Categories
essays Orba Resurrection Apocalypse

Tunda Demokrasi demi “Kehendak Rakyat”

Menteri Koordinator Bidang Maritim dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan mendesak pemilu harus ditunda dengan alasan bahwa pemerintah mendengar “big data suara rakyat”. Dua parpol yaitu PKB dan PSI pun bersuara senada melalui mekanisme amandemen konstitusi. Kabar terakhir datang dari Asosiasi Pemerintah Desa Indonesia, yang mendeklarasikan “Jokowi tiga periode”, walau kemudian dibantah oleh ketuanya yang merasa dicatut. Presiden berkali-kali merespons dengan diplomatis: “wacana penundaan pemilu tidak bisa dilarang sebab hal itu bagian dari demokrasi, namun kita harus tunduk dan patuh pada konstitusi.”

Pernyataan berulang Presiden Jokowi ini bersayap dan lemah karena menyampaikan banyak makna pesan. Makna pertama adalah normatif bahwa demokrasi menjaga kebebasan berpendapat. Makna kedua pragmatis yaitu demokrasi memiliki tombol on-off yang dapat ditekan bila perlu. Suara-suara sekitar presiden melahirkan makna ketiga yang substantif dan merangkum sekaligus kabur: “demokrasi dapat ditunda, dikurangi jika rakyat menginginkan demikian”. Hal ini tidak biasa mengingat karakter Jokowi yang terbukti mampu dan tegas memberhentikan menteri yang “tidak sesuai dengan visi-misi presiden”.

Apakah demokrasi dapat dikorbankan? Studi-studi antropologi pada masyarakat-masyarakat skala kecil beragam etnis sudah lama mengungkap bahwa demokrasi adalah esensi masyarakat yang universal dilakukan untuk keselamatan umum. Demokrasi bukan barang impor, Ia adalah bagian naluri sosial manusia. Walau berbeda-beda nama dan kompleksitasnya, namun tetap bertujuan substantif yaitu menjamin kekuasaan selalu dapat dikontrol dalam bekerja membela suara rakyat. Kompleksitas dan macam-macam penerapan demokrasi dari mulai kelompok kecil sampai masyarakat skala negara bangsa sesungguhnya dapat diukur. Parameternya adalah bekerjakah sistem check and balance, sejauh mana perlindungan publik, dan apakah partisipasi publik bersifat inklusif? Dengan tiga ukuran itu, demokrasi tidak dapat dijadikan alasan untuk membela pembangunan, memupuk laba, apalagi memperlama masa kekuasaan. Jadi bila ada pertanyaan apakah demokrasi dapat ditunda? Kita harus bertanya balik: Apakah kehendak rakyat dapat ditunda karena kehendak rakyat? Jawabannya adalah sangat tidak. Jika kita menjawab ya. Maka ada pemahaman yang salah dalam cara kita berdemokrasi.

Dalam antologi Demokrasi di Indonesia dari Stagnasi ke Regresi (2021), 16 peneliti menulis hasil risetnya dengan khawatir tentang praktik-praktik pemunduran kualitas demokrasi Indonesia semenjak masa pasca Reformasi ’98 sampai sekarang. Buku itu penting karena mengungkap bahwa mundurnya demokrasi dapat terjadi oleh sesuatu yang seolah-olah tampak demokratis, apalagi bagi mata rakyat biasa yang bukan ahli ilmu politik. Berikut adalah salah satu contoh: pada periode pertama pemerintahan Jokowi-Kalla di tahun 2014, Ia menghadapi kenyataan bahwa walaupun menang pemilu, kekuasaannya terancam oleh oposisi yang bergabung dalam Koalisi Merah Putih (pimpinan Prabowo) yang dominan di DPRD. Pemerintahan baru ini menghimpun partai-partai pendukung yang gagal berkuasa sehingga satu-persatu menyatakan masuk ke dalam koalisi lingkaran kekuatan lembaga eksekutif dengan dukungan hukum dengan nama Koalisi Indonesia Hebat. Lama kelamaan partai yang bergabung bertambah sehingga menjadi mayoritas di parlemen dengan nama Koalisi Pendukung Pemerintah (KP3). Di tahap ini terjadilah ‘penggelembungan kekuasaan eksekutif ‘ yang melampaui wewenang sekaligus pengempisan kekuatan oposisi di parlemen atau proses executive aggrandiszement (Power 2021) yang merusak mekanisme check and balance dalam demokrasi dengan tidak kentara karena dilindungi hukum.

