Categories
essays

Komentar “Selamat Tinggal Proletariat”

Artikel di Kompas 30 April 2022 berjudul: Selamat Tinggal Proletariat tulisan Rekson Silaban menceritakan bahwa buruh tidak lagi berada dalam situasi klasik yang tegang dengan majikannya. Tidak ada lagi konflik kelas antara proletar dan kapitalis. Kecerdasan kapitalisme membuat buruh “naik derajat” menjadi mitra bisnis startup. Maka perjuangan buruh di masa depan menjadi lebih halus, lebih pada strategi kerjasama dan dialog dengan majikan. Dalam situasi ini, buruh akan mendapatkan kesejahteraan dan dukungan publik.

Tapi apa betul? Hal yang tidak terjawab jelas adalah ketidakpastian masa depan bagi dunia yang terus melahirkan bonus demografi. Dunia terus melahirkan bayi-bayi yang kelak semakin terlibat dalam persaingan kerja makin ketat. Bayi-bayi itu kelak akan mendapatkan identitas ketika bekerja yaitu identitas buruh.

Dalam perspektif kewarganegaraan dan politik, mereka pun akan menjadi publik. Dalam perspektif kelas kita baru akan melihat ekosistem yang real. Piramida status sosial ekonomi makin lancip, dan generasi baru makin rentan kemiskinan. Jadi apa yang dimaksud dengan dukungan publik? Siapa publik yang dimaksud?

Bagaimana pun kita bekerja alias memburuh walau kadang majikan kita tidak pernah jelas. Di rumah, di kantor, di jalanan, di kendaraan umum. Mungkin dengan gadget masing-masing. Apa yang ada di kepala ketika membayangkan identitas diri? Sebagai bagian dari publik? Sebagai bagian dari buruh? Atau bagian dari yang lain? Apakah artikel “Selamat tinggal Proletariat” itu sebuah perpisahan bahagia? Atau sebuah firasat gelisah yang akan menjadi nyata?

Apakah kita atau Anda ini buruh?

Kita mulai dari Kelas Buruh. Kata buruh identik dengan orang yang bekerja di pabrik. Tetapi sebetulnya kelompok pekerja yang bekerja di perkantoran sebagai profesional, memiliki jenjang karier, asuransi, pensiun masih tatap masuk dalam kategori kelas buruh atau proletar. Sebab tetap ada kesamaan fundamental yaitu mereka tidak berada dalam posisi sangat mampu untuk memiliki alat-alat produksi.

Maka seorang ahli ekonomi Inggris Guy Standing  dalam buku The Precariat The New Dangerous Class (2011), ingin mempertajam kategori kelas dari sosiolog Karl Marx dengan menambahkan dua kategori kelas sesudah elite yaitu:  Salariat yang diisi oleh pekerja kantoran, pegawai negeri, Profician, atau para profesional seperti para teknisi dan tenaga ahli. Lalu baru kemudian kelas Proletariat dalam pengertian klasik analisis kelas Marx, dan ditutup oleh kelas prekariat. Sebuah kelas baru yang kabur sosoknya.

Salariat dan Profician, adalah klasifikasi buruh yang mungkin selamat dan berhasil negosiasi dengan kecerdasan kapitalisme. Namun bagaimana dengan Proletariat apalagi Prekariat?

Munculnya Kelas Prekariat

Siapakah mereka? Seiring peningkatan efisiensi produksi, semenjak akhir 1980-an neoliberalisme ekonomi menciptakan sistem fleksibel bagi bisnis untuk semakin ekspansif secara global. Pabrik dapat berdiri jauh di luar negeri asalnya untuk menekan ongkos produksi dengan mencari kawasan buruh murah dengan sistem kontrak jangka pendek dan tidak tetap. Kelas buruh di seluruh dunia terpengaruh. Kaum buruh pabrik atau proletar paling merasakan dampaknya karena segala kepastian hidup berangsur hilang. Namun keadaan makin parah ketika efisiensi produktivitas ini tidak menimbulkan  peningkatan kualitas ekonomi banyak orang. Inilah awal kondisi terbentuknya kelas prekariat.

