Categories
essays

Konflik Wadas

Saat ini konflik keras antara pemerintah dan para petani Wadas sedang ditengahi dengan usaha-usaha dialog antar warga yang kontra pertambangan batu andesit dan aparat. Persoalan Konflik Wadas diharapkan selesai ketika luka trauma akibat kekerasan aparat terhadap warga terobati. Insiden ini mutlak dianggap sebagai kesalahan prosedural. Apa betul?

 Bagi golongan masyarakat agraris, tanah berfungsi sebagai penopang kehidupan utama. Dengan mengolah dan menanam di atasnya, mereka mendapatkan hasil agrikultur untuk dimakan atau dijual ke pasar sebagai cara memenuhi kebutuhan konsumsi. Memang selalu ada sumber pencaharian lain sampingan misalnya memelihara ternak,ikan atau menjual jasa tenaga sebagai buruh dan merantau musiman.  Signifikansi tanah diperlihatkan dari ekspresi-ekspresi kebudayaan pertanian mudah terlihat melalui ritual adat, cerita-cerita lisan, dan nyanyian-nyanyian yang menceritakan tentang kesuburan dan kehidupan berkelanjutan yang berpusat di pertanian.

Sejarah agraria Indonesia mencatat perlawanan-perlawanan keras ketika tanah-tanah pertanian yang merupakan milik komunal dialihkan kepemilikannya. Para petani yang menyerahkan tanah kepada pihak asing dianggap sama dengan menyerahkan nyawa mereka sendiri. Konflik agraria menjadi sangat tajam dan berdarah karena memang terkait dengan usaha-usaha petani menyelamatkan satu-satunya investasi yang menyambung nyawa. Cerita-cerita petani brutal yang mengamuk kemudian mengisi pembangunan kita dari masa ke masa.

Apa yang harusnya diganti rugi?

Narasi-narasi propaganda “anti komunisme” dalam kebudayaan populer diwarnai secara bias mengaitkan kebuasan petani ketika mereka menjadi kaum cerdas secara politik dan malawan ketidakadilan. Contohnya seperti adegan-adegan awal film Pengkhianatan G30S/PKI Arifin C. Noer tentang serombongan petani menyerang orang-orang di surau. Ada stigma politik yang memang dibangun sehingga ekspresi perlawanan petani dianggap sebagai kriminalitas tingkat gawat sehingga perlu rombongan polisi sampai ribuan seperti yang terjadi di Wadas sekarang.

Dampak peristiwa Wadas ini tidak saja menimbulkan reaksi pada kelompok-kelompok masyarakat sipil dalam gerakan sosial pro demokrasi yang menyuarakan penindasan, isu lingkungan, HAM, dan hak-hak sosial budaya, tetapi juga turut meresahkan kelompok-kelompok “non-gerakan” seperti komunitas ilmiah berbasis universitas, dan konsultan independen.  terutama di bidang sosial-konservasi. Mereka berusaha bekerja profesional mengikuti standar intrnasional yang tunduk pasda aturan HAM, sementara negara sendiri main paksa di depan mata.

Sesungguhnya yang lebih penting dari bujuk-membujuk adalah menggantikan kerugian yaitu dengan kompensasi. Itu pun hanya dapat dilakukan jika para petani bersedia. Tapi kesediaan itu sulit sekali datang karena tidak ada manusia bisnis yang rela dan mampu mengganti kehidupan yang hilang. Ganti rugi senilai harga tanah dianggap menyelesaikan kehilangan dengan adanya sejumlah uang yang dianggap menutupi kerugian-kerugian petani.

Namun demikian ganti rugi itu tidak akan pernah dianggap seimbang kerena adanya perbedaan makna tanah bagi petani dan bagi pengembang. Bagi para ekonom, nilai investasi tanah pertanian dapat diukur dengan sejumlah uang secara objektif.  Skema kompensasi yang paling “irit biaya” misalnya dengan mengganti biaya penanaman dan menaksir besaran hasil dari tanaman-tanaman yang berada di atasnya ditambah dengan nilai tanah itu sendiri, dan uang-uang lain untuk melupakan kesedihan akibat kehidupan yang terampas. Uang ganti rugi ini dianggap cukup untuk membeli waktu selama mencari mata pencaharian yang lain. Namun kemana kerugian petani dari akumulasi kerja berupa waktu dan tenaga yang hilang bertahun-tahun dalam mengelola dan akumulasi keuntungan dari hasil panen yang diproyeksikan akan hilang di masa depan?

