Categories
essays

 Film Milenial tentang “G30S/PKI”

 Respons Presiden untuk membuat film dokumenter sejarah 1965 versi “milenial” adalah langkah maju bagi bangsa. Ada jarak dua generasi dari film pendahulu.  Artinya sasaran utama penontonnya bukan lagi generasi muda 1980-an yang bagaikan kertas putih terhadap sejarah 1965. Mereka adalah generasi muda baru yang sempat kebagian propaganda Orba soal kebencian “kultural” terhadap PKI tapi sekaligus juga punya akses informasi alternatif.

Mereka adalah penonton kritis. Generasi yang berkesempatan mengakses riset-riset ilmiah di internet atau buku-buku yang terbit sejak era Reformasi 1998.  Setidaknya mahasiswa ilmu sosial dan politik di Indonesia hari ini sudah membaca pembantaian massal 65 sebagai bagian dari kuliah. Walaupun hari ini sedang terjadi rekrutmen massa lewat politisasi primordial anak muda yang alergi terhadap wacana 1965, faktanya kebangkitan publik muda ahistoris yang haus sejarah terjadi. Membaca tidak dapat dibendung.

Selain membaca, mereka pun kaya akan referensi pop culture dari film-film bioskop dan mini series di TV kabel.  Industri perfilman Amerika begitu terampil membuat film-film fiksi bertema spionase yang sangat seru.  Namun narasi cerita pun bergeser dibanding 20 tahun lalu. Dalam film negara tidak lagi tampil sebagai jagoan tunggal seperti seorang James Bond yang menyapu musuh-musuh politik. Tidak ada lagi penjelasan hitam putih tentang keterlibatan CIA, FBI, militer, teroris, bank, perusahaan, lembaga-lembaga negara dan presiden dalam pertarungan kekuasaan. Latar penceritaan pun terasa faktual mengikuti krisis politik yang terjadi dalam konteks politik ekonomi global. Memang ini semua ada dalam ranah fiksi, namun terlihat adanya otokritik konsisten sebuah film terhadap penyelewengan konstitusi, pelanggaran HAM, dan ragam kejahatan politik dengan menunjuk hidung sendiri.

Jika ditonton  dengan kecerdasan hari ini, film Arifin C Noer akan terlihat naif dari segi penuturan sejarah. Sebuah konflik internal berujung pembantaian di Lubang Buaya yang dilakukan oleh kaum militer muda terhadap beberapa orang petinggi militer. Kemudian satu bangsa repot dibuatnya selama bertahun-tahun. Tragedi Lubang Buaya dianggap sentral sebagai alasan normal untuk membubarkan PKI, memenjarakan, dan membunuh semua orang yang dianggap terkait. Negara tidak mengeluarkan catatan resmi tertulis mengenai pembantaian massal yang terjadi sesudahnya.  Walhasil pembantaian tersebut hanya bisa direkonstruksi susah-payah melalui metode sejarah lisan bertahun-tahun kemudian. Bagian-bagian penting ini yang sama sekali tidak ada film Pengkhianatan G30S/PKI tadi.

Tidak lagi hitam putih

Maka kita perlu sebuah film baru buatan dalam negeri yang cocok untuk generasi sekarang. Film yang dibangun dari hasil riset ilmiah yang teruji.  Berbeda dengan masa lalu, kajian Indonesia 1965 beraneka ragam dan dapat diakses . Tinggal mengemasnya dalam bentuk gurih yang disukai penonton dan memenuhi prinsip-prinsip pembuatan film yang bersuasana faktual, tetap seru dan dramatis, tapi juga memberikan pesan-pesan penting tanpa harus hitam putih.

Dalam konteks kekinian, sudah tentu film ini harus bicara tentang isu penguatan HAM. Jika hari ini rakyat Indonesia dapat merasa marah dengan pembantaian Rohingya, artinya ada sentimen kemanusiaan yang terusik di dalam hati kita semua sebagai orang baik. Jika kita marah kepada ISIS yang hobi menggorok orang sambil mengabadikannya dengan kamera video, artinya kita protes dan mual terhadap kekejaman. Sebuah pembantaian bagaimanapun tidak normal untuk terjadi pada siapa pun dengan alasan apa pun. Genosida 65 pun harus diungkap sebagai penyesalan, bukan kepahlawanan.

Sebagai sebuah film mutakhir, film ini harus pula menyertakan konteks-konteks politik mengapa peristiwa pembantaian 65 itu ada. Tragedi ini bukan sebuah kebetulan, bukan pula sebuah kemarahan yang meluas secara alami. Dari referensi film sejenis seperti misalnya Hotel Rwanda berlatar pembunuhan massal yang dilakukan etnis mayoritas Hutu terhadap minoritas Tutsi di Rwanda pada tahun 1994, penonton dapat memahami bahwa kekerasan terjadi sangat terencana dan terkoordinasi. Terjadi dalam waktu singkat dan bermula dari pembunuhan para elite politik yang kemudian meluas dalam hitungan jam. Ekstrimis Hutu dalam bentuk tentara resmi maupun milisi mengadakan pemburuan manusia dengan teliti mengandalkan daftar orang-orang yang harus dibunuh, pemeriksaan KTP di jalan-jalan yang diblokir, dan menyebarluaskan pengumuman pembantaian melalui siaran radio. Ada peranan negara, ada aktor-aktor elite militer yang menjadi dalang ambisius dalam genosida itu.

