokowi yang terbukti mampu dan tegas memberhentikan menteri yang “tidak sesuai dengan visi-misi presiden”.

Apakah demokrasi dapat dikorbankan? Studi-studi antropologi pada masyarakat-masyarakat skala kecil beragam etnis sudah lama mengungkap bahwa demokrasi adalah esensi masyarakat yang universal dilakukan untuk keselamatan umum. Demokrasi bukan barang impor, Ia adalah bagian naluri sosial manusia. Walau berbeda-beda nama dan kompleksitasnya, namun tetap bertujuan substantif yaitu menjamin kekuasaan selalu dapat dikontrol dalam bekerja membela suara rakyat. Kompleksitas dan macam-macam penerapan demokrasi dari mulai kelompok kecil sampai masyarakat skala negara bangsa sesungguhnya dapat diukur. Parameternya adalah bekerjakah sistem check and balance, sejauh mana perlindungan publik, dan apakah partisipasi publik bersifat inklusif? Dengan tiga ukuran itu, demokrasi tidak dapat dijadikan alasan untuk membela pembangunan, memupuk laba, apalagi memperlama masa kekuasaan. Jadi bila ada pertanyaan apakah demokrasi dapat ditunda? Kita harus bertanya balik: Apakah kehendak rakyat dapat ditunda karena kehendak rakyat? Jawabannya adalah sangat tidak. Jika kita menjawab ya. Maka ada pemahaman yang salah dalam cara kita berdemokrasi.

Dalam antologi Demokrasi di Indonesia dari Stagnasi ke Regresi (2021), 16 peneliti menulis hasil risetnya dengan khawatir tentang praktik-praktik pemunduran kualitas demokrasi Indonesia semenjak masa pasca Reformasi ’98 sampai sekarang. Buku itu penting karena mengungkap bahwa mundurnya demokrasi dapat terjadi oleh sesuatu yang seolah-olah tampak demokratis, apalagi bagi mata rakyat biasa yang bukan ahli ilmu politik. Berikut adalah salah satu contoh: pada periode pertama pemerintahan Jokowi-Kalla di tahun 2014, Ia menghadapi kenyataan bahwa walaupun menang pemilu, kekuasaannya terancam oleh oposisi yang bergabung dalam Koalisi Merah Putih (pimpinan Prabowo) yang dominan di DPRD. Pemerintahan baru ini menghimpun partai-partai pendukung yang gagal berkuasa sehingga satu-persatu menyatakan masuk ke dalam koalisi lingkaran kekuatan lembaga eksekutif dengan dukungan hukum dengan nama Koalisi Indonesia Hebat. Lama kelamaan partai yang bergabung bertambah sehingga menjadi mayoritas di parlemen dengan nama Koalisi Pendukung Pemerintah (KP3). Di tahap ini terjadilah ‘penggelembungan kekuasaan eksekutif ‘ yang melampaui wewenang sekaligus pengempisan kekuatan oposisi di parlemen atau proses executive aggrandiszement (Power 2021) yang merusak mekanisme check and balance dalam demokrasi dengan tidak kentara karena dilindungi hukum.

Bisa jadi rakyat pemilih presiden—atau kita yang awam politik—sangat senang karena Jokowi menjadi “jagoan” yang kuat. Apa yang tidak disadari adalah presiden sebetulnya sebuah hanyalah institusi politik yang menjalankan pemerintahan. Jika lembaga tersebut terlalu kuat tanpa oposisi institusional maka institusi tersebut menjadi raksasa tunggal tanpa kendali. Thomas Power menulis dengan melindungi nama informannya, yaitu menjelang pemilu 2019, terjadi mobilisasi politik sampai ke daerah-daerah yang memaksa para kepala daerah untuk mendukung Jokowi-Ma’ruf untuk jabatan periode kedua dengan ancaman apabila menolak maka ada kemungkinan kasus-kasus korupsi yang dilakukannya akan dibongkar kejaksaan agung (ibid. hal. 401). Tentu saja banyak dari kita termasuk saya tidak menduga bahwa keadaan dapat separah ini. Namun hasil riset tadi memberi tanda bahaya bahwa terlepas korupsi meraja-lela, kejahatan itu dilakukan sebagai alat pemerasan untuk tujuan rekrutmen politik. Padahal suara oposisi tidak boleh ditempatkan pada situasi yang menekan menyulitkan dan mengancam dari birokrasi maupun aparat keamanan karena sifat oposisinya itu. Jadi, wacana penundaan pemilu dengan memobilisasi “suara kepala desa”, sebetulnya skenario yang dapat diramalkan. Tapi sesungguhnya apa yang sedang terjadi?

Dunia yang Semakin Sulit untuk Demokrasi Sehat

Konteks sosial ekonomi dunia memang memburuk secara global dan berdampak pada demokrasi. Polarisasi antara kelas kaya dan miskin semakin lebar. Orang miskin makin banyak sementara basis kelas menengah yang sebetulnya menjadi reaktor progresif untuk perubahan semakin menghilang. Kita mungkin tidak sadar bahwa semakin tidak relevan untuk memimpikan menyekolahkan anak-anak menjadi ilmuwan, aktivis, seniman, novelis, filsuf dalam keadaan serba darurat dan harga pendidikan yang makin mahal. Kita hanya ingin anak-anak kita lolos dari kemiskinan dan semoga cepat kerja, makmur secara ekonomi. Maka cita-cita untuk membentuk kelas menengah kritis berpendidikan tinggi yang sadar politik semakin jauh. Generasi baru semakin tercabut dari angan-angan untuk menjadi pembaharu. Mereka menjadi buruh industri paruh waktu yang bekerja keras demi sekadar hidup. Tidak ada waktu untuk berpikir melawan, dan kritis. Mungkin malah justru mereproduksi pikiran pikiran para elite kolot atau diam, atau sekadar clueless ikut arus.

Hal ini juga turut menjelaskan mengapa retorika-retorika konservatif khas elite seperti: kejayaan, kesalehan dan kemakmuran dalam bungkusan ide nasionalisme puritan dianggap lebih menarik daripada diskusi kritis soal demokratisasi politik yang sehat, cerdas dan beradab. Di satu sisi kondisi ini dapat menjadi tanah yang subur untuk semakin tumbuhnya populisme bahkan fasisme jahat di kemudian hari. Di sisi lain rakyat yang jadi korban merasa diselamatkan oleh sebuah ilusi psikologis tentang kestabilan ekonomi yang diciptakan sekelompok elite politik.

Apa yang dapat dilakukan oleh warganegara terutama ketika kelas menengahnya semakin tipis dan tidak kritis? Pertama, dengan tetap berteriak sekeras-kerasnya bahwa demokrasi memang tidak dapat ditunda. Kedua, kita sebagai rakyat biasa perlu belajar ilmu politik lebih keras lagi supaya mengerti bahwa presiden adalah suatu bentuk institusi politik yang diatur konstitusi yang kita hormati. Kita harus mengubah cara menilai dari “moral seorang pemimpin menuju moral kelembagaan”. Artinya presiden bukan orang sakti yang menentukan kegagalan atau keberhasilan pembangunan. Ia ada hanya karena kita memilihnya bersama-sama. Ia akan selalu dikawal oleh lembaga legislatif dan yudikatif yang kapabel. Ketika tugas itu berakhir, kita akan memilih lagi sesuai amanah konstitusi. Ketiga, untuk jangka panjang perlu pendidikan demokrasi dan proses demokratisasi yang fokus pada substansi (bukan prosedur teknis) yaitu mengapa kekuasaan dalam demokrasi harus terbatas, dikawal sehingga akuntabel, serta melibatkan partisipasi publik dengan spektrum yang luas.

Harapan selalu ada. Tampilnya kaum muda dalam partai politik adalah berita baik bagi demokrasi. Namun melihat mereka berpikir untuk dapat melakukan amandemen konstitusi untuk tujuan memperpanjang jabatan presiden adalah pendidikan buruk untuk demokrasi. Mungkin ini memperlihatkan wajah sesungguhnya dari situasi kepartaian kita yang berada dalam situasi ideologi sentris dan berkompromi pada status-quo oligarki. Partai-partai masih berupa sekumpulan orang berebut pengaruh dan belum mewakili spektrum ideologi, kelas, dan kultural masyarakat Indonesia dari “ujung kiri ke ujung kanan”. Jangan sampai wacana “Tiga Periode” menjadi awal munculnya kekuasaan absolut di masa depan. Maka mencegah pemilu diperlambat adalah langkah penting yang harus dilakukan sekarang juga.

Referensi:

Power, T & E Warburton (Ed.) Demokrasi di Indonesia dari Stagnasi ke Regresi. Jakarta: Yayasan Kurawal, 2021.

