PRESS RELEASE KEMELUT PAPUA DAN MASIH ADA DUSTA DI ANTARA KITA
Berikut ini adalah catatan lama. Respons Asosiasi Antropologi Indonesia 2011. Saat itu saya menjabat Ketua AAI bidang Aksi. Pada bulan Oktober 2011, polisi menggunakan kekerasan yang berlebihan saat menangkap lebih dari 300 orang Papua yang terlibat dalam Kongres Rakyat Papua (Papuan Congress) selama tiga hari di ibukota provinsi, Jayapura. Sedikitnya tiga orang tewas dan lebih dari sembilan puluh orang luka-luka. Tak seorang pun aparat kepolisian dihukum, tetapi lima tokoh rakyat Papua didakwa melakukan makar.
Ini pikiran delapan tahun lalu, waktu itu jargon “NKRI harga mati” belum begitu sepopuler dan menjangkit warganegara sipil sebagai latah nasional seperti hari ini. Polarisasi sosial karena perbedaan politik belum membara melanda satu negara. Walau demikian selalu terasa bahwa Papua memiliki konfliknya sendiri yang sangat panjang dalam proses integrasi yang penuh luka. Sejarah yang tidak selalu berkesinambungan dengan cerita besar “Inner Indonesia” (sentris Jawa). Dalam hal ini terima kasih kepada Bung Muridan (alm) atas pencerahannya kala itu. Dalam kegelapan Papua minggu-minggu belakangan ini semoga pandangan ini masih ada gunanya.
Saya menambahkan penjelasan seperlunya dalam “[tanda kurung]”. Di luar tanda kurung, semuanya tulisan asli kawan-kawan AAI. Selamat membaca.
Catatan Kritis Asosiasi Antropologi Indonesia Menuju Papua yang Damai
Jakarta, 11 November 2011
Papua masih menyimpan konflik berkepanjangan. Dalam rentangan waktu yang hampir mencapai setengah abad itu, integrasi politik Papua dengan Republik Indonesia, nyatanya, hanya menyisakan tindak kekerasan. Baik secara vertikal maupun horizontal. Secara politik hak-hak konstitusional warga Papua untuk hidup di alam kemerdekaan sebagai bangsa Indonesia masih jauh dari terwujud. Diyakini bahwa tatanan sosial, ekonomi, politik dan budaya yang diwarnai kekerasan itu bukanlah pilihan ideal siapa pun.
Asosiasi Antropologi Indonesia, selanjutnya disingkat AAI, percaya bahwa setiap jiwa yang jatuh dalam pertikaian yang berkepanjangan itu hanya akan memperkuat trauma dan menciptakan memori kolektif atas akumulasi kekerasan yang meracuni (memory passionis) kehidupan masyarakat Papua pada umumnya.Mereka-mereka yang tersakiti itu tidak akan henti-hentinya mempertanyakan kembaliempati Negara. Maka, suatu solusi yang komprehensif adalah suatu keniscayaan.
Atas dasar pemikiran yang demikian, dilandasi semangat etika profetik sebagai organisasi keilmuan dan profesi, AAI telah berkumpul dan berdiskusi terkait hal-ihwal ‘Kemelut Papua’, berdasarkan data-data dan perspektif-perpektif ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan. Seoptimal mungkin pula kami mengusulkan resolusi yang diharapkan dapat melengkapi pemahaman para pihak demi tersusunnya suatu strategi penyelesaian masalah yang menenangkan suasana.
Pertama-tama, AAI menyampaikan penghargaan dan rasa hormat kepada seluruh pihak yang telah memberikan perhatian yang serius demi terciptanya kedamaian di Tanah Papua. Baik yang telah ditempuh pemerintah, di tingkat Pusat, Daerah, maupun di tingkat kampung-kampung di berbagai pelosok Papua,maupun inisiatif-inisiatif yang digerakkan oleh berbagai kelompok masyarakat sipil yang peduli, termasuk berbagai solusi yang ditawarkan oleh lembaga-lembaga penelitian dan institusi Pendidikan Tinggi.