Bisa jadi rakyat pemilih presiden—atau kita yang awam politik—sangat senang karena Jokowi menjadi “jagoan” yang kuat. Apa yang tidak disadari adalah presiden sebetulnya sebuah hanyalah institusi politik yang menjalankan pemerintahan. Jika lembaga tersebut terlalu kuat tanpa oposisi institusional maka institusi tersebut menjadi raksasa tunggal tanpa kendali. Thomas Power menulis dengan melindungi nama informannya, yaitu menjelang pemilu 2019, terjadi mobilisasi politik sampai ke daerah-daerah yang memaksa para kepala daerah untuk mendukung Jokowi-Ma’ruf untuk jabatan periode kedua dengan ancaman apabila menolak maka ada kemungkinan kasus-kasus korupsi yang dilakukannya akan dibongkar kejaksaan agung (ibid. hal. 401). Tentu saja banyak dari kita termasuk saya tidak menduga bahwa keadaan dapat separah ini. Namun hasil riset tadi memberi tanda bahaya bahwa terlepas korupsi meraja-lela, kejahatan itu dilakukan sebagai alat pemerasan untuk tujuan rekrutmen politik. Padahal suara oposisi tidak boleh ditempatkan pada situasi yang menekan menyulitkan dan mengancam dari birokrasi maupun aparat keamanan karena sifat oposisinya itu. Jadi, wacana penundaan pemilu dengan memobilisasi “suara kepala desa”, sebetulnya skenario yang dapat diramalkan. Tapi sesungguhnya apa yang sedang terjadi?

Dunia yang Semakin Sulit untuk Demokrasi Sehat

Konteks sosial ekonomi dunia memang memburuk secara global dan berdampak pada demokrasi. Polarisasi antara kelas kaya dan miskin semakin lebar. Orang miskin makin banyak sementara basis kelas menengah yang sebetulnya menjadi reaktor progresif untuk perubahan semakin menghilang. Kita mungkin tidak sadar bahwa semakin tidak relevan untuk memimpikan menyekolahkan anak-anak menjadi ilmuwan, aktivis, seniman, novelis, filsuf dalam keadaan serba darurat dan harga pendidikan yang makin mahal. Kita hanya ingin anak-anak kita lolos dari kemiskinan dan semoga cepat kerja, makmur secara ekonomi. Maka cita-cita untuk membentuk kelas menengah kritis berpendidikan tinggi yang sadar politik semakin jauh. Generasi baru semakin tercabut dari angan-angan untuk menjadi pembaharu. Mereka menjadi buruh industri paruh waktu yang bekerja keras demi sekadar hidup. Tidak ada waktu untuk berpikir melawan, dan kritis. Mungkin malah justru mereproduksi pikiran pikiran para elite kolot atau diam, atau sekadar clueless ikut arus.

Hal ini juga turut menjelaskan mengapa retorika-retorika konservatif khas elite seperti: kejayaan, kesalehan dan kemakmuran dalam bungkusan ide nasionalisme puritan dianggap lebih menarik daripada diskusi kritis soal demokratisasi politik yang sehat, cerdas dan beradab. Di satu sisi kondisi ini dapat menjadi tanah yang subur untuk semakin tumbuhnya populisme bahkan fasisme jahat di kemudian hari. Di sisi lain rakyat yang jadi korban merasa diselamatkan oleh sebuah ilusi psikologis tentang kestabilan ekonomi yang diciptakan sekelompok elite politik.