Apa yang akan terjadi bagi kaum agraris ketika menerima sejumlah uang tunai? Mereka hanya cukup waktu untuk menghabiskan uang penghiburan tersebut untuk konsumsi, sementara dalam waktu yang terus berjalan, uang tersebut pun akan mengalami penyusutan karena inflasi dan kenaikan-kenaikan harga barang. Jurang kemiskinan menanti di depan mata.

 Cara yang lebih manusiawi lagi adalah mengukur penurunan kualitas lingkungan yang terjadi akibat proyek pembangunan misalnya dengan rusaknya sumber mata air, kotornya udara, buruknya pemandangan, dan kerentanan terhadap bencana alam sebagai kehidupan normal baru di masa depan. Kerusakan alam dan sosial ini harus dikalkulasi sebagai bagian dari ganti rugi. Tujuannya, kerusakan-kerusakan tersebut harus menjadi sangat minimal dampaknya jika tidak dapat tergantikan sama sekali. Baru kemudian menggantikan tanah garapan baik sawah, ladang, dan kebun sehingga penerima kompensasi tidak perlu mengganti gaya hidup bertani untuk bekerja di sektor lain yang persaingannya sangat tinggi, tidak dikuasai bagai meloloskan diri dari lubang jarum. Jika nilai labour yang hilang tidak dapat diganti, maka tanah garapan baru harus disediakan.

Para petani tidak perlu melakukan alih kerja dan alih kebudayaan sehingga kehilangan jati diri dari makna kerja sebagai petani. Kerja tani tidak dengan mudah diganti kerja-kerja lainnya. Apakah pemerintah  mau menempuh jalan ini? Misalnya membayar tenaga riset imparsial, menciptakan udara bersih, mencarikan lahan pertanian subut baru, atau menghitung-hitung bagi keuntungan yang adil dan berjangka panjang untuk petani dari keuntungan bisnisnya di tanah tersebut?

Apa yang sedang terjadi di Wadas dengan proyek pemerintah membangun bendungan dan pertambangan batu alam akan mendatangkan kerugian yang fatal bagi petani Wadas yang memang sudah hidup makmur dengan pertanian dan usaha perkebunannya. Hasil penelitian Walhi mengatakan bahwa tanah Wadas adalah “tanah surga” pertanian dengan hasil kayu keras dan tanaman perkebunan yang sangat menopang kehidupan ekonomi warga desa dengan hasil 8,5 milyar pertahun untuk komoditas pertanian dan 5.5 milyar per lima tahun untuk hasil kayu keras. Batu-batuan alam yang menjadi penyangga air tanah memengang peranan kunci. Perubahan bentang alam akan memperburuk atau mematikan apa yang tumbuh diatasnya.

Tapi seperti biasa, negara ini sudah matang pengalaman dengan perampasan ruang kehidupan sebagai pengorbanan suci warganegara bagi negaranya yang sedang giat membangun misalnya dari kasus Kedung Ombo tahun 1983. Perampasan tanah pertanian ini merupakan pengulangan lagu-lagu lama tentang kekerasan agraria di Indonesia. Dampak sosial yang sudah terjadi adalah munculnya kelas-kelas sosial baru dengan ciri-ciri miskin yang bekerja serabutan, kesulitan menabung, dan menyusun rencana jangka panjang. Mereka tidak dapat terserap ke dalam industri pabrik karena tidak ada tempat dan tidak ada pengalaman dan melahirkan generasi miskin di masa depan dengan segala kerentanan dan bahaya.

Maka itu perlawanan petani Wadas harus dilihat sebagai pelajaran terutama yang hidup di kota dan mencerna apapun dari media (juga dari sosmed dan buzzer). Orang kota yang makan dari supermarket, selalu punya jarak dengan petani. Padahal penderitaan orang kota juga sudah banyak, apalagi jika cuma buruh biasa. Mereka tergantung upah, berebut tunjangan, dibayar murah dan serba tidak pasti. Seharusnya orang kota punya rasa hormat bagi petani yang punya kedaulatan pangan walau cuma seorang petani. Membela harga diri petani sebetulnya mirip dengan membela diri kita sendiri yang sama-sama rentan di hadapan negara yang sangat kuat kuasanya.