Film Hotel Rwanda tidak hitam putih dan sangat jelas menggambarkan bahwa tokoh utama yaitu manajer hotel yang beretnis Hutu melindungi seribu orang Tutsi yang menjadi target. Dari riset-riset HAM tentang konflik Rwanda, ditemukan sangat banyak tetangga atau keluarga yang saling membunuh bukan karena benci tapi karena takut dibunuh. Setidaknya 800 ribu sampai satu juta orang dibantai dan sejumlah 250 ribu perempuan Tutsi diperkosa dalam waktu 100 hari. Penonton bioskop terkesima bukan karena sedang diarahkan film untuk menangis kasihan atau berlinang dendam, tetapi lebih kepada menyaksikan makna universal dari tragedi yang utuh. Mereka bertanya dengan perikemanusiaannya yang campur aduk: “bagaimana mungkin sebuah bangsa yang membiarkan pembantaian manusia sebagai hal rutin dan normal?”

Luruskan yang perlu diluruskan

Tentu selain mengasah kemanusiaan, film mutakhir tentang PKI harus meluruskan hal-hal yang perlu diluruskan. Penonton zaman sekarang sudah tidak mempan dengan jargon picisan tentang “komunis setan anti Tuhan” dan sejenisnya. Ada baiknya film mendatang menjadi jembatan sejarah untuk menampilkan fakta-fakta jujur tak terbantahkan tentang argumen berdirinya sebuah partai komunis di Indonesia. Termasuk mengapa dia mesti dihancurkan semata-mata karena mengganggu roda bisnis internasional. Bagaimanapun “partai nista” ini pernah punya peran penting dalam membangun solidaritas kebangsaan dan membangun keberanian untuk mandiri di antara negara-negara raksasa ekonomi. Belum lagi peranannya dalam membangun kebijakan pro rakyat di masa lalu. Luruskanlah pengertian-pengertian mendasar tentang komunisme sebagai ideologi, dan sosialisme sebagai prinsip yang bahkan nyata-nyata ada dalam Pancasila. Jangan juga terlalu naif. Kita harus mengaku bahwa Marxisme sebagai alat analisis  ekonomi politik berperan, berkembang dan digunakan sampai hari ini untuk memetakan dan menangkis bahaya globalisasi kapital yang kebablasan. Jika hari ini kita dapat ngomong enak dan lancar tentang rencana kedaulatan pangan, reforma agraria, Tunjangan Hari Raya, atau hal-hal yang pro rakyat, itu bukan geledek ahistoris di siang bolong. Maka mulailah bersikap historis dan intelektual terhadap semua itu . Semoga film tentang PKI versi milenial segera terwujud. ***

Categories
quicknotes

Ucapan Natal Terakhir dari Central Comite 1964

Dari pojok editorial Harian Rakjat, 24 Desember 1964:
Ucapan Natal Terakhir dari “Central Comite” (Sic!)  Partai Komunis Indonesia tahun 1964 (ditemukan Muhidin M Dachlan). Dulu natal dua hari seperti lebaran! Nuansa solidaritas internasional  melawan ketidakadilan terasa benar. Kebenaran sejarah harus tegak dan buyar sudah fitnah Orba tentang PKI sebagai senyawa setan anti agama.


“Dunia kita sekarang ini bukanlah satu dunia yang damai, tetapi jang ‘gaduh’. Di Vietnam Selatan ummat Kristen tidak dapat merajakan hari Natal dengan suasana damai. Di Konggo demikian. Dimana² imperialis menebarkan mesiu dan kemiskinan, dan mentjegah ummat Kristen merajakan hari Natal menurut harapan agama mereka. Dan jang lebih keterlaluan lagi, ialah bahwa kedjahatan ini dilakukan kaum imperialis dengan sering² menggunakan nama agama pula!”

“Marilah kita berdjuang lebih hebat melawan segala ketidakadilan sosial, melawan imperialisme. Selamat Hari Natal, selamat berjdoang!”
“Dari luweng-luweng tjuram, dari galian pasir pantai yang gelap, muara Sungai Berantas, Bengawan, dan Tjiliwung, Central Comite (CC) PKI mengutjapkan selamat “Hari Natal” dengan harapan: “Bahagia bagi Umat Kristen Indonesia dalam merajakan Hari Natal 25-26 Desember. Semoga kebesaran Hari Natal ini lebih mendorong semangat perdjuangan untuk Persatuan Nasional dan Perdamaian Dunia”.