Apa yang dapat dilakukan oleh warganegara terutama ketika kelas menengahnya semakin tipis dan tidak kritis? Pertama, dengan tetap berteriak sekeras-kerasnya bahwa demokrasi memang tidak dapat ditunda. Kedua, kita sebagai rakyat biasa perlu belajar ilmu politik lebih keras lagi supaya mengerti bahwa presiden adalah suatu bentuk institusi politik yang diatur konstitusi yang kita hormati. Kita harus mengubah cara menilai dari “moral seorang pemimpin menuju moral kelembagaan”. Artinya presiden bukan orang sakti yang menentukan kegagalan atau keberhasilan pembangunan. Ia ada hanya karena kita memilihnya bersama-sama. Ia akan selalu dikawal oleh lembaga legislatif dan yudikatif yang kapabel. Ketika tugas itu berakhir, kita akan memilih lagi sesuai amanah konstitusi. Ketiga, untuk jangka panjang perlu pendidikan demokrasi dan proses demokratisasi yang fokus pada substansi (bukan prosedur teknis) yaitu mengapa kekuasaan dalam demokrasi harus terbatas, dikawal sehingga akuntabel, serta melibatkan partisipasi publik dengan spektrum yang luas.

Harapan selalu ada. Tampilnya kaum muda dalam partai politik adalah berita baik bagi demokrasi. Namun melihat mereka berpikir untuk dapat melakukan amandemen konstitusi untuk tujuan memperpanjang jabatan presiden adalah pendidikan buruk untuk demokrasi. Mungkin ini memperlihatkan wajah sesungguhnya dari situasi kepartaian kita yang berada dalam situasi ideologi sentris dan berkompromi pada status-quo oligarki. Partai-partai masih berupa sekumpulan orang berebut pengaruh dan belum mewakili spektrum ideologi, kelas, dan kultural masyarakat Indonesia dari “ujung kiri ke ujung kanan”. Jangan sampai wacana “Tiga Periode” menjadi awal munculnya kekuasaan absolut di masa depan. Maka mencegah pemilu diperlambat adalah langkah penting yang harus dilakukan sekarang juga.

Referensi:

Power, T & E Warburton (Ed.) Demokrasi di Indonesia dari Stagnasi ke Regresi. Jakarta: Yayasan Kurawal, 2021.

Categories
Orba Resurrection Apocalypse Uncategorized

Golput disambut pelukan mesra Orba

Saya membaca artikel Ariel Heryanto Setengah Abad Golput
(Tempo, 10 Februari 2019). Bagus, dengan bahasa lugas. Tulisan Ariel Heryanto ini menjadi “demotivator” yang baik. Juga karena kita mudah bosan dengan para motivator, kan.

Ada tiga hal penting yang saya temukan di tulisan itu. Pertama: sejarah mengapa Golput itu ada sejak 1971 sebagai gerakan politik aktif melawan Orde Baru yang memang nggak butuh pemilu. Negara berkembang memang cenderung tinggi partisipasi politiknya karena orang dipaksa voting. Sebaliknya di negara demokratis yang maju justru punya kecenderungan trend partisipasi politik yang rendah. Saya jadi ingat, di masa Orba, mahasiswa yang mampu menganalisis seperti di atas sudah dianggap kritis oleh dosennya. Sebab di masa itu, jika Golkar unggul tapi di bawah 80 persen, artinya para birokrat partai pucat-pasi. Apalagi kalau ada presentase orang yang nggak memilih. Oh, ya. Golkar memang aneh, bahkan di buku teks kuliah Pengantar Ilmu Politik (buku warna biru itu, lho) dari Prof. Miriam Budiardjo dikatakan: “Golkar bukan partai politik, tapi menjalankan fungsi-fungsi partai politik“.