Categories
Orba Resurrection Apocalypse quicknotes

Demokrasi Indonesia dari Stagnasi ke Regresi

Ini bukan sebuah resensi. Melainkan sebuah anjuran untuk membaca. Buku Demokrasi Indonesia dan Stagnansi ke Regresi (Penyunting: Thomas Power dan Eve Warburton, 2021), memberikan berita buruk tentang kualitas demokrasi Indonesia yang telah sampai pada titik terendah semenjak Soeharto jatuh. Sebanyak 16 peneliti menulis rusaknya pilar-pilar demokrasi. Berikut hal-hal yang saya ingat dan susah lupa:

  • Terjadi penguatan lembaga eksekutif yang meniadakan kekuatan oposisi di parlemen. Lembaga eksekutif justru malah menghimpun partai-partai yang gagal berkuasa sehingga satu-persatu masuk ke dalam lingkaran kekuatan lembaga eksekutif. Artinya demokrasi bekerja tanpa kontrol oposisi.
  • Saya pun kaget. Pada periode kedua pemerintahan JKW, terjadi usaha-usaha penggiringan suara kepada kepala-kepala daerah di berbagai tempat di Indonesia dengan ancaman pidana korupsi jika ada penolakan. Melibatkan partai tertentu sebagai mesin dan bekerja sama dengan Kejaksaan Agung (hal. 401).
  • Terjadinya polarisasi politik sampai ke tingkat keluarga.
  • UU ITE yang membuat takut dan menekan kebebasan sipil berpendapat.
  • Adanya usaha menumbuhkan kepercayaan publik, bahwa kekuatan ekstrem Islam (termasuk Islam transnasional) adalah bahaya bagi demokrasi sehingga boleh dibubarkan. Padahal demokrasi sejati tidak boleh membubarkan ormas karena sudah ada penegak hukum yang akan menindak dengan pasal-pasal hukum.
  • Represi dan kriminalisasi kepada aktivis-aktivis kontra kebijakan pemerintah. Bahkan tidak ada tempat aman bagi aktivis-aktivis yang sudah besar dan diakui dalam gerakan sosial. Ini adalah fenomena berbahaya karena kita tidak dapat melupakan sejarah bahwa aktivisme adalah nenek moyang dari perubahan sosial.
  • Semakin banyaknya media oligarki yang bermain politik sehingga sulit menemukan pers independen.
  • Pemerintah lebih menggunakan pendengung dan algoritma media sosial untuk membentuk opini publik. Bukannya menggunakan ruang-ruang diskusi nyata.
  • Adanya usaha-usaha sistematik dan terang benderang untuk melemahkan KPK. Padahal KPK dibentuk karena penanganan hukum kasus korupsi sudah lemah.
  • Terjadi akselerasi penggunaan kekerasan di Papua baik fisik, verbal, dan simbolis. Adanya kriminalisasi terhadap perjuangan kelompok separatis. Dalam aturan internasional kelompok perjuangan kemerdekaan tidak dapat disebut sebagai kelompok kriminal bersenjata.
  • Terjadi Zero Sum Game dalam politik Indonesia yang meniadakan jalan tengah dengan membayangkan lawan politik sebagai kategori hewan yang harus dibasmi (“kadal gurun”).
  • Ada peningkatan ambang batas dari 2,5 persen di tahun 2009 menjadi 3,5 persen di 2014 dan 4 persen di 2019 sebagai syarat sebuah partai masuk parlemen. Bahkan untuk partai partai baru, threshold ini sangat ketat. Konsekuensinya partai partai politik sebetulnya tidak mewakili realitas politik para pemilih yang luas. Kaum progresif spektrum kiri dan muslim puritan tidak terwakili dan bergerak menjadi massa mengambang di luar parlemen.

Waduh!

Menyimpulkan hal di atas, terlihat bahwa masalah yang cukup berat terletak pada strategi politik kebudayaan negara Indonesia sendiri yang didesain untuk pragmatis dan berpihak pada kepentingan-kepentingan sempit atau partisan bahkan investasi. Kebudayaan politik Indonesia jauh dari diskusi publik yang berasal dari nilai-nilai ideologis partai-partai, tapi sangat dekat pada usaha-usaha personal untuk melanggengkan kekuatan dan kekuasaan.

Buku ini adalah kenyataan buruk. Ditulis dengan riset berhati-hati, beragam metode, dan menggunakan sumber dokumen publik serta wawancara (dengan melindungi kerahasiaan informan). Siapa yang seharusnya membaca? Harusnya Anda, sehingga bisa membantahnya dengan tulisan lain, atau menjadi mengerti betapa jauhnya jarak antara harapan dan kenyataan. Buat saya buku ini berguna memberikan validasi ilmiah dan benang-benang merah berbagai kondisi penurunan demokrasi yang saya alami. Saya melihat gambaran yang cukup lengkap sebagai bekal mensikapi pemilu mendatang.

Categories
essays

Konflik Wadas

Saat ini konflik keras antara pemerintah dan para petani Wadas sedang ditengahi dengan usaha-usaha dialog antar warga yang kontra pertambangan batu andesit dan aparat. Persoalan Konflik Wadas diharapkan selesai ketika luka trauma akibat kekerasan aparat terhadap warga terobati. Insiden ini mutlak dianggap sebagai kesalahan prosedural. Apa betul?

 Bagi golongan masyarakat agraris, tanah berfungsi sebagai penopang kehidupan utama. Dengan mengolah dan menanam di atasnya, mereka mendapatkan hasil agrikultur untuk dimakan atau dijual ke pasar sebagai cara memenuhi kebutuhan konsumsi. Memang selalu ada sumber pencaharian lain sampingan misalnya memelihara ternak,ikan atau menjual jasa tenaga sebagai buruh dan merantau musiman.  Signifikansi tanah diperlihatkan dari ekspresi-ekspresi kebudayaan pertanian mudah terlihat melalui ritual adat, cerita-cerita lisan, dan nyanyian-nyanyian yang menceritakan tentang kesuburan dan kehidupan berkelanjutan yang berpusat di pertanian.

Sejarah agraria Indonesia mencatat perlawanan-perlawanan keras ketika tanah-tanah pertanian yang merupakan milik komunal dialihkan kepemilikannya. Para petani yang menyerahkan tanah kepada pihak asing dianggap sama dengan menyerahkan nyawa mereka sendiri. Konflik agraria menjadi sangat tajam dan berdarah karena memang terkait dengan usaha-usaha petani menyelamatkan satu-satunya investasi yang menyambung nyawa. Cerita-cerita petani brutal yang mengamuk kemudian mengisi pembangunan kita dari masa ke masa.

Apa yang harusnya diganti rugi?

Narasi-narasi propaganda “anti komunisme” dalam kebudayaan populer diwarnai secara bias mengaitkan kebuasan petani ketika mereka menjadi kaum cerdas secara politik dan malawan ketidakadilan. Contohnya seperti adegan-adegan awal film Pengkhianatan G30S/PKI Arifin C. Noer tentang serombongan petani menyerang orang-orang di surau. Ada stigma politik yang memang dibangun sehingga ekspresi perlawanan petani dianggap sebagai kriminalitas tingkat gawat sehingga perlu rombongan polisi sampai ribuan seperti yang terjadi di Wadas sekarang.

Dampak peristiwa Wadas ini tidak saja menimbulkan reaksi pada kelompok-kelompok masyarakat sipil dalam gerakan sosial pro demokrasi yang menyuarakan penindasan, isu lingkungan, HAM, dan hak-hak sosial budaya, tetapi juga turut meresahkan kelompok-kelompok “non-gerakan” seperti komunitas ilmiah berbasis universitas, dan konsultan independen.  terutama di bidang sosial-konservasi. Mereka berusaha bekerja profesional mengikuti standar intrnasional yang tunduk pasda aturan HAM, sementara negara sendiri main paksa di depan mata.

Sesungguhnya yang lebih penting dari bujuk-membujuk adalah menggantikan kerugian yaitu dengan kompensasi. Itu pun hanya dapat dilakukan jika para petani bersedia. Tapi kesediaan itu sulit sekali datang karena tidak ada manusia bisnis yang rela dan mampu mengganti kehidupan yang hilang. Ganti rugi senilai harga tanah dianggap menyelesaikan kehilangan dengan adanya sejumlah uang yang dianggap menutupi kerugian-kerugian petani.

Namun demikian ganti rugi itu tidak akan pernah dianggap seimbang kerena adanya perbedaan makna tanah bagi petani dan bagi pengembang. Bagi para ekonom, nilai investasi tanah pertanian dapat diukur dengan sejumlah uang secara objektif.  Skema kompensasi yang paling “irit biaya” misalnya dengan mengganti biaya penanaman dan menaksir besaran hasil dari tanaman-tanaman yang berada di atasnya ditambah dengan nilai tanah itu sendiri, dan uang-uang lain untuk melupakan kesedihan akibat kehidupan yang terampas. Uang ganti rugi ini dianggap cukup untuk membeli waktu selama mencari mata pencaharian yang lain. Namun kemana kerugian petani dari akumulasi kerja berupa waktu dan tenaga yang hilang bertahun-tahun dalam mengelola dan akumulasi keuntungan dari hasil panen yang diproyeksikan akan hilang di masa depan?

