Categories
essays

Pandemi dan Ekosistem Kultural

Kita di tengah ledakan pandemi Covid-19. Bagaimana melihatnya sebagai fenomena kultural?

Indonesia berada dalam posisi tertinggi dunia untuk jumlah kasus dan kematian baru karena Covid-19. Belum pernah berita kematian begitu banyak datang dari lingkaran pertemanan dekat bahkan saudara dalam waktu singkat seperti senapan mesin. Oksigen habis, IGD penuh, dokter, perawat, relawan berguguran, pasien bergelimpangan. Sosial media penuh teriakan minta tolong. Semua orang sedang menghindari mati sekitar tiga minggu ini. Dunia mencemaskan Indonesia sebagai episentrum Covid-19 saat ini. Tentu mereka bertanya mengapa negara ini begitu terlambat mengantisipasi dan membuat pilihan-pilihan salah? Ada beberapa faktor kultural yang membantu menjelaskan.

Absennya nilai budaya Risk Society

Kurang lebih 30 tahun lalu, sosiolog Jerman Ulrich Beck mengkhawatirkan bahwa ada suatu masa ketika semua pencapaian kehidupan modern yang identik dengan produksi, inovasi, dan teknologi akan menghantam seperti bumerang. Inilah ‘masa modern kedua’ (second modernity) ketika kegiatan produksi sehari-hari yang tadinya aman secara diam-diam memproduksi hal lain secara aktif tanpa disadari yaitu produksi risiko yang terus membesar. Beck memang menulis dalam konteks ledakan reaktor Chernobyl tahun 1986, tetapi tesisnya menjadi panutan dan relevan dalam studi-studi kritis tentang risiko peradaban sampai hari ini. Beck mengatakan bahwa jalan untuk selamat adalah adanya usaha untuk membangun iklim sosial yang disebut risk society atau model masyarakat yang memahami risiko skala katastrofe sebagai buah kemajuannya. Hal ini dilakukan melalui transparansi data melibatkan kerja sama antara politisi, penyelenggara negara, komunitas ilmuwan dan praktisi berbagai bidang dalam membangun kebijakan.

Dalam model risk society, surplus bisnis harus dialihkan untuk membiayai kesiapan penanganan risiko, dan bukan untuk ekspansi usaha. Dalam kondisi berubahnya ekosistem dan iklim sebagai konsekuensi kegiatan bisnis ekstraktif sumber daya alam, risk society seharusnya dianggap sebagai nilai budaya nasional. Diterjemahkan dalam tradisi riset dan kurikulum. Namun nilai budaya ini tidak dikenal di Indonesia sebagai sebuah negara yang membayar ongkos-ongkos politik dari kegiatan ekstraksi sumber daya alam. Justru kemudian Indonesia menjadi murid setia nilai-nilai ekonomi neoliberalisme yang minim memikirkan dampak-dampak jangka panjang terhadap kehidupan sosial dan alam.  

Tidak lampu peringatan yang menyala di negara ini ketika Wuhan melakukan lockdown dua tahun lalu. Tidak ada imajinasi kolektif di kalangan elite akan bahaya. Pemerintah berkelakar tentang virus ini. Padahal akses informasi terbuka. Banyak dokter-dokter yang menyempatkan diri menulis catatan-catatan dari rumah sakit masing-masing di seluruh dunia. Para ahli pun membuat ragam proyeksi tentang gelombang-gelombang melalui algoritma dan statistik yang mudah di-googling namun tidak dianggap sebuah prediksi ilmiah yang akan terjadi. Padahal film-film fiksi ilmiah sudah memperingatkan kita sejak lama. Film-film thriller tentang dunia distopia dan apokalips selalu bermula dari reaksi pemerintah yang lamban, memprioritaskan ekonomi, dan mengacuhkan peran ilmuwan.

Neoliberalisme Kesehatan

Prinsip Neoliberalisme percaya bahwa kinerja ekonomi menjadi sempurna ketika sektor-sektor publik yang dikuasai negara—dengan  alasan untuk kepentingan rakyat banyak—diserahkan pada swasta yang bersaing. Bisnis adalah bisnis dan jangan diberi rintangan atau beban. Banyak negara-negara kemudian mengalihkan tanggung-jawab sosial misalnya pelayanan kesehatan publik kepada swasta.  Ketika Covid-19 terlanjur meledak awal tahun 2020, negara-negara yang telah secara radikal memperbesar peran swasta berbayar di bidang pelayanan kesehatan cenderung untuk rentan terhadap menangani gelombang Covid-19.