Kedua, tahun 1998 tidak ada revolusi, yang ada adalah Reformasi. Gerakan ganti baju sementara orang-orangnya masih dia-dia juga. Walau sekarang susah untuk naik jadi RI 1 atau RI 2, “kerajaan-kerajaan” para aktor di bawah posisi itu masih langgeng. Walhasil, partai-partai baru di masa reformasi lebih banyak didominasi baju-baju baru yang dikenakan para kutu loncat berslogan anti Orba, tanpa “ideologi anti Orde Baru”. Isu-isu publik seperti kesejahteraan umum, kerusakan ekologis, korupsi, penyelesaian HAM masa lalu, tidak menjadi perhatian sungguh-sungguh di parlemen. Wakil-wakil rakyat itu sibuk oleh isu-isu overkill atau subyek-subyek persoalan yang dilebih-lebihkan secara sengaja supaya terdengar sangat gawat. Padahal isu-isu itu tak ada dalam rencana-rencana kerja. Apa yang dianggap penting: isu ancaman terhadap kehidupan beragama (kriminalisasi ulama), bahaya kebangkitan PKI, ancaman asing, orientasi seks menyimpang, dan pamer-pamer siapa yang paling nasionalis. Tuduhan-tuduhan dan diskusi panas jamak berlangsung di medsos. Seakan-akan politisi itu pada nggak ngantor. Semuaya sibuk serang-tangkis mencari simpati menjelang pilpres. Maka menurut Ariel Heryanto (atau menurut saya yang membaca beliau), rakyat Indonesia mengalami frustasi besar. Orba belum mati-mati.

Ketiga, adanya Golput “baru”. Golput zaman Soeharto adalah statement politik terhadap demokrasi yang senyap kritik. Masa itu Orba menciptakan massa mengambang dengan mencabut semua ekspresi politik dalam kegiatan-kegiatan publik termasuk kampus, kantor, birokrasi. Hari ini Golput “baru” hadir karena bising. Demokrasi televisi tampil dengan drama thriller mendekati horror yang menyalak di setiap saluran TV. Sebagaimana pun nyaringnya pemerintah menceritakan keberhasilan pembangunan infrastruktur dan ekonomi, suaranya selalu kalah besar oleh berisiknya para politisi oposisi. Mereka yang dulu disebut massa mengambang, kini pemirsa terpapar yang timbul tenggelam dalam badai emosi.

Melihat siapa para Golput “baru”. Menurut jejak pendapat surat-surat kabar, generasi muda “milenial” tidak terlalu suka model komunikasi politik yang menggurui, dogmatis, dan menyuruh-nyuruh. Mereka tidak tertarik dengan cara para orang tua meramaikan politik dengan festival, deklarasi, dan kegiatan publik yang menggunakan tubuh. Namun mereka tetap menggugat sesuatu. Setidaknya generasi orangtuanya yang terlihat primitif, cemas, dan arogan. Mereka yang suka melabel-label seenaknya orang-orang muda sebagai: “generasi mecin“, generasi milenial,gamers, malas turun ke jalan untuk protes politik.Dihubungkan dengan keadaan ekonomi yang relatif datar-datar saja: mengalami hidup nyaman dengan harga barang konsumsi terjangkau dan stabil.

Tentu “millenial” punya pertimbangan sendiri untuk memilih posisinya di pilpres nanti. Mereka adalah 14 juta suara yang mendengar Orba dari cerita. Mereka yang entah kangen Orba atau alergi terhadapnya lebih berbekal referensi cerita nostalgia orangtuanya daripada pengalaman aktual. Mereka yang dibentuk opininya oleh algoritma medsos yang selalu mengarahkan pada hal-hal yang trending. Survey CSIS 2017 mengatakan bahwa generasi “milenial” (mereka berusia 17-24 tahun pada tahun 2017) dan “non-milenial” (diatas 24 tahun), sebetulnya tidak terlalu jauh berbeda. Keduanya optimis melihat masa depan, rajin menonton televisi, cenderung memilih partai politik pemain lama, dan perilaku keagamaannya sama-sama konservatif. Selera dalam pemilihan kandidat presiden pun tidak jauh berbeda. Namun dalam survey lain, ditemukan juga pola skeptis terhadap institusi atau branding. Kelihatannya “milenial” tidak mudah menjadi fanatik untuk satu hal. Maka mengatakan bahwa “milenial” cenderung akan menjadi golput bisa jadi berlebihan. Beda milenial dan non-milenial hanyalah karena mereka masih muda dan tidak mudah percaya. Tapi mereka punya skill mencari data dan melakukan verifikasi lebih baik dan sigap terhadap kebenaran-kebenaran dibalik sebuah berita. Apalagi jika berita tersebut bersifat sensasional. Bukankah yang rajin mengirim ulang segala macam berita adalah orang-orang tua yang dulunya biasa dengan kehidupan analog?