Apa yang akan terjadi bagi kaum agraris ketika menerima sejumlah uang tunai? Mereka hanya cukup waktu untuk menghabiskan uang penghiburan tersebut untuk konsumsi, sementara dalam waktu yang terus berjalan, uang tersebut pun akan mengalami penyusutan karena inflasi dan kenaikan-kenaikan harga barang. Jurang kemiskinan menanti di depan mata.

 Cara yang lebih manusiawi lagi adalah mengukur penurunan kualitas lingkungan yang terjadi akibat proyek pembangunan misalnya dengan rusaknya sumber mata air, kotornya udara, buruknya pemandangan, dan kerentanan terhadap bencana alam sebagai kehidupan normal baru di masa depan. Kerusakan alam dan sosial ini harus dikalkulasi sebagai bagian dari ganti rugi. Tujuannya, kerusakan-kerusakan tersebut harus menjadi sangat minimal dampaknya jika tidak dapat tergantikan sama sekali. Baru kemudian menggantikan tanah garapan baik sawah, ladang, dan kebun sehingga penerima kompensasi tidak perlu mengganti gaya hidup bertani untuk bekerja di sektor lain yang persaingannya sangat tinggi, tidak dikuasai bagai meloloskan diri dari lubang jarum. Jika nilai labour yang hilang tidak dapat diganti, maka tanah garapan baru harus disediakan.

Para petani tidak perlu melakukan alih kerja dan alih kebudayaan sehingga kehilangan jati diri dari makna kerja sebagai petani. Kerja tani tidak dengan mudah diganti kerja-kerja lainnya. Apakah pemerintah  mau menempuh jalan ini? Misalnya membayar tenaga riset imparsial, menciptakan udara bersih, mencarikan lahan pertanian subut baru, atau menghitung-hitung bagi keuntungan yang adil dan berjangka panjang untuk petani dari keuntungan bisnisnya di tanah tersebut?

Apa yang sedang terjadi di Wadas dengan proyek pemerintah membangun bendungan dan pertambangan batu alam akan mendatangkan kerugian yang fatal bagi petani Wadas yang memang sudah hidup makmur dengan pertanian dan usaha perkebunannya. Hasil penelitian Walhi mengatakan bahwa tanah Wadas adalah “tanah surga” pertanian dengan hasil kayu keras dan tanaman perkebunan yang sangat menopang kehidupan ekonomi warga desa dengan hasil 8,5 milyar pertahun untuk komoditas pertanian dan 5.5 milyar per lima tahun untuk hasil kayu keras. Batu-batuan alam yang menjadi penyangga air tanah memengang peranan kunci. Perubahan bentang alam akan memperburuk atau mematikan apa yang tumbuh diatasnya.

Tapi seperti biasa, negara ini sudah matang pengalaman dengan perampasan ruang kehidupan sebagai pengorbanan suci warganegara bagi negaranya yang sedang giat membangun misalnya dari kasus Kedung Ombo tahun 1983. Perampasan tanah pertanian ini merupakan pengulangan lagu-lagu lama tentang kekerasan agraria di Indonesia. Dampak sosial yang sudah terjadi adalah munculnya kelas-kelas sosial baru dengan ciri-ciri miskin yang bekerja serabutan, kesulitan menabung, dan menyusun rencana jangka panjang. Mereka tidak dapat terserap ke dalam industri pabrik karena tidak ada tempat dan tidak ada pengalaman dan melahirkan generasi miskin di masa depan dengan segala kerentanan dan bahaya.

Maka itu perlawanan petani Wadas harus dilihat sebagai pelajaran terutama yang hidup di kota dan mencerna apapun dari media (juga dari sosmed dan buzzer). Orang kota yang makan dari supermarket, selalu punya jarak dengan petani. Padahal penderitaan orang kota juga sudah banyak, apalagi jika cuma buruh biasa. Mereka tergantung upah, berebut tunjangan, dibayar murah dan serba tidak pasti. Seharusnya orang kota punya rasa hormat bagi petani yang punya kedaulatan pangan walau cuma seorang petani. Membela harga diri petani sebetulnya mirip dengan membela diri kita sendiri yang sama-sama rentan di hadapan negara yang sangat kuat kuasanya.

Categories
essays

Pandemi dan Ekosistem Kultural

Kita di tengah ledakan pandemi Covid-19. Bagaimana melihatnya sebagai fenomena kultural?

Indonesia berada dalam posisi tertinggi dunia untuk jumlah kasus dan kematian baru karena Covid-19. Belum pernah berita kematian begitu banyak datang dari lingkaran pertemanan dekat bahkan saudara dalam waktu singkat seperti senapan mesin. Oksigen habis, IGD penuh, dokter, perawat, relawan berguguran, pasien bergelimpangan. Sosial media penuh teriakan minta tolong. Semua orang sedang menghindari mati sekitar tiga minggu ini. Dunia mencemaskan Indonesia sebagai episentrum Covid-19 saat ini. Tentu mereka bertanya mengapa negara ini begitu terlambat mengantisipasi dan membuat pilihan-pilihan salah? Ada beberapa faktor kultural yang membantu menjelaskan.

Absennya nilai budaya Risk Society

Kurang lebih 30 tahun lalu, sosiolog Jerman Ulrich Beck mengkhawatirkan bahwa ada suatu masa ketika semua pencapaian kehidupan modern yang identik dengan produksi, inovasi, dan teknologi akan menghantam seperti bumerang. Inilah ‘masa modern kedua’ (second modernity) ketika kegiatan produksi sehari-hari yang tadinya aman secara diam-diam memproduksi hal lain secara aktif tanpa disadari yaitu produksi risiko yang terus membesar. Beck memang menulis dalam konteks ledakan reaktor Chernobyl tahun 1986, tetapi tesisnya menjadi panutan dan relevan dalam studi-studi kritis tentang risiko peradaban sampai hari ini. Beck mengatakan bahwa jalan untuk selamat adalah adanya usaha untuk membangun iklim sosial yang disebut risk society atau model masyarakat yang memahami risiko skala katastrofe sebagai buah kemajuannya. Hal ini dilakukan melalui transparansi data melibatkan kerja sama antara politisi, penyelenggara negara, komunitas ilmuwan dan praktisi berbagai bidang dalam membangun kebijakan.

Dalam model risk society, surplus bisnis harus dialihkan untuk membiayai kesiapan penanganan risiko, dan bukan untuk ekspansi usaha. Dalam kondisi berubahnya ekosistem dan iklim sebagai konsekuensi kegiatan bisnis ekstraktif sumber daya alam, risk society seharusnya dianggap sebagai nilai budaya nasional. Diterjemahkan dalam tradisi riset dan kurikulum. Namun nilai budaya ini tidak dikenal di Indonesia sebagai sebuah negara yang membayar ongkos-ongkos politik dari kegiatan ekstraksi sumber daya alam. Justru kemudian Indonesia menjadi murid setia nilai-nilai ekonomi neoliberalisme yang minim memikirkan dampak-dampak jangka panjang terhadap kehidupan sosial dan alam.  

Tidak lampu peringatan yang menyala di negara ini ketika Wuhan melakukan lockdown dua tahun lalu. Tidak ada imajinasi kolektif di kalangan elite akan bahaya. Pemerintah berkelakar tentang virus ini. Padahal akses informasi terbuka. Banyak dokter-dokter yang menyempatkan diri menulis catatan-catatan dari rumah sakit masing-masing di seluruh dunia. Para ahli pun membuat ragam proyeksi tentang gelombang-gelombang melalui algoritma dan statistik yang mudah di-googling namun tidak dianggap sebuah prediksi ilmiah yang akan terjadi. Padahal film-film fiksi ilmiah sudah memperingatkan kita sejak lama. Film-film thriller tentang dunia distopia dan apokalips selalu bermula dari reaksi pemerintah yang lamban, memprioritaskan ekonomi, dan mengacuhkan peran ilmuwan.

Neoliberalisme Kesehatan

Prinsip Neoliberalisme percaya bahwa kinerja ekonomi menjadi sempurna ketika sektor-sektor publik yang dikuasai negara—dengan  alasan untuk kepentingan rakyat banyak—diserahkan pada swasta yang bersaing. Bisnis adalah bisnis dan jangan diberi rintangan atau beban. Banyak negara-negara kemudian mengalihkan tanggung-jawab sosial misalnya pelayanan kesehatan publik kepada swasta.  Ketika Covid-19 terlanjur meledak awal tahun 2020, negara-negara yang telah secara radikal memperbesar peran swasta berbayar di bidang pelayanan kesehatan cenderung untuk rentan terhadap menangani gelombang Covid-19.

Ketika sistem kesehatan rakyat dibayang-bayangi oleh dualisme pembiayaan antara negara dan swasta, maka terjadi standar ganda. Pelayanan negara yang murah atau gratis menjadi mundur kualitasnya. Orang yang tak mampu membayar jadi korban. Amerika Serikat, Inggris, Spanyol, Jerman, Italia lebih terpukul dibandingkan dengan negara-negara yang masih memiliki watak welfare state yang melayani semua orang tanpa pandang bulu misalnya Swedia, Finlandia, Norwegia. Sementara kesiapan Cina, Taiwan, Jepang, Cuba, Singapura, Selandia Baru sebagai negara-negara yang tidak asing dengan prinsip sosialisme relatif lebih responsif dan sigap.

