Saya anti hukuman mati dan tidak pernah menemukan argumen cerdas dibalik pendukung pembunuhan itu. Hukuman nati adalah pembunuhan berencana yang harus ditentang. Kasus Mary Jane Veloso tidak perlu terjadi.
Pengacara publik di Filipina berserta elemen organisasi progresif lain sedang berjuang menyelamatkan Mary Jane Veloso yang akan dibunuh segera. Hukuman mati adalah kesalahan jahat dan pelanggaran HAM berat. Proses peradilan cacat menyempurnakannya. Presiden Joko Widodo, jika memang dia mengerti dan menghormati HAM, harus segera mencabut hukuman tersebut. Saya menerjemahkan artikel ini atas permintaan kawan-kawan pengacara publik dari National Union of People’s Lawyer, Filipina. Mary Jane adalah korban berlapis: human trafficking, drug trafficking dan sistem peradilan sesat. Artikel asli KLIK di sini. Tolong sebarkan dan buatlah sebanyak mungkin orang membaca, terganggu, dan marah. Usaha Anda menyebarkan akan sangat berarti. Iwan Meulia Pirous Profil Kasus Mary Jane Veloso Kasus : Vonis Hukuman Mati karena Membawa Narkotika Asal : Barangay Caudillo, Cabanatuan City, Nueva Ecija. Filipina. Lokasi saat ini : Penjara Wirogunan, Yogyakarta. Mary Jane Veloso seorang single mother berumur 30 tahun, berasal dari keluarga miskin. Ayahnya bekerja sebagai buruh tani musiman di Hacienda Luisita dengan upah sangat kecil. Untuk menopang hidup, Ia mengumpulkan sampah plastik. Mary Jane adalah anak bungsu dari 5 bersaudara yang hanya mampu bersekolah sampai SMP kelas 1 lalu menikah muda dan punya dua anak.
Dengan harapan untuk dapat menyekolahkan anak-anak nya, Ia pergi meninggalkan Manila bekerja sebagai buruh migran di Dubai tahun 2009. Sebelum masa kontrak dua tahun habis, Ia memutuskan pulang ke Manila karena majikannya mencoba untuk memperkosanya.
Tanggal 19 April 2010, dia dibujuk oleh seorang teman bernama Maria Christina Serio (warga Talavera, Nueva Ecija). Maria bilang , seorang temannya orang Malaysia butuh tenaga pembantu rumah tangga. Dia membayar pada Christina uang sebesar 20 ribu peso, 1 sepeda motor dan sebuah telepon seluler untuk “mengganti” ongkos ongkos yang diperlukan Christina mengurus keberangkatan Jane. Demikianlah Jane direkrut secara ilegal. Di hari keberangkatan, dia hanya membawa satu celana dan sepasang baju seadanya dan berangkat ke Malaysia. Sesampainya di sana, Jane mendapat kabar bahwa kesempatan kerja sudah ditutup dan dia dijanjikan pekerjaan lain. Dia tinggal tiga hari di Malaysia dan diajak jalan berkeliling dan belanja pakaian.
Insiden di Airport Adi Sucipto, Jogyakarta Tanggal 26 April, Christina menyuruh Mary Jane untuk segera bergegas berkemas kemas karena ada pekerjaan di Indonesia. Awalnya Jane menolak karena dia tidak punya uang dan tiket. Christina memberi sejumlah uang dan koper kosong dan memasukan pakaian pakaian ke situ. Ketika mendarat di Yogyakarta dan melewati X-Ray, petugas mencurigai koper Jane. Setelah dibongkar dan segala isi dikeluarkan, tidak terdapat apa apa yang aneh. Namun ketika dimasukkan lagi ke dalam mesin X-Ray ada tampak barang mencurigakan. Maka kemudian koper tersebut dihancurkan dan di bagian dalam yang tersembunyi terdapat 2.6 kg heroin senilai US$500,000.
Penahanan dan Pengadilan Jane tampak menghibur sang ibu Celia yang datang berkunjung ke tahanan tahun 2013. Kunjungan dimungkinkan atas bantuan teman-teman di tahanan dan kebaikan petugas penjara. Pada tanggal 9 Mei di hari ulang tahun ayahnya, Mary Jane menelepon ibunya yang tidak mengerti apa apa. Tanggal 11 Mei Jane mengirim pesan lewat hp: “Nanay, tatay, mahal na mahal ko kayong lahat.”(Mother, Father I love you all very much). Juga dua nama anaknya dan kakak kakaknya disebut. Tapi dia tidak cerita apa yang terjadi. Hari berikutnya keluarga berusaha menghubungi dan Jane bilang pada Darling (kakak perempuan Mary ): “Ate nakulong ako” (“aku dipenjara”).
Tanggal 13 Mei pihak keluarga menghubungi media. Pihak media berupa stasiun TV menolak membantu dengan alasan kasus terlalu rumit. Media yang lain bahkan melarang mereka masuk gedung. Mereka melanjutkan langkah ke Kementerian Luar Negeri. Pihak Kementerian berjanji akan membantu.
Setelah dua tahun berlalu tidak ada perubahan apa apa. Tidak ada jawaban substansial dari pemerintah kecuali bahwa mereka bilang akan berusaha menolong Mary Jane. Tidak ada kepastian hukum apakah Jane bersalah atau tidak. Juga tidak ada bantuan hukum, pernyataan dan investigasi kasus ini dari pihak pemerintah.