Demikian pula, AAI menyambut baik segala perspektif yang telah ditawarkan oleh berbagai pihak itu dalam memahami ‘Kemelut Papua’ berikut jalan penyelesaiannya. AAI juga memahami pilihan-pilihan para pihak dalam menyelesaikan ‘Kemelut Papua’.
Dalam kesempatan ini, AAI mendukung seluruh seruan yang disampaikan para pihak untuk menciptakan Papua yang damai.
Tanpa bermaksud menafikan ataupun melemahkan berbagai perspektif yang telah ada itu, AAI merasa terpanggil untuk menggarisbawahi beberapa hal, agar berbagai niat baik yang dikemukakan berbagai pihak itu dapat sampai pada tujuan yang hendak dicapainya.
Adapun dua hal yang dianggap krusial untuk diperhatikan secara sungguh-sungguh tentangPapua adalah; perlunya optimalisasi perspektif kebudayaan dalam memahami ‘Kemelut Papua’, dan persoalan keterkaitan kapitalisme sebagai akar kekerasan di Papua.
Papua adalah Masyarakat Majemuk
Dalam perpektif analisis kebudayaan yang lebih jujur, AAI memandang bahwa sejauh ini berbagai pihak belum dapat mengenali sosok Papua secara utuh. Pertanyaan ‘siapa Papua’ pada dasarnya dapat memunculkan wajah kehidupan yang berbeda-beda satu sama lainnya. Papua adalah wilayah kultural yang sangat kompleks.
Kompleksitas ‘masyarakat Papua’, jika dapat disebut demikian, tidak saja bersifat horizontal (yang berdasarkan ciri-ciri turunannya), melainkan juga bersifat vertikal, yang bermakna bahwa masing-masing kelompok memiliki perbedaan hierarkial dalam hal kemampuan beradaptasi dengan perkembangan yang ada di lingkungannya.
Kondisi alam yang sedemikian rupa membuat kelompok-kelompok masyarakat di Papua – dan sebagian di antaranya hidup dalam tradisi kelompok kecil berorientasi pada identitas kesukuan berdasarkan pembedaan bahasa sebagai ciri khas utamayang relatif terisolasi satu sama lainnya. Masing-masing mengembangkan bahasa dan budaya sendiri-sendiri. Kira-kira ada 271 lebih ‘sub-suku’ dengan pola kebudayaan sesuai dengan tantangan bentang alamnya.
Pola-pola kebudayaan Papua perlu dikenali lebih lanjut berdasarkan kategori antropologis seperti: penduduk pantai utara; kawasan pulau-pulau seperti Biak-Numfor, Yapen, Waigeo. Lalu kawasan pantai selatan dengan pola hidup pantai berawa-rawa dengan perbedaan musim hujan dan kemarau yang tajam serta daerah pegunungan dan pedalaman. Ada pula kategori pantai atau hilir sungai yang lebih dahulu menerima modernisasi dan agama serta kategori pola kebudayaan hulu sungai yang relatif lebih nomaden dan sederhana.
Struktur masyarakat Papua ‘modern’ hari ini pun harus bisa dikenali dengan baik dengan adanya berbagai tipologi sosial Papua yang tumpang tindih.Yaitu: masyarakat adat, masyarakat hukum adat, orang (danmasyarakat) asli Papua, serta apa yang disebut Penduduk Papua, sebagaimana yang dirumuskan dalam peraturan-perundangan yang berlaku yaitu UU no 21 tahun 2001.
Demikian pula, kita perlu memahami kompleksitas relasi-relasi sosial yang ada dalam satu kesatuan masyarakat. Masyarakat seringkali bukanlah suatu kesatuan yang compact, tetapi merupakan jaringan hubungan kekuasaan yang tidak selamanya equal.
Pembagian kategorial di atas dan pemahaman struktur internal masyarakat hendaknya menjadi model awal untuk mengenali Papua dari dekat dengan segala perbedaan budayanya. Membayangkan Papua sebagai satu wajah berarti membunuh segala kekayaan kultural mereka.