Categories
essays

Membela Hak Peladang Berpindah

Perladangan berpindah adalah strategi yang fungsional, efektif, dan cocok bagi karakter masyarakat kawasan hutan Asia Tenggara. Praktik  terbesar terjadi di kawasan seperti Filipina, Vietnam, Sarawak (Malaysia), Kalimantan (Indonesia) dan Thailand. Perladangan berpindah adalah strategi yang fungsional, efektif, dan cocok bagi karakter masyarakat kawasan hutan di Asia Tenggara. Mengapa dilarang?

Perladangan berpindah dianggap terbelakang bahkan oleh kalangan akademik. Dari perspektif ekonomi, ladang berpindah dianggap tidak efisien. Hasilnya terlalu sedikit dibandingkan dengan luas lahan yang digunakan. Dari perspektif kehutanan, ladang berpindah dianggap menyebabkan kebakaran. Dari perspektif studi pembangunan, ladang berpindah terlihat berantakan, tidak cocok bagi wajah pertanian modern yang rapi terorganisir.  Dari perspektif legal-formal, perpindahan ladang potensial menyinggung batas-batas izin usaha konsesi.  Desakan internasional terhadap bahaya asap turut memperkuat stigma terhadap kebudayaan ladang berpindah. Pemerintah akhirnya mengambil langkah tegas untuk melarang peladang untuk membakar hutan. Tapi apakah pemerintah mengerti apa yang mereka larang?

Intim dengan Api

Praktik perladangan berpindah sering disebut dengan istilah “merendahkan” yaitu  slash and burn agriculture karena ada kata menebang dan membakar untuk menyediakan lahan yang siap tanam. Terminologi ini asosiatif dengan kebakaran hutan. Padahal jika dipahami secara mendalam, pembakaran hanyalah satu tahap singkat dari konversi lahan dari sekian fase yang harus dilalui seperti menebas, membakar, menugal, menyiang, memanen, dan berpindah ke lahan baru. Istilah lebih netral untuk merangkum kegiatan ini adalah swidden agriculture atau shifting cultivation seperti yang sering digunakan di antropologi.

Pembakaran tradisional memiliki metode pengendalian api yang melibatkan kerja sama kelompok. Warga peladang yang telah terbiasa melakukan pembakaran ladang mengerti bagaimana menciptakan sekat bakar untuk mengendalikan api. Kawasan yang akan dibakar selalu dikepung oleh warga yang menjaga api. Mereka bertugas menangkap latu dan bara yang terlempar angin keluar sekat.  Mereka punya kepandaian memanfaatkan arah angin sebagai penuntun api ke arah lembah. Maka api akan mati terkepung api dan saling bertabrakan di tengah lembah. Api padam dalam waktu kurang dari satu jam. Lalu sesuai yang diperkirakan ketika menentukan tanggal pembakaran, hujan mengguyur tak lama kemudian.  Menurut warga Kapuas Hulu Kalimantan Barat, tidak pernah ada kejadian kebakaran hutan akibat pembakaran ladang. Justru mereka mengenang kecepatan dan akurasi pembakaran sebagai prestasi. Semakin singkat dan asapnya sedikit, itu semakin baik.

"Saya umur 45, tetap berladang sampai mati"
“Saya umur 45, tetap akan berladang sampai mati”

Api dan Tenurial

Dari kacamata legalitas,  kepemilikan tanah hanya mengenal dua tipe yaitu tanah atas pribadi (private properties) dan milik negara (state-owned properties). Dengan tidak adanya sertifikat tanah milik peladang,  negara menyangka bahwa praktik swidden agriculture pasti dilakukan peladang dengan prinsip  hutan open-access. Artinya, pembukaan hutan dan pembakaran dapat dilakukan sebebas-bebasnya, seluas-luasnya tanpa kendali. Itu tidak benar. Di atas belantara yang seakan kosong tanpa hak, terdapat aturan relasi sosial dan kerja (labour). Di sana terdapat aneka hak tenurial adat yang mengatur hubungan petani dan lahan-lahan seperti hak dan kewajiban meminjam, mewariskan dan mengelola berdasarkan pertalian darah.  Artinya, swidden agriculture adalah  praktik yang berjalan di atas banyak aturan-aturan kolektif, denda adat, dan tidak dapat dilakukan sembarangan. Pembakaran sebagai metode kelola hutan pun tidak luput dari tanggung jawab dalam hak tenurial itu.