Menurut Agus Salim pengacara Mary Jane di Indonesia, dia tidak mampu untuk membela dirinya sendiri. Ketika diinterogasi oleh Polisi bahasa yang digunakan adalah Bahasa Indonesia yang saat itu tidak dipahaminya. Dalam pengadilan ada bantuan penerjemahan yang disediakan pengadilan mahasiswa akademi bahasa asing yang tidak memiliki lisensi dari asosiasi penerjemah bahasa Indonesia.
Pengadilan singkat bagi Mary Jane berakhir bulan Oktober 2010. Hanya 6 bulan semenjak dirinya ditangkap Hakim tidak mengabulkan tuntutan jaksa untuk hukuman seumur hidup. Hakim menjatuhkan hukuman mati.
Junii 2013. Keluarga Jane berkunjung. mereka adalah Celia dan Cesar Veloso serta dua anak Jane yaitu Mark Daniel dan Mark Darren. Kunjungan ini dapat terlaksana dengan adanya bantuan uang untuk biaya perjalanan yang dikumpulkan oleh kawan kawan Jane di penjara termasuk juga sumbangan dari penjaga penjara. Total biaya yang diperlukan cukup besar untuk keperluan keperluan mendesak seperti biaya bikin paspor, beli tiket dan biaya hidup selama sebulan di Indonesia.
Perkembangan kasus setelah Vonis Mati Pada bulan Agustus 2011 Presiden Benigno Aquino III meminta pengampunan bagi Mary Jane yang ditujukan pada pemerintahan Presiden SBY. Pada masa itu Indonesia punya moratorium untuk menunda hukuman mati dan pengampunan belum ditindaklanjuti sampai masa akhir kepemimpinan SBY.
Pada bulan Oktober 2014 Indonesia punya presiden baru. Tidak lama setelah Joko Widodo dilantik dia mengumumkan perang terhadap kejahatan narkotika. Presiden menolak semua permintaan pengampunan (clemency) dari semua terpidana yang sudah dijatuhkan vonis mati. Pada bulan Januari 2015 nama Mary Jane termasuk dalam daftar yang akan dihukum mati. Pengacara yang disewa pemerintah Filipina segera mengajukan proses judicial review (peninjauan kembali) yang merupakan usaha terakhir yang masih terbuka dan diakui oleh sistem hukum Republik Indonesia. Judicial Review diajukan tanggal 19 Januari 2015.
9 Februari 2015. Pada masa kunjungan Presiden Joko Widodo ke Filipina, Presiden Aquino kembali mengangkat kasus Mary Jane dalam pertemuan resmi. Tanggal 19-21 Februari 2015, pemerintah Filipina memfasilitasi Keluarga Veloso sebuah kunjungan keluarga bagi Ibu, saudara perempuan, dan dua orang anak Mary Jane ke penjara. Sekretaris Deplu Pemerintah Filipina Alberto Rosario menengok Mary Jane pada tanggal 24 Maret 2015.
Pada tanggal 3 sampai 4 Maret 2015 dilangsungkan Peninjauan Kembali (PK) di Pengadilan Negeri Sleman untuk mencari jika ada bukti-bukti baru dalam kasus Mary Jane. Pihak pengacara Mary berpendapat bahwa kasus ini berhak ditinjau ulang karena selama proses peradilan sebelumnya, Mary Jane tidak didampingi oleh penerjemah tersumpah dan profesional sehingga terdapat cacat hukum. Bahkan Kepala sekolah Akademi Bahasa Asing di Jogyakarta pun mengakui bahwa pada saat itu penerjemah Mary Jane tercatat sebagai siswa sekolah mereka. Untuk memperkuat argumen ini, pengacara menggunakan kasus yang menimpa Nonthanam M. Saichon seorang warganegara Thailand dalam kasus Narkotika yang juga secara teknis memiliki cacat karena masalah tidak ada penerjemah yang layak. Tetapi pada tanggal 25 Maret 2015, Mahkamah Agung Republik Indonesia (Supreme Court) menolak peninjauan kembali kasus Mary Jane.
Meskipun demikian, pemerintah Filipina masih berusaha keras untuk menyelamatkan nyawa Mary Jane. Pemerintah sedang berusaha mengajukan petisi kedua untuk Judicial Review yang memang secara hukum masih dapat dilakukan. Namun masih belum jelas apakah usaha di atas diperbolehkan oleh sistem peradilan Indonesia. Pengacara Mary Jane masih mempelajari pilihan-pilihan jalur hukum terakhir yang dapat dilakukan. [UPDATE: Peninjauan Kembali tahap kedua dengan bukti-bukti baru juga ditolak]
Utusan PBB Christhof Heyns yang diberi mandat menangani masalah-masalah internasional extra-judicial dan hukuman mati sembarangan juga sudah mengajukan keberatan kepada Presiden Joko Widodo untuk mencabut hukuman mati terhadap Mary Jane dan 14 terhukum lain atas dasar laporan dari UN Commisioner for Human Rights karena mereka mengalami proses peradilan yang cacat. Dalam laporan yang sama mereka dianggap tidak menerima cukup bantuan hukum dan tidak terpenuhi haknya untuk memperoleh penerjemah yang layak. Mereka juga tidak didampingi oleh perwakilan hukum dalam tiap tahapan peradilan yang dialaminya.
Sementara itu, organisasi Migrante International dan Migrante Sectoral Party bersama dengan keluarga Mary Jane di Cabanatuan City tengah melancarkan kampanye untuk menggalang dukungan solidaritas warga untuk peduli dan menyelamatkan nyawa Mary Jane. Jaringan Flor@20–yang dibentuk untuk mengenang Flor Contemplacion, seorang pembantu rumah tangga yang digantung–juga aktif menekan pemerintah Indonesia untuk mengubah nurani Indonesia sehingga Mary Jane Veloso tidak harus mati.