Kasus pembredelan karya Yos Suprapto di Galeri Nasional Indonesia pada Desember 2024 menjadi sorotan tajam karena dianggap sebagai bentuk pengekangan terhadap kebebasan berekspresi. Pameran tunggal bertajuk “Kebangkitan: Tanah untuk Kedaulatan Pangan” yang seharusnya menjadi ajang apresiasi seni justru berujung pada kontroversi ketika lima dari 36 lukisan Yos Suprapto diminta diturunkan.
Isu yang beredar, pembredelan ini dipicu oleh beberapa lukisan yang dianggap menyerupai Presiden Jokowi dan mengandung kritik sosial-politik. Bahkan kuratornya sendiri yang meminta beberapa lukisan untuk diturunkan tanggal 17 Desember, sang seniman tidak mau kompromi, dan pihak Galeri Nasional malah akhirnya membatalkan sama sekali tanggal 19 Desember. Apakah pengekangan ini menandakan semakin menyempitnya ruang kebebasan berkespresi di Indonesia? Bisa jadi, tapi bukan hanya itu.
Medan seni rupa adalah arena sosial yang kompleks. Di sana ada kurator, kritikus, seniman, kolektor, galeri, universitas, media massa yang berjejaring menciptakan nilai-nilai seni. Konon seni menjadi bermakna apabila menyajikan transformasi dari realitas sehingga indera kita terbantu untuk memahami sesuatu yang lain di belakang estetika. Makna seni selalu dibangun bersama sebagai konsensus antara seniman dan kita. Namun demikian seniman “non-tradisional”, alias seniman modern atau kontemporer sering didudukan sebagai subjek otonom. Mereka dilihat sebagai pribadi yang harus bertanggungjawab sendirian. Mereka dianggap berkarya secara personal dalam konsensus sosial itu.
Memang tidak menjadi masalah apabila seniman tersebut membuat karya-karya memukau, apalagi yang membangkitkan rasa suka bagi panca indera kita sebagai manusia pecinta keindahan. Tetapi seni rupa juga mampu menceritakan pengalaman sosial yang non-estetik, non-spiritual, “non-imut-imut”, non-dekoratif sebagai sisi gelap atau tragedi yang menghantui hidup kita. Kala seniman menampilkan eposide krisis, seharusnya krisis tersebut dapat dikenali sebagai konsensus juga. Jika seni tidak berasal dari pengalaman kolektif, maka tidak mungkin sang seniman melahirkan karya yang mampu memberi pesan sosial termasuk kritik.
Medan seni rupa kontemporer, dengan segala dinamika dan kompleksitasnya, tak dapat dilepaskan dari peran krusial seorang kurator dan kritikus seni. Kurator bukan sekadar penyusun karya dalam sebuah pameran, melainkan Ia menjembatani seniman karena memberikan konteks tematik dan argumen penting pada audiens tentang sebuah pameran. Kurator adalah kawan seiring bagi seniman. Sementara kritikus menilai belakangan karena Ia membangun opini publik, menafsir, menilai bahkan menuliskan dengan panjang lebar setelah pameran dibuka bagaikan mata yang berpena tajam. Kurator adalah “sutradara” di belakang layar, sementara kritikus adalah penonton “si paling kritis” di barisan terdepan. Seniman, kurator dan kritikus seni sesungguhnya melakukan dialog untuk mengenali pengalaman-pengalaman sosial di belakang karya.
Seni Rupa dan Nilai Sosial Commons
Kita memerlukan perspektif tentang seni sebagai “hajat hidup orang banyak” atau yang dikenal dengan istilah commons. Studi-studi terkait commons berbicara tentang bagaimana kebudayaan kita selalu terkait dengan moralitas yang membela kepentingan kolektif. Commons adalah sumberdaya kolektif berisi pengetahuan, budaya, juga sumberdaya fisik seperti sumberdaya alam, bahkan digital yang dikelola secara kolektif dan demokratis untuk kepentingan orang banyak.