Serangkaian hak tenurial di atas juga berhubungan dengan pengetahuan lokal tentang tipologi hutan. Jalur perpindahan ladang dan pembakaran selalu mengikuti hutan-hutan sekunder yang dulunya pernah dibakar antara 5 sampai 7 tahun yang lalu. Di wilayah Kapuas Hulu kawasan itu dinamakan pemudak. Di sekitar Danau Sentarum disebut temudak. Di dalamnya terdapat areal tembawang yang ditanami pohon buah-buahan warisan nenek moyang seperti durian, langsat, cempedak, dan tengkawang. Fungsi tembawang adalah sebagai tapal batas dalam pemudak sehingga satu bukit dapat dibagi-bagi dan dikenali persis oleh sejumlah keluarga sebagai milik mereka. Kategori berikut adalah rimba tutupan. Kawasan ini adalah hutan primer yang memang dilarang untuk dibakar menjadi ladang. Orang-orang Dayak dan Melayu di hulu Kalbar menyadari pentingnya fungsi hutan primer untuk menjaga tata air demi keselamatan ladang dan sumber minum keluarga. Bagi mata orang kota biasa, baik pemudak maupun rimba tutupan wajahnya benar-benar belantara.

Ladang Berpindah adalah Hak Kultural
Setidaknya ada dua fungsi berkelanjutan swidden agriculture yang tidak dikenali oleh negara. Pertama, menjadi jaring pengaman pangan. Ketika karet pertama kali dikenal sebagai komoditas global pada awal abad ke-19, orang Dayak jadi mengenal uang. Mereka memahami bahwa setelah panen padi, karet harus ditanam sehingga pemudak menjadi produktif. Resesi ekonomi global tahun 1930 membuat harga karet jatuh dan tidak pernah benar-benar bangkit sampai sekarang. Itu adalah pelajaran berharga mereka untuk jangan bergantung pada ekonomi global. Pada masa-masa sulit uang seperti sekarang pun, swidden agriculture tetap memberikan padi tanpa harus beli. Masalah di hutan adalah hambatan struktural ekonomi karena akses sulit. Bukan masalah api. Hampir seabad warga hutan selalu bertanya: “mengapa harga barang-barang hulu sangat murah, sedang harga barang hilir terlalu mahal?”.

Kedua, swidden agriculture melepaskan karbon ke udara lebih sedikit dibandingkan dengan perkebunan. Sistem ini hanya mungkin dilakukan dalam skala kecil sesuai dengan kebutuhan. Areal yang dibakar akan dibiarkan berproses tumbuh menjadi hutan kembali selama beberapa tahun. Suksesi alam dalam rotasi perladangan tradisional sesungguhnya mirip dengan sistem tebang pilih yang legal dilakukan pada usaha konsesi kayu. Bahkan menurut penelitian CIFOR di Kalbar, apabila dibandingkan dengan kebun sawit, cadangan karbon yang berada di atas pemudak usia tua dapat dua kali lebih banyak dan sanggup menahan erosi.

Pelarangan oleh pemerintah menunjukkan sikap buta historis dan anti riset. Kebijakan modernisasi pertanian kita lebih banyak dilahirkan dari bias politik dan dahaga profit. Hanya karena sawah irigasi terlihat lebih sering panen, rapi, sedap dipandang, maka ladang yang terlihat berantakan dan menghasilkan asap dikategorikan pada bentuk agrikultur primitif, pindah-pindah, tidak efisien dan terbelakang. Lebih jauh lagi dianggap ancaman nasional. Hak berkebudayaan peladang berpindah dicabut. Peladang menghadapi situasi rentan pangan.

Seharusnya perladangan berpindah dianggap sebagai ekspresi kebudayaan khas Indonesia dalam mewujudkan ketahanan pangan mandiri. Termasuk memiliki daya lenting dan resistensi terhadap krisis ekonomi global. Kawasan ladang berpindah kini dipenuhi papan larangan membakar dengan ancaman denda 500 juta. Mereka tetap membakar dan berkejaran dengan petugas. Warga desa pinggir hutan memang sudah diberikan hak kelola atas Hutan Desa. Tapi apa guna Hutan Desa jika hak untuk melakukan aktivitas-aktivitas tradisionalnya dibunuh? ***

Dimuat di Kompas 18 Oktober 2016