Istilah buruh telah menjadi ikon yang dikenal internasional. Sebagai buruh, seseorang berada dalam kepastian identitas kelasnya. Mereka memiliki simbol bersama, serikat, jenjang karier, asuransi, jaminan pensiun, dan perlindungan hukum. Perpaduan itu membentuk kebudayaan buruh yang kita kenal sekarang. Tidak semua buruh di dunia bernasib sama, tapi kepastian hidup selalu ada dan dapat diperjuangkan sebagai hak-hak buruh.

Tidak ada kepastian dalam relasi kerja produksi prekariat. Seiring dengan kontrak kerja berjangka pendek, visi masa depan pun menjadi pendek. Mobilitas kerja cenderung semakin horizontal karena mereka akan mengerjakan pekerjaan yang kurang lebih sama di pabrik atau kantor yang baru dengan kontrak yang pendek juga. Mereka selalu jadi orang baru di kantor baru dengan pekerjaan yang sama, tidak punya jaringan pertemanan kuat untuk membangun kepercayaan (trust), tidak mendapat hak pensiun dan jaminan-jaminan lainnya. Kondisi hidup menjadi tidak pasti dan pekerjaan demi pekerjaan sifatnya datang dan pergi.

Formalitas hubungan kerja tidak mengikat antara buruh dan majikan itu dibungkus aneka bentuk istilah “penghiburan” misalnya: partner, freelancer  dan  part-time.  Termasuk bahwa mereka sering berada dalam kondisi in-between jobs, sebuah istilah yang terlalu diromantiskan untuk menyembunyikan kecemasan “kerja serabutan”. Prekariat itu mungkin kita atau Anda juga yang merasa sebagai kelas menengah berpendidikan, punya keterampilan, sarat pengalaman,  tapi berada dalam kondisi tidak menentu (precarious condition). Secara psikologis pekerjaannya repetitif, membosankan, tidak memberi kebebasan berpikir, walau dapat saja diberi judul hebat misal “creative division”.  Dalam banyak kasus pendapatannya tidak seberapa, beban kerja besar, dan tetap dituntut membawa etos kerja profesional. Antropolog David Graeber menyebut suatu jenis perkerjaan ini sebagai bullshit jobs. Sebab pekerjaan-pekerjaannya bukan saja membosankan tapi miskin value dan tidak penting bagi manusia yang seharusnya punya waktu luang untuk berbudaya.

Masalahnya, jika ingin membandingkan, kaum prekariat tidak memiliki “perangkat kebudayaan” untuk menghadapi tekanan kemiskinan struktural. Berbeda dengan kategori lumpenproletariat (orang miskin strata terbawah) seperti gelandangan yang memang dipaksa untuk berstrategi sosial,  dan adaptif  hidup “di luar struktur formal negara” secara turun-temurun.  Gelandangan tanpa dokumen formal apa pun, walau berada dalam  kondisi kemiskinan absolut, akan tetap punya daya lenting.  Mereka mengembangkan jaringan sosial antar mereka dalam fungsi pengolahan dan penguraian sampah sebagai contoh. Sesuatu  yang terasa menakjubkan dan banyak ditulis dalam etnografi tentang kebudayaan kemiskinan di kota-kota besar.