 Relevansinya masih kuat. Ketidakdilan masih meraja. Kasih sayang masih jauh. Selamat Natal 2015.

Categories
essays

Dampak Absennya Marxisme dalam Tradisi Akademik *)

 

Peran Kiri  yang dihapus dalam Nasionalisme Indonesia

Sejarah nasional Indonesia versi penguasa Orde Baru menghapuskan peranan gerakan Kiri dan Marxisme dalam  kelahiran nasionalisme Indonesia.

Tradisi akademik analisis kelas yang menjadi instrumen melihat kondisi sosial ekonomi dilarang digunakan karena dianggap tidak sesuai dengan kepentingan Indonesia. Hal ahistoris ini berbahaya.

Sejarah nasional mendudukkan perlawanan sporadis Dipenogoro, Hassanudin, Teuku Umar dll terhadap Belanda sebagai bagian dari nasionalisme Indonesia yang gemilang. Tanpa mengecilkan peranan mereka, perlawanan para pahlawan nasional itu digerakkan bukan oleh “Rasa Nasionalisme” melainkan oleh sentimen etnis, teritorial terbatas dan sektarian dipadu dengan kebencian pada Belanda. Baru pada awal abad ke-20, konsep nasionalisme dikenal luas sebagai perasaan solidaritas lintas agama, etnis dan teritorial kampung. Hal ini hanya mungkin terjadi ketika perlawanan menjadi terorganisir dan menyerap ideologi progresif kiri yang diperkenalkan oleh orang-orang Belanda yang menjadi tokoh oposisi di negaranya sendiri. Para sosialis Belanda melakukan radikalisme di kawasan kolonial semata-mata untuk mewujudkan internasionalisme anti penjajahan di muka bumi.

Ketidakadilan adalah sesuatu yang universal yang harus dilawan secara universal pula. Persentuhan Hindia Belanda dengan pemikiran progresif adalah episode penting yang menanamkan jiwa perlawanan terhadap struktur-struktur kolonial dan feodal yang menindas. Sebagai kawasan perkebunan rempah dan tanaman keras bagi negara koloni, perbudakan adalah peristiwa sehari-hari sebagai hal normal dalam kehidupan. Masuknya Politik Etis yang dibawa oleh intelektual dan aktivis-aktivis sosialis Belanda membawa angin segar di parlemen Belanda pada masa awal abad ke-20 yang mulai mengkritik kebijakan-kebijakan dalam negeri menyangkut penjajahan terhadap bangsa lain.  Hanya saja, penulisan sejarah Indonesia dipenuhi beban heroisme dan permusuhan terhadap segala hal yang berbau Belanda sehingga Politik Etis hanya diartikan sebagai sisi humanis dari kebijakan-kebijakan kolonial tanpa menyebutkan sama-sekali peranan internasionalisme gerakan kiri yang sedang bangkit dalam mengkritik kolonialisme di seluruh dunia. Aktivis-aktivis buruh Belanda yang merupakan bagian dari Partai Sosialis Belanda memperkenalkan ide-ide perlawanan terhadap rakyat terjajah. Menarik untuk memahami geliat sejarah bangsa kita yang mulai progresif sekitar setengah abad sebelum kemerdekaan tahun 1945. Pada periode 1915 organisasi Serikat Islam kemudian membuka mata terhadap persoalan penindasan dengan menerima ide-ide universal sosialisme dari Belanda. Serikat yang tadinya sektarian dan dimaksudkan untuk memperbaiki kehidupan internal para pedagang muslim mulai memahami bahwa kemiskinan bukan semata-mata takdir Tuhan, melainkan sesuatu yang dirancang oleh bangsa lain untuk kepentingan-kepentingan ekonomi yang tidak adil. Kelak iklim perlawanan non-sektarian terhadap Belanda ini melahirkan pemberontakan-pemberontakan patriotik termasuk membidani lahirnya partai demokratik pertama di kawasan jajahan Belanda yang sangat anti Belanda dalam pengertian menolak sistem kapitalisme Belanda — yaitu PKI tahun 1924 (McVey 2006).

Bagaimana iklim progresif tumbuh subur dalam bangunan struktur feodalistis tua ini melahirkan kekaguman bagi sarjana-sarjana ilmu politik Amerika. Hindia Belanda yang kelak menjadi Indonesia itu memperlihatkan wajah politiknya yang sangat modern, kritis terhadap kolonialisme, kapitalisme dan imperialisme, dan bahkan jauh lebih progresif daripada sejarah Eropa yang penuh sesak oleh pembantaian etnis dalam rangka membangun identitas nasionalismenya (Anderson 1983).

Tradisi Akademik. Pikiran Kiri Apa itu?

