SN (Setya Novanto) ini kok bisa-biasanya tidak merasa bersalah? Bahkan keputusan dirinya mundur dari jabatan tidak dibarengi rasa penyesalan. Tutup tahun bukan tutup buku, mari kita tinjau sembari melawan lupa.
Pada zaman dahulu, ada cewek filsuf namanya Hannah Arendt yang punya pertanyaan serupa. Dia menulis tentang pengadilan HAM terhadap Adolf Eichmann salah satu algojo Nazi yang akhirnya berhasil ditangkap di Argentina tahun 1960 setelah buron 18 tahun. Tidak tanggung-tanggung, yang nyiduk adalah agen-agen Mossad Israel. Seperti cerita detektif Hollywood, Eichmann hanya dapat dikeluarkan dari Argentina melalui jalur ilegal karena status dia adalah peminta suaka. Maka ia dibius dan diselundupkan ke Tel-Aviv sebagai barang selundupan. Sampai di tujuan dia didandanin rapi dan disiapkan acara pengadilan. Pengadilan digelar secara terbuka dengan melibatkan kesaksian korban. Eichmann dituduh bersalah untuk kejahatan kemanusiaan dan kejahatan bagi orang Yahudi dan dijatuhi hukuman gantung. Menarik dan membingungkan, Eichmann mengakui semua tuduhan sebagai algojo Holocaust dengan sopan dan sama sekali tidak berkelit dan berbohong. Tapi walau demikian Ia tidak merasa bersalah dan tidak menyesal atas perbuatannya. Waktu dicek jiwanya, psikolog pada manyun. Ternyata Eichmann sehat secara psikologis.
Absennya rasa bersalah dan sesal terjadi ketika kejahatan yang dilakukan sudah menjadi perilaku rutin yang dianggap normal. Masalahnya normal yang dimaksud pelaku belum tentu sama dengan normal yang berlaku di dunia orang normal. Jadi normal yang seperti apa?
Arendt menilai bahwa fenomena ini adalah banality of evil – kebiadaban yang sudah “hilang” biadabnya dan jadi biasa-biasa alias membosankan. Jadi dalam melakukan hal-hal “syaiton” Eichmann merasa santai sebagaimana tugas-tugas rutin kantoran. Artinya tidak lagi melahirkan konflik batin dari pelakunya. Kata Arendt yang juga bingung, fenomena ini menyangkut bagaimana Nazi memiliki corporate culture super birokratis, otoriter dan hierarkis. Urusan-urusan nurani dan kemanusiaan jadi ngga relevan lagi karena tokh semuanya dirasakan sebagai instruksi boss, dan surat-surat bisnis birokratis. Kesimpulan Arendt adalah kesalahan Eichmann bukan karena dia membunuh banyak orang, tetapi karena gagal hadir sebagai manusia yang seharusnya dapat berpikir empati terhadap manusia lain di tengah derasnya ide “Nasional Sosialisme” Jerman. Kesalahan dia: gagal berpikir.
Instrospeksi dikit. Sebenarnya Eichmann ini kita-kita juga dalam skala yang lebih kecil. Misalnya karena keseringan ditunjuk jadi tukang potong kurban Idul Adha, maka ngga ada rasa salah ketika melihat itu kambing kelojotan dan darah muncrat ke mana-mana. Nggak usah jauh-jauh, makan sate ayam dan rendang juga rasanya santai dong. Tidak mengingat pada ayam, sapi berserta keluarganya yang ditinggalkan. Mereka tidak kita bayangkan sebagai kehidupan melainkan makanan.
Figure 1 Adolf Eichmann being normal
Dapatkah Banality of Evil dipakai untuk kasus SN?
Hal yang aneh tapi nyata ini diduga berlaku pada tipe-tipe Setya sebagai produk dari “corporate culture” (kebudayaan perusahaan, etos kerja korporat) di Senayan sana. Mereka pasti lolos ujian psikologi, kecerdasan dan tidak diragukan lagi hubungannya dengan Sang Khalik secara normatif sangat akrab. Secara individual bukan orang-orang bermasalah. Namun secara kolektif, mereka yang bermacam partai itu cenderung cara mikirnya serupa, yaitu bagaimana merebut kekuasaan dengan segala cara-cara apapun juga. Jika tidak aturannya maka mereka bisa buat. Jika sudah ada aturannya bisa dipelintir jadi apa saja. Partai politik memang boleh banyak judul, tapi spektrum warna ideologinya relatif mirip yaitu uang, kekuasaan, dan gotong-royong sesama kenalan untuk mencapainya. Ini yang saya maksud corporate culture Senayan itu. Boss-boss-nya pemain lama yang tajir melintir dan bisa nyebrang-nyebrang partai sambil senyum lebar. Memakai model Arendt, Setya tidak perlu merasa bersalah sebab kepartaian adalah urusan suap-menyuap, bagi-bagi untung, dan rebut-rebut kavling kekuasaan Kesalahan Setya adalah gagal hadir sebagai politisi yang seharusnya mengurus orang banyak. Dia gagal berpikir bahwa ada ikatan sosial politik antara dirinya dan kita sebagai rakyat yang lagi manyun dan marah. Maka jika ada yang disesali Setya, itu bukan karena dia menjahati amanah, tapi karena dia masih kurang licin bermanuver.
Loncat dikit . Tahun 60-an ada PKI sebagai oposisi betulan di parlemen kita. Partai yang anggotanya judes, bertampang jutek, dan kerjaannya ngajak gelut partai-partai borjuis. Itu partai emang sombong amit-amit karena ngga pernah korupsi. Kendati demikian, kegunaan partai beginian bagi demokrasi adalah sebagai rem terhadap terciptanya nilai-nilai koruptif. Apa sih yang diperjuangkan? Intinya adalah agar jarak antara rakyat dan kekuasaan politik tidak terlalu jauh. Di situlah keadilan dan kesejahteraan terwujud. Tapi sehubungan partai ini sudah dibikin mampus tujuh turunan, kondisi politik Indonesia akan senantiasa anyep sentosa karena keadilan itu hanya milik sekelompok kecil ” para Setya dan kaumnya”.
Maka pada suatu hari yang cerah, rakyat sendiri yang harus sering rajin berkumpul, bersukaria, selfie, menginap, berpidato, bercocok tanam atau apapun di halaman luas MPR-DPR. Para awak kabin di dalam sana tahu betul mereka diawasi CCTV milik majikannya, yaitu massa-rakyat.