Formasi kelas prekariat adalah proses dan tidak absolut. Lebih tepat mereka adalah merupakan generasi yang perlahan-lahan turun kelas mengarah pada posisi kelas prekariat. Bisa jadi kategorinya cair menampung para salariat dan profician yang mengalami dampak putus hubungan kerja. Generasi orang tuanya adalah kelas buruh yang mapan atau para salariat yang  membayangkan anak-anak mereka juga mendapatkan kenyamanan kaum buruh dengan bekerja di perkantoran dan mendapatkan gaji tetap, serta aneka tunjangan. Sebuah angan-angan yang sulit diwujudkan oleh generasi berikutnya yaitu generasi muda sekarang yang kerja paruh waktu. Bukan karena malas, tapi persaingan keras. Lalu kemudian terjebak di kerja-kerja mekanis dalam sekrup industri yang tidak terlalu bermakna untuk hidup berkebudayaan.

Mobilitas turun kelas terjadi di mana-mana. Kita dapat melihat dari berubahnya pola pemukiman Jakarta sebagai ilustrasi. Bukankah keluarga-keluarga yang dulu mampu tinggal di pusat kota satu-persatu pindah ke wilayah sub-urban yang lebih murah karena tidak mampu?  Tercipta sebuah gap antara generasi. Anak-anak merasa kecewa dan gagal karena tidak dapat memenuhi keinginan orang tua, sementara generasi tua merasa generasi muda menjadi milenial manja dan tidak mampu kerja keras untuk sukses. Padahal kondisi ini akibat dampak bonus demografi, persaingan makin tinggi dan biaya hidup makin mahal. Surplus tenaga kerja yang tidak dibarengi struktur pendukung kesejahteraan.

Sebagai kelas sosial, prekariat dapat sampai pada titik nadir. Tidak seperti kelas buruh yang identitasnya lebih jelas, prekariat tidak memiliki solidaritas karena cenderung tidak terlihat, anonim, dan merasa sendirian sekalipun jumlah mereka banyak. Seperti kita umumnya, mereka juga mengonsumsi citra kesuksesan para influencer, youtuber, atau gemerlap kemewahan pesohor yang membuat marah dalam kesepian. Mereka juga aktif menciptakan meme lucu atau shit-posting sebagai kritik. Namun sampai titik mana orang dapat membuat humor menertawai diri sendiri sementara kesenjangan makin tampil vulgar dan hidup makin susah?

Prekariat merupakan Bahaya?

Dalam kondisi serba tidak menentu, kelas prekariat cenderung mudah untuk menghantam kelompok lain termasuk sesamanya misalnya kaum migran, etnis, tertentu, kelompok minoritas atau siapa saja. Saling tuduh-menuduh antara “cebong” dan “kadrun” adalah contoh konflik horizontal dalam kelas Prekariat.  Premanisme, radikalisme, ekstrimisme,  dan cara-cara kekerasan adalah buah dari kondisi kelas prekariat itu. Wajah prekariat dapat bertopeng religius, dapat pula nasionalis. Mereka pun mudah direkrut untuk tujuan politik praktis. 

Dalam kondisi sosial Indonesia sekarang, bisa jadi para prekariat  ada di mana-mana. Mudah marah. Mereka hadir sebagai kerumunan asing di tengah massa, tapi gagal dikenali. Maka negara menggunakan kategori bias dengan pendekatan keamanan untuk menuduhnya dengan istilah-istilah sarat stigma. Misalnya anarkis, kaum intoleran, anti kebangsaan, provokator, penunggang, oknum, dan sebagainya. Sementara untuk merespons, negara akan makin banyak membuat pelatihan-pelatihan untuk penguatan karakter kebangsaan, kebinekaan dan anjuran-anjuran moral sebagai upaya memadamkan api.

Saatnya menyadari bahwa kondisi pembentukan kelas prekariat merupakan dampak dari kebijakan Neo-liberalisme seperti Omnibus Law. Sebuah kekerasan struktural yang tidak memihak pada keselamatan dan keamanan kerja rakyat Indonesia yaitu kita sendiri.  Sebagian besarnya adalah buruh part-time penuh kegelisahan. Situasi bagai api dalam sekam. Selamat Hari Buruh sepantasnya selalu diucapkan dalam medan perjuangan.