Categories
Orba Resurrection Apocalypse quicknotes

Demokrasi Indonesia dari Stagnasi ke Regresi

Ini bukan sebuah resensi. Melainkan sebuah anjuran untuk membaca. Buku Demokrasi Indonesia dan Stagnansi ke Regresi (Penyunting: Thomas Power dan Eve Warburton, 2021), memberikan berita buruk tentang kualitas demokrasi Indonesia yang telah sampai pada titik terendah semenjak Soeharto jatuh. Sebanyak 16 peneliti menulis rusaknya pilar-pilar demokrasi. Berikut hal-hal yang saya ingat dan susah lupa:

  • Terjadi penguatan lembaga eksekutif yang meniadakan kekuatan oposisi di parlemen. Lembaga eksekutif justru malah menghimpun partai-partai yang gagal berkuasa sehingga satu-persatu masuk ke dalam lingkaran kekuatan lembaga eksekutif. Artinya demokrasi bekerja tanpa kontrol oposisi.
  • Saya pun kaget. Pada periode kedua pemerintahan JKW, terjadi usaha-usaha penggiringan suara kepada kepala-kepala daerah di berbagai tempat di Indonesia dengan ancaman pidana korupsi jika ada penolakan. Melibatkan partai tertentu sebagai mesin dan bekerja sama dengan Kejaksaan Agung (hal. 401).
  • Terjadinya polarisasi politik sampai ke tingkat keluarga.
  • UU ITE yang membuat takut dan menekan kebebasan sipil berpendapat.
  • Adanya usaha menumbuhkan kepercayaan publik, bahwa kekuatan ekstrem Islam (termasuk Islam transnasional) adalah bahaya bagi demokrasi sehingga boleh dibubarkan. Padahal demokrasi sejati tidak boleh membubarkan ormas karena sudah ada penegak hukum yang akan menindak dengan pasal-pasal hukum.
  • Represi dan kriminalisasi kepada aktivis-aktivis kontra kebijakan pemerintah. Bahkan tidak ada tempat aman bagi aktivis-aktivis yang sudah besar dan diakui dalam gerakan sosial. Ini adalah fenomena berbahaya karena kita tidak dapat melupakan sejarah bahwa aktivisme adalah nenek moyang dari perubahan sosial.
  • Semakin banyaknya media oligarki yang bermain politik sehingga sulit menemukan pers independen.
  • Pemerintah lebih menggunakan pendengung dan algoritma media sosial untuk membentuk opini publik. Bukannya menggunakan ruang-ruang diskusi nyata.
  • Adanya usaha-usaha sistematik dan terang benderang untuk melemahkan KPK. Padahal KPK dibentuk karena penanganan hukum kasus korupsi sudah lemah.
  • Terjadi akselerasi penggunaan kekerasan di Papua baik fisik, verbal, dan simbolis. Adanya kriminalisasi terhadap perjuangan kelompok separatis. Dalam aturan internasional kelompok perjuangan kemerdekaan tidak dapat disebut sebagai kelompok kriminal bersenjata.
  • Terjadi Zero Sum Game dalam politik Indonesia yang meniadakan jalan tengah dengan membayangkan lawan politik sebagai kategori hewan yang harus dibasmi (“kadal gurun”).
  • Ada peningkatan ambang batas dari 2,5 persen di tahun 2009 menjadi 3,5 persen di 2014 dan 4 persen di 2019 sebagai syarat sebuah partai masuk parlemen. Bahkan untuk partai partai baru, threshold ini sangat ketat. Konsekuensinya partai partai politik sebetulnya tidak mewakili realitas politik para pemilih yang luas. Kaum progresif spektrum kiri dan muslim puritan tidak terwakili dan bergerak menjadi massa mengambang di luar parlemen.

Waduh!

Menyimpulkan hal di atas, terlihat bahwa masalah yang cukup berat terletak pada strategi politik kebudayaan negara Indonesia sendiri yang didesain untuk pragmatis dan berpihak pada kepentingan-kepentingan sempit atau partisan bahkan investasi. Kebudayaan politik Indonesia jauh dari diskusi publik yang berasal dari nilai-nilai ideologis partai-partai, tapi sangat dekat pada usaha-usaha personal untuk melanggengkan kekuatan dan kekuasaan.

