Komentar terhadap tulisan Bung Usman Hamid. Baca disini
Saya nonton Nanti Kita Cerita tentang Hari Ini (NKCTH) di bioskop yang penuh penonton, duduk di baris belakang bersama istri. Hanya berbekal info: “katanya bagus”. Sisanya biar nasib yang membawa. Tulisan ini berguna untuk yang agak kesel dengan film ini. Film ini bermaksud memberi pesan pada penonton tentang human rights, tapi filmya sendiri bukan soal itu. Penyebab film ini mengesalkan kira-kira begini:
Gangguan pertama. Film Nanti Kita Cerita Tentang Hari Ini menggunakan teknik kilas balik yang baru saya sadari setelah 10 menit film ini main. Bisa jadi karena kilas baliknya keseringan, sampai saya pikir ada dua keluarga. Baiklah, sebuah keluarga yang tumbuh dengan masalah-masalah rumah tangga. Walau belum tahu, apa sih sebetulnya masalah keluarga ini.
Keluarga ini terdiri dari bapak, ibu, dan tiga anak yang tinggal serumah. Keluarga yang berusaha bahagia. Bapak adalah seorang pemarah, posesif, penuh aturan. Anak sulungnya yang bernama Angkasa kerja di dunia tata panggung hiburan. Anak keduanya Aurora adalah seniman yang sedang membina karir, anak ketiganya, Awan adalah arsitek yang baru mulai bekerja. Sosok ibu tidak dominan dan banyak diam. Film ini penuh adegan marah-marah di rumah karena tokoh ayah yang over-protective terhadap anak terutama anak bungsu. Sementara kondisi Jakarta tidak memungkinkan untuk sang kakak sulung harus jemput-jemput adik tepat waktu. Si anak tengah lebih banyak berdiam di rumah menyiapkan pameran perdananya. Adegan-adegan yang memperpanjang adalah Awan yang sedang dekat dengan cowok yang bekerja sebagai manajer band.
Artinya keluarga dalam film ini sangat biasa. Gambaran keluarga di kota besar yang normal bagaikan tetangga kita di sebelah rumah. Tidak ada ketegangan yang dialami anggota keluarga misanya karena dikejar debt collector, korban pelanggaran HAM, trauma kekerasan seksual, perselingkuhan, penyakit, cacat badan, cacat mental, dan lain-lain. Ayahnya biasa-biasa saja. Tidak terjerat kemiskinan. Karyawan kantor tipikal kelas menengah, punya rumah, ada istri, ada anak-anak sehat yang berprestasi. Sebagai anak-anak mereka rileks karena steril dari stigma yang biasa dirasakan sebagai pelanggaran human rights.
Gangguan kedua: Penonton tidak tahu masalanya keluarga ini apa. Jadi itu masalahnya? Itulah anehnya. Di masa lalu Awan tidak lahir sendiri. Dia punya satu saudara kembar yang meninggal di RS persis setelah lahir. Kematian ini dirahasiakan kepada Aurora dan Awan. Hanya Angkasa dan tentu ibu yang tahu, tapi selalu dilarang buka mulut. Kematian itu membekas pada bapak sehingga jadi posesif dan pemarah. Bukankah Tuhan masih memberi satu anak sehat untuk dibawa pulang ke rumah? Apakah jadi masalah?
Keluarga selalu punya duka. Kematian karena alasan alami walau pedih, adalah duka yang sangat sosial. Sehingga kesedihan itu sebetulnya cepat disembuhkan oleh keluarga yang masih hidup, tetangga, dan perjalanan hidup dengan pengalaman baru. Selalu ada yang membasuh, sehingga kesedihan berubah menjadi rasa syukur kepada kehidupan dan rasa manis mengenang yang meninggal. Apalagi kembarannya Awan, belum cukup untuk meninggalkan duka mendalam. Bahkan dia belum pernah berinteraksi sosial dengan keluarganya. Kita tidak asing dengan keguguran, bukan?
Sebagai penonton generasi 80-an, saya masih latah mencari moral of the story dari sebuah film. Tokoh ayah menggambarkan seorang lelaki yang tidak pandai mensyukuri apa yang dipunyai. Banyak kisah gelap bertema keluarga yang layak film, tapi bukan ini. Kalau saja bayi yang meninggal itu bangkit gentayangan menuntut hak hidup, now we are talking.
Film ini tidak menceritakan apa-apa tentang human rights. Apa yang menyebabkan Usman Hamid menganggap film NKCTH sebagai pintu untuk memahami Human Rights Indonesia ? Atau saya yang ketiduran di bioskop, ya?
Angkasa dan Bapaknya tidak terkait dengan histori pelanggaran human rights Indonesia. Mungkin mereka menjadi massa mengambang yang bingung walau tidak digelisahkan oleh issue tersebut.
Ingin kabur dari bioskop, tapi susah karena duduk terlalu belakang dan penonton ekstra penuh. Mereka menikmati dan memuji. Saya teralienasi sambil tendang-tendang kaki istri.