Mudah dipahami meski nilai nasionalisme menjadi pakaian ritual harian, nafas Neoliberalisme terlanjur menduduki kabinet kita. Rakyat adalah beban kecuali mereka yang bayar. Tentu terjadi polemik karena bagaimana pun pada masa lalu konstitusi kita ditulis dengan semangat sosialisme. Polemik-polemik tentang vaksin berbayar menunjukkan pemerintahan yang bingung dan tidak kompak juga berakibat pada melambatnya penanganan pandemi. Jika pertumbuhan dan keselamatan ekonomi nasional harus berada di atas keselamatan rakyat, maka posisi rakyat adalah garda depan yang dikorbankan. Berakhir atau tidaknya wabah kemudian dianggap tergantung kepada kedisiplinan rakyat dalam melaksanakan protokol kesehatan sebagai jalan terakhir. Konsekuensinya UU Karantina Wilayah tidak akan pernah diaktifkan sekalipun itu sesuai konstitusi dan Pancasila.  Adalah sebuah tragedi bila kematian dianggap wajar sebagai sebuah statistik perhitungan skenario terburuk sebagai sebuah collateral damage sebagaimana operasi militer. Dalam polemik dan tarik-menarik kepentingan, kita akan kehilangan waktu dan momentum bertindak.

Neoliberalisme menghapus empati terhadap tragedi. Negara membandingkan angka kesembuhan dan angka kematian harian dengan menyimpulkan selisihnya sebagai berita baik lewat media. Propaganda ini bertujuan mengontrol kebenaran ilusif yaitu bahwa “kita-baik-baik saja”.  Virusnya tidak terlalu bahaya karena banyak yang sembuh. Usaha mengontrol kebenaran dengan terus menebarkan optimisme palsu tidak mempertimbangkan akibat psikologis dari matematika kejam dan minim empati untuk banyak keluarga yang kehilangan. Hal ini juga merupakan penghinaan terbuka terhadap tenaga kesehatan yang terus berguguran dan pasien yang sedang berebutan nafas. Apakah kita mau hidup dalam nilai ini?

Militansi hasil Algoritma Informasi

Mengenai informasi. Negara-negara underdog dengan internet lambat kemungkinan justru lebih bertahan. Jauh sebelum Covid-19, dunia sudah terjerembap dalam ketidakmampuan menghadapi risiko dari teknologi algoritma sosial media. Internet justru membuat manusia terkotak-kotak dalam ekstremnya opini politik hasil olahan kecerdasan buatan.  Merupakan pil pahit bahwa wabah ini subur dalam ekosistem favoritnya yaitu sifat suka meremehkan, sombong, egois, bebal, serakah, dan keras kepala yang dibentuk oleh opini-opini artifisial itu. Kita hidup dalam dunia yang berbahaya dan absurd ketika justru terbuai oleh hasrat-hasrat teknologi canggih tapi sekaligus menjadi tentara-tentara siber penyebar hoaks  yang diperbudak oleh gawai-gawai dan biaya sewa internet yang kita bayar sendiri. Filsuf Martin Heidegger sudah meramalkan bahaya dalam esai profetik tahun 1954 jauh sebelum adanya kecerdasan buatan yaitu jangan sekali-kali kita berpikir bahwa teknologi adalah instrumen yang membebaskan manusia. Teknologi punya kemampuan otonom untuk memerangkap manusia dan memaksanya bertindak sesuai logika teknologi itu. Persis dengan hari ini ketika teknologi sosial media justru melahirkan militansi yang galak misalnya gerakan anti-vaksin, teori konspirasi, anti-masker, nasionalis buta residu-residu pilpres dan sejenisnya.  

Categories
essays

Apa Hubungan NKCTH dan Human Rights?

Komentar terhadap tulisan Bung Usman Hamid. Baca disini

Saya nonton Nanti Kita Cerita tentang Hari Ini (NKCTH) di bioskop yang penuh penonton, duduk di baris belakang bersama istri. Hanya berbekal info: “katanya bagus”. Sisanya biar nasib yang membawa.

Bioskop adalah ekosistem dengan komponen pop corn, softdrinks, french fries menyatu dengan reaksi alami sekitar: gumam, tawa, bahkan jerit penonton. Buat saya nonton ke bioskop bertujuan untuk menikmati solidaritas sosial sementara sekaligus anonim dan menghibur. Proses nonton di bioskop adalah ritual. Saya bukan tipe penonton rewel analitis. Biasanya gampang dibikin nangis oleh film. Tapi ritual NKCTHI ini punya gangguan yang membuat saya mulai membahas hal-hal yang nggak ada untuk diada-adakan alias rewel . Jadinya seperti ini:

Gangguan pertama. Film Nanti Kita Cerita Tentang Hari Ini menggunakan teknik kilas balik yang baru saya sadari setelah 10 menit film ini main. Bisa jadi karena kilas baliknya keseringan, sampai saya pikir ada dua keluarga. Baiklah, sebuah keluarga yang tumbuh dengan masalah-masalah rumah tangga. Walau belum tahu, apa sih sebetulnya masalah keluarga ini.

Keluarga ini terdiri dari bapak, ibu, dan tiga anak yang tinggal serumah. Keluarga yang berusaha bahagia. Bapak adalah seorang pemarah, posesif, penuh aturan. Anak sulungnya yang bernama Angkasa kerja di dunia tata panggung hiburan. Anak keduanya Aurora adalah seniman yang sedang membina karir, anak ketiganya, Awan adalah arsitek yang baru mulai bekerja. Sosok ibu tidak dominan dan banyak diam. Film ini penuh adegan marah-marah di rumah karena tokoh ayah yang over-protective terhadap anak terutama anak bungsu. Sementara kondisi Jakarta tidak memungkinkan untuk sang kakak sulung harus jemput-jemput adik tepat waktu. Si anak tengah lebih banyak berdiam di rumah menyiapkan pameran perdananya. Adegan-adegan yang memperpanjang adalah Awan yang sedang dekat dengan cowok yang bekerja sebagai manajer band. Gambaran keluarga di kota besar yang normal bagaikan tetangga kita di sebelah rumah. Tidak ada ketagihan narkoba, dikejar debt collector, korban pelanggaran HAM, trauma kekerasan seksual, perselingkuhan, penyakit, cacat badan, cacat mental, dan lain-lain. Ayahnya biasa-biasa saja. Tidak terjerat kemiskinan. Karyawan kantor tipikal kelas menengah, punya rumah, ada istri, ada anak-anak sehat yang berprestasi. Sebagai anak-anak mereka rileks karena steril dari stigma sosial seksualitas LGBTQ, misalnya.

Gangguan kedua: Jadi itu masalahnya? Itulah anehnya. Di masa lalu Awan tidak lahir sendiri. Dia punya satu saudara kembar yang meninggal di RS persis setelah lahir. Kematian ini dirahasiakan kepada Aurora dan Awan. Hanya Angkasa dan tentu ibu yang tahu, tapi selalu dilarang buka mulut. Kematian itu membekas pada bapak sehingga jadi posesif dan pemarah. Bukankah Tuhan masih memberi satu anak sehat untuk dibawa pulang ke rumah? Apakah jadi masalah?

Keluarga selalu punya duka. Kematian karena alasan alami walau pedih, adalah duka yang sangat sosial. Sehingga kesedihan itu sebetulnya cepat disembuhkan oleh keluarga yang masih hidup, tetangga, dan perjalanan hidup dengan pengalaman baru. Selalu ada yang membasuh, sehingga kesedihan berubah menjadi rasa syukur kepada kehidupan dan rasa manis mengenang yang meninggal. Apalagi kembarannya Awan, belum cukup untuk meninggalkan duka mendalam. Bahkan dia belum pernah berinteraksi sosial dengan keluarganya. Kita tidak asing dengan keguguran, bukan?

Sebagai penonton generasi 80-an, saya masih latah mencari moral of the story dari sebuah film. Tokoh ayah menggambarkan seorang lelaki yang tidak pandai mensyukuri apa yang dipunyai. Banyak kisah gelap bertema keluarga yang layak film, tapi bukan ini. Kalau saja bayi yang meninggal itu bangkit gentayangan menuntut hak hidup, now we are talking.

Apa yang menyebabkan Usman Hamid menganggap film NKCTH sebagai pintu untuk memahami Human Rights Indonesia ? Atau saya yang ketiduran di bioskop?

Diskusi tentang HR bermuara pada pelanggaran-palanggaran hukum yang melibatkan aktor-aktor institusi negara (aparat) sebagai pelaku kejahatan terhadap rakyat. Ketika negara menjadi aktor kejahatan terhadap rakyat, kejahatan itu dilindungi oleh undang-undang, ideologi negara, diperkuat dengan persenjataan negara, dan sejumlah kapital untuk memudahkan aksi-aksi menjadi sistemis, terorganisir. Bahkan kuasa negara memungkinkan untuk membuat sebuah kejahatan yang bersamaan dengan jalannya waktu tanpa pengusutan, dianggap menjadi normalitas hidup. Posisi korban selamanya menjadi korban yang bersalah, sementara posisi pelaku ongkang-ongkang kaki hidup aman. Setidaknya inilah sisi tergelap dalam kasus pelanggaran HR Indonesia tahun 1965.