Buku ini adalah kenyataan buruk. Ditulis dengan riset berhati-hati, beragam metode, dan menggunakan sumber dokumen publik serta wawancara (dengan melindungi kerahasiaan informan). Siapa yang seharusnya membaca? Harusnya Anda, sehingga bisa membantahnya dengan tulisan lain, atau menjadi mengerti betapa jauhnya jarak antara harapan dan kenyataan. Buat saya buku ini berguna memberikan validasi ilmiah dan benang-benang merah berbagai kondisi penurunan demokrasi yang saya alami. Saya melihat gambaran yang cukup lengkap sebagai bekal mensikapi pemilu mendatang.

Categories
essays

Konflik Wadas

Saat ini konflik keras antara pemerintah dan para petani Wadas sedang ditengahi dengan usaha-usaha dialog antar warga yang kontra pertambangan batu andesit dan aparat. Persoalan Konflik Wadas diharapkan selesai ketika luka trauma akibat kekerasan aparat terhadap warga terobati. Insiden ini mutlak dianggap sebagai kesalahan prosedural. Apa betul?

 Bagi golongan masyarakat agraris, tanah berfungsi sebagai penopang kehidupan utama. Dengan mengolah dan menanam di atasnya, mereka mendapatkan hasil agrikultur untuk dimakan atau dijual ke pasar sebagai cara memenuhi kebutuhan konsumsi. Memang selalu ada sumber pencaharian lain sampingan misalnya memelihara ternak,ikan atau menjual jasa tenaga sebagai buruh dan merantau musiman.  Signifikansi tanah diperlihatkan dari ekspresi-ekspresi kebudayaan pertanian mudah terlihat melalui ritual adat, cerita-cerita lisan, dan nyanyian-nyanyian yang menceritakan tentang kesuburan dan kehidupan berkelanjutan yang berpusat di pertanian.

Sejarah agraria Indonesia mencatat perlawanan-perlawanan keras ketika tanah-tanah pertanian yang merupakan milik komunal dialihkan kepemilikannya. Para petani yang menyerahkan tanah kepada pihak asing dianggap sama dengan menyerahkan nyawa mereka sendiri. Konflik agraria menjadi sangat tajam dan berdarah karena memang terkait dengan usaha-usaha petani menyelamatkan satu-satunya investasi yang menyambung nyawa. Cerita-cerita petani brutal yang mengamuk kemudian mengisi pembangunan kita dari masa ke masa.

Apa yang harusnya diganti rugi?

Narasi-narasi propaganda “anti komunisme” dalam kebudayaan populer diwarnai secara bias mengaitkan kebuasan petani ketika mereka menjadi kaum cerdas secara politik dan malawan ketidakadilan. Contohnya seperti adegan-adegan awal film Pengkhianatan G30S/PKI Arifin C. Noer tentang serombongan petani menyerang orang-orang di surau. Ada stigma politik yang memang dibangun sehingga ekspresi perlawanan petani dianggap sebagai kriminalitas tingkat gawat sehingga perlu rombongan polisi sampai ribuan seperti yang terjadi di Wadas sekarang.

Dampak peristiwa Wadas ini tidak saja menimbulkan reaksi pada kelompok-kelompok masyarakat sipil dalam gerakan sosial pro demokrasi yang menyuarakan penindasan, isu lingkungan, HAM, dan hak-hak sosial budaya, tetapi juga turut meresahkan kelompok-kelompok “non-gerakan” seperti komunitas ilmiah berbasis universitas, dan konsultan independen.  terutama di bidang sosial-konservasi. Mereka berusaha bekerja profesional mengikuti standar intrnasional yang tunduk pasda aturan HAM, sementara negara sendiri main paksa di depan mata.

Sesungguhnya yang lebih penting dari bujuk-membujuk adalah menggantikan kerugian yaitu dengan kompensasi. Itu pun hanya dapat dilakukan jika para petani bersedia. Tapi kesediaan itu sulit sekali datang karena tidak ada manusia bisnis yang rela dan mampu mengganti kehidupan yang hilang. Ganti rugi senilai harga tanah dianggap menyelesaikan kehilangan dengan adanya sejumlah uang yang dianggap menutupi kerugian-kerugian petani.

Namun demikian ganti rugi itu tidak akan pernah dianggap seimbang kerena adanya perbedaan makna tanah bagi petani dan bagi pengembang. Bagi para ekonom, nilai investasi tanah pertanian dapat diukur dengan sejumlah uang secara objektif.  Skema kompensasi yang paling “irit biaya” misalnya dengan mengganti biaya penanaman dan menaksir besaran hasil dari tanaman-tanaman yang berada di atasnya ditambah dengan nilai tanah itu sendiri, dan uang-uang lain untuk melupakan kesedihan akibat kehidupan yang terampas. Uang ganti rugi ini dianggap cukup untuk membeli waktu selama mencari mata pencaharian yang lain. Namun kemana kerugian petani dari akumulasi kerja berupa waktu dan tenaga yang hilang bertahun-tahun dalam mengelola dan akumulasi keuntungan dari hasil panen yang diproyeksikan akan hilang di masa depan?