AAI percaya bahwa, kesalahan memahami keragaman wajah Papua, memiliki konsekuensi menghasilkan solusi-solusi parsial, yang hanya akan menguntungkan satu kalangan, dan (tetap) merugikan kalangan yang lain. Lalu, solusi yang ditawarkan ataupun yang akan ditempuh pun menjadi rawan bersifat elitis, dan bukan tidak mungkin menguntungkan para penunggang gelap, seperti yang telah muncul selama ini.
Fakta memang menunjukkan bahwa satu ‘solusi yang tidak utuh’ yang pernah diambil pada era tertentu telah memunculkan ‘pusat-pusat kekuasaan’ yang baru. Boleh jadi, dari segi ‘politik pecah-belah’, kenyataan ini telah mencapai tujuannya, namun tidak untuk suatu perdamaian yang abadi. Keadilan untuk si lemah (justice for the weakers) yang menjadi jargon upaya-upaya perdamaian di Papua telah dikhianati.
Optimalisasi Perspektif Kebudayaan [Iwan: Ya Ampun judulnya. Maksud lebih tepat adalah “perspektif kebudayaan sangat krusial digunakan]
‘Kemelut Papua’ sebagai masalah yang kompleks memang telah dinyatakan oleh berbagai pihak. Meski begitu, dalam kesempatan ini AAI ingin menegaskan bahwa kompleksitas masalah ekonomi, sosial dan politik dari ‘Kemelut Papua’ hanya akan dapat dipahami secara lebih utuh jika semua pihak yang bertikai, terbuka dan konsisten atas analisis kebudayaan yang jujur dan komperehensif. Dalam perpektif yang demikian maka, ‘dimensi kebudayaan’ dari ‘Kemelut Papua’ tidak saja berakar pada tidak diakuinya simbol-simbol kebudayaan ‘masyarakat adat Papua yang beragam di Papua sebagaimana yang banyak disuarakan selama ini melainkan, dan ini jauh lebih penting, juga berakar pada benturan ‘kebudayaan masyarakat adat’ itu dengan modernisasi yang menghampiri keseharian mereka sejak lama.Modernisasi telah semakin mengalienasi mereka semenjak Papua sebagai wilayah dengan sumberdaya alam yang kaya raya menjadi proyek besar nasionalisme (baik kolonial dan nasional) dan kapitalisme global. [Iwan: maksudnya Papua sudah menjadi komoditas ekonomi sejak masa kolonial, nasional sebagai bagian negara bangsa, dan periode kontemporer sekarang dengan desakan perdagangan transnasional yang lebih bebas].
Dengan demikian, ‘Kemelut Papua’ hanya akan dapat dipahami dengan melihat nuansaruang-ruang kebudayaan Papua dengan sisi gelap kapitalisme yang hadir dalam selimut modernitas yang muncul dalam bentuk kredo-kredo pembangunan dimana modernitas muncul dalam wajah yang bengis dan senantiasa tidak ramah.
Dalam konteks ini, AAI melihat bahwa Papua masih dimaknai sebagai sumber kapital dengan mengatasnamai kepentingan nasional.. Akibatnya, Papua kian hari menjadi obyek dan lahan nafkah-nafkah sejumlah kepentingan banyak pihak, baik di tingkat lokal, nasional, maupun global.
Maka, membaca gejolak Papua tidak cukup bicara tentang kesejahteraan semu atau pemahaman narasi dan proses integrasi politik yang bertele-tele serta ketamakan ekonomi eksraktif yang berjaya dengan angkuh. Perspektif kebudayaan atas ‘Kemelut Papua’ juga penting untuk memaknai ruang interaksi bersama bagi masyarakat Papua terhadap berbagai gejala ‘modernitas’ dimaksud.
Kapitalisme dan Kekerasan di Papua
AAI melihat bahwa kehadiran Kapitalisme (Global) hadir dalam wujud berbagai kegiatan pembangunan (ekonomi) berbasis sumberdaya alam yang ekstraktif. Keadaan yang semakin mencemaskan adalah promosi anggapan bahwa kapitalisme sebagai sebuah sistem ekonomi global sudah identik dengan modernisasi itu sendiri!
