Categories
Uncategorized

Kekuatan Imajinasi dalam Revolusi Damai *)

Aksi Peringatan Darurat pada 22 Agustus lalu masih hangat. Rentetan protes menyebar bagai ledakan ke berbagai kota di Indonesia dalam waktu singkat. Siapa pun tergerak termasuk golongan yang jarang turun ke jalan seperti pekerja kantoran. Rupanya kesabaran rakyat sudah sangat tipis. Sehari sebelumnya, hanya dengan pesan peringatan garuda biru yang buram beserta sirene mengalir luas di media sosial, tanpa pengorganisasian matang, rakyat sepakat untuk protes besar. Semua adalah akumulasi kemarahan terhadap pemerintahan tidak bermoral yang mencurangi demokrasi selama dua periode Jokowi. Tapi kemudian aksi-aksi itu mereda.

Jika memang kemarahan rakyat itu beralasan kuat, maka seharusnya aksi-aksi protes akan terus terjadi dalam mengawal demokrasi dalam dua bulan mendatang. Massa rakyat Indonesia sudah semakin berpengalaman dan banyak belajar dalam aksi-aksi sebelumnya. Di satu sisi mereka terlatih mentalnya dari kegagalan memperjuangkan hak pada aksi-aksi yang pernah dilakukan. Misalnya gagal mencegah undang-undang cipta kerja. Di sisi lain, demonstrasi itu sangat melelahkan secara fisik, makan biaya, mengganggu rutinitas pekerjaan, berisiko luka parah oleh kebrutalan aparat. Titik antiklimaks adalah ketika rakyat menjadi ragu dan menyerah sehingga perlawanan panjang yang sesungguhnya dilindungi secara konstitusional semakin melemah.

Konstitusi kita dimaksudkan untuk membahagiakan orang-orang biasa. Bukan mengatur kita untuk tunduk pada sosok raja, korporasi, atau pemerintah “neo-kolonial”. Konstitusi memberikan gambaran alternatif tentang sebuah dunia baru yang lebih beradab, demokratis, egalitarian, dan nyaman bagi semua. Namun gambaran itu tidak terlalu tajam seperti potret yang buram pada masa sekarang. Sebab teks konstitusi itu hanya disuarakan di upacara formal berupa “mantera keramat” 1945 yang makin miskin contoh dan kehilangan rasa. Sebuah aksi yang melibatkan ribuan orang biasa adalah kesempatan untuk menerjemahkan gambaran tadi menjadi lebih jelas, dan terhubung dengan kita yang sedang berada pada situasi Indonesia sekarang yang jungkir balik.

Kekuatan Imajinasi dan ‘Politik Prefiguratif’

Sebuah revolusi baru akan berhasil jika didukung oleh kekuatan imajinasi. Antropolog yang sekaligus seorang aktivis David Graeber dalam Revolution in Reverse berargumen bahwa imajinasi memainkan peran penting bagi para demonstran untuk selalu menemukan motivasi untuk bergabung dalam gerakan. Dunia beradab berkeadilan tidak boleh hanya bertengger sebagai teks pembukaan konstitusi, tapi harus dapat menjadi bagian dari imajinasi kolektif. Apa yang harus dilakukan oleh para pemimpin aksi, seniman, aktivis dan kita semua adalah membangun imajinasi dan membumikannya Hal ini disebut prefigurative politics yang merujuk pada praktik politik yang mencoba menciptakan dan mencerminkan masyarakat ideal yang diinginkan di masa depan melalui tindakan dan struktur organisasi saat ini. Dengan kata lain ‘politik prefiguratif’ adalah upaya untuk “mewujudkan” atau “memperlihatkan” bentuk masyarakat yang diinginkan melalui cara-cara yang digunakan dalam perjuangan politik sehari-hari.

Maka perlu ada landasan bersamayang masuk akal dan dapat dicerna oleh banyak orang yang menyatukan perbedaan-perbedaan berbasis kelas, etnis, agama. Misalnya situasi sekarang adalah: “yang kaya makin kaya, yang miskin makin miskin”. Maka dunia yang dibayangkan baik bisa diwujudkan ketika “semua orang leluasa saling rajin berbagi”. Tunjukkan secara langsung melalui tindakan aksi bagaimana kita mampu mempraktikkan dunia penuh keadilan dengan saling memberi makan minum, saling menjaga, bergembira bersama dan tolong menolong dalam tiap aksi. Ketika pemerintah atau lembaga KPK mencla-mencle, dan pilih kasih demi melindungi anak penguasa, perlihatkan kita berani untuk jujur dan malu untuk curang. Ketika pejabat negara bersikap monolog, tuli atau tone deaf, perlihatkan kita adalah ribuan orang yang senang dialog dan mendengarkan satu sama lain. Ketika hierarki birokrasi meruwetkan hidup, perlihatkan suasana egalitarian membuat hidup jadi mudah.

Revolusi adalah Kesabaran

Hal ini mungkin, tapi tidak mudah. Pertama, gagasan kekerasan dan penghancuran adalah imajinasi politik satu-satunya yang khas melekat pada kaum konservatif seperti penguasa yang memang selalu hidup dalam struktur hierarkis yang dianggapnya alami dan wajar sehingga harus dipertahankan mati-matian. Pandangan bersifat hegemonik yang berimbas pada kita sebagai rakyat yang selalu membayangkan dengan ngeri bahwa revolusi itu ongkos sosialnyamahal, penuh pertumpahan darah, dan menghancurkan fasilitas publik. Rasa takut ini dinanti penguasa karena akan melahirkan status quo. Sudah saatnya imajinasi kekerasan yang merupakan fotokopi buram dari perilaku para penguasa kolonial dibuang ke tong sampah.

Kedua, masih diperlukan lebih lebih banyak pemimpin aksi sebagai intelektual organik. Mereka yang memiliki kecerdasan untuk membuat narasi cerita membangun imajinasi Indonesia demokratis dan inklusif yang mudah dicerna. Mereka yang mampu memancing empati, membuat paham, dan merasakan kegawatan yang akan terjadi jika demokrasi mati melalui ragam ekspresi seni. Kekuatan estetika terdalam adalah kemampuan menawarkan realitas alternatif yang membuat orang membuka mata, tergerak hatinya, dan bersama-sama memperjuangkan perubahan ke arah lebih kehidupan lebih baik di masa depan. Harapan ini besar karena semakin banyak aksi-aksi kolaboratif para seniman negeri ini yang keluar studio dan galeri dan hadir secara kolektif. Mereka melibatkan warga untuk membuat perubahan sosial yang bermakna di desa-desa dan pinggir kota dengan bertani organik bersama, membuat karya bersama di kawasan kumuh. Logikanya begini, jika negara abai, maka hidup mandiri dan artistik adalah perlawanan.

Ketiga, perlunya kesabaran. Perjuangan itu bisa sangat panjang karena menempatkan diri sebagai oposisi kritis dan cerdas itu “bukan budaya kita”, tidak diajarkan di sekolah, dan belum menjadi kearifan lokal dalam kehidupan sebagai warganegara Indonesia modern yang terdidik. Tapi belajar melalui Aksi Kamisan, kita memiliki lentera penyemangat dalam lorong gelap yang panjang itu. Revolusi adalah kesabaran. Sisanya hanyalah momentum.

Revolusi non-kekerasan lebih efektif ketika wujudnya adalah semacam karnaval empati yang damai penuh warna, merangkul semua pihak, berdialog, memperlihatkan kebaikan—walau tuntutannya tetap tajam. Tampil artistik tentunya membingungkan aparat untuk bereaksi keras. Demonstran dituntut mampu membuat aparat membangun imajinasi untuk dapat mengidentifikasi kembali bahwa dibalik seragam dan senjata, mereka juga manusia yang ingin berbuat baik pada manusia lain. Tawarannya adalah pembangunan alternatif yang kreatif dan imajinatif, yang secara bertahap menantang dan menggantikan struktur kekuasaan yang ada menjadi lebih demokratis, sambil meminimalkan kerugian dan penderitaan yang sering terjadi dalam revolusi dengan kekerasan. Kalau dalam dua bulan, mereka masih “pura-pura demokratis”, jagalah api revolusi tetap menyala.

*) Dimuat di Kompas link-nya ini.

Categories
Uncategorized

Building the Values of Intellectual Resistance

The closing statement of Yanuar Nugroho’s opinion piece, “Declaring resistance against the arbitrary rule of political authorities in this election may be our last defense in fighting for democracy” (Kompas 31/1/2024), is a strong call. This article intends to continue that anger. The question is, can resistance be carried out, and who will lead it?

Most people are already tired of struggling to make ends meet because their wages cannot keep up with household expenses. They are busy with odd jobs fighting their poverty. The people’s concerns come from the physical threats they face in dealing with tomorrow, not the intellectual vision of the next 5-10 years. Intellectuals and the people have not yet become united in fighting for a long-lasting democracy.

Some Indonesian intellectuals do resist, but their methods mainly involve writing statements and organizing small-scale seminars. Intellectuals are not influencers with millions of followers, so their resistance functions more as solace in small echo chambers filled with other intellectuals. Meanwhile, the “common people” are fragmented and disconnected from the intellectuals.

Towards universal resistance

Meanwhile, what Yanuar Nugroho means is a call for a grand universal resistance. In this case, the “we” referred to must be as large as the Indonesian people. In the collection of manuscripts “Prison Notebooks,” Antonio Gramsci reflected as an activist, stating: “Every person is a philosopher, intellectual, and legislator” (Hoare & Smith, 1971). The meaning is that a person’s capacity as an intellectual can be formed in their workplace as long as it is organized. Intellectuality is not characterized by complex thoughts but by clear essential thoughts that everyone, through diverse social organizations and movements, can follow. In this condition, the organized people become both fighters and thinkers who possess civil intelligence and strong bargaining power against the authorities as part of a resilient civil society.