Angkasa dan Bapaknya tidak terkait dengan histori pelanggaran human rights Indonesia. Mungkin mereka menjadi massa mengambang yang bingung walau tidak digelisahkan oleh issue tersebut.

Ingin kabur dari bioskop, tapi susah karena duduk terlalu belakang dan penonton ekstra penuh. Mereka menikmati dan memuji. Saya teralienasi sambil tendang-tendang kaki istri.

Categories
Orba Resurrection Apocalypse Uncategorized

Golput disambut pelukan mesra Orba

Saya membaca artikel Ariel Heryanto Setengah Abad Golput
(Tempo, 10 Februari 2019). Bagus, dengan bahasa lugas. Tulisan Ariel Heryanto ini menjadi “demotivator” yang baik. Juga karena kita mudah bosan dengan para motivator, kan.

Ada tiga hal penting yang saya temukan di tulisan itu. Pertama: sejarah mengapa Golput itu ada sejak 1971 sebagai gerakan politik aktif melawan Orde Baru yang memang nggak butuh pemilu. Negara berkembang memang cenderung tinggi partisipasi politiknya karena orang dipaksa voting. Sebaliknya di negara demokratis yang maju justru punya kecenderungan trend partisipasi politik yang rendah. Saya jadi ingat, di masa Orba, mahasiswa yang mampu menganalisis seperti di atas sudah dianggap kritis oleh dosennya. Sebab di masa itu, jika Golkar unggul tapi di bawah 80 persen, artinya para birokrat partai pucat-pasi. Apalagi kalau ada presentase orang yang nggak memilih. Oh, ya. Golkar memang aneh, bahkan di buku teks kuliah Pengantar Ilmu Politik (buku warna biru itu, lho) dari Prof. Miriam Budiardjo dikatakan: “Golkar bukan partai politik, tapi menjalankan fungsi-fungsi partai politik“.

Kedua, tahun 1998 tidak ada revolusi, yang ada adalah Reformasi. Gerakan ganti baju sementara orang-orangnya masih dia-dia juga. Walau sekarang susah untuk naik jadi RI 1 atau RI 2, “kerajaan-kerajaan” para aktor di bawah posisi itu masih langgeng. Walhasil, partai-partai baru di masa reformasi lebih banyak didominasi baju-baju baru yang dikenakan para kutu loncat berslogan anti Orba, tanpa “ideologi anti Orde Baru”. Isu-isu publik seperti kesejahteraan umum, kerusakan ekologis, korupsi, penyelesaian HAM masa lalu, tidak menjadi perhatian sungguh-sungguh di parlemen. Wakil-wakil rakyat itu sibuk oleh isu-isu overkill atau subyek-subyek persoalan yang dilebih-lebihkan secara sengaja supaya terdengar sangat gawat. Padahal isu-isu itu tak ada dalam rencana-rencana kerja. Apa yang dianggap penting: isu ancaman terhadap kehidupan beragama (kriminalisasi ulama), bahaya kebangkitan PKI, ancaman asing, orientasi seks menyimpang, dan pamer-pamer siapa yang paling nasionalis. Tuduhan-tuduhan dan diskusi panas jamak berlangsung di medsos. Seakan-akan politisi itu pada nggak ngantor. Semuaya sibuk serang-tangkis mencari simpati menjelang pilpres. Maka menurut Ariel Heryanto (atau menurut saya yang membaca beliau), rakyat Indonesia mengalami frustasi besar. Orba belum mati-mati.

Ketiga, adanya Golput “baru”. Golput zaman Soeharto adalah statement politik terhadap demokrasi yang senyap kritik. Masa itu Orba menciptakan massa mengambang dengan mencabut semua ekspresi politik dalam kegiatan-kegiatan publik termasuk kampus, kantor, birokrasi. Hari ini Golput “baru” hadir karena bising. Demokrasi televisi tampil dengan drama thriller mendekati horror yang menyalak di setiap saluran TV. Sebagaimana pun nyaringnya pemerintah menceritakan keberhasilan pembangunan infrastruktur dan ekonomi, suaranya selalu kalah besar oleh berisiknya para politisi oposisi. Mereka yang dulu disebut massa mengambang, kini pemirsa terpapar yang timbul tenggelam dalam badai emosi.

Melihat siapa para Golput “baru”. Menurut jejak pendapat surat-surat kabar, generasi muda “milenial” tidak terlalu suka model komunikasi politik yang menggurui, dogmatis, dan menyuruh-nyuruh. Mereka tidak tertarik dengan cara para orang tua meramaikan politik dengan festival, deklarasi, dan kegiatan publik yang menggunakan tubuh. Namun mereka tetap menggugat sesuatu. Setidaknya generasi orangtuanya yang terlihat primitif, cemas, dan arogan. Mereka yang suka melabel-label seenaknya orang-orang muda sebagai: “generasi mecin“, generasi milenial,gamers, malas turun ke jalan untuk protes politik.Dihubungkan dengan keadaan ekonomi yang relatif datar-datar saja: mengalami hidup nyaman dengan harga barang konsumsi terjangkau dan stabil.

Tentu “millenial” punya pertimbangan sendiri untuk memilih posisinya di pilpres nanti. Mereka adalah 14 juta suara yang mendengar Orba dari cerita. Mereka yang entah kangen Orba atau alergi terhadapnya lebih berbekal referensi cerita nostalgia orangtuanya daripada pengalaman aktual. Mereka yang dibentuk opininya oleh algoritma medsos yang selalu mengarahkan pada hal-hal yang trending. Survey CSIS 2017 mengatakan bahwa generasi “milenial” (mereka berusia 17-24 tahun pada tahun 2017) dan “non-milenial” (diatas 24 tahun), sebetulnya tidak terlalu jauh berbeda. Keduanya optimis melihat masa depan, rajin menonton televisi, cenderung memilih partai politik pemain lama, dan perilaku keagamaannya sama-sama konservatif. Selera dalam pemilihan kandidat presiden pun tidak jauh berbeda. Namun dalam survey lain, ditemukan juga pola skeptis terhadap institusi atau branding. Kelihatannya “milenial” tidak mudah menjadi fanatik untuk satu hal. Maka mengatakan bahwa “milenial” cenderung akan menjadi golput bisa jadi berlebihan. Beda milenial dan non-milenial hanyalah karena mereka masih muda dan tidak mudah percaya. Tapi mereka punya skill mencari data dan melakukan verifikasi lebih baik dan sigap terhadap kebenaran-kebenaran dibalik sebuah berita. Apalagi jika berita tersebut bersifat sensasional. Bukankah yang rajin mengirim ulang segala macam berita adalah orang-orang tua yang dulunya biasa dengan kehidupan analog?

Ada pula karakter golongan sempalan “Post-Orba” yang merupakan “veteran golputers“. Mereka menyatakan anti Orba, punya pengalaman Reformasi ’98, tapi tetap memilih menjadi golput di masa pemerintahan Jokowi. Katanya bahwa pemerintah sekarang dengan komposisi aktor oligarkinya masih merupakan wajah buram dari pemerintahan Orde Baru. Mereka pun sadar sepenuhnya tentang hal sipil politik warganegara untuk menjadi golput. Pemerintahan dianggap perpanjangan sistem korup lama. Jenderal-jenderal yang itu-itu saja masih hilir mudik dalam kabinet aktif. Pemerintahan belum berhasil membuka telanjang persoalan HAM. Semua persoalan dan keberhasilan atau pun kelambatan mereka tinjau dari parameter HAM. Kelompok “intelektual idealis” ini masih satu generasi dengan kelompok “intelektual realistis” 1998 yang juga kecewa, tapi masih bisa memberi apresiasi terhadap kinerja pemerintahan sekarang. Bagaimana pun juga banyak kebaikan dibuat dan tidak semuanya harus ditinjau dari kacamata HAM. Para realis memilih tidak golput.

Di atas semua itu, Orba masih kuat secara kultural dan adaptif. Bahkan Jokowi yang sama sekali tidak punya hubungan kekerabatan darah maupun sosial dengan “keluarga Orba” pun harus berstrategi dengan melibatkan wajah-wajah Orba dalam lingkaran terdalam kepresidenannya yang bagai dililit gurita. Kuatnya Orba berbuah reaksi  skeptis para veteran golputers. Mereka yang selalu bertanya: “ngapain sih, Jokowi deket-deket jendral Anu, Anu? Bakal kabur pemilihnya nanti!” Orba masa kini adaptif menggunakan simbol-simbol utama yang masih bisa dipakai dan efektif yaitu penguatan politisasi sektarian. Kendaraan yang ampuh untuk menyapu rintangan apa saja terhadap perubahan progresif. Dengan baju agama, metodenya masih resep sama yaitu menggunakan ketakutan-ketakutan dan ancaman untuk menciptakan solidaritas terhadap kebertahanan status-quo. Tidak mudah untuk melepaskan diri dari gurita tersebut.

