Categories
essays

Membela Hak Peladang Berpindah

Seharusnya perladangan berpindah dianggap sebagai ekspresi kebudayaan khas Indonesia dalam mewujudkan ketahanan pangan mandiri. Termasuk memiliki daya lenting dan resistensi terhadap krisis ekonomi global.

Perladangan berpindah adalah strategi yang fungsional, efektif, dan cocok bagi karakter masyarakat kawasan hutan Asia Tenggara. Praktik  terbesar terjadi di kawasan seperti Filipina, Vietnam, Sarawak (Malaysia), Kalimantan (Indonesia) dan Thailand. Perladangan berpindah adalah strategi yang fungsional, efektif, dan cocok bagi karakter masyarakat kawasan hutan di Asia Tenggara. Mengapa dilarang?

Perladangan berpindah dianggap terbelakang bahkan oleh kalangan akademik. Dari perspektif ekonomi, ladang berpindah dianggap tidak efisien. Hasilnya terlalu sedikit dibandingkan dengan luas lahan yang digunakan. Dari perspektif kehutanan, ladang berpindah dianggap menyebabkan kebakaran. Dari perspektif studi pembangunan, ladang berpindah terlihat berantakan, tidak cocok bagi wajah pertanian modern yang rapi terorganisir.  Dari perspektif legal-formal, perpindahan ladang potensial menyinggung batas-batas izin usaha konsesi.  Desakan internasional terhadap bahaya asap turut memperkuat stigma terhadap kebudayaan ladang berpindah. Pemerintah akhirnya mengambil langkah tegas untuk melarang peladang untuk membakar hutan. Tapi apakah pemerintah mengerti apa yang mereka larang?

Intim dengan Api

Praktik perladangan berpindah sering disebut dengan istilah “merendahkan” yaitu  slash and burn agriculture karena ada kata menebang dan membakar untuk menyediakan lahan yang siap tanam. Terminologi ini asosiatif dengan kebakaran hutan. Padahal jika dipahami secara mendalam, pembakaran hanyalah satu tahap singkat dari konversi lahan dari sekian fase yang harus dilalui seperti menebas, membakar, menugal, menyiang, memanen, dan berpindah ke lahan baru. Istilah lebih netral untuk merangkum kegiatan ini adalah swidden agriculture atau shifting cultivation seperti yang sering digunakan di antropologi.

Pembakaran tradisional memiliki metode pengendalian api yang melibatkan kerja sama kelompok. Warga peladang yang telah terbiasa melakukan pembakaran ladang mengerti bagaimana menciptakan sekat bakar untuk mengendalikan api. Kawasan yang akan dibakar selalu dikepung oleh warga yang menjaga api. Mereka bertugas menangkap latu dan bara yang terlempar angin keluar sekat.  Mereka punya kepandaian memanfaatkan arah angin sebagai penuntun api ke arah lembah. Maka api akan mati terkepung api dan saling bertabrakan di tengah lembah. Api padam dalam waktu kurang dari satu jam. Lalu sesuai yang diperkirakan ketika menentukan tanggal pembakaran, hujan mengguyur tak lama kemudian.  Menurut warga Kapuas Hulu Kalimantan Barat, tidak pernah ada kejadian kebakaran hutan akibat pembakaran ladang. Justru mereka mengenang kecepatan dan akurasi pembakaran sebagai prestasi. Semakin singkat dan asapnya sedikit, itu semakin baik.

"Saya umur 45, tetap berladang sampai mati"
“Saya umur 45, tetap akan berladang sampai mati”

Api dan Tenurial

Dari kacamata legalitas,  kepemilikan tanah hanya mengenal dua tipe yaitu tanah atas pribadi (private properties) dan milik negara (state-owned properties). Dengan tidak adanya sertifikat tanah milik peladang,  negara menyangka bahwa praktik swidden agriculture pasti dilakukan peladang dengan prinsip  hutan open-access. Artinya, pembukaan hutan dan pembakaran dapat dilakukan sebebas-bebasnya, seluas-luasnya tanpa kendali. Itu tidak benar. Di atas belantara yang seakan kosong tanpa hak, terdapat aturan relasi sosial dan kerja (labour). Di sana terdapat aneka hak tenurial adat yang mengatur hubungan petani dan lahan-lahan seperti hak dan kewajiban meminjam, mewariskan dan mengelola berdasarkan pertalian darah.  Artinya, swidden agriculture adalah  praktik yang berjalan di atas banyak aturan-aturan kolektif, denda adat, dan tidak dapat dilakukan sembarangan. Pembakaran sebagai metode kelola hutan pun tidak luput dari tanggung jawab dalam hak tenurial itu.