“Kiri” hanya satu istilah karena ada kanan dalam spektrum warna ideologis yang penuh warna dan istilah. Istilah yang juga dapat digunakan adalah “Kritis” dan “Progresif” dengan makna sama. Untuk meringkas tanpa mengurangi ketajaman, saya gunakan istilah paling generik yang juga digunakan dalam sedikit mata kuliah progresif yang masih ada yaitu “ekonomi-politik” yang merupakan warisan penting pemikiran Marxisme dalam koridor metodologi. Pada intinya setiap studi Marxisme yang paling kompleks sekalipun selalu mempertanyakan ini:

  1. Who owned What
  2. Who did What
  3. Who get What
  4. Used for What

Di atas itu hal mendasar yang mudah dihafal jadi pedoman kerja dan menghasilkan rangkaian jawaban kompleks yang memetakan relasi-relasi sosial produksi dari hulu sampai hilir dalam arus sejarah. Kasus yang terkesan sederhana dan berdiri sendiri ternyata terkait dengan konteks luas baik horizontal maupun vertikal. Hierarki kelas yang berimbas pada eksploitasi, penindasan dan ketidakadilan kemudian menjadi terang-benderang. Metode yang dikenal dengan sebagai Analisis Kelas ini menjadi bagian tradisi akademik dalam bekerja dan melahirkan pandangan-pandangan secara ringkas demikian:

  • Masyarakat terbentuk dari pengelompokan kelas sosial.
  • Ada stratifikasi sosial.
  • Hubungan antar kelas secara alamiah bersifat konflik.
  • Hubungan sosial yang tercipta selalu melibatkan relasi antar kelas.
  • Kapitalisme tidak dilihat sebagai sistem ekonomi, tetapi sistem sosial.
  • Kebudayaan adalah produk kelas sosial.
  • Kurva ekonomi tidak pernah jujur karena kekuasaan politik bermain dalam harga barang.
  • Empirisisme dan iobjektivisme harus dilihat secara historis.

Hal yang perlu digaris-bawahi adalah persoalan ketidakadilan dan penindasan adalah bagian perangkat metode berpikir dialektik seorang Marxist.  Perasaan dan emosi dengan sendirinya menjadi penting karena di situlah sebetulnya pemikiran dan teori menjadi selaras untuk kepentingan kemanusiaan. Maka biasanya seorang Marxist cenderung pemarah. Tentu saja marah karena sebab-sebab yang serius.

Pikiran kiri dalam dunia akademik pun cenderung bocor secara interdisipliner. Marx sebagai seorang sosiolog lebih banyak berpikir seperti ekonom, melakukan analisis seperti ahli politik, dan merenungkan pandangannya soal kebudayaan selayaknya antropolog untuk kemudian dituliskan dalam gaya seorang sejarawan. Menurut saya ini adalah ciri khas dan contoh baik bagaimana humaniora itu dipraktikkan secara lengkap. Jadi bayangkanlah bila peneliti memiliki gaya kerja seperti itu. Akan kompleks sekali penjelasannya namun juga mudah dipetakan dalam kerangka political-economy yang sesungguhnya sederhana. Kesederhanaan yang justru membuatnya tajam. Dan dilarang.

Dampak Matinya Marxisme dalam Lingkungan Akademik

Studi sosial menjadi kering. Teori-teori Sistem (Fungsionalisme-Struktural) menjadi satu-satunya penjelas dunia sosial di kampus-kampus Indonesia selama 30 tahun. Mahasiswa tidak memiliki alternatif penjelasan lain sebagai kawan dialog bagi pikirannya. Analogi biologi bahwa masyarakat selalu mencari titik equalibrium menjadi dogma yang pada akhirnya membuat kita semua percaya bahwa masyarakat manusia cenderung kompromistis, mencari keselamatan dalam harmoni. Mahasiswa pun tidak lagi terlalu terampil mengenali fenomena sosial secara historis. Analisis sosial lebih kepada relasi-relasi sosial sinkronik tentang suatu peristiwa selayaknya fotografer membuat foto.  Pandangan teori Sistem tercabut dari gerakan sosial di luar kampus. menempatkan gerakan sosial sebagai anomali

Studi Politik beralih dari demokrasi substansial menuju prosedural. Demokrasi secara konseptual dianggap sudah final sehingga apa yang perlu dilakukan adalah membuatnya lebih optimal. Kritik terhadap demokrasi lebih kepada pelaksanaan yang belum sempurna ke arah good governance. Marxisme melihat demokrasi prosedural sebagai definisi khas ideologi liberal yang mencari konsensus politik melalui proses pemilihan. Pandangan liberal bersifat pars-pro toto, abai terhadap manipulasi demokrasi yang cenderung menguntungkan bagi kelas elite. Keadaan ini belum tentu menyentuh persoalan substantif yaitu keadilan sosial. Walhasil komposisi partai politik sebetulnya terdiri dari elite-elite lama tanpa ideologi kerakyatan. Mereka yang kemudian mengatur “proletarian” (buruh, petani, nelayan, miskin kota, minoritas etnis-agama).  Maka nuansa penindasan dalam alam demokrasi sesungguhnya faktual tapi alat analisis yang mampu melihat itu tidak digunakan. Terlebih lagi status-quo dianggap normal karena undang-undang kepartaian sendiri hanya memungkinkan kelompok elite yang berkuasa berulang-ulang.