Apa yang akan terjadi bagi kaum agraris ketika menerima sejumlah uang tunai? Mereka hanya cukup waktu untuk menghabiskan uang penghiburan tersebut untuk konsumsi, sementara dalam waktu yang terus berjalan, uang tersebut pun akan mengalami penyusutan karena inflasi dan kenaikan-kenaikan harga barang. Jurang kemiskinan menanti di depan mata.

 Cara yang lebih manusiawi lagi adalah mengukur penurunan kualitas lingkungan yang terjadi akibat proyek pembangunan misalnya dengan rusaknya sumber mata air, kotornya udara, buruknya pemandangan, dan kerentanan terhadap bencana alam sebagai kehidupan normal baru di masa depan. Kerusakan alam dan sosial ini harus dikalkulasi sebagai bagian dari ganti rugi. Tujuannya, kerusakan-kerusakan tersebut harus menjadi sangat minimal dampaknya jika tidak dapat tergantikan sama sekali. Baru kemudian menggantikan tanah garapan baik sawah, ladang, dan kebun sehingga penerima kompensasi tidak perlu mengganti gaya hidup bertani untuk bekerja di sektor lain yang persaingannya sangat tinggi, tidak dikuasai bagai meloloskan diri dari lubang jarum. Jika nilai labour yang hilang tidak dapat diganti, maka tanah garapan baru harus disediakan.

Para petani tidak perlu melakukan alih kerja dan alih kebudayaan sehingga kehilangan jati diri dari makna kerja sebagai petani. Kerja tani tidak dengan mudah diganti kerja-kerja lainnya. Apakah pemerintah  mau menempuh jalan ini? Misalnya membayar tenaga riset imparsial, menciptakan udara bersih, mencarikan lahan pertanian subut baru, atau menghitung-hitung bagi keuntungan yang adil dan berjangka panjang untuk petani dari keuntungan bisnisnya di tanah tersebut?

Apa yang sedang terjadi di Wadas dengan proyek pemerintah membangun bendungan dan pertambangan batu alam akan mendatangkan kerugian yang fatal bagi petani Wadas yang memang sudah hidup makmur dengan pertanian dan usaha perkebunannya. Hasil penelitian Walhi mengatakan bahwa tanah Wadas adalah “tanah surga” pertanian dengan hasil kayu keras dan tanaman perkebunan yang sangat menopang kehidupan ekonomi warga desa dengan hasil 8,5 milyar pertahun untuk komoditas pertanian dan 5.5 milyar per lima tahun untuk hasil kayu keras. Batu-batuan alam yang menjadi penyangga air tanah memengang peranan kunci. Perubahan bentang alam akan memperburuk atau mematikan apa yang tumbuh diatasnya.

Tapi seperti biasa, negara ini sudah matang pengalaman dengan perampasan ruang kehidupan sebagai pengorbanan suci warganegara bagi negaranya yang sedang giat membangun misalnya dari kasus Kedung Ombo tahun 1983. Perampasan tanah pertanian ini merupakan pengulangan lagu-lagu lama tentang kekerasan agraria di Indonesia. Dampak sosial yang sudah terjadi adalah munculnya kelas-kelas sosial baru dengan ciri-ciri miskin yang bekerja serabutan, kesulitan menabung, dan menyusun rencana jangka panjang. Mereka tidak dapat terserap ke dalam industri pabrik karena tidak ada tempat dan tidak ada pengalaman dan melahirkan generasi miskin di masa depan dengan segala kerentanan dan bahaya.

Maka itu perlawanan petani Wadas harus dilihat sebagai pelajaran terutama yang hidup di kota dan mencerna apapun dari media (juga dari sosmed dan buzzer). Orang kota yang makan dari supermarket, selalu punya jarak dengan petani. Padahal penderitaan orang kota juga sudah banyak, apalagi jika cuma buruh biasa. Mereka tergantung upah, berebut tunjangan, dibayar murah dan serba tidak pasti. Seharusnya orang kota punya rasa hormat bagi petani yang punya kedaulatan pangan walau cuma seorang petani. Membela harga diri petani sebetulnya mirip dengan membela diri kita sendiri yang sama-sama rentan di hadapan negara yang sangat kuat kuasanya.