Menghadapi larangan bakar lahan, para peladang mengalami kerentanan pangan. Stigma terhadap peladang adalah dampak produksi pengetahuan agrikultur modern yang tak berdasar.
Bagi petani ladang, tahun ini seharusnya padi sudah tumbuh untuk dipanen pada bulan Maret. Tetapi dengan adanya larangan pembakaran lahan, petani ladang di tidak lagi dapat melakukannya. Berdasarkan Inpres No. 11 tahun 2015, setiap kegiatan pengolahan ladang dan hutan tidak diperbolehkan untuk menggunakan api dengan alasan apa pun. Sejak 2016, perladangan di banyak tempat berhenti. Penegakkan aturan pun berlangsung dengan tegas. Pemerintah menyerahkan tanggung jawab kepada perusahaan-perusahaan perkebunan sawit untuk selalu waspada akan bahaya api. Jika ada yang membakar ladang, maka perusahaan dianggap bersalah. Para peladang pun sudah tahu bahwa di langit ada satelit penangkap panas yang senantiasa mengawasi. Cerita bahwa petugas akan segera datang meringkus peladang bertiup dari mulut ke mulut. Di satu sisi, Indonesia mematuhi tekanan internasional untuk turut menjaga kebersihan udara. Di sisi lain, kebijakan ini membuat petani perladangan berpindah putus asa. Peladang mengalami kerentanan hidup.
Kini kami berladang di warung
Masyarakat peladang berpindah (swidden agriculture peasant) di Kalimantan secara umum merasakan dampak yang sangat besar akibat berhentinya aktivitas ladang. Dengan tidak berjalannya kegiatan perladangan, maka bukan hanya beras yang harus dibeli tetapi juga seluruh jenis tanaman pangan lain yang ditanam dalam area ladang mereka. Seperti pengakuan peladang di Kecamatan Kendawangan, Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat, ketika membakar lahan masih diperbolehkan, maka tiap keluarga minimal dapat makan beras selama enam bulan atau lebih sedikit. Termasuk makan sayur sepanjang tahun tanpa membeli. Dalam keadaan cuaca bagus bahkan mereka dapat makan satu tahun dan masih ada sisa untuk dijual untuk belanja. Luas lahan sebesar dua hektar sudah cukup untuk menjamin hidup satu keluarga. Bahkan ketika pembakaran selesai, biasanya jumlah ikan haruan atau gabus meningkat di sungai sehingga warga mudah memperoleh protein. Kini, berhutang di warung menjadi kebiasaan baru. Warga sambil setengah berseloroh mengatakan: “kini kami berladang di warung”.
Namun untuk berladang tanpa api, masalahnya tidak sederhana. Tahap pertama adalah membersihkan semak belukar dan rumput-rumput tinggi. Tanpa menggunakan api maka rumput ilalang harus diracun supaya mati. Lalu ditebas dengan jumlah tenaga kerja yang besar untuk mencapai luasan maksimal hektar. Tanpa api efektivitas pengolahan ladang menurun sampai 75 persen. Lalu tanah harus diberi pupuk dan dikurangi kadar asamnya secara kimiawi. Proses ini mengharuskan peladang membeli. Jadi kalaupun membuka ladang, artinya sangat memaksakan diri. Ingin dibuat besar tidak ada modal, tetapi jika dibuat kecil risikonya terlalu besar. Dalam keadaan ideal, pada luas tanah satu hektar, maka hasil padi mencapai 1000 gantang (1,5 ton). Namun membuka sebesar satu hektar untuk ditanami padi hanya mungkin dapat tercapai dengan teknik pembakaran ladang. Dalam tiap musim tanam seharusnya setiap orang dalam lahan masing-masing harus menanam padi, tidak boleh ada yang tidak ikut. Semakin luas areal yang ditanam maka konsentrasi serangan hama menjadi terbagi dan tidak terlalu fokus merusak pada satu lokasi. Sebetulnya dalam keadaan normal, serangan hama itu selalu ada tapi tidak mengganggu. Petani menganggap biarkan jatah mereka sebagai sama-sama ciptaan Tuhan sebagai hak hidup yang perlu dijaga. Hama baru dirasakan berbahaya ketika jumlah luas lahan yang ditanami mengecil sementara hama sangat banyak. Mengecilnya luasan lahan disebabkan karena banyak petani yang tidak lagi mampu membuka lahan karena tidak boleh membakar. Jadi menurut petani, ada korelasi antara larangan bakar dan meningkatnya jumlah serangan hama dalam luasan garapan yang kemudian sangat mengecil. Keputusan rasional adalah berhenti. Seorang nenek yang masih ngotot berladang mengemukakan alasan: “kalau saya berhenti tanam, maka apa lagi yang dapat saya sedekahkan pada orang yang lapar?”
Peladang Korban Politik Pertanian
Dari etnografi tentang sistem pertanian ladang berpindah Kalimantan, pembakaran lahan dilakukan hanya sebentar dan tidak luas. Para peladang hanya membakar seperlunya dalam waktu cepat di atas kawasan tanah mineral dan bukan di kawasan gambut yang tidak subur itu. Namun, Inpres yang digunakan sebagai landasan larangan membakar tidak membedakan antara api yang berada di kawasan gambut dan api yang berada di kawasan tanah mineral yaitu tanah warga untuk berladang. Petani menjadi korban dari dua hal. Pertama, korban stigma dari modernisasi pertanian 1960-an. Sawah dianggap solusi final yang produktif hanya karena produktivitasnya tinggi, bergandengan dengan kapitalisme tani (pabrik pupuk, pabrik racun hama), dan nyaman nyaman dipandang karena cocok dengan visualisasi eksotis tentang kemakmuran pangan. Sementara ladang terlihat berantakan, hasilnya lebih sedikit, dan sulit diukur karena bergandengan dengan komoditas tanaman lain. Kedua, korban dari politik kapitalisme pertanian. Korporasi sawit yang mendatangkan keuntungan besar bagi negara dianggap menjadi prioritas. Alih-alih menjaga kualitas udara, larangan bakar bagi peladang tradisional lebih ditujukan untuk menyelamatkan perkebunan sawit dari tuduhan merusak lingkungan. Sementara petani ladang yang dikorbankan. Tidak pernah dipikirkan bahwa kontribusi emisi karbon ke udara dari pembakaran lahan skala dua hektar yang berlangsung selama dua jam dalam setahun terlalu kecil dibandingkan dengan besarnya jasa peladang dalam menjaga hutan-hutan di sekitar ladangnya.
Hingga saat ini, pemerintah belum memberikan solusi bagi penyelamatan hak-hak hidup petani ladang di atas tanahnya sendiri. Keadaan ini dapat sangat berbahaya karena ketika tidak ada sumber penghidupan dari ladang, tekanan petani yang lapar untuk merambah hutan menjadi lebih besar. Sementara presiden bermaksud menolong rakyat dengan membagi-bagikan sertifikat tanah demi keadilan agraria, di belahan lain terdapat kaum petani pemilik tanah yang tercabut dari tradisi bertani. Jika solusi memang tidak ada, maka sebaik-baiknya negara adalah mengembalikan hak-hak peladang dengan memberikan fasilitasi terkoordinasi dengan perusahaan perkebunan untuk menciptakan sistem pembakaran lahan yang aman dari bahaya kebakaran hutan.
*) Dimuat di Kompas 29 Maret 2018. Tautan di Kompas klik di sini
Baca juga: Ruang Hidup yang Menciut