Sebagai perangkat kebudayaan modern, kapitalisme bekerja atas legitimasi dalil-dalil ilmiah lewat statistik, sensus, pemetaan, indeks pertumbuhan dan besaran-besaran ilmiah lainnya. Ruang dengan sumberdaya alam di dalamnya hanya diapresiasi sebagai aset ekonomi, tanpa mempertimbangkan nilai-nilai lainnya yang dilekatkan oleh sebuah kebudayaan terhadap ruang itu. Bagaimana sains dapat menjadi legitimasi kekerasan serta dapat dilihat dari betapa keanekaragaman kultural hayati hanya dianggap sebagai budaya primitif.[1]
Maka kompleksnya persoalan kemanusiaan dianggap bisa selesai lewat rumusan-rumusan. Inilah cikal bakal kekerasan, ketika kompleksitas manusia disederhanakan dan dikotak-kotakkan serta diberi peringkat. Istilah-istilah: masyarakat terasing, minoritas etnis, kelompok separatis, masyarakat perbatasan, relasi pusat daerah, dan segenap kategorial modern lain tidak saja sebuah generalisasi berlebihan tapi juga melahirkan keterasingan, stereotyping, prasangka, dan kebuntuan yang rentan terhadap konflik.
Dengan perpektif yang demikian, Papua hanya terlihat penting dari segi kapital dan bukan kultural. Maka sejarah Papua identik dengan sejarah eksploitasi alam, akumulasi modal, dan kekerasan. Demi terjaganya aset ekonomi Papua, negara mengizinkan sektor swasta asing untuk berinvestasi penuh di Papua dalam kegiatan ekstraktif pertambangandan melindunginya dengan pendekatan keamanan. Melihat tingginya angka kekerasan terhadap warga Papua di tanahnya sendiri, maka dapat disimpulkan bahwa banyak warga Papua masih berada dalam ketakutan dan ketidakpastian hidup dalam kehidupan sehari-hari sebagai manusia berbudaya dan berharga diri.
Kekerasan adalah pengalaman sosial yang diingat secara kolektif dan diwariskan sehingga turut masuk dalam ranah kebudayaan Papua. Indonesia dalam ingatan orang-orang Papua identik dengan pos-pos tentara yang tidak ramah dan bukan pelayanan sosial bermartabat. Akumulasi pengalaman tentang kekerasan menjadi bahan membentuk budaya kekerasan serta direproduksi menjadi kekerasan-kekerasan baru. Maka pola-pola munculnya kesadaran kebangsaan identitas politik untuk lepas dari Indonesia tidak dapat dilihat sebagai usaha makar, tapi ekspresi kemarahan sekaligus ketidakberdayaan, bahkan sebagai mekanisme pertahanan kultural karena terlalu lama hidup dalam penindasan dalam negeri sendiri.
Selama kekerasan masih menjadi satu-satunya bahasa yang digunakan negara, maka permasalahan Papua tidak akan pernah usai. Penetrasi kapitalisme global ke dalam ranah lokal menyebabkan perubahan-perubahan kebudayaan yang mencemaskan seperti: desakralisasi adat, simplifikasi struktur sosial budaya, korupsi, lemahnya kohesi sosial, menguatnya politik uang, pola konsumsi berlebihan, timbulnya ketimpangan kelas, serta menguatnya mitossentimen mesianik dan cargo cults, yang telah menjadi salah satu karekteristik kebudayaan di wilayah itu.
Beberapa Catatan untuk Solusi Papua yang Damai
Berdasarkan beberapa catatan di atas, AAI mendukung politik afirmatif yang telah ditawarkan berbagai pihak selama ini. Bagi AAI politik afirmatif adalah suatu keniscayaan.
Meski begitu, AAI memandang, jauh lebih penting lagi adalah menemukan rumusan-rumusan afirmasi yang tepat dengan kenyataan kultural di Papua.