Kapitalisme hanya dipahami sebagai sistem ekonomi.  Bahasan kapitalisme dikuasai oleh ilmu ekonomi liberal sehingga dianggap sebagai fenomena ekonomi demi akumulasi modal secara efisien. Kapitalisme dianggap sebagai konsep akhir yang paling efisien dalam menciptakan tujuan ekonomi yaitu keuntungan sebesar-besarnya. Motivasi ekonomi kemudian dilembagakan sebagai nilai-nilai yang normal dalam kehidupan Kapitalisme dalam perspektif kiri jauh lebih rumit. Kita lupa bahwa Kapitalisme adalah sebuah sistem sosial yang melibatkan relasi-relasi sosial antar kelas dalam roda produksi yang problematik bagi kehidupan sosial. Maka kapitalisme melahirkan serangkaian konsep-konsep analisis kritis: alienasi, komodifikasi, eksploitasi, kekerasan, dll. Pemikiran kiri terbiasa untuk menyatukan analisis ekonomi-politik-sejarah sebagai kesatuan yang sulit dilepas-lepas.  Studi kapitalisme sesungguhnya luas menyinggung masalah politik, kebudayaan, sastra.  Matinya pemikiran kiri menciptakan reduksi besar cara kita memahami persoalan-persoalan sistemik bangsa ini.  Dengan merajanya ideologi kapitalisme dalam ilmu sosial, penyelewengan-penyelewengan dalam kehidupan bernegara tidak mampu dilihat sebagai problem cacat konseptual dalam sistem kapitalisme, melainkan (astagafirullah) sebagai indikasi dari kurang intensifnya masyarakat mengadopsi prinsip-prinsip liberal kapitalistik yang sudah dianggap sempurna itu! Maka analisis yang dianggap kontributif menyangkut “kegagalan negara” hanya ingin “mengobati gejala” yaitu perbaikan-perbaikan manajerial, optimalisasi kebijakan, perbaikan prosedural birokrasi, check-and-balance, good governance. Perbaikan struktural mendasar sampai akar (seperti yang ingin dilakukan KPK terhadap korupsi) justru dipersulit.

Dengan miskinnya analisis progresif, maka terjadi krisis pembentukan ilmu pengetahuan di basis-basis pendidikan tinggi seperti universitas. Mahasiswa tidak terbiasa untuk radikal dalam alam pikiran. Mereka cenderung menjadi “dokter-dokter” yang melakukan “diagnosa medis” terhadap persoalan-persoalan sosial. Mereka terlalu netral sebagai orang muda dan tidak sensitif dalam merasakan ketertindasan dan kemudian memilih keberpihakan. Analisis generik para mahasiswa terbatas pada kemampuannya menilai “dampak positif” dan “dampak negatif” dan mengambil jalan tengah dengan alih-alih netralitas sebagai akademisi. Ekologi pengetahuan “positif” dan “negatif” ini sesungguhnya mendorong kehidupan intelektual untuk masuk ke persoalan-persoalan “jelek” dan “bagus” yang akhirnya diselesaikan secara abstrak dengan intensifikasi dan optimalisasi moral.

Kiri sebagai Alat Juang

Sekarang kita bicara tentang universitas dan basis massa. Marxisme menjadi “berbahaya” (dalam tanda kutip, ya) ketika digunakan sebagai alat juang. Imajinasi sosialisme yang ditawarkan sebagai cara kritik terhadap kapitalisme bukan untuk dipikirkan, tetapi untuk dilakukan melawan penindasan untuk mewujudkan kehidupan yang lebih baik. Maka jika benih-benih berani ini disebarkan pada tanah yang begitu subur oleh ketidakadilan dan penindasan, segera saja benih tersebut berkecambah dengan giatnya sebagaimana yang terjadi dalam sejarah kita di masa lampau.  Lalu kemudian pikiran ini dianggap sangat mengganggu perkembangan ekonomi dunia yang memang dikuasai oleh rezim reaksioner (rezim kapitalis).  Cerita selanjutnya adalah kisah panjang tentang pertarungan ideologi yang sangat berdarah dan tidak dapat diterangkan di kesempatan singkat ini.  Penyingkiran pemikiran Kiri di universitas bukan saja pelarangan berpikir progresif seperti penjelasan di halaman sebelum ini, tetapi lebih jauh lagi adalah pemutusan kehidupan akademik terhadap basis-basis massa yang seharusnya diperjuangkan nasibnya. Intelektual di masa lalu adalah penggerak massa yang menerjemahkan analisis-analisisnya ke dalam bentuk siap cerna untuk digunakan rakyat mengorganisir diri sehingga kuat untuk melawan penindasan. Strategi di masa lalu para founding-fathers adalah menerjemakan analisis kelas ke dalam “bahasa-bahasa pamflet” seperti yang dilakukan oleh Sukarno, Tan Malaka, dll. Keberhasilan analisis kelas dalam praktik adalah ketika massa tidak lagi terikat oleh sentimen primordialnya melainkan terorganisir pikiran dan tindakannya pada agenda-agenda yang jauh lebih besar dan esensial dalam kehidupan seperti misalnya hak terhadap tanah, hak bersuara, hak berbudaya. Perlawanan dan penuntutan atas hak dilakukan secara organisasi masing-masing sektor (tani, nelayan, buruh, dll) dengan menggunakan pisau analisis kelas yang sama. Sejarah membuktikan bahwa hak-hak itu tidak akan datang sendiri dari langit tanpa perjuangan di bidang politik.

Mahasiswa tercabut dari gerakan sosial rakyat. Organisasi-organisasi sektor penting yang ada pada hari ini kebanyakan adalah organisasi perpanjangan tangan pemerintah yang lebih ditujukan untuk mengontrol massa rakyat agar tidak kritis dalam berjuang. Sementara organisasi-organisasi rakyat seperti serikat tani, nelayan, dan buruh masih membangun diri dengan susah payah. Mereka tidak terkonsolidasi dengan basis-basis massa yang berbeda sektor dan masih memperjuangkan agendanya sendiri-sendiri. Intelektual politik yang seharusnya membuat konsolidasi berasal dari kampus-kampus sebab partai-partai tidak dapat diharapkan. Namun mahasiswa sendiri tercabut dari realitas gerakan sosial. Mengembalikan mahasiswa kepada rakyat bukan perkara mudah. Mereka adalah generasi yang tercabut dan terkucil dalam penjara kampus. Sebagai langkah awal kita penting mengetahui dan mengenali kembali sosok mahasiswa itu. Siapakah mereka, dan apa harapan-harapannya untuk masa depan? Apa yang paling penting adalah bagaimana bayangan mereka tentang rakyat? Apakah rakyat itu terjangkau yang artinya bisa dipeluk, dipegang, disalami tangannya, dikenali kehidupan dan keluh-kesahnya, ataukah rakyat itu begitu jauh dan hanya ditemukan fosilnya dalam berita-berita di surat kabar?

Maka patut diduga, mahasiswa sekarang tidak setajam mahasiswa 1960-an.  Peralatan berpikir untuk melihat realitas sosial dan kemanusiaannya sudah dibuat tumpul. Harapan tentu selalu ada. Saya pikir semakin banyak mahasiswa—termasuk saya sendiri—yang mulai bertanya penasaran tentang apa sebetulnya yang terjadi pada tahun 1960-an, bagaimana organisasi-organisasi rakyat yang berwajah kiri itu bekerja pada masa itu dalam mewujudkan perubahan? Semua kepingan-kepingan itu terserak dalam kenangan, kesaksian bisu, dan catatan-catatan yang tersembunyi. Pemikiran progresif kiri sangat berjasa dan mustahil dilarang. Kita sudah mengenalnya dalam studi-studi terkini tentang feminisme, pasca-strukturalisme, pasca-kolonialisme, dan pasca-modernisme yang tidak mungkin hadir tanpa penafsiran ulang ide-ide klasik seorang Karl Marx. Tetapi kita mengenalnya terlalu akademik! Kita belum mengenalinya sebagai senjata berpikir untuk bertindak membela tetangga, orang miskin, petani, nelayan dan buruh walau sudah mulai fasih menggunakannya untuk kritik sana-sini dalam tulisan. IndoProgress itu penting dibaca, tetapi dia hanya satu warna akademik Marxisme yang memperkaya kehausan. Sementara keterampilan membangun basis massa tidak semerta-merta diperoleh dari membaca kritis.

Untuk itulah masa depan harus dibangun dari sekarang melalui ide-ide rekonsiliasi bangsa. Rekonsiliasi melalui pengungkapan kebenaran termasuk pengakuan negara terhadap pembantaian massal 1965 akan berimbas pada kesehatan dunia akademik. Generasi mahasiswa tidak lagi terbebani oleh beban-beban mistis masa lalu dengan mitos-mitos hantu seperti: “komunisme sosialisme adalah setan atheis”. Hal-hal fitnah yang direproduksi terus-menerus itu adalah cara-cara penguasa yang ingin mempertahankan kekuasaan selama mungkin lewat teror. Sangat mengganggu otak kita untuk belajar kritis. Oleh karena itu, hanya ada satu kata: “Lawan!”.

Selamat berjuang, semoga Tuhan yang Maha Kuasa Pengasih dan Penyayang selalu melindungi kita semua.

Selamat berdiskusi.

Jakarta, 3 Desember 2015.

*) Tulisan pengantar diskusi IPT 1965: Kampus, Organisasi Mahasiswa dan Peristiwa 1965 tanggal 3 Desember 2015 diselenggarakan oleh  kawan-kawan Semar UI, Ikohi dan IPT 1965. Lokasi Auditorium Gedung M (lantai 4) Fakultas Ilmu Administrasi FISIP, Universitas Indonesia.

Categories
essays

Mengapa saya Marah. Kritik terhadap Pidato Taufik Ismail di Pekan Raya Buku Frankfurt

Dalam diskusi di Frankfurt Book Fair tahun 2015, penyair Taufik Ismail mengatakan bahwa rekonsiliasi kasus 65 dengan memberikan keadilan dan ganti rugi pada korban dianggap tidak perlu. Cukup lupakan saja semuanya. Tambahnya pula dengan emosional, komunis gaya baru akan ada terus dan itu berbahaya. (Berita dari RadioBuku).

Kecengengan dan fobia yang tidak perlu. Memperlihatkan kegagalan pemahaman persolan tragedi ’65 yang meliputi tragedi akademik, tragedi kamanusiaan, atau mungkin memang gejala kepikunan.

Sebagai ideologi negara Marxisme memang diburu di mana mana. Singkat cerita sebuah cerita panjang yang membutuhkan ruang argumen panjang lebar. Tapi sebagai sebuah metode berpikir dan berjuang, cerita bisa lain.

Sebagai metode, Marxisme mendapatkan tempat terhormat sampai saat ini karena menyediakan perangkat yang lengkap untuk mendeteksi ketidakadilan, dominasi, eksploitasi dan segala relasi timpang dalam sejarah masyarakat. Melalui perspektif tersebut studi studi tentang hubungan sosial, hubungan masyarakat dan negara, hubungan internasional, studi ekonomi pembangunan, sastra, kesenian dan banyak lagi turunan ilmu humaniora memiliki satu instrumen yang tidak dimiliki perspektif liberal yaitu kepekaan, empati, dan keberpihakan terhadap kaum lemah karena penyalahgunaan kekuasaan yang cenderung menindas. Secara metodologis, Marxisme punya mekanisme kritik diri sebagai bagian dari kerja analitiknya. Istilah-istilah “pasca-modernisme, pasca-kolonialisme, pasca-strukturalisme,” atau juga “critical theory”, “feminisme” adalah turunan tradisi Marxisme yang berkembang pesat sampai hari ini. Label-label itu menjadi tradisi kritik yang berguna dan penting untuk memahami betapa rentan masyarakat manusia saling menindas di bidang apapun atas nama apapun termasuk dengan cara-cara kebudayaan.

Scholar Marxist mengkritik studi-studi yang terlalu romantis tentang kebudayaan sendiri, studi yang obsesif tentang keunggulan kebudayaan sendiri, mengutamakan harmoni dan kearifan serta steril dari konflik-konflik. Studi-studi ini bagi para Marxist memiliki bias besar karena hanya menggambarkan suara (discourse) orang-orang dari kelas atas. Mereka yang punya kuasa untuk membentuk opini massa sesuai keinginan mereka. Contoh bias: Koentjaraningat dan Clifford Geertz (yang menganut teori sistem Durkheim, Talcott Parsons, dan genealogi terusannya) ketika mereka bicara budaya Jawa konsep sentral yang dipakai adalah “harmoni” atau keseimbangan. Sementara Benedict Anderson, Ruth Mc Vey seorang scholar Marxist, melihat sentral kebudayaan Jawa ada di konsep “Power” (kekuasaan besar). Ketika kekuasaan dijadikan sebagai konsep untuk mengerti Jawa, maka studi akan menghasilkan aneka potensi penindasan, konflik antara kelas. Maka sejarah adalah produksi dari relasi-relasi konflik antar kelas. Jika “sistem harmoni sosial” yang digunakan, maka sejarah adalah rentetan keberhasilan peradaban. Lantas bagaimana menempatkan keganasan sejarah Jawa dalam episode Perang Bubat, atau bagaimana menerangkan nafsu Ken Arok terhadap Ken Dedes serta kudeta-kudeta para Raja dengan menggunakan “kehalusan” kebudayaan Jawa itu? Atau bagaimana kita dapat memahami kekejaman Soeharto dan Orde Baru menggunakan alat analisis kehalusan dan etika kebudayaan Jawa?

Maka mengatakan bahwa Pram adalah omong kosong, adalah keterlaluan. Pram adalah penulis penting yang memahami Indonesia.  Geliatnya sebagai seorang Marxist menggunakan cara sederhana tapi tajam: Analisis Kelas. Maka Pram dan Tetralogi Pulau Buru adalah teori analitis tentang Indonesia. Sebuah “novel etnografis” yang tidak berhenti di nilai kejawaan feodalisme internal, tetapi menempatkan feodalisme itu sebagai kreasi kolonial yang lekat dengan modus operasi kapitalisme internasional dalam menguasai kawasan kolonial. Maka tidak heran jika buku itu menjadi bacaan wajib siapa saja di dunia yang ingin menekuni kajian Asia Tenggara. Pram memang seorang pemarah. Pemahaman mendalam tentang hambatan struktural historikal sebuah negara koloni-lah yang membuatnya jadi pemarah. Saya percaya Marxist Indonesia ’60-an marah karena sebab-sebab yang serius.

Mengatakan adanya “komunisme gaya baru yang bergerak terus-menerus” silakan saja, tokh dasar ucapan itu adalah “mentalitas paranoid” seperti militer yang memang sudah dirancang untuk selalu takut agar siaga bahkan dalam tidur. Persis seperti tahun 1993, Try Soetrisno mengatakan bahwa “menjamurnya aktivis HAM adalah bagian dari kebangkitan komunis generasi keempat”. Terserahlah. Kecerdasan argumen memang tak penting di masa itu. Bagaimanapun juga HAM tetap harus diperjuangkan sampai hari ini oleh komunis, agamis, penyair, atau siapapun juga yang sadar HAM. Dan tidak ada yang bisa mencegah iklim progresif dalam berpikir itu lahir dalam judul ideologi apa saja. Membaca Marxisme tidak perlu jadi Islam, Komunis, atau sosialis. Ketidakadilan tidak kenal isme-isme. Syarikat Islam Merah menjadi bangkit dari issue sektarian menuju issue perjuangan nasional karena pengaruh Marxisme. Dan tetap Islam. Marxisme bisa diterapkan di mana saja. Perangkatnya mudah, sederhana, maka itu jadi tajam. Dan sekelompok orang berpikiran tajam selalu menakutkan, apalagi bagi rezim yang lalim. Istilah 7 Setan Desa, 7 Setan Kota memang jargon metaforik (walau dibangun lewat metode analisis kelas). Jangan salahkan mereka terlalu heroik dalam membuat jargon. Sama juga Orde Baru terlalu teknokrat dalam membuat jargon “Trilogi Pembangunan”. “Trickle Down Effect”. Atau zaman sekarang “Good Governance”.

Saya masih ingat membaca Prahara Budaya zaman Orde Baru ketika mahasiswa. Lalu buku itu didiskusikan di FISIP-UI pada tahun yang sama yaitu 1996. Lalu ada seorang mahasiswa yang mengajukan ide “Rekonsiliasi”. Taufik Ismail marah-marah membentak mahasiswa itu yang dikatakan tidak tahu apa-apa (sampai keluar air mata pula karena marah) soal bahaya komunisme. Bagi kami yang tak mengalami, pertentangan Lekra dan Manifes Kebudayaan adalah polemik. Perkelahian brutal dengan pena. Maka lawanlah juga dengan pena. Kalau ada kekerasan fisik, kenapa tak panggil polisi atau serang balik? Berkelahi misalnya. Atau akui kalah berpolemik. Memelihara dendam pribadi puluhan tahun karena kalah polemik dengan Pram dkk. sungguh tidak kami pahami.

Buku Prahara Budaya tetap berguna. Setidaknya bagi saya. Mereka termasuk saya yang dulu tidak tahu apa-apa kemudian belajar banyak sehingga jadi tahu bahwa ketakutan pada komunisme adalah hasil fabrikasi sejarah dari suatu bangsa yang dibantai daya intelektual kritisnya demi terbukanya “pasar bebas” bagi kapitalisme internasional. Kami jadi tahu bahwa Angkatan ’66 itu rekayasa politik corong Orde Baru. Dan akhir-akhir ini kami semakin tahu bahwa militansi gerakan melawan penjajahan Belanda banyak transpirasi oleh tokoh-tokoh ISDV yang merupakan bibit PKI 1924. Kami semakin tahu bahwa Belanda dilawan bukan karena rasnya yang bule, tapi karena mereka bagian dari rezim kapitalisme internasional. Kami jadi tahu bahwa Politik Etis bukan sebuah kebetulan atau adanya sisi baik dan kemurahan hati kolonial. Politik Etis adalah bagian dari kesadaran kiri internasional untuk membebaskan bangsa-bangsa dari penindasan. Betapa baiknya “efek Marxisme” bagi perjuangan bangsa ini.

Kini biarkan generasi muda mencari kebenaran. Mencari sebab kenapa 500 ribu orang dibunuh tanpa pengadilan. Mengapa Orba yang inkonstitusional karena lahir lewat kudeta merangkak atau creeping coup, bisa bertahan sebegitu lama. Kenapa visum palsu 6 jenderal dapat tersebar luas dengan magnitude besar untuk menciptakan dendam kebencian dan pembantaian massal, Berdamai boleh saja tapi melupakan itu lain soal. Maka rekonsiliasi dan rehabilitasi itu perlu. Kas negara habis? Mungkin. Tapi biar saja. Uang bisa dicari, tokh hilang ke tangan yang berhak yaitu bangsa sendiri. Dulu juga Sukarno tidak memproklamirkan perusahaan Indonesia Incorporated, tapi Republik Indonesia. Permudahlah proses itu.