Serangkaian hak tenurial di atas juga berhubungan dengan pengetahuan lokal tentang tipologi hutan. Jalur perpindahan ladang dan pembakaran selalu mengikuti hutan-hutan sekunder yang dulunya pernah dibakar antara 5 sampai 7 tahun yang lalu. Di wilayah Kapuas Hulu kawasan itu dinamakan pemudak. Di sekitar Danau Sentarum disebut temudak. Di dalamnya terdapat areal tembawang yang ditanami pohon buah-buahan warisan nenek moyang seperti durian, langsat, cempedak, dan tengkawang. Fungsi tembawang adalah sebagai tapal batas dalam pemudak sehingga satu bukit dapat dibagi-bagi dan dikenali persis oleh sejumlah keluarga sebagai milik mereka. Kategori berikut adalah rimba tutupan. Kawasan ini adalah hutan primer yang memang dilarang untuk dibakar menjadi ladang. Orang-orang Dayak dan Melayu di hulu Kalbar menyadari pentingnya fungsi hutan primer untuk menjaga tata air demi keselamatan ladang dan sumber minum keluarga. Bagi mata orang kota biasa, baik pemudak maupun rimba tutupan wajahnya benar-benar belantara.

Ladang Berpindah adalah Hak Kultural
Setidaknya ada dua fungsi berkelanjutan swidden agriculture yang tidak dikenali oleh negara. Pertama, menjadi jaring pengaman pangan. Ketika karet pertama kali dikenal sebagai komoditas global pada awal abad ke-19, orang Dayak jadi mengenal uang. Mereka memahami bahwa setelah panen padi, karet harus ditanam sehingga pemudak menjadi produktif. Resesi ekonomi global tahun 1930 membuat harga karet jatuh dan tidak pernah benar-benar bangkit sampai sekarang. Itu adalah pelajaran berharga mereka untuk jangan bergantung pada ekonomi global. Pada masa-masa sulit uang seperti sekarang pun, swidden agriculture tetap memberikan padi tanpa harus beli. Masalah di hutan adalah hambatan struktural ekonomi karena akses sulit. Bukan masalah api. Hampir seabad warga hutan selalu bertanya: “mengapa harga barang-barang hulu sangat murah, sedang harga barang hilir terlalu mahal?”.

Kedua, swidden agriculture melepaskan karbon ke udara lebih sedikit dibandingkan dengan perkebunan. Sistem ini hanya mungkin dilakukan dalam skala kecil sesuai dengan kebutuhan. Areal yang dibakar akan dibiarkan berproses tumbuh menjadi hutan kembali selama beberapa tahun. Suksesi alam dalam rotasi perladangan tradisional sesungguhnya mirip dengan sistem tebang pilih yang legal dilakukan pada usaha konsesi kayu. Bahkan menurut penelitian CIFOR di Kalbar, apabila dibandingkan dengan kebun sawit, cadangan karbon yang berada di atas pemudak usia tua dapat dua kali lebih banyak dan sanggup menahan erosi.

Pelarangan oleh pemerintah menunjukkan sikap buta historis dan anti riset. Kebijakan modernisasi pertanian kita lebih banyak dilahirkan dari bias politik dan dahaga profit. Hanya karena sawah irigasi terlihat lebih sering panen, rapi, sedap dipandang, maka ladang yang terlihat berantakan dan menghasilkan asap dikategorikan pada bentuk agrikultur primitif, pindah-pindah, tidak efisien dan terbelakang. Lebih jauh lagi dianggap ancaman nasional. Hak berkebudayaan peladang berpindah dicabut. Peladang menghadapi situasi rentan pangan.

Seharusnya perladangan berpindah dianggap sebagai ekspresi kebudayaan khas Indonesia dalam mewujudkan ketahanan pangan mandiri. Termasuk memiliki daya lenting dan resistensi terhadap krisis ekonomi global. Kawasan ladang berpindah kini dipenuhi papan larangan membakar dengan ancaman denda 500 juta. Mereka tetap membakar dan berkejaran dengan petugas. Warga desa pinggir hutan memang sudah diberikan hak kelola atas Hutan Desa. Tapi apa guna Hutan Desa jika hak untuk melakukan aktivitas-aktivitas tradisionalnya dibunuh? ***

Dimuat di Kompas 18 Oktober 2016

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *