Categories
essays

Tuan Presiden, rakyat hanya ingin bahagia

”Saya menolak memaksa mahasiswa untuk membayar lebih banyak atau menghapus tunjangan kesehatan orang miskin, cacat, dan berusia lanjut, dan terus akan menolak pemotongan pajak untuk orang-orang yang kaya.”

Kutipan di atas adalah pidato penerimaan Presiden Obama untuk ikut kembali dalam pemilihan periode empat tahun ke depan dalam Konvensi Demokrat 2012, Kamis tanggal 6 September lalu. Katanya lagi, ”Selama saya jadi presiden, saya takkan pernah minta kepada keluarga kelas menengah untuk membayar pajak lebih besar hanya semata-mata untuk membantu orang kaya membayar kewajiban pajak mereka! Kenapa begitu? Sebab itu bukan Amerika yang kita mau!”

Pidato Obama menggetarkan bukan karena menggunakan bahasa biasa, matematika biasa, dan logika yang gampang dicerna. Dia tahu apa yang harus dikatakan dan yang tidak.

Menggetarkan karena dia meyakinkan rakyat pemilihnya bahwa Amerika bisa berubah ke arah yang lebih baik. Dia tunjukkan rutenya lewat program-program yang paling mendasar: kepastian tentang keadilan sosial yang bisa dilalui bersama. Menggetarkan karena dia hangat, bersemangat, dan merangkul pendengarnya.

Menyaksikan Obama bicara 39 menit menukik ke persoalan paling penting, yaitu kewarganegaraan, kepala penuh dengan pertanyaan sederhana: apakah saya sudah merasa dilindungi di negara sendiri? Apakah presiden saya sudah melindungi saya seperti bapak melindungi anak-anaknya? Apakah dia memikirkan saya yang berpenghasilan pas-pasan dengan pengeluaran terlalu banyak? Apakah dia memikirkan dana pensiun rakyat? Apakah dia resah dan berdoa untuk keselamatan rakyatnya yang 200 juta lebih? Apakah UUD 1945 digunakannya untuk melindungi hak-hak dasar saya?

Saya tidak yakin. Raut wajah presiden terlalu muram di depan publik dan malah cenderung pemarah. Mungkin dia bahagia ketika mencipta lagu, tetapi rakyat tidak butuh itu. Saya membutuhkan pemimpin yang memberikan harapan bahwa bahagia itu tak terlalu jauh di depan mata. Saya butuh presiden yang bisa membangkitkan harga diri. Bukan dengan monolog mitos-mitos romantis bangsa besar, bukan dengan pencapaian statistik, bukan dengan instruksi-instruksi moralitas di depan TV, tetapi presiden yang bisa memahami perasaan rakyat yang terlalu lama menunggu perbaikan nasib setelah 67 tahun merdeka.

Tentu saja Indonesia tak sama dengan Amerika. Namun, kesamaan mendasar sebagai negara modern pasti ada. Sama-sama percaya pada demokrasi walau dikuasai korporasi, kerepotan dengan utang dan jumlah pengangguran rakyat tinggi, serta diancam oleh terorisme. Bahkan, secara kultural ada miripnya: sama- sama religius, fobia komunisme, dan secara alamiah multietnis. Kita sama-sama jatuh-bangun, sakit, dan terancam oleh ”musuh” dari luar dan dari dalam.

Bedanya, Amerika berusaha sembuh dan bangkit: kita tidak! Bedanya, Amerika tidak membiarkan rakyatnya berjuang sendirian. Kita semua tahu presiden bukanlah Superman, tetapi setidaknya dia harus terbiasa menepuk-nepuk punggung rakyatnya agar rileks menghadapi kehidupan keras.

Kewarganegaraan

Perasaan kebangsaan berawal dari mitos-mitos heroik revolusioner. Namun itu tidak kekal. Nasionalisme sesungguhnya harus dipelihara dari perlakuan baik negara kepada rakyatnya. Maka, kewarganegaraan ini apa artinya jika tidak ditunjang dengan pelayanan publik? Ke mana pajak yang dibayar itu, apakah dikembalikan dalam bentuk pelayanan dan pemberian rasa aman?

Apa yang hilang dari Indonesia adalah rasa aman sebagai warga negara. Dalam hal ini, rakyat sudah berada dalam kondisi bahaya. Kita bisa dibunuh karena kebebasan beragama, mati di jalan karena hukum rimba lalu lintas, kelaparan karena uang belanja habis, atau tidak ada uang berobat. Bahkan, kita mungkin saja dihilangkan karena terlalu galak kepada negara. Keamanan satu-satunya tersisa dalam lingkup kecil keluarga, kerabat, dan tetangga, itu pun jika ada. Keluarga adalah teritori hangat yang tak butuh negara dan presiden.

Mungkin presiden saya tertekan oleh banyak beban sejarahnya sendiri. Dia terpilih karena koalisi-koalisi dan lobi-lobi yang membuat posisinya sulit. Mungkin dia punya ”masalah kebudayaan sendiri” karena harus memihak patron politik serta keluarganya sebagai balas budi dan sopan santun. Mungkin dia takut dibunuh oleh organisasi teroris seperti yang pernah diakuinya di televisi. Jangan-jangan presiden merasa sendirian juga ketika menuju ke puncak kekuasaan sehingga tidak perlu memandang pada tangan-tangan rakyat yang membawanya ke puncak itu. Saya hanya menduga.

Maka, saya butuh presiden baru yang tak punya beban-beban yang membuatnya tersandung. Orang jujur yang membuka sejarah diri dan bangsanya kepada publik. Seorang figur yang cepat minta maaf jika melakukan salah atau meleset dalam menjalankan program. Presiden yang berani memihak pada kebenaran sekalipun mengancam kredibilitas. Seorang presiden yang mencintai dan menegakkan hak asasi manusia tanpa pandang bulu, yang malu terhadap korupsi, dan yang yakin untuk memulai segala hal dari kejujuran yang bersih. Juga bukan bagian dari masalah kronis Indonesia. Ya, seseorang yang membuat saya bahagia.