The state seems to understand this threat, so the people must be domesticated and isolated from social movements from an early age. National consciousness materials in the school curriculum, starting from elementary school, are designed to direct citizens towards national discipline and obedience without questioning.

The concept of rights is always accompanied by obligations, seemingly neutralizing each other. In the workplace, the formation of unions is always hindered. On many occasions, people are intimidated and not allowed to discuss sensitive topics related to ethnicity, religion, race, and intergroup relations (known as SARA in Indonesian), as if differences are always ready to explode and people are not allowed to talk about them. On the other hand, the state has successfully created an appearance of politeness as the highest achievement in national life compared to anything else. The variety of comments on social media about presidential and vice-presidential debates does not touch upon the content of programs and arguments. Still, it focuses on the body language and politeness of the candidates. The consequence is mass blindness. There is no significant resistance when six pieces of hundred-thousand rupiah bills from their own tax money are packaged as “social aid” gifts before the elections.

Culture is activated values
Culture is born from the relations of various values agreed upon as things deemed good according to collective morals. At the same time, these values are continuously created due to our actions. The problem is that culture does not stand in space or float in the air waiting to be interpreted. Culture is activated values for specific purposes, including manipulative purposes. When a crude action, such as violating rules and morals, is wrapped in polite and sacred actions, an ambiguous situation arises to understand the values created from that contradiction. The creation of value ambiguity is continuously being done in the current presidential election atmosphere to build a new culture in the future that is anti-democratic and controlled by the cloak of national politeness hegemony.

The function of organic intellectuals to directly open the people’s eyes to the power games of the ruling class is urgent. The intellectual work that needs to be done is to shed light on the people that democratic values are inherent in our constitutional values. Therefore, the task of intellectuals is to translate it into simple language that the state should not act against rules, human rights, cultural rights, socio-economic rights, the right to freedom of speech, and the right to thrive and be happy.

Indonesia still has good people on the front lines. They are militant activists who face the risk of being arrested and detained by the authorities because of their voices. Meanwhile, professors and teachers have not fulfilled these organic functions to the maximum. The problem is that Indonesian lecturers do not have the liberal luxury like Foucault and Sartre to go to the streets not as professors but as activists. Campus life is already designed to be packed with administrative matters that are exaggerated to prevent them from leaving campus. But until when?

In the face of our democracy crisis, we need not just an intellectual public providing knowledge for the public’s benefit through research alone. It goes far beyond that. We need intellectual activists who remind citizens of their rights and obligations to fight against injustice and oppression. Intellectual activists are not content with staying in the classroom and teaching because their souls are constantly disturbed. They engage in performative actions by directly involving the people, creating social relationships with them, experiencing their suffering, discussing it, and then translating the essence of oppression into easily understandable language. Let us become these activists and work together for a better future.

To sow the seeds of resistance, the boundaries between science, art, and activism must become fluid. Artists, scientists, workers, and individuals across different identities should come together as citizens with equal rights to fight for our shared Indonesia. Haven’t we already been doing this? Yes, but the impact has been limited because intellectuals only “come down from the mountain” when there is danger. They should not return to the solitude of the mountain when the storm subsides. Who else will protect the people?

Iwan Meulia Pirous Ph.D. candidate in Fine Arts and Design, Bandung Institute of Technology
Researcher for the Indonesian Anthropology Study Forum

Article in Indonesian: https://t.co/uRFj0q7M35 (Kompas Newspaper).

Categories
Uncategorized

Membangun Nilai Budaya Perlawanan Intelektual

Perlawanan dapat hadir sebagai nilai budaya

Kalimat penutup dari opini Yanuar Nugroho: “Menyatakan perlawanan terhadap kesewenang-wenangan penguasa politik dalam pemilu kali ini barangkali adalah pertahanan terakhir kita memperjuangkan demokrasi” (Kompas 31/1/2024), adalah seruan keras. Tulisan ini bermaksud melanjutkan kemarahan itu.  Pertanyaannya sanggupkah perlawanan dilakukan, dan siapa yang akan memimpinnya?

Sebagian besar rakyat sudah letih berakrobat untuk sekadar selamat karena gaji dan upahnya tidak mampu mengejar belanja rumah tangga. Mereka sibuk kerja serabutan melawan kemiskinannya masing-masing. Kecemasan rakyat berasal dari ancaman fisik untuk menghadapi besok, bukan kecemasan dengan visi intelektual jangka panjang menghadapi 5-10 tahun ke depan. Intelektual dan rakyat belum menjadi satu untuk memperjuangkan demokrasi agar berumur panjang. Kaum intelektual Indonesia memang ada yang melawan, tetapi metode perlawanannya kebanyakan mengambil  bentuk menulis pernyataan sikap, membentuk seminar gaungnya kecil. Kaum intelektual bukan influencer dengan jutaan followers, sehingga perlawanan mereka lebih berfungsi sebagai pelipur lara dalam echo chambers kecil berisi para intelektual juga. Sementara “rakyat biasa” juga terpecah-pecah dan tidak terkoneksi pada kaum intelektual.

Sementara apa yang dimaksud Yanuar Nugroho adalah seruan perlawanan semesta yang besar. Dalam hal ini “kita” yang dimaksud haruslah sebesar rakyat Indonesia sendiri. Dalam kumpulan naskah Catatan dalam Penjara, Antonio Gramsci menulis refleksinya sebagai aktivis yaitu: “setiap orang adalah filsuf, intelektual, dan legislator ” (Hoare & Smith, 1971). Maksudnya adalah kapasitas seseorang sebagai intelektual dapat yang dibentuk di tempat-tempat kerjanya, asalkan dibentuk secara terorganisir.  Intelektualitas tidak ditandai dalam bentuk pikiran ruwet, tapi pikiran esensial yang jernih yang dapat diikuti akal sehat setiap orang melalui organisasi dan gerakan sosial yang beraneka ragam.  Dalam kondisi ini rakyat terorganisir menjadi petarung sekaligus pemikir yang memiliki kecerdasan sipil dan daya tawar tinggi terhadap penguasa sebagai bagian masyarakat madani yang tangguh.

Negara tampaknya mengerti ancaman ini maka rakyat harus dibuat jinak dan terisolir dari gerakan sosial sejak kecil. Materi kesadaran bernegara dalam kurikulum sekolah sejak sekolah dasar didesain untuk mengarahkan warganegara pada sikap disiplin nasional dan patuh kepada negara tanpa bertanya-tanya. Konsep hak selalu ditempelkan dengan konsep kewajiban seakan akan saling menetralkan. Dalam kondisi kerja, pembentukan serikat selalu dipersulit. Dalam banyak kesempatan, rakyat ditakut-takuti tidak boleh bicara SARA (Suku Agama Ras dan Antargolongan) seakan perbedaan-perbedaan selalu siap meledak dan rakyat tidak boleh membicarakannya. Sebaliknya, negara berhasil menciptakan seakan-akan sopan santun dalam nada bicara, bahasa tubuh adalah prestasi tertinggi dalam kehidupan berbangsa dibanding hal lain. Ragam komentar di media sosial tentang debat capres dan cawapres tidak menyinggung isi program dan argumen, tetapi bahasa tubuh dan kesopanan para calon. Konsekuensinya adalah kebutaan massal. Tidak ada perlawanan berarti ketika enam lembar seratus ribuan yang berasal dari uang pajaknya sendiri dikemas sebagai hadiah bansos menjelang pemilu.

Kebudayaan adalah nilai-nilai yang diaktifkan

Kebudayaan lahir karena relasi-relasi dari berbagai nilai yang disepakati sebagai hal-hal yang dianggap baik sesuai moral kolektif. Pada saat yang sama, nilai-nilai itu diciptakan terus sebagai hasil dari tindakan-tindakan kita. Persoalannya, kebudayaan tidak berdiri di ruang kosong atau mengambang di udara menunggu ditafsirkan maknanya. Kebudayaan adalah nilai-nilai yang diaktifkan untuk tujuan tertentu termasuk tujuan manipulatif. Apabila suatu tindakan kasar seperti pelanggaran aturan dan moral hadir dibungkus oleh tindakan santun dan suci, terjadi situasi ambigu bagi kita untuk memahami nilai yang tercipta dari kontradiksi itu. Penciptaan ambiguitas nilai sedang dilakukan terus dalam suasana pilpres sekarang untuk membangun kebudayaan baru di masa depan yang anti demokratis yang dikontrol oleh selubung hegemoni sopan-santun nasional.

Fungsi-fungsi intelektual organik untuk  turun langsung membukakan mata rakyat agar sadar akan daya kecoh penguasa sudah sangat mendesak. Kerja-kerja intelektual yang harus dilakukan adalah memberi terang pada rakyat bahwa nilai-nilai demokrasi melekat dengan nilai-nilai konstitusi kita. Maka tugas para intelektual adalah menerjemahkan ke dalam bahasa sederhana bahwa negara tidak boleh bertindak melawan aturan, HAM, hak berkebudayaan, hak sosial-ekonomi, hak untuk bebas bersuara, hak untuk cerdas dan bahagia.

Indonesia masih memiliki orang-orang baik di garis depan. Mereka adalah para aktivis militan yang menghadapi risiko ditangkap dan diamankan aparat karena suaranya. Sementara dosen, guru, profesor belum melakukan fungsi-fungsi organik itu dengan maksimal. Masalahnya dosen-dosen Indonesia tidak punya kemewahan liberal sebesar Foucault dan Sartre yang dapat turun ke jalan bukan sebagai profesor tapi aktivis. Kehidupan kampus sudah didesain padat dengan penjara tetek-bengek urusan administratif yang dilebih-lebihkan untuk mencegah mereka keluar kampus. Tapi sampai kapan?