Ketika sistem kesehatan rakyat dibayang-bayangi oleh dualisme pembiayaan antara negara dan swasta, maka terjadi standar ganda. Pelayanan negara yang murah atau gratis menjadi mundur kualitasnya. Orang yang tak mampu membayar jadi korban. Amerika Serikat, Inggris, Spanyol, Jerman, Italia lebih terpukul dibandingkan dengan negara-negara yang masih memiliki watak welfare state yang melayani semua orang tanpa pandang bulu misalnya Swedia, Finlandia, Norwegia. Sementara kesiapan Cina, Taiwan, Jepang, Cuba, Singapura, Selandia Baru sebagai negara-negara yang tidak asing dengan prinsip sosialisme relatif lebih responsif dan sigap.

Mudah dipahami meski nilai nasionalisme menjadi pakaian ritual harian, nafas Neoliberalisme terlanjur menduduki kabinet kita. Rakyat adalah beban kecuali mereka yang bayar. Tentu terjadi polemik karena bagaimana pun pada masa lalu konstitusi kita ditulis dengan semangat sosialisme. Polemik-polemik tentang vaksin berbayar menunjukkan pemerintahan yang bingung dan tidak kompak juga berakibat pada melambatnya penanganan pandemi. Jika pertumbuhan dan keselamatan ekonomi nasional harus berada di atas keselamatan rakyat, maka posisi rakyat adalah garda depan yang dikorbankan. Berakhir atau tidaknya wabah kemudian dianggap tergantung kepada kedisiplinan rakyat dalam melaksanakan protokol kesehatan sebagai jalan terakhir. Konsekuensinya UU Karantina Wilayah tidak akan pernah diaktifkan sekalipun itu sesuai konstitusi dan Pancasila.  Adalah sebuah tragedi bila kematian dianggap wajar sebagai sebuah statistik perhitungan skenario terburuk sebagai sebuah collateral damage sebagaimana operasi militer. Dalam polemik dan tarik-menarik kepentingan, kita akan kehilangan waktu dan momentum bertindak.

Neoliberalisme menghapus empati terhadap tragedi. Negara membandingkan angka kesembuhan dan angka kematian harian dengan menyimpulkan selisihnya sebagai berita baik lewat media. Propaganda ini bertujuan mengontrol kebenaran ilusif yaitu bahwa “kita-baik-baik saja”.  Virusnya tidak terlalu bahaya karena banyak yang sembuh. Usaha mengontrol kebenaran dengan terus menebarkan optimisme palsu tidak mempertimbangkan akibat psikologis dari matematika kejam dan minim empati untuk banyak keluarga yang kehilangan. Hal ini juga merupakan penghinaan terbuka terhadap tenaga kesehatan yang terus berguguran dan pasien yang sedang berebutan nafas. Apakah kita mau hidup dalam nilai ini?

Militansi hasil Algoritma Informasi

Mengenai informasi. Negara-negara underdog dengan internet lambat kemungkinan justru lebih bertahan. Jauh sebelum Covid-19, dunia sudah terjerembap dalam ketidakmampuan menghadapi risiko dari teknologi algoritma sosial media. Internet justru membuat manusia terkotak-kotak dalam ekstremnya opini politik hasil olahan kecerdasan buatan.  Merupakan pil pahit bahwa wabah ini subur dalam ekosistem favoritnya yaitu sifat suka meremehkan, sombong, egois, bebal, serakah, dan keras kepala yang dibentuk oleh opini-opini artifisial itu. Kita hidup dalam dunia yang berbahaya dan absurd ketika justru terbuai oleh hasrat-hasrat teknologi canggih tapi sekaligus menjadi tentara-tentara siber penyebar hoaks  yang diperbudak oleh gawai-gawai dan biaya sewa internet yang kita bayar sendiri. Filsuf Martin Heidegger sudah meramalkan bahaya dalam esai profetik tahun 1954 jauh sebelum adanya kecerdasan buatan yaitu jangan sekali-kali kita berpikir bahwa teknologi adalah instrumen yang membebaskan manusia. Teknologi punya kemampuan otonom untuk memerangkap manusia dan memaksanya bertindak sesuai logika teknologi itu. Persis dengan hari ini ketika teknologi sosial media justru melahirkan militansi yang galak misalnya gerakan anti-vaksin, teori konspirasi, anti-masker, nasionalis buta residu-residu pilpres dan sejenisnya.