Saya akan menggunakan contoh sumberdaya alam. Cara-cara hidup masyarakat pastoral atau penggembala, selalu tidak terpisahkan dari strategi tata kelola bersama tentang pemanfaatan padang rumput untuk ternak yang digembala bersama. Artinya ada aturan bahwa padang rumput itu milik bersama dan tidak boleh dirampas oleh seorang penggembala yang tamak. Asumsinya adalah berbagi. Sumberdaya itu melimpah-ruah, sehingga mengambilnya terlalu banyak justru dianggap tindakan amoral.
Moral dari commons itu mungkin aneh bagi kita yang kapitalis karena seseorang yang rakus untuk makan terus tanpa pernah cukup dianggap sebagai makhluk buas yang tidak pernah punya waktu untuk mengembangkan kehalusan budi, sastra, kebudayaan, dan kesenian. Semata-mata karena dirinya terlalu lapar. Dalam tema “Kebangkitan Tanah untuk Kedaulatan Pangan”, Yos Suprapto membicarakan pentingnya nilai-nilai commons, bahwa sungguh aneh ada tokoh-tokoh dalam politik Indonesia yang rakus, buas, kejam, tak berkebudayaan. Mau digambarkan dengan cara lemah lembut seperti apa tokoh egois ini?
Kurator seharusnya memahami bahwa bukan saja tema pameran ini tentang hajat hidup orang banyak—yang artinya hajat hidup kita juga sebagi warganegara—tetapi juga bahwa prinsip kuratorial harus berubah untuk melihat seni sebagai commons. Medan seni rupa modern adalah fenomena sosial kolektif. Artinya dikotomi klasik bahwa seni modern berbasis individual dan seni tradisi bersifat komunal adalah model reduksionis warisan kolonial.
Seniman yang paling modernis sekalipun selalu merupakan produk sosial sehingga Ia perlu merasa merawat kepentingan orang banyak melalui karyanya. Banyak seniman kontemporer Indonesia membawakan tema tradisi dalam ekspresi yang kontemporer. Artinya memang seniman kita memang merasa bertanggungjawab secara sosial, merasa bagian dari komunitas, dan bukan manusia penyendiri di studio.
Eksperimen kuratorial yang berprinsip commons akan membawa konsekuensi. Pertama, publik didorong arah yang transformatif karena makna seni menjadi sangat reflektif untuk menjawab persoalan-persoalan krisis besar. Kedua, kuratorial bersifat demokratis. Sebagai contoh adalah kuratorial ruangrupa untuk Documenta Fifteen tahun 2022 di Kassel yang justru memperlihatkan bahwa kurator bukan seorang hakim dengan pikiran tunggal, tapi fasilitator yang memberi kapasitas untuk seniman tampil sebagai subjek sosial yang menceritakan problem besar.
Masalah selera pribadi kurator, sopan tidak sopan, estetik atau tidak, persoalan tersinggung karena efek sebuah karya harus dianggap biasa sebagai bentuk dialog. Jika sebuah pameran kemudian menjadi kontroversial, seharusnya diskusinya lah yang menjadi jauh lebih penting. Pembungkaman seni memang tidak dapat dicegah, tapi itu bukan ruang kuratorial.
Jadi ketika seorang kurator menyuruh karya yang dikurasinya untuk diturunkan, sesuatu yang aneh telah terjadi entah apa itu, karena kurator merangkap menjadi kritikus sekaligus aparat yang pemarah bahkan sebelum pameran dibuka. Kuratorial, kritik dan medan seni memang berubah merespons zaman. Terlepas ancaman pembungkaman, di masa depan yang masih suram, seniman, kurator, kritikus harus lebih berjuang melampaui tujuan estetika.
Pertanyaannya adalah: sejauh mana kemungkinan emansipatoris dapat muncul dari seni rupa ketika logika commons menyatu dengan logika diskursif publik sehingga terjadi transformasi publik yang membebaskan melalui seni?
*) Dimuat di Kompas 27 Desember 2024. Klik di sini.