 Menghadapi krisis demokrasi kita, yang diperlukan bukan lagi tingkatan intelektual publik yang memberikan pengetahuannya untuk kepentingan publik melalui riset saja, namun harus jauh daripada itu, yaitu aktivis intelektual yang mengingatkan warganegara akan hak-hak dan kewajibannya untuk melawan ketidakadilan dan penindasan. Aktivis intelektual tidak terlalu betah diam di kelas dan mengajar karena batinnya selalu terusik. Mereka melakukan aksi performatif dengan turun langsung mengajak rakyat, menciptakan relasi sosial dengan rakyat, menghirup penderitaan, mendiskusikannya, dan kemudian menerjemahkan esensi penindasan dalam bahasa yang mudah dimengerti.

Demi menanam benih-benih perlawanan, garis pemisah antara sains, seni, dan gerakan harus sangat cair. Seniman, ilmuwan, buruh dan kategori lintas identitas harus mulai bersatu sebagai warganegara dengan hak-hak yang setara untuk memperjuangkan Indonesia milik kita semua.

Bukankah kita sudah melakukannya? Sudah, tapi kurang berdampak karena para intelektual baru “turun gunung” ketika ada bahaya. Seharusnya mereka jangan kembali ke gunung yang sepi itu ketika badai mereda. Siapa lagi yang menjaga rakyat?

Categories
Uncategorized

Kilas balik: Pandangan antropologis tentang Papua (2011)

PRESS RELEASE KEMELUT PAPUA DAN MASIH ADA DUSTA DI ANTARA KITA

Berikut ini adalah catatan lama. Respons Asosiasi Antropologi Indonesia 2011. Saat itu saya menjabat Ketua AAI bidang Aksi. Pada bulan Oktober 2011, polisi menggunakan kekerasan yang berlebihan saat menangkap lebih dari 300 orang Papua yang terlibat dalam Kongres Rakyat Papua (Papuan Congress) selama tiga hari di ibukota provinsi, Jayapura. Sedikitnya tiga orang tewas dan lebih dari sembilan puluh orang luka-luka. Tak seorang pun aparat kepolisian dihukum, tetapi lima tokoh rakyat Papua didakwa melakukan makar.

Ini pikiran delapan tahun lalu, waktu itu jargon “NKRI harga mati” belum begitu sepopuler dan menjangkit warganegara sipil sebagai latah nasional seperti hari ini. Polarisasi sosial karena perbedaan politik belum membara melanda satu negara. Walau demikian selalu terasa bahwa Papua memiliki konfliknya sendiri yang sangat panjang dalam proses integrasi yang penuh luka. Sejarah yang tidak selalu berkesinambungan dengan cerita besar “Inner Indonesia” (sentris Jawa). Dalam hal ini terima kasih kepada Bung Muridan (alm) atas pencerahannya kala itu. Dalam kegelapan Papua minggu-minggu belakangan ini semoga pandangan ini masih ada gunanya.

Saya menambahkan penjelasan seperlunya dalam “[tanda kurung]”. Di luar tanda kurung, semuanya tulisan asli kawan-kawan AAI. Selamat membaca.

Catatan Kritis Asosiasi Antropologi Indonesia  Menuju Papua yang Damai

Jakarta, 11 November 2011

Papua masih menyimpan konflik berkepanjangan. Dalam rentangan waktu yang hampir mencapai setengah abad itu, integrasi politik Papua dengan Republik Indonesia, nyatanya, hanya menyisakan tindak kekerasan. Baik secara vertikal maupun horizontal. Secara politik hak-hak konstitusional warga Papua untuk hidup di alam kemerdekaan sebagai bangsa Indonesia masih jauh dari terwujud. Diyakini bahwa tatanan sosial, ekonomi, politik dan budaya yang diwarnai kekerasan itu bukanlah pilihan ideal siapa pun.

Asosiasi Antropologi Indonesia, selanjutnya disingkat AAI, percaya bahwa setiap jiwa yang jatuh dalam pertikaian yang berkepanjangan itu hanya akan memperkuat trauma dan menciptakan memori kolektif atas akumulasi kekerasan yang meracuni (memory passionis) kehidupan masyarakat Papua pada umumnya.Mereka-mereka yang tersakiti itu tidak akan henti-hentinya mempertanyakan kembaliempati Negara. Maka, suatu solusi yang komprehensif adalah suatu keniscayaan.

Atas dasar pemikiran yang demikian, dilandasi semangat etika profetik sebagai organisasi keilmuan dan profesi, AAI telah berkumpul dan berdiskusi terkait hal-ihwal ‘Kemelut Papua’, berdasarkan data-data dan perspektif-perpektif ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan. Seoptimal mungkin pula kami mengusulkan resolusi yang diharapkan dapat melengkapi pemahaman para pihak demi tersusunnya suatu strategi penyelesaian masalah yang menenangkan suasana.

Pertama-tama, AAI menyampaikan penghargaan dan rasa hormat kepada seluruh pihak yang telah memberikan perhatian yang serius demi terciptanya kedamaian di Tanah Papua. Baik yang telah ditempuh pemerintah,  di tingkat Pusat, Daerah, maupun di tingkat kampung-kampung di berbagai pelosok Papua,maupun inisiatif-inisiatif yang digerakkan oleh berbagai kelompok masyarakat sipil yang peduli, termasuk berbagai solusi yang ditawarkan oleh lembaga-lembaga penelitian dan institusi Pendidikan Tinggi.

Demikian pula, AAI menyambut baik segala perspektif yang telah ditawarkan oleh berbagai pihak itu dalam memahami ‘Kemelut Papua’ berikut jalan penyelesaiannya. AAI juga memahami pilihan-pilihan para pihak dalam menyelesaikan ‘Kemelut Papua’.

Dalam kesempatan ini, AAI mendukung seluruh seruan yang disampaikan para pihak untuk menciptakan Papua yang damai.

Tanpa bermaksud menafikan ataupun melemahkan berbagai perspektif yang telah ada itu, AAI merasa terpanggil untuk menggarisbawahi beberapa hal, agar berbagai niat baik yang dikemukakan berbagai pihak itu dapat sampai pada tujuan yang hendak dicapainya.

Adapun dua hal yang dianggap krusial untuk diperhatikan secara sungguh-sungguh tentangPapua adalah; perlunya optimalisasi perspektif kebudayaan dalam memahami ‘Kemelut Papua’, dan persoalan keterkaitan kapitalisme sebagai akar kekerasan di Papua.

Papua adalah Masyarakat Majemuk

Dalam perpektif analisis kebudayaan yang lebih jujur, AAI memandang bahwa sejauh ini berbagai pihak belum dapat mengenali sosok Papua secara utuh. Pertanyaan ‘siapa Papua’ pada dasarnya dapat memunculkan wajah kehidupan yang berbeda-beda satu sama lainnya. Papua adalah wilayah kultural yang sangat kompleks.

Kompleksitas ‘masyarakat Papua’, jika dapat disebut demikian, tidak saja bersifat horizontal (yang berdasarkan ciri-ciri turunannya), melainkan juga bersifat vertikal, yang bermakna bahwa masing-masing kelompok memiliki perbedaan hierarkial dalam hal kemampuan beradaptasi dengan perkembangan yang ada di lingkungannya.

Kondisi alam yang sedemikian rupa membuat kelompok-kelompok masyarakat di Papua – dan sebagian di antaranya  hidup dalam tradisi   kelompok kecil berorientasi pada identitas kesukuan berdasarkan pembedaan bahasa sebagai ciri khas utamayang relatif terisolasi satu sama lainnya. Masing-masing mengembangkan bahasa dan budaya sendiri-sendiri. Kira-kira ada 271 lebih ‘sub-suku’ dengan pola kebudayaan sesuai dengan tantangan bentang alamnya.

Pola-pola kebudayaan Papua perlu dikenali lebih lanjut berdasarkan kategori antropologis seperti: penduduk pantai utara; kawasan pulau-pulau seperti Biak-Numfor, Yapen, Waigeo. Lalu kawasan pantai selatan dengan pola hidup pantai berawa-rawa dengan perbedaan musim hujan dan kemarau yang tajam serta daerah pegunungan dan pedalaman.  Ada pula kategori pantai atau hilir sungai yang lebih dahulu menerima modernisasi dan agama serta kategori pola kebudayaan hulu sungai yang relatif lebih nomaden dan sederhana.

Struktur masyarakat Papua ‘modern’ hari ini pun harus bisa dikenali dengan baik dengan adanya berbagai tipologi sosial Papua yang tumpang tindih.Yaitu: masyarakat adat, masyarakat hukum adat, orang (danmasyarakat) asli Papua, serta apa yang disebut Penduduk Papua, sebagaimana yang dirumuskan dalam peraturan-perundangan yang berlaku yaitu UU no 21 tahun 2001.

Demikian pula, kita perlu  memahami kompleksitas relasi-relasi sosial yang ada dalam satu kesatuan masyarakat. Masyarakat seringkali bukanlah suatu kesatuan yang compact, tetapi merupakan jaringan hubungan kekuasaan yang tidak selamanya equal.

Pembagian kategorial di atas dan pemahaman struktur internal masyarakat hendaknya menjadi model awal untuk mengenali Papua dari dekat dengan segala perbedaan budayanya. Membayangkan Papua sebagai satu wajah berarti membunuh segala kekayaan kultural mereka.

AAI percaya bahwa, kesalahan memahami keragaman wajah  Papua, memiliki konsekuensi menghasilkan solusi-solusi parsial, yang hanya akan menguntungkan satu kalangan, dan (tetap) merugikan kalangan yang lain. Lalu, solusi  yang ditawarkan ataupun yang akan ditempuh pun menjadi rawan bersifat  elitis, dan bukan tidak mungkin menguntungkan para penunggang gelap, seperti yang telah muncul selama ini.

