Perlawanan dapat hadir sebagai nilai budaya
Kalimat penutup dari opini Yanuar Nugroho: “Menyatakan perlawanan terhadap kesewenang-wenangan penguasa politik dalam pemilu kali ini barangkali adalah pertahanan terakhir kita memperjuangkan demokrasi” (Kompas 31/1/2024), adalah seruan keras. Tulisan ini bermaksud melanjutkan kemarahan itu. Pertanyaannya sanggupkah perlawanan dilakukan, dan siapa yang akan memimpinnya?
Sebagian besar rakyat sudah letih berakrobat untuk sekadar selamat karena gaji dan upahnya tidak mampu mengejar belanja rumah tangga. Mereka sibuk kerja serabutan melawan kemiskinannya masing-masing. Kecemasan rakyat berasal dari ancaman fisik untuk menghadapi besok, bukan kecemasan dengan visi intelektual jangka panjang menghadapi 5-10 tahun ke depan. Intelektual dan rakyat belum menjadi satu untuk memperjuangkan demokrasi agar berumur panjang. Kaum intelektual Indonesia memang ada yang melawan, tetapi metode perlawanannya kebanyakan mengambil bentuk menulis pernyataan sikap, membentuk seminar gaungnya kecil. Kaum intelektual bukan influencer dengan jutaan followers, sehingga perlawanan mereka lebih berfungsi sebagai pelipur lara dalam echo chambers kecil berisi para intelektual juga. Sementara “rakyat biasa” juga terpecah-pecah dan tidak terkoneksi pada kaum intelektual.
Sementara apa yang dimaksud Yanuar Nugroho adalah seruan perlawanan semesta yang besar. Dalam hal ini “kita” yang dimaksud haruslah sebesar rakyat Indonesia sendiri. Dalam kumpulan naskah Catatan dalam Penjara, Antonio Gramsci menulis refleksinya sebagai aktivis yaitu: “setiap orang adalah filsuf, intelektual, dan legislator ” (Hoare & Smith, 1971). Maksudnya adalah kapasitas seseorang sebagai intelektual dapat yang dibentuk di tempat-tempat kerjanya, asalkan dibentuk secara terorganisir. Intelektualitas tidak ditandai dalam bentuk pikiran ruwet, tapi pikiran esensial yang jernih yang dapat diikuti akal sehat setiap orang melalui organisasi dan gerakan sosial yang beraneka ragam. Dalam kondisi ini rakyat terorganisir menjadi petarung sekaligus pemikir yang memiliki kecerdasan sipil dan daya tawar tinggi terhadap penguasa sebagai bagian masyarakat madani yang tangguh.
Negara tampaknya mengerti ancaman ini maka rakyat harus dibuat jinak dan terisolir dari gerakan sosial sejak kecil. Materi kesadaran bernegara dalam kurikulum sekolah sejak sekolah dasar didesain untuk mengarahkan warganegara pada sikap disiplin nasional dan patuh kepada negara tanpa bertanya-tanya. Konsep hak selalu ditempelkan dengan konsep kewajiban seakan akan saling menetralkan. Dalam kondisi kerja, pembentukan serikat selalu dipersulit. Dalam banyak kesempatan, rakyat ditakut-takuti tidak boleh bicara SARA (Suku Agama Ras dan Antargolongan) seakan perbedaan-perbedaan selalu siap meledak dan rakyat tidak boleh membicarakannya. Sebaliknya, negara berhasil menciptakan seakan-akan sopan santun dalam nada bicara, bahasa tubuh adalah prestasi tertinggi dalam kehidupan berbangsa dibanding hal lain. Ragam komentar di media sosial tentang debat capres dan cawapres tidak menyinggung isi program dan argumen, tetapi bahasa tubuh dan kesopanan para calon. Konsekuensinya adalah kebutaan massal. Tidak ada perlawanan berarti ketika enam lembar seratus ribuan yang berasal dari uang pajaknya sendiri dikemas sebagai hadiah bansos menjelang pemilu.
Kebudayaan adalah nilai-nilai yang diaktifkan
Kebudayaan lahir karena relasi-relasi dari berbagai nilai yang disepakati sebagai hal-hal yang dianggap baik sesuai moral kolektif. Pada saat yang sama, nilai-nilai itu diciptakan terus sebagai hasil dari tindakan-tindakan kita. Persoalannya, kebudayaan tidak berdiri di ruang kosong atau mengambang di udara menunggu ditafsirkan maknanya. Kebudayaan adalah nilai-nilai yang diaktifkan untuk tujuan tertentu termasuk tujuan manipulatif. Apabila suatu tindakan kasar seperti pelanggaran aturan dan moral hadir dibungkus oleh tindakan santun dan suci, terjadi situasi ambigu bagi kita untuk memahami nilai yang tercipta dari kontradiksi itu. Penciptaan ambiguitas nilai sedang dilakukan terus dalam suasana pilpres sekarang untuk membangun kebudayaan baru di masa depan yang anti demokratis yang dikontrol oleh selubung hegemoni sopan-santun nasional.
Fungsi-fungsi intelektual organik untuk turun langsung membukakan mata rakyat agar sadar akan daya kecoh penguasa sudah sangat mendesak. Kerja-kerja intelektual yang harus dilakukan adalah memberi terang pada rakyat bahwa nilai-nilai demokrasi melekat dengan nilai-nilai konstitusi kita. Maka tugas para intelektual adalah menerjemahkan ke dalam bahasa sederhana bahwa negara tidak boleh bertindak melawan aturan, HAM, hak berkebudayaan, hak sosial-ekonomi, hak untuk bebas bersuara, hak untuk cerdas dan bahagia.
Indonesia masih memiliki orang-orang baik di garis depan. Mereka adalah para aktivis militan yang menghadapi risiko ditangkap dan diamankan aparat karena suaranya. Sementara dosen, guru, profesor belum melakukan fungsi-fungsi organik itu dengan maksimal. Masalahnya dosen-dosen Indonesia tidak punya kemewahan liberal sebesar Foucault dan Sartre yang dapat turun ke jalan bukan sebagai profesor tapi aktivis. Kehidupan kampus sudah didesain padat dengan penjara tetek-bengek urusan administratif yang dilebih-lebihkan untuk mencegah mereka keluar kampus. Tapi sampai kapan?
Menghadapi krisis demokrasi kita, yang diperlukan bukan lagi tingkatan intelektual publik yang memberikan pengetahuannya untuk kepentingan publik melalui riset saja, namun harus jauh daripada itu, yaitu aktivis intelektual yang mengingatkan warganegara akan hak-hak dan kewajibannya untuk melawan ketidakadilan dan penindasan. Aktivis intelektual tidak terlalu betah diam di kelas dan mengajar karena batinnya selalu terusik. Mereka melakukan aksi performatif dengan turun langsung mengajak rakyat, menciptakan relasi sosial dengan rakyat, menghirup penderitaan, mendiskusikannya, dan kemudian menerjemahkan esensi penindasan dalam bahasa yang mudah dimengerti.
Demi menanam benih-benih perlawanan, garis pemisah antara sains, seni, dan gerakan harus sangat cair. Seniman, ilmuwan, buruh dan kategori lintas identitas harus mulai bersatu sebagai warganegara dengan hak-hak yang setara untuk memperjuangkan Indonesia milik kita semua.
Bukankah kita sudah melakukannya? Sudah, tapi kurang berdampak karena para intelektual baru “turun gunung” ketika ada bahaya. Seharusnya mereka jangan kembali ke gunung yang sepi itu ketika badai mereda. Siapa lagi yang menjaga rakyat?