Di samping itu, politik afirmatif tidak akan efektif tanpa meresapi ulang narasi-narasi besar tentang ‘kebangsaan’ dankoreksi cara kerja berproduksi dalam pemanfaatan kekayaan alam dalam konteks masyarakat Papua yang majemuk itu. Sekedar `akomodasiekonomi’ yang lebih besar dan ‘otonomi politik semu’ tanpa mempertimbangkan ‘dimensi kebudayaan’ yang sebenarnya, seperti dapat kita saksikan dalam beberapa tahun belakangan ini, hanya menunjukkan fenomena ‘masih ada dusta di antara kita’.
Demikian pula, banyaknya badan-badan non-departemen yang bertugas menangani masalah Papua juga menambah rumitnya persoalan dan memperlihatkan negara justru menyelesaikan masalah dengan menghadirkan problem-problem baru yang lebih kompleks. Apa yang ditunggu warga Papua saat ini adalah hadirnya negara dalam bentuk komitmen pengakuan ruang kultural yang ramah sebagai sebuah janji yang harus digenapi.
Berikut beberapa resolusi yang diusulkan oleh AAI lebih lanjut:
- Membuka ruang gerak kultural lebih besar kepada orang Papua sehinga suara-suara yang termarjinalkan diberikan tempat dan ruang ruang yang bersifat komunikatifdalam mendefinisikan identitas kultural mereka yang beraneka warna.
- Negara harus memaknai ulang pemahaman kulturalnya atas keragaman wajah Papua yang bervariasi serta untuk menghindari simplifikasi pendekatan elitis yang dilakukan selama ini.
- Menjalankan keadilan bagi yang lemah. Negara harus berperan aktif dalam melakukan langkah afirmatif untuk kelas kelas sosial tertindas serta menjamin hak-hak kultural warga Papua yang sudah diatur konstitusi.
- Evaluasi Otonomi khusus. Implementasi Otsus pada hari ini justru membawa prahara besar bagi bumi Papua. Wajah Papua tidak dilihat secara utuh, otonomi khusus justru membawa bencana sosial ekonomi dan kultural baru. Negara terbukti tidak konsisten dalam memenuhi janji janji terhadap warganegaranya.
- Negara harusmemberikan kesempatan terjadinya proses-proses mencarian keadilan terhadap persoalan-persoalan luka di masa lalu termasuk menyelesaikannya dengan asas keadilan bagi pelanggaran hak-hak kemanusiaan di Papua. Pendekatan keamanan yang selama ini berjalan hanya bisa dilakukan untuk kasus-kasus yang betul-betul khusus.
Contact Person:
Prof. Dr. Nursyirwan Effendi (Ketua)
Dr. Lamtiur Tampubolon (Sekjen)
Iwan Meulia Pirous, MA (Ketua Bidang Aksi)
[1] Sebagai contoh adalah kekayaaan pengetahuan kultural tentang sumber hara pegunungan melingkupi puluhan jenis umbi-umbian telah digantikan oleh pengetahuan monokultur tentang nasi. Hal yang mirip adalah bagaimana kelak sawit akan mengancam biodiversitas alam Papua, padahal kita belum lagi tahu akan potensi-potensi tersembunyi dari vegetasi tumbuhan Papua untuk masa depan misalnya dalam bidang medis.
Sudah saatnya “primitivisasi Papua” dihentikan. Kita masih ingat bahwa sejak 1970an Papua mengalami apa yang disebut politik anti-koteka. Pakaian tradisional masyarakat Papua yang sudah menjadi identitas budaya itu dianggap tidak sesuai dengan standar kehidupan modern. Standar moral kesopanan berpakaian yang diselesaikan dengan cara penghapusan adalah hal yang menurut kami termasuk dalam kekerasan kultural yaitu dengan cara memaksa manusia mengganti kebudayaannya sesuai dengan standar yang mencabut pelaku dari akar budayanya. Sesungguhnya martabat kemanusiaan dan harga diri bukan terletak di “nasi”, “koteka”, “honai”, atau “teknologi masak pakai batu”, namun dari derajat koherensi dari apa yang ada di alam gagasan dan perbuatannya serta segi-segi kualitas kemanusiaan yang tak dapat dijadikan angka.