Fakta memang menunjukkan bahwa satu ‘solusi yang tidak utuh’ yang pernah diambil pada era tertentu telah memunculkan ‘pusat-pusat kekuasaan’ yang  baru. Boleh jadi, dari segi ‘politik pecah-belah’, kenyataan ini telah mencapai tujuannya, namun tidak untuk suatu perdamaian yang abadi.  Keadilan untuk si lemah (justice for the weakers) yang menjadi jargon upaya-upaya perdamaian di Papua telah dikhianati.

Optimalisasi Perspektif Kebudayaan [Iwan: Ya Ampun judulnya. Maksud lebih tepat adalah “perspektif kebudayaan sangat krusial digunakan]

‘Kemelut Papua’ sebagai masalah yang kompleks memang telah dinyatakan oleh berbagai pihak.  Meski begitu, dalam kesempatan ini AAI ingin menegaskan bahwa  kompleksitas masalah ekonomi, sosial dan politik dari ‘Kemelut Papua’ hanya akan dapat dipahami secara lebih utuh jika semua pihak yang bertikai,   terbuka dan konsisten atas analisis kebudayaan yang jujur dan komperehensif. Dalam perpektif yang demikian maka, ‘dimensi kebudayaan’ dari ‘Kemelut Papua’ tidak saja berakar pada tidak diakuinya simbol-simbol kebudayaan ‘masyarakat adat Papua yang beragam di Papua sebagaimana yang banyak disuarakan selama ini melainkan, dan ini jauh lebih penting, juga berakar pada benturan ‘kebudayaan masyarakat adat’ itu dengan modernisasi yang menghampiri keseharian mereka sejak lama.Modernisasi  telah semakin mengalienasi mereka semenjak Papua sebagai wilayah dengan sumberdaya alam yang kaya raya menjadi proyek besar nasionalisme (baik kolonial dan nasional) dan kapitalisme global. [Iwan: maksudnya Papua sudah menjadi komoditas ekonomi sejak masa kolonial, nasional sebagai bagian negara bangsa, dan periode kontemporer sekarang dengan desakan perdagangan transnasional yang lebih bebas].

Dengan demikian, ‘Kemelut Papua’ hanya akan dapat dipahami dengan melihat  nuansaruang-ruang  kebudayaan Papua dengan sisi gelap kapitalisme yang hadir dalam  selimut modernitas yang muncul  dalam bentuk kredo-kredo pembangunan dimana modernitas muncul dalam wajah yang bengis dan senantiasa tidak ramah.

Dalam konteks ini, AAI melihat bahwa Papua masih dimaknai sebagai sumber kapital dengan mengatasnamai kepentingan nasional.. Akibatnya, Papua kian hari menjadi obyek dan lahan nafkah-nafkah sejumlah kepentingan banyak pihak, baik di  tingkat lokal, nasional, maupun global.

Maka, membaca gejolak Papua tidak cukup bicara tentang kesejahteraan semu atau pemahaman narasi dan proses integrasi politik yang bertele-tele serta ketamakan  ekonomi eksraktif yang berjaya dengan angkuh.  Perspektif kebudayaan atas ‘Kemelut Papua’  juga penting untuk memaknai ruang interaksi bersama bagi masyarakat Papua terhadap berbagai gejala ‘modernitas’ dimaksud.

Kapitalisme dan Kekerasan di Papua

AAI melihat bahwa kehadiran Kapitalisme (Global) hadir dalam wujud berbagai kegiatan pembangunan (ekonomi) berbasis sumberdaya alam yang ekstraktif. Keadaan yang semakin mencemaskan adalah promosi anggapan bahwa kapitalisme sebagai sebuah sistem ekonomi global sudah identik dengan modernisasi itu sendiri!

Sebagai perangkat kebudayaan modern, kapitalisme bekerja atas legitimasi dalil-dalil  ilmiah lewat statistik, sensus, pemetaan, indeks pertumbuhan dan besaran-besaran ilmiah lainnya. Ruang dengan sumberdaya alam di dalamnya hanya diapresiasi sebagai aset ekonomi, tanpa mempertimbangkan nilai-nilai lainnya yang dilekatkan oleh sebuah kebudayaan terhadap ruang itu. Bagaimana sains dapat menjadi legitimasi kekerasan serta dapat dilihat dari betapa keanekaragaman kultural hayati hanya dianggap sebagai budaya primitif.[1]

Maka kompleksnya persoalan kemanusiaan dianggap bisa selesai lewat rumusan-rumusan.  Inilah cikal bakal kekerasan, ketika kompleksitas manusia disederhanakan dan dikotak-kotakkan serta diberi peringkat.  Istilah-istilah: masyarakat terasing, minoritas etnis, kelompok separatis, masyarakat perbatasan, relasi pusat daerah, dan segenap kategorial modern lain tidak saja sebuah generalisasi berlebihan tapi juga melahirkan keterasingan, stereotyping, prasangka, dan kebuntuan yang rentan terhadap konflik.

Dengan perpektif yang demikian, Papua  hanya terlihat penting dari segi kapital dan bukan kultural. Maka sejarah Papua identik dengan sejarah eksploitasi alam, akumulasi modal, dan kekerasan. Demi terjaganya aset ekonomi Papua, negara mengizinkan sektor swasta asing untuk berinvestasi penuh di Papua dalam kegiatan ekstraktif pertambangandan melindunginya dengan pendekatan keamanan. Melihat tingginya angka kekerasan terhadap warga Papua di tanahnya sendiri, maka dapat disimpulkan bahwa banyak warga Papua masih berada dalam ketakutan dan ketidakpastian hidup dalam kehidupan sehari-hari sebagai manusia berbudaya dan berharga diri.

Kekerasan adalah pengalaman sosial yang diingat secara kolektif dan diwariskan sehingga turut masuk dalam ranah kebudayaan Papua. Indonesia dalam ingatan orang-orang Papua identik dengan pos-pos tentara yang tidak ramah dan bukan pelayanan sosial bermartabat. Akumulasi pengalaman tentang kekerasan menjadi bahan membentuk budaya kekerasan serta direproduksi menjadi kekerasan-kekerasan baru. Maka pola-pola munculnya kesadaran kebangsaan identitas politik  untuk lepas dari Indonesia tidak dapat dilihat sebagai usaha makar, tapi ekspresi kemarahan sekaligus ketidakberdayaan, bahkan sebagai mekanisme pertahanan kultural  karena terlalu lama hidup dalam penindasan dalam negeri sendiri.

Selama kekerasan masih menjadi satu-satunya bahasa yang digunakan negara, maka permasalahan Papua tidak akan pernah usai. Penetrasi kapitalisme global ke dalam ranah lokal menyebabkan perubahan-perubahan kebudayaan yang mencemaskan seperti: desakralisasi adat, simplifikasi struktur sosial budaya, korupsi, lemahnya kohesi sosial, menguatnya politik uang, pola konsumsi berlebihan, timbulnya ketimpangan kelas, serta menguatnya mitossentimen mesianik dan cargo cults, yang telah menjadi salah satu karekteristik kebudayaan di wilayah itu.

Beberapa Catatan untuk Solusi Papua yang Damai

Berdasarkan beberapa catatan di atas, AAI mendukung politik afirmatif yang telah ditawarkan berbagai pihak selama ini.  Bagi AAI politik afirmatif adalah  suatu keniscayaan.

Meski begitu, AAI memandang, jauh lebih penting lagi adalah menemukan rumusan-rumusan afirmasi yang tepat dengan kenyataan  kultural di Papua.

Di samping itu, politik afirmatif tidak akan efektif tanpa meresapi ulang narasi-narasi besar tentang ‘kebangsaan’ dankoreksi cara kerja berproduksi dalam pemanfaatan kekayaan alam dalam konteks masyarakat Papua yang majemuk itu. Sekedar `akomodasiekonomi’ yang lebih besar dan ‘otonomi politik semu’ tanpa mempertimbangkan ‘dimensi kebudayaan’ yang sebenarnya, seperti dapat kita saksikan dalam beberapa tahun belakangan ini, hanya menunjukkan fenomena ‘masih ada dusta di antara kita’.

Demikian pula, banyaknya badan-badan non-departemen yang bertugas menangani masalah Papua juga menambah rumitnya persoalan dan memperlihatkan negara justru menyelesaikan masalah dengan menghadirkan problem-problem baru yang lebih kompleks.  Apa yang ditunggu warga Papua saat ini adalah hadirnya negara dalam bentuk komitmen pengakuan ruang kultural yang ramah sebagai sebuah janji yang harus digenapi.

Berikut beberapa resolusi yang diusulkan oleh AAI lebih lanjut:

  1. Membuka ruang gerak kultural lebih besar kepada orang Papua  sehinga suara-suara yang termarjinalkan diberikan  tempat dan ruang  ruang yang bersifat komunikatifdalam mendefinisikan identitas kultural mereka yang beraneka warna.
  2. Negara harus memaknai ulang pemahaman kulturalnya atas keragaman wajah Papua yang bervariasi serta untuk  menghindari simplifikasi pendekatan  elitis  yang dilakukan selama ini.
  3. Menjalankan keadilan bagi yang lemah. Negara harus berperan aktif dalam melakukan langkah  afirmatif untuk kelas  kelas sosial tertindas serta menjamin  hak-hak kultural warga Papua yang sudah diatur konstitusi.
  4. Evaluasi Otonomi khusus. Implementasi  Otsus pada hari ini justru membawa prahara besar bagi bumi Papua. Wajah Papua tidak dilihat secara utuh, otonomi khusus justru membawa bencana sosial  ekonomi dan kultural baru. Negara terbukti tidak konsisten dalam memenuhi janji janji terhadap warganegaranya.
  5. Negara harusmemberikan kesempatan terjadinya   proses-proses mencarian keadilan terhadap  persoalan-persoalan luka di masa lalu  termasuk menyelesaikannya  dengan asas keadilan bagi pelanggaran hak-hak kemanusiaan di Papua. Pendekatan keamanan yang selama ini berjalan hanya bisa dilakukan untuk kasus-kasus yang betul-betul khusus.