Sekarang saya ingin meloncat. Saya pakai kata “kultural” karena teringat Antonio Gramsci yang selalu mengkritik gerakan sosial revolusioner sebagai angan-angan yang tak pernah terwujud dan bagaimana revolusi fisik selalu kemungkinan besar gagal. Kegagalan itu disebabkan setiap rezim yang mapan selalu tahan banting. Mereka melakukan hegemoni kultural atau membangun cara-cara berpikir massal yang masuk akal, melibatkan nilai-nilai kebangsaan yang sakral, dan menciptakan musuh-musuh bersama. Bahan bangunan yang digunakan adalah fondasi sejarah yang disusun sedemikian rupa untuk menjelaskan wajah rakyatnya. Hegemoni adalah wajah populer, pelukan mesra, sekaligus sebuah jaket anti peluru yang sulit tembus.

Maka perlawanan terhadapnya tidak pernah terlalu mudah. Strategi counter hegemony yang efektif harus menggunakan elemen-elemen kultural yang sama untuk mengambil hati rakyat. Dalam konteks Indonesia maka wajar sekali Jokowi harus menggunakan semua senjata. Tapi bagaimana kalau musuhnya kebal peluru? Dia masih bisa menembak dengan peluru good governance, menangkap sebanyak mungkin koruptor yang bisa ditangkap tapi merelakan yang benar-benar besar untuk lolos. Perlawanan terhadap korupsi disukai rakyat sebagai cara melawan Orba karena punya legitimasi kuat secara internasional dan telah menjadi barometer global. Tapi diluar ususan itu, jaket anti peluru masih tebal. Prabowo tentu paham itu. Jokowi memang bisa bersikap adil terhadap pelanggaran-pelanggaran hukum dengan membiarkan mekanisme hukum berjalan. Tapi tidak untuk membatalkan produk undang-undang jahat buatan Orba (TAP MPR XXV/1966), atau intervensi terhadap gejala penguatan sektarian dalam penyusunan perundang-undangan. Jika ia melakukannya maka usaha perlawanan nya berumur pendek, tidak sesuai kebudayaan nasional kita dan rakyat akan menolak. Juga sudah menjadi kebudayaan nasional Indonesia bahwa perubahan hanya dilakukan oleh pemerintahan dan bukan desakan-desakan kolektif berupa gerakan sosial yang teratur. Selagi HAM belum menjadi agenda rakyat melainkan hanya milik NGO, maka waktu yang diperlukan masih sangat panjang. Dalam kacamata idealis seorang human rights defender, tentunya insiden berdarah melibatkan aparat, atau penahanan tanpa pengadilan di Papua, lebih penting sebagai pertimbangan memilih (atau Golput) daripada usaha pemerintah untuk membangun infrastruktur demi cita-cita keadilan sosial.

Di sisi lain tentunya Orba melawan balik dengan jurus-jurus yang dipahaminya: yaitu manipulasi. Selagi rakyat masih rentan dalam membedakan dengan jelas antara politisasi dan ibadah, maka agama merupakan jaket kuat untuk Orba berlindung dan menyerang. Serang-menyerang menggunakan “logika kultural” yang sama akan terus dilakukan demi meraih simpati. Masih akan panjang membangun hegemoni tandingan itu. Kesadaran hak sipil politik itu penting sekali, oleh karena itu gunakan secara baik. Sebaik-baiknya adalah untuk menyerang yang jahat. Jika dulu jadi Golput dilarang Orba maka hari ini jadi Golput diketawain Orba.

Artikel Prof. Ariel ini bagus banget untuk menjadi referensi, tapi ditulis dari jauh. Dengan mengandalkan pada teks-teks pertarungan yang sedang terjadi sebagai analisis cultural studies, menurut saya belum menangkap kegelisahan dan keresahan orang Indonesia yang sedang emosional meraih harapan akan Indonesia. Dengan segala tarik menarik antara hal hal ilusif seperti nasionalisme, subsidi dan kebutuhan nyata tentang fasilitas-fasilitas kesejahteraan rakyat yang butuh kecerdasan manajerial. Belum menggambarkan tentang bagaimana berat hati untuk memilih seorang pemimpin dalam peperangan wacana yang melukai banyak orang ketika ketaatan beragama dan kerukunan keluarga menjadi taruhannya.

Jakarta 14 Februari 2019

Categories
essays

Kerentanan akibat Larangan Bakar Lahan *)

Menghadapi larangan bakar lahan, para peladang mengalami kerentanan pangan. Stigma terhadap peladang adalah dampak produksi pengetahuan agrikultur modern yang tak berdasar.

Bagi petani ladang, tahun ini seharusnya padi sudah tumbuh untuk dipanen pada bulan Maret. Tetapi dengan adanya larangan pembakaran lahan, petani ladang di tidak lagi dapat melakukannya. Berdasarkan Inpres No. 11 tahun 2015, setiap kegiatan pengolahan ladang dan hutan tidak diperbolehkan untuk menggunakan api dengan alasan apa pun. Sejak 2016, perladangan di banyak tempat berhenti. Penegakkan aturan pun berlangsung dengan tegas. Pemerintah menyerahkan tanggung jawab kepada perusahaan-perusahaan perkebunan sawit untuk selalu waspada akan bahaya api. Jika ada yang membakar ladang, maka perusahaan dianggap bersalah. Para peladang pun sudah tahu bahwa di langit ada satelit penangkap panas yang senantiasa mengawasi. Cerita bahwa petugas akan segera datang meringkus peladang bertiup dari mulut ke mulut. Di satu sisi, Indonesia mematuhi tekanan internasional untuk turut menjaga kebersihan udara. Di sisi lain, kebijakan ini membuat petani perladangan berpindah putus asa. Peladang mengalami kerentanan hidup.

Kini kami berladang di warung

Masyarakat peladang berpindah  (swidden agriculture peasant) di Kalimantan secara umum merasakan dampak yang sangat besar akibat berhentinya aktivitas ladang. Dengan tidak berjalannya kegiatan perladangan, maka bukan hanya beras yang harus dibeli tetapi juga seluruh jenis tanaman pangan lain yang ditanam dalam area ladang mereka. Seperti pengakuan peladang di Kecamatan Kendawangan, Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat, ketika membakar lahan masih diperbolehkan, maka tiap keluarga minimal dapat makan beras selama enam bulan atau lebih sedikit. Termasuk makan sayur sepanjang tahun tanpa membeli. Dalam keadaan cuaca bagus bahkan mereka dapat makan satu tahun dan masih ada sisa untuk dijual untuk belanja. Luas lahan sebesar dua hektar sudah cukup untuk menjamin hidup satu keluarga. Bahkan ketika pembakaran selesai, biasanya jumlah ikan haruan atau gabus meningkat di sungai sehingga warga mudah memperoleh protein. Kini, berhutang di warung menjadi kebiasaan baru. Warga sambil setengah berseloroh mengatakan: “kini kami berladang di warung”.

Namun untuk berladang tanpa api, masalahnya tidak sederhana. Tahap pertama adalah membersihkan semak belukar dan rumput-rumput tinggi. Tanpa menggunakan api maka rumput ilalang harus diracun supaya mati. Lalu ditebas dengan jumlah tenaga kerja yang besar untuk mencapai luasan maksimal hektar. Tanpa api efektivitas pengolahan ladang menurun sampai 75 persen. Lalu tanah harus diberi pupuk dan dikurangi kadar asamnya secara kimiawi. Proses ini mengharuskan peladang membeli. Jadi kalaupun membuka ladang, artinya sangat memaksakan diri. Ingin dibuat besar tidak ada modal, tetapi jika dibuat kecil risikonya terlalu besar. Dalam keadaan ideal, pada luas tanah satu hektar, maka hasil padi mencapai 1000 gantang  (1,5 ton).  Namun membuka sebesar satu hektar untuk ditanami padi hanya mungkin dapat tercapai dengan teknik pembakaran ladang. Dalam tiap musim tanam seharusnya setiap orang dalam lahan masing-masing harus menanam padi, tidak boleh ada yang tidak ikut. Semakin luas areal yang ditanam maka konsentrasi serangan hama menjadi terbagi dan tidak terlalu fokus merusak pada satu lokasi.  Sebetulnya dalam keadaan normal, serangan hama itu selalu ada tapi tidak mengganggu. Petani menganggap biarkan jatah mereka sebagai sama-sama ciptaan Tuhan sebagai hak hidup yang perlu dijaga. Hama baru dirasakan berbahaya ketika jumlah luas lahan yang ditanami mengecil sementara hama sangat banyak. Mengecilnya luasan lahan disebabkan karena banyak petani yang tidak lagi mampu membuka lahan karena tidak boleh membakar. Jadi menurut petani, ada korelasi antara larangan bakar dan meningkatnya jumlah serangan hama dalam luasan garapan yang kemudian sangat mengecil. Keputusan rasional adalah berhenti. Seorang nenek yang masih ngotot berladang mengemukakan alasan: “kalau saya berhenti tanam, maka apa lagi yang dapat saya sedekahkan pada orang yang lapar?”

