Demokrasi harusnya terbuka untuk semua orang sebagai rakyat, bukan ummat tertentu. Apalagi untuk skala luas dan beragam seperti pemilihan gubernur DKI.
Dunia Barat bukan pemilik demokrasi. Athena, bukan ibu kandung demokrasi. Demokrasi adalah hal biasa dan terjadi di mana-mana tanpa melibatkan pemikiran “intelektual tingkat tinggi”. Karya-karya antropologi klasik memang tidak khusus meneliti soal demokrasi, tapi menjangkau hal-hal tentang prinsip-prinsip umum yang menciptakan keteraturan dalam masyarakat. Bagaimana social order dapat diciptakan dan bekerja tanpa pengaruh pemikiran Demokrasi Barat. Bahkan tanpa adanya kehadiran negara. Contoh: Bronislaw Malinowski menemukan keteraturan sosial dan mekanisme-mekanisme pertukaran sosial, leadership pada kawasan kepulauan Pasifik yang terpencil. Bahkan studi historis tentang konstitusi Amerika dalam urusan-urusan struktur federal mendapatkan ilham dari konsep konfiderasi suku Indian Iroquois.
Mengidentifikasikan demokrasi dengan kehidupan bernegara seperti yang dilakukan “pertama kali” di Yunani purba adalah reduksi besar-besaran sarjana-sarjana Eropa kolonial yang diromantisir. Lalu seluruh muka bumi harus mengaminkannya untuk mendapatkan predikat modern. Dan mengapa Yunani? David Graeber (Fragment of an Anarchist Anthropology, 2004) menjelaskan dengan sederhana: kebudayaan Yunani Kuno menyanjung nilai-nilai kompetitif yang diaktifkan di ruang publik. Mereka menjadikan olahraga, permainan, pertunjukan drama – termasuk peristiwa pemilihan umum sebagai tontonan. Voting adalah tontonan yang menggairahkan karena di situ ada pemenang dan ada yang terhina di muka umum karena kalah voting. Dan kalah atau menang voting, lebih ditentukan oleh dukungan senjata yang dimiliki oleh kandidat-kandidat pemilihan. Secara pemikiran, Yunani nggak intelektual-intelektual amat. Tokh, rakyat jelata sendiri sebetulnya tidak terlibat kecuali sebagai penonton.
Demokrasi sungguhan justru tidak di Yunani. Demokrasi intinya adalah partisipasi publik dalam pengambilan keputusan kolektif. Termasuk keputusan memilih seorang pemimpin. Terjadi dalam skala-skala kecil di mana-mana. Dari banyak etnografi tentang “suku-suku terasing”, kita dapat melihat adanya tipe-tipe masyarakat pemburu peramu, ladang berpindah, bertani semi menetap, pastoral. Mereka punya demokrasinya sendiri-sendiri. Pada umumnya, masyarakat pemburu-peramu punya sifat egalitarian dan melakukan demokrasi langsung. Mereka membenci hal-hal yang tidak transparan, hal-hal yang dirahasiakan. Di situlah awal dari urusan-urusan permufakatan jahat. Misal: kemunculan hierarki, awal dari manipulasi sumber daya yang mengarah pada putusnya partisipasi publik. Semakin kompleks masyarakat, partisipasi publik untuk menentukan masa depan cenderung terancam. Masa depan yang dimaksud adalah segala kemudahan dalam urusan sehari-hari yang merupakan konsekuensi dari pilihan-pilihan yang dibuat sebelumnya.
Jadi kehidupan bernegara dalam skala-skala kecil: kota, desa, dusun, rukun tetangga membutuhkan partisipasi publik agar keputusan-keputusan yang dihasilkan dapat memperbaiki mutu kehidupan publik yang mendasar. Misal tidak ada serangan hama, hewan buruan tidak habis, panen berhasil, hutan terlindung, pertanian tidak kekeringan, jalan tidak rusak, harga-harga makanan, pendidikan, sandang terjangkau. Atau jika khas kota: banjir dapat dihalau, kemacetan dapat diatasi, sembahyang tidak diganggu, transportasi nyaman dan murah, layanan kesehatan terjangkau, ada tempat rekreasi murah, dan sebagainya. Pokoknya supaya hidup di dunia nggak susah-susah amat.
Begitulah publik dan urusan-urusannya dari mulai dari para highlander di desa-desa kaki gunung, sampai penghuni kota metropolitan. Aneka urusan orang-orang banyak yang masih hiduplah!
Urusan pasca kehidupan: kebutuhan masuk surga, menghindari neraka dan menumpuk pahala ada di luar koridor demokrasi dan partisipasi publik tadi. Karena itu, sudah dari zaman dulu hal spiritual diserahkan pada tokoh-tokoh dan institusi agama yang sudah ada. Para pemimpin-pemimpin spiritual yang memang tugasnya menggiring orang ke surga. Mereka memimpin ummat.
Beberapa jam lagi publik Jakarta memilih gubernurnya. Saya termasuk publik Jakarta tersebut yang mengidentifikasikan diri sebagai rakyat. Bukan ummat. Gubernur tidak pernah harus bertanggung jawab kepada ummat. Dan siapa pun yang merasa menjadi ummat tidak usah pusing dengan agama gubernurnya karena tokh gubernur tidak pernah mengurus kualitas keagamaan rakyatnya. Dia tidak ngurus software, melainkan hardware seperti membangun fasilitas keagamaan.
Jadi calon gubernur yang membiarkan publik Jakarta berlarut dalam kebingungan dan kecemasan akan status mereka sebagai ummat atau rakyat—apalagi– kemudian memelihara ketakutan agar rakyatnya salah identifikasi bahwa gubernur harus seorang yang menganut agama tertentu, tentunya punya itikad non-demokratis. Seorang berpendidikan tinggi yang memanfaatkan kelemahan orang untuk maksud-maksud kuasanya itu kejahatan pada calon rakyatnya sendiri.
Demokrasi itu gampang dan sederhana jika maksudnya baik. Tidak perlu kemampuan doktoral. Indian-indian Amerika saja yang ngga kenal pendidikan bisa melakukannya. Bahkan orang Baduy saja bisa mengorganisir diri agar tahan krisis ekonomi global di bawah pimpinan seorang pu’un yang tidak pernah sekolah. Saya mendambakan seorang organisatoris, aktivis yang bisa menggalang partisipasi publik kota, berpandangan anti-kapital, pro lingkungan hidup. Nggak ada figur seperti itu. Tapi ada seorang manajer yang baik, jago bikin laporan keuangan, patuh undang-undang , dan sebagai bonus, muka dan suaranya lucu. Sudahlah gimana lagi, terpaksa pilih Ahok.