Contact Person:

Prof. Dr. Nursyirwan Effendi (Ketua)

Dr. Lamtiur Tampubolon (Sekjen)

Iwan Meulia Pirous, MA (Ketua Bidang Aksi)


[1] Sebagai contoh adalah kekayaaan pengetahuan kultural tentang sumber hara pegunungan melingkupi puluhan jenis umbi-umbian telah digantikan oleh pengetahuan monokultur tentang nasi.  Hal yang mirip adalah bagaimana kelak sawit akan mengancam biodiversitas alam Papua, padahal kita belum lagi tahu akan potensi-potensi tersembunyi dari vegetasi tumbuhan Papua untuk masa depan misalnya dalam bidang medis.

Sudah saatnya “primitivisasi Papua” dihentikan. Kita masih ingat bahwa sejak 1970an Papua mengalami apa yang disebut politik anti-koteka. Pakaian tradisional masyarakat Papua yang sudah menjadi identitas budaya itu dianggap tidak sesuai dengan standar kehidupan modern. Standar moral kesopanan berpakaian yang diselesaikan dengan cara penghapusan adalah hal yang menurut kami termasuk dalam kekerasan kultural yaitu dengan cara memaksa manusia mengganti kebudayaannya sesuai dengan standar yang mencabut pelaku dari akar budayanya.  Sesungguhnya martabat kemanusiaan dan harga diri bukan terletak di “nasi”, “koteka”, “honai”, atau “teknologi masak pakai batu”,  namun dari derajat koherensi dari apa yang ada di alam gagasan dan perbuatannya serta segi-segi kualitas kemanusiaan yang tak dapat dijadikan angka.

Categories
Orba Resurrection Apocalypse Uncategorized

Golput disambut pelukan mesra Orba

Saya membaca artikel Ariel Heryanto Setengah Abad Golput
(Tempo, 10 Februari 2019). Bagus, dengan bahasa lugas. Tulisan Ariel Heryanto ini menjadi “demotivator” yang baik. Juga karena kita mudah bosan dengan para motivator, kan.

Ada tiga hal penting yang saya temukan di tulisan itu. Pertama: sejarah mengapa Golput itu ada sejak 1971 sebagai gerakan politik aktif melawan Orde Baru yang memang nggak butuh pemilu. Negara berkembang memang cenderung tinggi partisipasi politiknya karena orang dipaksa voting. Sebaliknya di negara demokratis yang maju justru punya kecenderungan trend partisipasi politik yang rendah. Saya jadi ingat, di masa Orba, mahasiswa yang mampu menganalisis seperti di atas sudah dianggap kritis oleh dosennya. Sebab di masa itu, jika Golkar unggul tapi di bawah 80 persen, artinya para birokrat partai pucat-pasi. Apalagi kalau ada presentase orang yang nggak memilih. Oh, ya. Golkar memang aneh, bahkan di buku teks kuliah Pengantar Ilmu Politik (buku warna biru itu, lho) dari Prof. Miriam Budiardjo dikatakan: “Golkar bukan partai politik, tapi menjalankan fungsi-fungsi partai politik“.

Kedua, tahun 1998 tidak ada revolusi, yang ada adalah Reformasi. Gerakan ganti baju sementara orang-orangnya masih dia-dia juga. Walau sekarang susah untuk naik jadi RI 1 atau RI 2, “kerajaan-kerajaan” para aktor di bawah posisi itu masih langgeng. Walhasil, partai-partai baru di masa reformasi lebih banyak didominasi baju-baju baru yang dikenakan para kutu loncat berslogan anti Orba, tanpa “ideologi anti Orde Baru”. Isu-isu publik seperti kesejahteraan umum, kerusakan ekologis, korupsi, penyelesaian HAM masa lalu, tidak menjadi perhatian sungguh-sungguh di parlemen. Wakil-wakil rakyat itu sibuk oleh isu-isu overkill atau subyek-subyek persoalan yang dilebih-lebihkan secara sengaja supaya terdengar sangat gawat. Padahal isu-isu itu tak ada dalam rencana-rencana kerja. Apa yang dianggap penting: isu ancaman terhadap kehidupan beragama (kriminalisasi ulama), bahaya kebangkitan PKI, ancaman asing, orientasi seks menyimpang, dan pamer-pamer siapa yang paling nasionalis. Tuduhan-tuduhan dan diskusi panas jamak berlangsung di medsos. Seakan-akan politisi itu pada nggak ngantor. Semuaya sibuk serang-tangkis mencari simpati menjelang pilpres. Maka menurut Ariel Heryanto (atau menurut saya yang membaca beliau), rakyat Indonesia mengalami frustasi besar. Orba belum mati-mati.

Ketiga, adanya Golput “baru”. Golput zaman Soeharto adalah statement politik terhadap demokrasi yang senyap kritik. Masa itu Orba menciptakan massa mengambang dengan mencabut semua ekspresi politik dalam kegiatan-kegiatan publik termasuk kampus, kantor, birokrasi. Hari ini Golput “baru” hadir karena bising. Demokrasi televisi tampil dengan drama thriller mendekati horror yang menyalak di setiap saluran TV. Sebagaimana pun nyaringnya pemerintah menceritakan keberhasilan pembangunan infrastruktur dan ekonomi, suaranya selalu kalah besar oleh berisiknya para politisi oposisi. Mereka yang dulu disebut massa mengambang, kini pemirsa terpapar yang timbul tenggelam dalam badai emosi.

Melihat siapa para Golput “baru”. Menurut jejak pendapat surat-surat kabar, generasi muda “milenial” tidak terlalu suka model komunikasi politik yang menggurui, dogmatis, dan menyuruh-nyuruh. Mereka tidak tertarik dengan cara para orang tua meramaikan politik dengan festival, deklarasi, dan kegiatan publik yang menggunakan tubuh. Namun mereka tetap menggugat sesuatu. Setidaknya generasi orangtuanya yang terlihat primitif, cemas, dan arogan. Mereka yang suka melabel-label seenaknya orang-orang muda sebagai: “generasi mecin“, generasi milenial,gamers, malas turun ke jalan untuk protes politik.Dihubungkan dengan keadaan ekonomi yang relatif datar-datar saja: mengalami hidup nyaman dengan harga barang konsumsi terjangkau dan stabil.

Tentu “millenial” punya pertimbangan sendiri untuk memilih posisinya di pilpres nanti. Mereka adalah 14 juta suara yang mendengar Orba dari cerita. Mereka yang entah kangen Orba atau alergi terhadapnya lebih berbekal referensi cerita nostalgia orangtuanya daripada pengalaman aktual. Mereka yang dibentuk opininya oleh algoritma medsos yang selalu mengarahkan pada hal-hal yang trending. Survey CSIS 2017 mengatakan bahwa generasi “milenial” (mereka berusia 17-24 tahun pada tahun 2017) dan “non-milenial” (diatas 24 tahun), sebetulnya tidak terlalu jauh berbeda. Keduanya optimis melihat masa depan, rajin menonton televisi, cenderung memilih partai politik pemain lama, dan perilaku keagamaannya sama-sama konservatif. Selera dalam pemilihan kandidat presiden pun tidak jauh berbeda. Namun dalam survey lain, ditemukan juga pola skeptis terhadap institusi atau branding. Kelihatannya “milenial” tidak mudah menjadi fanatik untuk satu hal. Maka mengatakan bahwa “milenial” cenderung akan menjadi golput bisa jadi berlebihan. Beda milenial dan non-milenial hanyalah karena mereka masih muda dan tidak mudah percaya. Tapi mereka punya skill mencari data dan melakukan verifikasi lebih baik dan sigap terhadap kebenaran-kebenaran dibalik sebuah berita. Apalagi jika berita tersebut bersifat sensasional. Bukankah yang rajin mengirim ulang segala macam berita adalah orang-orang tua yang dulunya biasa dengan kehidupan analog?

Ada pula karakter golongan sempalan “Post-Orba” yang merupakan “veteran golputers“. Mereka menyatakan anti Orba, punya pengalaman Reformasi ’98, tapi tetap memilih menjadi golput di masa pemerintahan Jokowi. Katanya bahwa pemerintah sekarang dengan komposisi aktor oligarkinya masih merupakan wajah buram dari pemerintahan Orde Baru. Mereka pun sadar sepenuhnya tentang hal sipil politik warganegara untuk menjadi golput. Pemerintahan dianggap perpanjangan sistem korup lama. Jenderal-jenderal yang itu-itu saja masih hilir mudik dalam kabinet aktif. Pemerintahan belum berhasil membuka telanjang persoalan HAM. Semua persoalan dan keberhasilan atau pun kelambatan mereka tinjau dari parameter HAM. Kelompok “intelektual idealis” ini masih satu generasi dengan kelompok “intelektual realistis” 1998 yang juga kecewa, tapi masih bisa memberi apresiasi terhadap kinerja pemerintahan sekarang. Bagaimana pun juga banyak kebaikan dibuat dan tidak semuanya harus ditinjau dari kacamata HAM. Para realis memilih tidak golput.

Di atas semua itu, Orba masih kuat secara kultural dan adaptif. Bahkan Jokowi yang sama sekali tidak punya hubungan kekerabatan darah maupun sosial dengan “keluarga Orba” pun harus berstrategi dengan melibatkan wajah-wajah Orba dalam lingkaran terdalam kepresidenannya yang bagai dililit gurita. Kuatnya Orba berbuah reaksi  skeptis para veteran golputers. Mereka yang selalu bertanya: “ngapain sih, Jokowi deket-deket jendral Anu, Anu? Bakal kabur pemilihnya nanti!” Orba masa kini adaptif menggunakan simbol-simbol utama yang masih bisa dipakai dan efektif yaitu penguatan politisasi sektarian. Kendaraan yang ampuh untuk menyapu rintangan apa saja terhadap perubahan progresif. Dengan baju agama, metodenya masih resep sama yaitu menggunakan ketakutan-ketakutan dan ancaman untuk menciptakan solidaritas terhadap kebertahanan status-quo. Tidak mudah untuk melepaskan diri dari gurita tersebut.