Peladang Korban Politik Pertanian

Dari etnografi tentang sistem pertanian ladang berpindah Kalimantan, pembakaran lahan dilakukan hanya sebentar dan tidak luas. Para peladang hanya membakar seperlunya dalam waktu cepat di atas kawasan tanah mineral dan bukan di kawasan gambut yang tidak subur itu. Namun, Inpres yang digunakan sebagai landasan larangan membakar tidak membedakan antara api yang berada di kawasan gambut dan api yang berada di kawasan tanah mineral yaitu tanah warga untuk berladang. Petani menjadi korban dari dua hal. Pertama, korban stigma dari modernisasi pertanian 1960-an. Sawah dianggap solusi final yang produktif hanya karena produktivitasnya tinggi, bergandengan dengan kapitalisme tani (pabrik pupuk, pabrik racun hama), dan nyaman nyaman dipandang karena cocok dengan visualisasi eksotis tentang kemakmuran pangan. Sementara ladang terlihat berantakan, hasilnya lebih sedikit, dan sulit diukur karena bergandengan dengan komoditas tanaman lain. Kedua, korban dari politik kapitalisme pertanian. Korporasi sawit yang mendatangkan keuntungan besar bagi negara dianggap menjadi prioritas. Alih-alih menjaga kualitas udara, larangan bakar bagi peladang tradisional lebih ditujukan untuk menyelamatkan perkebunan sawit dari tuduhan merusak lingkungan. Sementara petani ladang yang dikorbankan. Tidak pernah dipikirkan bahwa kontribusi emisi karbon ke udara dari pembakaran lahan skala dua hektar yang berlangsung selama dua jam dalam setahun terlalu kecil dibandingkan dengan  besarnya jasa peladang dalam menjaga hutan-hutan di sekitar ladangnya.

Hingga saat ini, pemerintah belum memberikan solusi bagi penyelamatan hak-hak hidup petani ladang di atas tanahnya sendiri. Keadaan ini dapat sangat berbahaya karena ketika tidak ada sumber penghidupan dari ladang, tekanan petani yang lapar untuk merambah hutan menjadi lebih besar. Sementara presiden bermaksud menolong rakyat dengan membagi-bagikan sertifikat tanah demi keadilan agraria, di belahan lain terdapat kaum petani pemilik tanah yang tercabut dari tradisi bertani. Jika solusi memang tidak ada, maka sebaik-baiknya negara adalah mengembalikan hak-hak peladang dengan memberikan fasilitasi terkoordinasi dengan perusahaan perkebunan untuk menciptakan sistem pembakaran lahan yang aman dari bahaya kebakaran hutan.

*) Dimuat di Kompas 29 Maret 2018. Tautan di Kompas klik di sini

Baca juga: Ruang Hidup yang Menciut

Categories
essays

Pribumi bukan Pujian

Memahami Pribumi dalam pidato Anies Baswedan

Kata “pribumi” dalam diskusi publik dan akademik dianggap bermasalah. Pribumi yang mana dalam bayangan Anies?

Antropologi sebagai disiplin ilmu manusia dan kebudayaan pernah sangat berdosa terhadap kemanusiaan. Pada awal abad ke 19, institusi antropologi di Eropa membuat label “primitif” dan “pribumi” untuk mencatat kehidupan manusia non-Eropa. Asumsi tentang primitif dibangun dengan spekulatif akibat kurangnya data yaitu: manusia paling sempurna adalah ras Eropa karena kebudayaannya paling kompleks. Mereka paling kompleks karena kebudayaannya paling sempurna. Kesombongan tautologis ini pernah menjadi perspektif ilmiah yang mapan . Tulisan “ilmiah” antropologis ini digunakan penguasa kolonial untuk menggolong-golongkan kelompok masyarakat di kawasan kolonial dalam piramida berbasis stratifikasi sosial dan kelas ekonomi.

Kelompok Eropa menduduki piramida tertinggi sebagai bangsa yang merasa berkebudayaan sempurna yang berhak menguasai dunia. Di lapisan kedua duduklah “bangsa-bangsa Asia yang aneh” atau dikenal sebagai “Timur Asing”. Belanda menyebut mereka Vreemde Oosterlingen. Dikategorikan “aneh” karena memiliki kebudayaan kompleks, tapi bukan Eropa seperti Arab, Cina, dan India.

“Timur Asing” berperan sebagai kongsi dagang dan berguna bagi kolonialisme. Mereka punya orientasi dagang, punya riwayat migrasi transnasional, paham navigasi, dan berpendidikan. Pokoknya mewakili gambaran “kelas menengah atas” yang fungsional terhadap kolonial. Sementara, “pribumi” baru punya nilai guna ketika mereka jadi buruh bagi usaha agrikultur kolonial. Pemisahan “pribumi” dan “Timur Asing” penting untuk membatasi pergaulan antara kelas kaya yang pandai dan kelas miskin yang memiliki akses terhadap tanah paling luas. Di tengan tengah derasnya arus pemikiran tentang nasionalisme, solidaritas antara kedua tipologi tadi dapat jadi persekutuan berbahaya.

Pada masa pasca-kolonial, Antropologi merasa perlu meminta maaf sebesar-besarnya dalam tiap buku-buku pengantar antropologi yang terbit kemudian. Minimal ada satu bab yang menjelaskan pada mahasiswa baru bahwa konsep pribumi mengandung masalah dan digantikan dengan term analisis yang lebih netral politik yaitu “masyarakat tribal”, “indigenous people“, dan “kelompok etnis” . Atau untuk keperluan advokatif  dan studi hukum adat digunakanlah “masyarakat adat” dan “masyarakat hukum adat”. Bahkan kini terbit banyak buku otokritik yang khusus bertopik dampak kolonialisme terhadap teori-teori sosial bagi mahasiswa tingkat lanjut. Dunia membutuhkan alat analisis untuk mengerti problem kebudayaan secara mendalam secara otonom, tanpa harus mengukur dan membandingkan dengan model kebudayan Eropa.

Pribumi yang mana?

Ketika Anies Baswedan menggunakan konsep “pribumi” sebagai kelompok yang harus bangkit dalam pidato pengukuhannya, timbul pertanyaan. Siapa yang dibayangkannya sebagai pribumi yang akan bangkit?  Kemungkinan pertama, mengacu pada konteks kolonialisme Belanda dalam pidato itu, demografi kolonial minim data etnografis adalah referensinya. Artinya “pribumi” adalah siapa pun yang dibayangkan sebagai “penduduk asli” Jakarta dalam lapisan terbawah piramida sosial-ekonomi penduduk. Mereka adalah petani dengan ladang-ladang yang hidupnya tergantung pada tanah garapan. Kategori Cina, Arab, dan India  sebagai “Timur Asing” tidak menjadi bagian dari kebangkitan itu.

Kemungkinan kedua. Studi John Furnivall pada tahun 1948 melaporkan demografi kolonial di Jakarta dengan lebih etnografis dan ilmiah. Menurutnya, penduduk “pribumi” Jakarta adalah kumpulan migran dari pulau-pulau lain di Indonesia yang terkotak-kotak dalam kampung-kampung berbasis etnis buatan Belanda. Mereka hidup dalam suasana majemuk tetapi sekaligus hanya berbaur dengan etnisnya sendiri. Saat ini sisa partisi etnis Jakarta hanya tinggal nama-nama kampung dalam wilayah perkotaan seperti Kampung Bali, Kampung Ambon, Manggarai, dan Kampung Makassar. Belum lagi keturunan Portugis di Kampung Tugu yang beragama Kristen. Kalau ini yang dimaksud “pribumi”, maka komposisinya pada awal Indonesia merdeka sudah jauh daripada keaslian.

Kemungkinan ketiga. Sebagai seorang akademisi yang pandai, seorang Anies Baswedan tidak mungkin menggunakan realitas kolonial di atas sebagai referensi pidatonya kecuali sebagai metafor untuk maksud-maksud lain. Berkaca dari masa lalu, pasca peristiwa ’65, negara membangun makna jauh lebih sempit untuk kata “pribumi”. Imajinasi tentang pribumi adalah seluruh etnis yang ada di Indonesia kecuali warga keturunan Tionghoa.  Studi antropologi tentang etnis Tionghoa di masa Orde Baru banyak bercerita bahwa kata “Cina” sendiri baru memiliki makna ambigu sebagai objek kebencian ketika Orde Baru menjadikannya sasaran tembak kasus ’65. Berbagai pilar kebudayaan Tionghoa seperti festival, aksara, dan bahasa pernah dilarang muncul di ruang publik. Kerusuhan ’98 pun tetap menyasar warga negara Indonesia keturunan Tionghoa ini. Kini “pribumi” sudah dihapus total dari kosakata kenegaraan sejak 1998 secara resmi. Kata pribumi bukanlah puji-pujian. Lagipula sudah ada istilah modern tentang kebangsaan dan kewarganegaraan yaitu “rakyat” dan “warga”. Mengapa kata itu tidak digunakan untuk kebangkitan? Kata “pribumi” otomatis menyasar kelompok tertentu, atau membangkitkan sentimen kelompok tertentu.  Hal ini jauh dari job description seorang gubernur.