Ada pula karakter golongan sempalan “Post-Orba” yang merupakan “veteran golputers“. Mereka menyatakan anti Orba, punya pengalaman Reformasi ’98, tapi tetap memilih menjadi golput di masa pemerintahan Jokowi. Katanya bahwa pemerintah sekarang dengan komposisi aktor oligarkinya masih merupakan wajah buram dari pemerintahan Orde Baru. Mereka pun sadar sepenuhnya tentang hal sipil politik warganegara untuk menjadi golput. Pemerintahan dianggap perpanjangan sistem korup lama. Jenderal-jenderal yang itu-itu saja masih hilir mudik dalam kabinet aktif. Pemerintahan belum berhasil membuka telanjang persoalan HAM. Semua persoalan dan keberhasilan atau pun kelambatan mereka tinjau dari parameter HAM. Kelompok “intelektual idealis” ini masih satu generasi dengan kelompok “intelektual realistis” 1998 yang juga kecewa, tapi masih bisa memberi apresiasi terhadap kinerja pemerintahan sekarang. Bagaimana pun juga banyak kebaikan dibuat dan tidak semuanya harus ditinjau dari kacamata HAM. Para realis memilih tidak golput.

Di atas semua itu, Orba masih kuat secara kultural dan adaptif. Bahkan Jokowi yang sama sekali tidak punya hubungan kekerabatan darah maupun sosial dengan “keluarga Orba” pun harus berstrategi dengan melibatkan wajah-wajah Orba dalam lingkaran terdalam kepresidenannya yang bagai dililit gurita. Kuatnya Orba berbuah reaksi  skeptis para veteran golputers. Mereka yang selalu bertanya: “ngapain sih, Jokowi deket-deket jendral Anu, Anu? Bakal kabur pemilihnya nanti!” Orba masa kini adaptif menggunakan simbol-simbol utama yang masih bisa dipakai dan efektif yaitu penguatan politisasi sektarian. Kendaraan yang ampuh untuk menyapu rintangan apa saja terhadap perubahan progresif. Dengan baju agama, metodenya masih resep sama yaitu menggunakan ketakutan-ketakutan dan ancaman untuk menciptakan solidaritas terhadap kebertahanan status-quo. Tidak mudah untuk melepaskan diri dari gurita tersebut.

Sekarang saya ingin meloncat. Saya pakai kata “kultural” karena teringat Antonio Gramsci yang selalu mengkritik gerakan sosial revolusioner sebagai angan-angan yang tak pernah terwujud dan bagaimana revolusi fisik selalu kemungkinan besar gagal. Kegagalan itu disebabkan setiap rezim yang mapan selalu tahan banting. Mereka melakukan hegemoni kultural atau membangun cara-cara berpikir massal yang masuk akal, melibatkan nilai-nilai kebangsaan yang sakral, dan menciptakan musuh-musuh bersama. Bahan bangunan yang digunakan adalah fondasi sejarah yang disusun sedemikian rupa untuk menjelaskan wajah rakyatnya. Hegemoni adalah wajah populer, pelukan mesra, sekaligus sebuah jaket anti peluru yang sulit tembus.