Sekarang saya ingin meloncat. Saya pakai kata “kultural” karena teringat Antonio Gramsci yang selalu mengkritik gerakan sosial revolusioner sebagai angan-angan yang tak pernah terwujud dan bagaimana revolusi fisik selalu kemungkinan besar gagal. Kegagalan itu disebabkan setiap rezim yang mapan selalu tahan banting. Mereka melakukan hegemoni kultural atau membangun cara-cara berpikir massal yang masuk akal, melibatkan nilai-nilai kebangsaan yang sakral, dan menciptakan musuh-musuh bersama. Bahan bangunan yang digunakan adalah fondasi sejarah yang disusun sedemikian rupa untuk menjelaskan wajah rakyatnya. Hegemoni adalah wajah populer, pelukan mesra, sekaligus sebuah jaket anti peluru yang sulit tembus.

Maka perlawanan terhadapnya tidak pernah terlalu mudah. Strategi counter hegemony yang efektif harus menggunakan elemen-elemen kultural yang sama untuk mengambil hati rakyat. Dalam konteks Indonesia maka wajar sekali Jokowi harus menggunakan semua senjata. Tapi bagaimana kalau musuhnya kebal peluru? Dia masih bisa menembak dengan peluru good governance, menangkap sebanyak mungkin koruptor yang bisa ditangkap tapi merelakan yang benar-benar besar untuk lolos. Perlawanan terhadap korupsi disukai rakyat sebagai cara melawan Orba karena punya legitimasi kuat secara internasional dan telah menjadi barometer global. Tapi diluar ususan itu, jaket anti peluru masih tebal. Prabowo tentu paham itu. Jokowi memang bisa bersikap adil terhadap pelanggaran-pelanggaran hukum dengan membiarkan mekanisme hukum berjalan. Tapi tidak untuk membatalkan produk undang-undang jahat buatan Orba (TAP MPR XXV/1966), atau intervensi terhadap gejala penguatan sektarian dalam penyusunan perundang-undangan. Jika ia melakukannya maka usaha perlawanan nya berumur pendek, tidak sesuai kebudayaan nasional kita dan rakyat akan menolak. Juga sudah menjadi kebudayaan nasional Indonesia bahwa perubahan hanya dilakukan oleh pemerintahan dan bukan desakan-desakan kolektif berupa gerakan sosial yang teratur. Selagi HAM belum menjadi agenda rakyat melainkan hanya milik NGO, maka waktu yang diperlukan masih sangat panjang. Dalam kacamata idealis seorang human rights defender, tentunya insiden berdarah melibatkan aparat, atau penahanan tanpa pengadilan di Papua, lebih penting sebagai pertimbangan memilih (atau Golput) daripada usaha pemerintah untuk membangun infrastruktur demi cita-cita keadilan sosial.

Di sisi lain tentunya Orba melawan balik dengan jurus-jurus yang dipahaminya: yaitu manipulasi. Selagi rakyat masih rentan dalam membedakan dengan jelas antara politisasi dan ibadah, maka agama merupakan jaket kuat untuk Orba berlindung dan menyerang. Serang-menyerang menggunakan “logika kultural” yang sama akan terus dilakukan demi meraih simpati. Masih akan panjang membangun hegemoni tandingan itu. Kesadaran hak sipil politik itu penting sekali, oleh karena itu gunakan secara baik. Sebaik-baiknya adalah untuk menyerang yang jahat. Jika dulu jadi Golput dilarang Orba maka hari ini jadi Golput diketawain Orba.

Artikel Prof. Ariel ini bagus banget untuk menjadi referensi, tapi ditulis dari jauh. Dengan mengandalkan pada teks-teks pertarungan yang sedang terjadi sebagai analisis cultural studies, menurut saya belum menangkap kegelisahan dan keresahan orang Indonesia yang sedang emosional meraih harapan akan Indonesia. Dengan segala tarik menarik antara hal hal ilusif seperti nasionalisme, subsidi dan kebutuhan nyata tentang fasilitas-fasilitas kesejahteraan rakyat yang butuh kecerdasan manajerial. Belum menggambarkan tentang bagaimana berat hati untuk memilih seorang pemimpin dalam peperangan wacana yang melukai banyak orang ketika ketaatan beragama dan kerukunan keluarga menjadi taruhannya.

Jakarta 14 Februari 2019

Categories
essays Uncategorized

Rekonsiliasi dalam Tubuh Bangsa *)

Penegakkan HAM akan basi tanpa menyentuh pelanggaran HAM berat yang dilakukan negara. Rekonsiliasi adalah tanda bahwa negara mengakui dirinya sebagai anti-demokratis, otoriter dan sedang ingin berubah. Oleh karena itu rekonsiliasi dapat terjadi dengan pola yang berbeda-beda di tiap negara seiring dengan kerelaannya untuk menerima substansi HAM dalam praktik demokrasi. Pada titik minimal, negara harus mengakui pelanggaran HAM berat yang dilakukannya dan meminta maaf secara resmi terhadap warganegara yang menjadi korban dan memberikan ganti rugi. Negara-negara yang tercatat melakukan rekonsiliasi konflik pada tahun 1980-an seperti Chile, Argentina menempuh cara itu. Tidak ada pengadilan terbuka yang menyeret pelanggar HAM satu-persatu. Afrika Selatan pada tahun 1990 melakukan langkah lebih jauh lagi yaitu melakukan pengadilan terhadap para petinggi militer dan mereka diharuskan menyatakan penyesalan atas segala tindakan kekerasan rasial, penculikan dan rangkaian pembunuhan untuk kemudian diganjar hukuman penjara. Namun, hukuman penjara yang dijatuhkan ringan saja sekitar 5 tahun penjara. Kini para penjahat kemanusiaan itu sudah melenggang bebas. Apakah itu adil? Tentu saja dari kacamata korban sangat tidak adil walau jauh lebih baik daripada tidak dilakukan sama sekali.

Tidak pernah ada jalan mudah untuk rekonsiliasi

Rekonsiliasi adalah proses berjalan di atas semak berduri karena menghadapkan dua pihak yang saling melakukan klaim diri sebagai korban dan sebagai pelaku kejahatan. Episode pertemuan antara korban dan pelaku untuk membicarakan penyiksaan, kesedihan dan kemarahan menjadi hal yang terjal menyakitkan dua belah pihak. Pelaku merasa sebagai abdi negara yang taat melaksanakan tugas, sementara korban yang seringkali massal, adalah subjek-subjek yang dihabisi hak asasinya tanpa sebab-sebab yang dipahaminya. Menempatkan rekonsiliasi sebagai persoalan hukum teknis artinya menyelenggarakan ratusan pengadilan secara maraton dengan ratusan kesaksian, dan mengulang-ngulang rasa sakit yang meletihkan itu. Lalu kapankah berhenti?

Rekonsiliasi yang mulanya dilakukan secara teknis harus bertransformasi ke ranah simbolis untuk mencapai tujuan yaitu menyembuhkan luka bangsa. Bangsa diibaratkan sebagai tubuh yang menderita sakit dan perlu disembuhkan agar sehat kembali. Menjadi bermakna bukan karena memenuhi keadilan setiap orang secara spesifik sebagai korban langsung, tetapi menyentuh kita semua terutama generasi muda sebagai anggota bangsa yang secara simbolis juga menjadi korban. Rekonsiliasi mencapai puncak ketika maknanya menjadi umum dan inklusif seperti “perdamaian, pemaafan, penyesalan dan pengakuan atas kesalahan” dalam skala bangsa. Dalam tahap ini ruang-ruang dialog akan terbuka lebih lebar. Warganegara akan aktif mempertanyakan apa yang sesungguhnya terjadi dan bagaimana menyelesaikan konflik-konflik tersebut. Nelson Mandela menjadi ikon rekonsiliasi bukan karena keberhasilannya menghapus politik apartheid dan menghadapkan sejumlah besar penjahat HAM ke pengadilan. Kekuatannya terletak di kemampuannya mencari simbol persatuan Afrika Selatan yang terbelah karena konflik rasial. Keberhasilannya adalah karena keyakinan untuk memanusiakan siapapun warganegara Afrika Selatan demi kebaikan bangsa. Tubuh seakan berekonsiliasi dengan dirinya sendiri.

Bagaimana Indonesia? Dalam konteks Indonesia dengan kepercayaan buta anti-komunisme, peristiwa 1965 sudah dianggap tutup buku. Negara menuduh peristiwa pemberontakan dan makar PKI sebagai kebenaran mutlak dan menutupnya dengan kesimpulan mati. Fakta-fakta baru ditolak. Konsekuensinya negara enggan hadir mengisi ruang penegakkan HAM yang paling krusial yaitu pengakuan resmi tentang pembunuhan massal, penahanan tanpa pengadilan dan penyiksaan. Maka secara normatif kebencian warga terhadap korban dimaklumi dan diwajarkan. Melalui strategi warisan Orde Baru, negara aktif merekrut opini publik sebagai komponen bangsa untuk terus memelihara rasa benci terhadap apapun terkait dengan PKI. Keberhasilan penulisan sejarah nasional dalam menyebarkan hantu komunisme sudah menjadi kebudayaan dominan. Pada situasi ini adanya korban ratusan ribu sampai sejuta lebih, jadi kalah jumlah dibanding dengan besarnya kebencian terhadap komunisme yang benihnya ditanam setengah abad lalu. Kaum kontra-rekonsiliasi yang selalu menggunakan alasan bahwa kaum komunis juga melakukan pembantaian horizontal menjadi tanda kegagalan untuk membedakan antara perkara pidana biasa dan pelanggaran HAM berat secara vertikal ketika negara terlibat.