Boleh saja Anies Baswedan menjelaskan maksud pidatonya di media sosial, sehingga warga Jakarta tidak cemas. Tapi saya tetap waspada terhadap penjelasannya yang datar. Proses membaca dan mendengarkan pidato dan membaca naskah melibatkan juga pemaknaan aktif terhadap hal-hal yang tidak dikatakan atau dituliskan. Pendengar mampu membaca pesan di antara barisan kata dan mendengar apa yang tak terucap. Apakah ini sebuah pesan untuk 2019? Kekuatan dari pidato adalah kemampuannya untuk hadir sebagai narasi yang menyampaikan gagasan sekaligus menyembunyikannya. Saat ini warga Jakarta hanya butuh dilindungi dan dirawat dengan transparan oleh gubernur yang baik. Tapi dapatkah gubernur baru bekerja dengan agenda biasa seperti gubernur terdahulu?

Categories
essays

 Film Milenial tentang “G30S/PKI”

 Respons Presiden untuk membuat film dokumenter sejarah 1965 versi “milenial” adalah langkah maju bagi bangsa. Ada jarak dua generasi dari film pendahulu.  Artinya sasaran utama penontonnya bukan lagi generasi muda 1980-an yang bagaikan kertas putih terhadap sejarah 1965. Mereka adalah generasi muda baru yang sempat kebagian propaganda Orba soal kebencian “kultural” terhadap PKI tapi sekaligus juga punya akses informasi alternatif.

Mereka adalah penonton kritis. Generasi yang berkesempatan mengakses riset-riset ilmiah di internet atau buku-buku yang terbit sejak era Reformasi 1998.  Setidaknya mahasiswa ilmu sosial dan politik di Indonesia hari ini sudah membaca pembantaian massal 65 sebagai bagian dari kuliah. Walaupun hari ini sedang terjadi rekrutmen massa lewat politisasi primordial anak muda yang alergi terhadap wacana 1965, faktanya kebangkitan publik muda ahistoris yang haus sejarah terjadi. Membaca tidak dapat dibendung.

Selain membaca, mereka pun kaya akan referensi pop culture dari film-film bioskop dan mini series di TV kabel.  Industri perfilman Amerika begitu terampil membuat film-film fiksi bertema spionase yang sangat seru.  Namun narasi cerita pun bergeser dibanding 20 tahun lalu. Dalam film negara tidak lagi tampil sebagai jagoan tunggal seperti seorang James Bond yang menyapu musuh-musuh politik. Tidak ada lagi penjelasan hitam putih tentang keterlibatan CIA, FBI, militer, teroris, bank, perusahaan, lembaga-lembaga negara dan presiden dalam pertarungan kekuasaan. Latar penceritaan pun terasa faktual mengikuti krisis politik yang terjadi dalam konteks politik ekonomi global. Memang ini semua ada dalam ranah fiksi, namun terlihat adanya otokritik konsisten sebuah film terhadap penyelewengan konstitusi, pelanggaran HAM, dan ragam kejahatan politik dengan menunjuk hidung sendiri.

Jika ditonton  dengan kecerdasan hari ini, film Arifin C Noer akan terlihat naif dari segi penuturan sejarah. Sebuah konflik internal berujung pembantaian di Lubang Buaya yang dilakukan oleh kaum militer muda terhadap beberapa orang petinggi militer. Kemudian satu bangsa repot dibuatnya selama bertahun-tahun. Tragedi Lubang Buaya dianggap sentral sebagai alasan normal untuk membubarkan PKI, memenjarakan, dan membunuh semua orang yang dianggap terkait. Negara tidak mengeluarkan catatan resmi tertulis mengenai pembantaian massal yang terjadi sesudahnya.  Walhasil pembantaian tersebut hanya bisa direkonstruksi susah-payah melalui metode sejarah lisan bertahun-tahun kemudian. Bagian-bagian penting ini yang sama sekali tidak ada film Pengkhianatan G30S/PKI tadi.

Tidak lagi hitam putih

Maka kita perlu sebuah film baru buatan dalam negeri yang cocok untuk generasi sekarang. Film yang dibangun dari hasil riset ilmiah yang teruji.  Berbeda dengan masa lalu, kajian Indonesia 1965 beraneka ragam dan dapat diakses . Tinggal mengemasnya dalam bentuk gurih yang disukai penonton dan memenuhi prinsip-prinsip pembuatan film yang bersuasana faktual, tetap seru dan dramatis, tapi juga memberikan pesan-pesan penting tanpa harus hitam putih.

Dalam konteks kekinian, sudah tentu film ini harus bicara tentang isu penguatan HAM. Jika hari ini rakyat Indonesia dapat merasa marah dengan pembantaian Rohingya, artinya ada sentimen kemanusiaan yang terusik di dalam hati kita semua sebagai orang baik. Jika kita marah kepada ISIS yang hobi menggorok orang sambil mengabadikannya dengan kamera video, artinya kita protes dan mual terhadap kekejaman. Sebuah pembantaian bagaimanapun tidak normal untuk terjadi pada siapa pun dengan alasan apa pun. Genosida 65 pun harus diungkap sebagai penyesalan, bukan kepahlawanan.

Sebagai sebuah film mutakhir, film ini harus pula menyertakan konteks-konteks politik mengapa peristiwa pembantaian 65 itu ada. Tragedi ini bukan sebuah kebetulan, bukan pula sebuah kemarahan yang meluas secara alami. Dari referensi film sejenis seperti misalnya Hotel Rwanda berlatar pembunuhan massal yang dilakukan etnis mayoritas Hutu terhadap minoritas Tutsi di Rwanda pada tahun 1994, penonton dapat memahami bahwa kekerasan terjadi sangat terencana dan terkoordinasi. Terjadi dalam waktu singkat dan bermula dari pembunuhan para elite politik yang kemudian meluas dalam hitungan jam. Ekstrimis Hutu dalam bentuk tentara resmi maupun milisi mengadakan pemburuan manusia dengan teliti mengandalkan daftar orang-orang yang harus dibunuh, pemeriksaan KTP di jalan-jalan yang diblokir, dan menyebarluaskan pengumuman pembantaian melalui siaran radio. Ada peranan negara, ada aktor-aktor elite militer yang menjadi dalang ambisius dalam genosida itu.

Film Hotel Rwanda tidak hitam putih dan sangat jelas menggambarkan bahwa tokoh utama yaitu manajer hotel yang beretnis Hutu melindungi seribu orang Tutsi yang menjadi target. Dari riset-riset HAM tentang konflik Rwanda, ditemukan sangat banyak tetangga atau keluarga yang saling membunuh bukan karena benci tapi karena takut dibunuh. Setidaknya 800 ribu sampai satu juta orang dibantai dan sejumlah 250 ribu perempuan Tutsi diperkosa dalam waktu 100 hari. Penonton bioskop terkesima bukan karena sedang diarahkan film untuk menangis kasihan atau berlinang dendam, tetapi lebih kepada menyaksikan makna universal dari tragedi yang utuh. Mereka bertanya dengan perikemanusiaannya yang campur aduk: “bagaimana mungkin sebuah bangsa yang membiarkan pembantaian manusia sebagai hal rutin dan normal?”

Luruskan yang perlu diluruskan

Tentu selain mengasah kemanusiaan, film mutakhir tentang PKI harus meluruskan hal-hal yang perlu diluruskan. Penonton zaman sekarang sudah tidak mempan dengan jargon picisan tentang “komunis setan anti Tuhan” dan sejenisnya. Ada baiknya film mendatang menjadi jembatan sejarah untuk menampilkan fakta-fakta jujur tak terbantahkan tentang argumen berdirinya sebuah partai komunis di Indonesia. Termasuk mengapa dia mesti dihancurkan semata-mata karena mengganggu roda bisnis internasional. Bagaimanapun “partai nista” ini pernah punya peran penting dalam membangun solidaritas kebangsaan dan membangun keberanian untuk mandiri di antara negara-negara raksasa ekonomi. Belum lagi peranannya dalam membangun kebijakan pro rakyat di masa lalu. Luruskanlah pengertian-pengertian mendasar tentang komunisme sebagai ideologi, dan sosialisme sebagai prinsip yang bahkan nyata-nyata ada dalam Pancasila. Jangan juga terlalu naif. Kita harus mengaku bahwa Marxisme sebagai alat analisis  ekonomi politik berperan, berkembang dan digunakan sampai hari ini untuk memetakan dan menangkis bahaya globalisasi kapital yang kebablasan. Jika hari ini kita dapat ngomong enak dan lancar tentang rencana kedaulatan pangan, reforma agraria, Tunjangan Hari Raya, atau hal-hal yang pro rakyat, itu bukan geledek ahistoris di siang bolong. Maka mulailah bersikap historis dan intelektual terhadap semua itu . Semoga film tentang PKI versi milenial segera terwujud. ***

%d bloggers like this: