Aksi Peringatan Darurat pada 22 Agustus lalu masih hangat. Rentetan protes menyebar bagai ledakan ke berbagai kota di Indonesia dalam waktu singkat. Siapa pun tergerak termasuk golongan yang jarang turun ke jalan seperti pekerja kantoran. Rupanya kesabaran rakyat sudah sangat tipis. Sehari sebelumnya, hanya dengan pesan peringatan garuda biru yang buram beserta sirene mengalir luas di media sosial, tanpa pengorganisasian matang, rakyat sepakat untuk protes besar. Semua adalah akumulasi kemarahan terhadap pemerintahan tidak bermoral yang mencurangi demokrasi selama dua periode Jokowi. Tapi kemudian aksi-aksi itu mereda.
Jika memang kemarahan rakyat itu beralasan kuat, maka seharusnya aksi-aksi protes akan terus terjadi dalam mengawal demokrasi dalam dua bulan mendatang. Massa rakyat Indonesia sudah semakin berpengalaman dan banyak belajar dalam aksi-aksi sebelumnya. Di satu sisi mereka terlatih mentalnya dari kegagalan memperjuangkan hak pada aksi-aksi yang pernah dilakukan. Misalnya gagal mencegah undang-undang cipta kerja. Di sisi lain, demonstrasi itu sangat melelahkan secara fisik, makan biaya, mengganggu rutinitas pekerjaan, berisiko luka parah oleh kebrutalan aparat. Titik antiklimaks adalah ketika rakyat menjadi ragu dan menyerah sehingga perlawanan panjang yang sesungguhnya dilindungi secara konstitusional semakin melemah.
Konstitusi kita dimaksudkan untuk membahagiakan orang-orang biasa. Bukan mengatur kita untuk tunduk pada sosok raja, korporasi, atau pemerintah “neo-kolonial”. Konstitusi memberikan gambaran alternatif tentang sebuah dunia baru yang lebih beradab, demokratis, egalitarian, dan nyaman bagi semua. Namun gambaran itu tidak terlalu tajam seperti potret yang buram pada masa sekarang. Sebab teks konstitusi itu hanya disuarakan di upacara formal berupa “mantera keramat” 1945 yang makin miskin contoh dan kehilangan rasa. Sebuah aksi yang melibatkan ribuan orang biasa adalah kesempatan untuk menerjemahkan gambaran tadi menjadi lebih jelas, dan terhubung dengan kita yang sedang berada pada situasi Indonesia sekarang yang jungkir balik.
Kekuatan Imajinasi dan ‘Politik Prefiguratif’
Sebuah revolusi baru akan berhasil jika didukung oleh kekuatan imajinasi. Antropolog yang sekaligus seorang aktivis David Graeber dalam Revolution in Reverse berargumen bahwa imajinasi memainkan peran penting bagi para demonstran untuk selalu menemukan motivasi untuk bergabung dalam gerakan. Dunia beradab berkeadilan tidak boleh hanya bertengger sebagai teks pembukaan konstitusi, tapi harus dapat menjadi bagian dari imajinasi kolektif. Apa yang harus dilakukan oleh para pemimpin aksi, seniman, aktivis dan kita semua adalah membangun imajinasi dan membumikannya Hal ini disebut prefigurative politics yang merujuk pada praktik politik yang mencoba menciptakan dan mencerminkan masyarakat ideal yang diinginkan di masa depan melalui tindakan dan struktur organisasi saat ini. Dengan kata lain ‘politik prefiguratif’ adalah upaya untuk “mewujudkan” atau “memperlihatkan” bentuk masyarakat yang diinginkan melalui cara-cara yang digunakan dalam perjuangan politik sehari-hari.
Maka perlu ada landasan bersamayang masuk akal dan dapat dicerna oleh banyak orang yang menyatukan perbedaan-perbedaan berbasis kelas, etnis, agama. Misalnya situasi sekarang adalah: “yang kaya makin kaya, yang miskin makin miskin”. Maka dunia yang dibayangkan baik bisa diwujudkan ketika “semua orang leluasa saling rajin berbagi”. Tunjukkan secara langsung melalui tindakan aksi bagaimana kita mampu mempraktikkan dunia penuh keadilan dengan saling memberi makan minum, saling menjaga, bergembira bersama dan tolong menolong dalam tiap aksi. Ketika pemerintah atau lembaga KPK mencla-mencle, dan pilih kasih demi melindungi anak penguasa, perlihatkan kita berani untuk jujur dan malu untuk curang. Ketika pejabat negara bersikap monolog, tuli atau tone deaf, perlihatkan kita adalah ribuan orang yang senang dialog dan mendengarkan satu sama lain. Ketika hierarki birokrasi meruwetkan hidup, perlihatkan suasana egalitarian membuat hidup jadi mudah.
Revolusi adalah Kesabaran
Hal ini mungkin, tapi tidak mudah. Pertama, gagasan kekerasan dan penghancuran adalah imajinasi politik satu-satunya yang khas melekat pada kaum konservatif seperti penguasa yang memang selalu hidup dalam struktur hierarkis yang dianggapnya alami dan wajar sehingga harus dipertahankan mati-matian. Pandangan bersifat hegemonik yang berimbas pada kita sebagai rakyat yang selalu membayangkan dengan ngeri bahwa revolusi itu ongkos sosialnyamahal, penuh pertumpahan darah, dan menghancurkan fasilitas publik. Rasa takut ini dinanti penguasa karena akan melahirkan status quo. Sudah saatnya imajinasi kekerasan yang merupakan fotokopi buram dari perilaku para penguasa kolonial dibuang ke tong sampah.
Kedua, masih diperlukan lebih lebih banyak pemimpin aksi sebagai intelektual organik. Mereka yang memiliki kecerdasan untuk membuat narasi cerita membangun imajinasi Indonesia demokratis dan inklusif yang mudah dicerna. Mereka yang mampu memancing empati, membuat paham, dan merasakan kegawatan yang akan terjadi jika demokrasi mati melalui ragam ekspresi seni. Kekuatan estetika terdalam adalah kemampuan menawarkan realitas alternatif yang membuat orang membuka mata, tergerak hatinya, dan bersama-sama memperjuangkan perubahan ke arah lebih kehidupan lebih baik di masa depan. Harapan ini besar karena semakin banyak aksi-aksi kolaboratif para seniman negeri ini yang keluar studio dan galeri dan hadir secara kolektif. Mereka melibatkan warga untuk membuat perubahan sosial yang bermakna di desa-desa dan pinggir kota dengan bertani organik bersama, membuat karya bersama di kawasan kumuh. Logikanya begini, jika negara abai, maka hidup mandiri dan artistik adalah perlawanan.
Ketiga, perlunya kesabaran. Perjuangan itu bisa sangat panjang karena menempatkan diri sebagai oposisi kritis dan cerdas itu “bukan budaya kita”, tidak diajarkan di sekolah, dan belum menjadi kearifan lokal dalam kehidupan sebagai warganegara Indonesia modern yang terdidik. Tapi belajar melalui Aksi Kamisan, kita memiliki lentera penyemangat dalam lorong gelap yang panjang itu. Revolusi adalah kesabaran. Sisanya hanyalah momentum.
Revolusi non-kekerasan lebih efektif ketika wujudnya adalah semacam karnaval empati yang damai penuh warna, merangkul semua pihak, berdialog, memperlihatkan kebaikan—walau tuntutannya tetap tajam. Tampil artistik tentunya membingungkan aparat untuk bereaksi keras. Demonstran dituntut mampu membuat aparat membangun imajinasi untuk dapat mengidentifikasi kembali bahwa dibalik seragam dan senjata, mereka juga manusia yang ingin berbuat baik pada manusia lain. Tawarannya adalah pembangunan alternatif yang kreatif dan imajinatif, yang secara bertahap menantang dan menggantikan struktur kekuasaan yang ada menjadi lebih demokratis, sambil meminimalkan kerugian dan penderitaan yang sering terjadi dalam revolusi dengan kekerasan. Kalau dalam dua bulan, mereka masih “pura-pura demokratis”, jagalah api revolusi tetap menyala.
*) Dimuat di Kompas link-nya ini.