Rekonsiliasi untuk penegakkan HAM adalah mutlak. Pemerintah Indonesia perlu paham bahwa rekonsiliasi bukan sebuah pengadilan “balas dendam”. Memang akan ada sederet tersangka dan tumpukan tuduhan yang idealnya harus dibuka transparan. Hal terbesar adalah mulai dari pengakuan resmi negara terhadap kejahatan kemanusiaan yang dilakukan pada periode 1965-79 dan menyebutkan aktor-aktornya yang bertanggung-jawab. Jika mengharap pengadilan dan pemenjaraan terlalu memalukan, maka pengakuan dan permintaan maaf cepat atau lambat harus segera dilakukan. Mencegah keadilan tegak dan kebenaran untuk terbuka memiliki batas sebab waktu terus berjalan. Generasi muda sangat haus kebenaran sejarah dan mereka bergerak untuk mengerti.

Sidang Pengadilan Rakyat Tribunal di Den Haag mengundang reaksi negatif dari Indonesia selaku tergugat. Wakil Presiden Jusuf Kalla mengatakan bahwa sidang itu main-main, bikinan Belanda yang melanggar HAM lebih besar.  Menkopolhukam Luhut Binsar Panjaitan bereaksi keras mengatakan bahwa siapa pun orang Indonesia yang terlibat adalah musuh negara. Pernyataan ini bermakna bahwa negara dan bangsa memang memiliki perbedaan arti mendasar tergantung siapa yang mengucapkannya. Perbedaan ini mengklarifikasi pernyataan teoretis Marxisme tentang kedudukan negara dan warganegara yaitu bahwa negara adalah mesin yang dipergunakan elite politik untuk melindungi kepentingan sekelompok kecil. Namun jika perspektif bangsa digunakan, maka rekonsiliasi adalah kesempatan negara untuk memperlihatkan sifat-sifat alamiah negara yang baik terhadap pembinaan kehidupan berbangsa yaitu menyatukan warganegara dan menyelesaikan konflik. Generasi muda berhak hidup tanpa beban sejarah di pundak mereka dan negara bertanggung jawab membela hak mereka.

*) Diterbitkan di Kompas Opini tanggal 11 Desember 2015. Artikel ini adalah versi asli sebelum edit redaksional. Versi koran di sini

Categories
Uncategorized

Mary Jane: 9 hari menunggu regu tembak

Saya anti hukuman mati dan tidak pernah menemukan argumen cerdas dibalik pendukung pembunuhan itu. Hukuman nati adalah pembunuhan berencana yang harus ditentang. Kasus Mary Jane Veloso tidak perlu terjadi.

Pengacara publik di Filipina berserta elemen organisasi progresif lain sedang berjuang menyelamatkan Mary Jane Veloso yang akan dibunuh segera. Hukuman mati adalah kesalahan jahat dan pelanggaran HAM berat. Proses peradilan cacat menyempurnakannya. Presiden Joko Widodo, jika memang dia mengerti dan menghormati HAM, harus segera mencabut hukuman tersebut. Saya menerjemahkan artikel ini atas permintaan kawan-kawan pengacara publik dari National Union of People’s Lawyer, Filipina. Mary Jane adalah korban berlapis: human trafficking, drug trafficking dan sistem peradilan sesat. Artikel asli KLIK di sini. Tolong sebarkan dan buatlah sebanyak mungkin orang membaca, terganggu, dan marah. Usaha Anda menyebarkan akan sangat berarti. Iwan Meulia Pirous    Profil Kasus Mary Jane Veloso Kasus : Vonis Hukuman Mati karena Membawa Narkotika Asal : Barangay Caudillo, Cabanatuan City, Nueva Ecija. Filipina. Lokasi saat ini : Penjara Wirogunan, Yogyakarta. Mary Jane Veloso seorang single mother berumur 30 tahun, berasal dari keluarga miskin. Ayahnya bekerja sebagai buruh tani musiman di Hacienda Luisita dengan upah sangat kecil. Untuk menopang hidup, Ia mengumpulkan sampah plastik. Mary Jane adalah anak bungsu dari 5 bersaudara yang hanya mampu bersekolah sampai SMP kelas 1 lalu menikah muda dan punya dua anak.

Dengan harapan untuk dapat menyekolahkan anak-anak nya, Ia pergi meninggalkan Manila bekerja sebagai buruh migran di Dubai tahun 2009. Sebelum masa kontrak dua tahun habis, Ia memutuskan pulang ke Manila karena majikannya mencoba untuk memperkosanya.

Tanggal 19 April 2010, dia dibujuk oleh seorang teman bernama Maria Christina Serio (warga Talavera, Nueva Ecija). Maria bilang , seorang temannya orang Malaysia butuh tenaga pembantu rumah tangga. Dia membayar pada Christina uang sebesar 20 ribu peso, 1 sepeda motor dan sebuah telepon seluler untuk “mengganti” ongkos ongkos yang diperlukan Christina mengurus keberangkatan Jane. Demikianlah Jane direkrut secara ilegal.  Di hari keberangkatan, dia hanya membawa satu celana dan sepasang baju seadanya dan berangkat ke Malaysia. Sesampainya di sana, Jane mendapat kabar bahwa kesempatan kerja sudah ditutup dan dia dijanjikan pekerjaan lain. Dia tinggal tiga hari di Malaysia dan diajak jalan berkeliling dan belanja pakaian.

Insiden di Airport Adi Sucipto, Jogyakarta Tanggal 26 April, Christina menyuruh Mary Jane untuk segera bergegas berkemas kemas karena ada pekerjaan di Indonesia. Awalnya Jane menolak karena dia tidak punya uang dan tiket. Christina memberi sejumlah uang dan koper kosong dan memasukan pakaian pakaian ke situ. Ketika mendarat di Yogyakarta dan melewati X-Ray, petugas mencurigai koper Jane. Setelah dibongkar dan segala isi dikeluarkan, tidak terdapat apa apa yang aneh. Namun ketika dimasukkan lagi ke dalam mesin X-Ray ada tampak barang mencurigakan. Maka kemudian koper tersebut dihancurkan dan di bagian dalam yang tersembunyi  terdapat 2.6 kg heroin senilai US$500,000.

Penahanan dan Pengadilan Jane tampak menghibur sang ibu Celia yang datang berkunjung ke tahanan tahun 2013. Kunjungan dimungkinkan atas bantuan teman-teman di tahanan dan kebaikan petugas penjara. Pada tanggal 9 Mei di hari ulang tahun ayahnya, Mary Jane menelepon ibunya yang tidak mengerti apa apa. Tanggal 11 Mei Jane mengirim pesan lewat hp: “Nanay, tatay, mahal na mahal ko kayong lahat.”(Mother, Father I love you all very much). Juga dua nama anaknya dan kakak kakaknya disebut. Tapi dia tidak cerita apa yang terjadi.  Hari berikutnya keluarga berusaha menghubungi dan Jane bilang pada Darling (kakak perempuan Mary ): “Ate nakulong ako”  (“aku dipenjara”).

Tanggal 13 Mei pihak keluarga menghubungi media. Pihak media berupa stasiun TV menolak membantu dengan alasan kasus terlalu rumit. Media yang lain bahkan melarang mereka masuk gedung. Mereka melanjutkan langkah ke Kementerian Luar Negeri. Pihak Kementerian berjanji akan membantu.

Setelah dua tahun berlalu tidak ada perubahan apa apa. Tidak ada jawaban substansial dari pemerintah kecuali bahwa mereka bilang akan berusaha menolong Mary Jane. Tidak ada kepastian hukum apakah Jane bersalah atau tidak. Juga tidak ada bantuan hukum, pernyataan dan investigasi kasus ini dari pihak pemerintah.

Menurut Agus Salim pengacara Mary Jane di Indonesia,  dia tidak mampu untuk membela dirinya sendiri. Ketika diinterogasi oleh Polisi bahasa yang digunakan adalah Bahasa Indonesia yang saat itu tidak dipahaminya. Dalam pengadilan ada bantuan penerjemahan  yang disediakan pengadilan mahasiswa akademi bahasa asing yang tidak memiliki lisensi dari asosiasi penerjemah bahasa Indonesia.

Pengadilan singkat bagi Mary Jane berakhir bulan Oktober 2010. Hanya 6 bulan semenjak dirinya ditangkap Hakim  tidak mengabulkan tuntutan jaksa untuk hukuman seumur hidup.  Hakim menjatuhkan hukuman mati.

Junii 2013. Keluarga Jane berkunjung. mereka adalah Celia dan Cesar Veloso serta dua anak Jane yaitu Mark Daniel dan Mark Darren. Kunjungan ini dapat terlaksana dengan adanya bantuan uang untuk biaya perjalanan yang dikumpulkan oleh kawan kawan Jane di penjara termasuk juga sumbangan dari penjaga penjara.  Total biaya yang diperlukan cukup besar untuk keperluan keperluan mendesak seperti biaya bikin paspor, beli tiket dan biaya hidup selama sebulan di Indonesia.

Perkembangan kasus setelah Vonis Mati Pada bulan Agustus 2011 Presiden Benigno Aquino III meminta pengampunan bagi Mary Jane yang ditujukan pada pemerintahan Presiden SBY. Pada masa itu Indonesia punya moratorium untuk menunda hukuman mati dan pengampunan belum ditindaklanjuti sampai masa akhir kepemimpinan SBY.

Pada bulan Oktober 2014 Indonesia punya presiden baru. Tidak lama setelah Joko Widodo dilantik dia mengumumkan perang terhadap kejahatan narkotika. Presiden menolak semua permintaan pengampunan (clemency) dari semua terpidana yang sudah dijatuhkan vonis mati. Pada bulan Januari 2015 nama Mary Jane termasuk dalam daftar yang akan dihukum mati. Pengacara yang disewa pemerintah Filipina segera mengajukan proses judicial review (peninjauan kembali) yang merupakan usaha terakhir yang masih terbuka dan diakui oleh sistem hukum Republik Indonesia. Judicial Review diajukan tanggal 19 Januari 2015.

9 Februari 2015. Pada masa kunjungan Presiden Joko Widodo ke Filipina, Presiden Aquino kembali mengangkat kasus Mary Jane dalam pertemuan resmi. Tanggal 19-21 Februari 2015, pemerintah Filipina memfasilitasi Keluarga Veloso sebuah kunjungan keluarga bagi Ibu, saudara perempuan, dan dua orang anak Mary Jane ke penjara. Sekretaris Deplu Pemerintah Filipina Alberto Rosario menengok Mary Jane pada tanggal 24 Maret 2015.

Pada tanggal 3 sampai 4 Maret 2015 dilangsungkan Peninjauan Kembali (PK) di Pengadilan Negeri Sleman untuk mencari jika ada bukti-bukti baru dalam kasus Mary Jane. Pihak pengacara Mary berpendapat bahwa kasus ini berhak ditinjau ulang karena selama proses peradilan sebelumnya, Mary Jane tidak didampingi oleh penerjemah tersumpah dan profesional sehingga terdapat cacat hukum. Bahkan Kepala sekolah Akademi Bahasa Asing di Jogyakarta pun mengakui bahwa pada saat itu penerjemah Mary Jane tercatat sebagai siswa sekolah mereka. Untuk memperkuat argumen ini, pengacara menggunakan kasus yang menimpa Nonthanam M. Saichon seorang warganegara Thailand dalam kasus Narkotika yang juga secara teknis memiliki cacat karena masalah tidak ada penerjemah yang layak.  Tetapi pada tanggal 25 Maret 2015, Mahkamah Agung Republik Indonesia (Supreme Court) menolak peninjauan kembali kasus Mary Jane.

Meskipun demikian, pemerintah Filipina masih berusaha keras untuk menyelamatkan nyawa Mary Jane. Pemerintah sedang berusaha mengajukan petisi kedua untuk Judicial Review yang memang secara hukum masih dapat dilakukan. Namun masih belum jelas apakah usaha di atas diperbolehkan oleh sistem peradilan Indonesia. Pengacara Mary Jane masih mempelajari pilihan-pilihan jalur hukum terakhir yang dapat dilakukan. [UPDATE: Peninjauan Kembali tahap kedua dengan bukti-bukti baru juga ditolak]

Utusan PBB Christhof Heyns yang diberi mandat menangani masalah-masalah internasional extra-judicial dan hukuman mati sembarangan juga sudah mengajukan keberatan kepada Presiden Joko Widodo untuk mencabut hukuman mati terhadap Mary Jane dan 14 terhukum lain atas dasar laporan dari UN Commisioner for Human Rights karena mereka mengalami proses peradilan yang cacat. Dalam laporan yang sama mereka dianggap tidak menerima cukup bantuan hukum dan tidak terpenuhi haknya untuk memperoleh penerjemah yang layak. Mereka juga tidak didampingi oleh perwakilan hukum dalam tiap tahapan peradilan yang dialaminya.

Sementara itu, organisasi Migrante International dan Migrante Sectoral Party bersama dengan keluarga Mary Jane di Cabanatuan City tengah melancarkan kampanye untuk menggalang dukungan solidaritas warga untuk peduli dan menyelamatkan nyawa Mary Jane. Jaringan Flor@20–yang dibentuk untuk mengenang Flor Contemplacion, seorang pembantu rumah tangga yang digantung–juga aktif menekan pemerintah Indonesia untuk mengubah nurani Indonesia sehingga Mary Jane Veloso tidak harus mati.

Categories
Uncategorized

under renovation

 

I pretend to be me when I write and I don’t like what I read so I stop even before I start.

I want to see what happens in my head that’s why, and I want to talk about it with myself.

I wish I could write again like me. Those were the days of papers and pens. No delete buttons. No coward backspaces. No wordprocessor. Just muscle full of strikeouts and angry strokes. My memory is getting rusty about dates, sequences, places, but my feelings remember. I believe that’s my reason to write.

 

Categories
Uncategorized

Masukkan budaya Indonesia dalam body bag saja !

Orang-orang Indonesia di Malaysia merasa heran mengapa orang-orang Indonesia di Indonesia gampang benci Malaysia. Emang kenapa, sih?

 

TKI di Malaysia Unjuk Rasa Protes LSM Indonesia (ANTARANEWS 12 Oktober 2009)

Dalam demo itu, para TKI yang bekerja di sektor pertanian, konstruksi, dan pembantu rumah di sekitar Cameron Highlands, membawa pamflet yang di antaranya bertuliskan, “Kami Aman di Malaysia”, “Terima Kasih Pahang & Malaysia”, SBY (Susilo Bambang Yudhoyono) dan NTR (Najib Tun Razak) pemimpin terbaik”. Para TKI itu menyesalkan sebagian rakyat Indonesia yang kurang menerima penjelasan mengenai isu tari Pendet Bali hingga menimbulkan sentimen anti-Malaysia.

Belakangan ini aksi organisasi2 pembenci Malaysia di tanah air memang makin marak marah-marahnya. Sudah buka posko, pasang poster, dan menerima pendaftaran relawan-relawan (mencapai 1500) yang siap dikirim menghancurkan musuh (dan rela pulang dalam bodybag). Dendam kesumat warga Indonesia ini adalah sentimen kolektif yang menyebar dan berbuah “pengorganisasian patriotisme” dalam bentuk rencana penggalangan massa untuk invasi Kuala Lumpur. Tapi, mengapa justru TKI yang rencananya kita bela dengan nyawa itu malah sewot? Ada apa?

Ada dua kemungkinan yang bisa menjelaskan.

Pertama: orang Indonesia menganggap bahwa budaya itu properti material. Ketika pendet diaku sebagai milik Malaysia maka kita bayangkan persoalan copyright, hak paten, hak properti intelektual yang tak pernah diurus negara bagi properti budaya. Wacana yang berkembang kemudian adalah pencurian budaya. Tapi apakah budaya bisa dicuri? Di sini kita marah dan terpicu sentimen nasionalisme-nya. Alih-alih ingin menegakkan harga diri, sebetulnya yang diharapkan para relawan anti-Malaysia adalah kebijakan negara Indonesia yang membuat semua budaya menjadi properti ekonomi dalam paradigma kapitalisme. Dalam sistem ini, segala hal bisa dibuat menjadi komoditas, di-objektivisasikan, diberi harga dan dilindungi hukum berupa sanksi pelanggaran terharap pencurian. Menempatkan budaya sebagai komoditas itu sama dengan menyamakannya dengan minyak bumi, ikan, dan hasil-hasil bumi lainnya. Tegasnya, budaya diturunkan derajatnya jadi sekedar materi

Kedua: orang Indonesia (di negeri sendiri) menganggap bahwa fasisme dan rasisme adalah ideologi yang tepat. Ini adalah sikap bangsa yang cenderung xenophobia. Kita ingin menjadi bangsa besar yang naik panggung sendirian. Bangsa terbaik dari segala bangsa. Bangsa paling berkualitas. Oleh karena itu purifikasi sangat penting dimana segala hal menyangkut “ini milik kita” dan “ini milik mereka” harus sejelas perbedaan hitam dan putih. Pelanggaran terhadap hal ini artinya baku-hantam. Sejarah peradaban dan studi antropologis justru menunjukkan bahwa purifikasi budaya adalah obsesi para utopis yang kalaupun terjadi akan bersifat sangat artifisial, mematikan kreativitas, memiskinkan dialog dan melahirkan tindakan-tindakah khas orang kalah: radikalisme, genosida, fanatisme, dan terorisme.

Gabungan dari dua kecenderungan diatas sangat relevan dengan skema-skema neo-liberalisme. Memetakan semua hal menjadi komoditas sumberdaya yang harus direbut, dijaga, diakumulasikan dan dihitung seperti kapital ekonomi bertaruh nyawa. Inilah strategi ekonomi dunia sekarang yang menempatkan segala ruang sebagai arena gladiator ekonomi. Bagi saya hal ini sangat mengkhawatirkan, menjijikan dan patut dikasihani.

Apa yang krusial dilupakan oleh para relawan yang siap pulang dalam body-bag itu adalah kemampuan budaya sebagai alat diplomasi dan dialog yang terbukti dalam sejarah peradaban. Seharusnya, semakin tersebar sebuah unsur kultural, maka semakin terujilah kemampuan diplomatisnya sebagai bahasa yang menjembatani banyak perbedaan. Bagi saya, seharusnya kita bangga dan sangat bangga jika unsur budaya Indonesia bukan hanya dipakai tapi diakui negara lain. Sebab segala hal kultural bergerak bersama dengan dengan dinamika manusianya. Melalui perantau, para migran, musafir, kolonialisme, dan kaum diaspora dimanapun dimuka bumi budaya berkembang, menyebar dan meresap ke dalam berbagai lokalitas di berbagai tempat menjadi budaya setempat. Masalah pengakuan tidak dapat diterjemahkan sebagai tindak pencurian, sebab tidak ada sama-sekali kerugiannya. Kontribusi kultural Indonesia jauh lebih penting daripada menempatkan properti budaya sebagai fosil yang dikultuskan.. sebagai magnet bercahaya bagi turis (yang bawa duit?).

suka atau tidak, (Retro) Ganyang Malaysia adalah sakit hati khas para NeoLib.. yang anehnya teriak-teriak anti Neo-Lib.