Maka perlawanan terhadapnya tidak pernah terlalu mudah. Strategi counter hegemony yang efektif harus menggunakan elemen-elemen kultural yang sama untuk mengambil hati rakyat. Dalam konteks Indonesia maka wajar sekali Jokowi harus menggunakan semua senjata. Tapi bagaimana kalau musuhnya kebal peluru? Dia masih bisa menembak dengan peluru good governance, menangkap sebanyak mungkin koruptor yang bisa ditangkap tapi merelakan yang benar-benar besar untuk lolos. Perlawanan terhadap korupsi disukai rakyat sebagai cara melawan Orba karena punya legitimasi kuat secara internasional dan telah menjadi barometer global. Tapi diluar ususan itu, jaket anti peluru masih tebal. Prabowo tentu paham itu. Jokowi memang bisa bersikap adil terhadap pelanggaran-pelanggaran hukum dengan membiarkan mekanisme hukum berjalan. Tapi tidak untuk membatalkan produk undang-undang jahat buatan Orba (TAP MPR XXV/1966), atau intervensi terhadap gejala penguatan sektarian dalam penyusunan perundang-undangan. Jika ia melakukannya maka usaha perlawanan nya berumur pendek, tidak sesuai kebudayaan nasional kita dan rakyat akan menolak. Juga sudah menjadi kebudayaan nasional Indonesia bahwa perubahan hanya dilakukan oleh pemerintahan dan bukan desakan-desakan kolektif berupa gerakan sosial yang teratur. Selagi HAM belum menjadi agenda rakyat melainkan hanya milik NGO, maka waktu yang diperlukan masih sangat panjang. Dalam kacamata idealis seorang human rights defender, tentunya insiden berdarah melibatkan aparat, atau penahanan tanpa pengadilan di Papua, lebih penting sebagai pertimbangan memilih (atau Golput) daripada usaha pemerintah untuk membangun infrastruktur demi cita-cita keadilan sosial.

Di sisi lain tentunya Orba melawan balik dengan jurus-jurus yang dipahaminya: yaitu manipulasi. Selagi rakyat masih rentan dalam membedakan dengan jelas antara politisasi dan ibadah, maka agama merupakan jaket kuat untuk Orba berlindung dan menyerang. Serang-menyerang menggunakan “logika kultural” yang sama akan terus dilakukan demi meraih simpati. Masih akan panjang membangun hegemoni tandingan itu. Kesadaran hak sipil politik itu penting sekali, oleh karena itu gunakan secara baik. Sebaik-baiknya adalah untuk menyerang yang jahat. Jika dulu jadi Golput dilarang Orba maka hari ini jadi Golput diketawain Orba.

Artikel Prof. Ariel ini bagus banget untuk menjadi referensi, tapi ditulis dari jauh. Dengan mengandalkan pada teks-teks pertarungan yang sedang terjadi sebagai analisis cultural studies, menurut saya belum menangkap kegelisahan dan keresahan orang Indonesia yang sedang emosional meraih harapan akan Indonesia. Dengan segala tarik menarik antara hal hal ilusif seperti nasionalisme, subsidi dan kebutuhan nyata tentang fasilitas-fasilitas kesejahteraan rakyat yang butuh kecerdasan manajerial. Belum menggambarkan tentang bagaimana berat hati untuk memilih seorang pemimpin dalam peperangan wacana yang melukai banyak orang ketika ketaatan beragama dan kerukunan keluarga menjadi taruhannya.

Jakarta 14 Februari 2019

Categories
essays

Negara versus Pikiran Jernih: Catatan untuk Belok Kiri Jalan Terus Festival

Gerakan sosial emansipatoris adalah agenda penting untuk dilakukan terus oleh warganegara.  Basis kebudayaan dapat selalu digunakan. Belok Kiri jalan terus. 

Kebudayaan adalah kumpulan strategi kolektif untuk berjuang bertahan, dan berkuasa. Kebudayaan digunakan sebagai pedoman yang disesuaikan kebutuhan untuk menyelesaikan persoalan-persoalan manusia melalui aksi-aksi tindakan. Maka gerakan sosial selalu menggunakan basis kebudayaan dalam bekerja. Termasuk juga penguasa (baca elite penyelenggara negara) menggunakan basis-basis kebudayaan untuk bertahan selama mungkin.

Bagi kita yang bukan penguasa, persoalan timbul jika basis-basis kebudayaan untuk gerakan sosial kosong. Maka gerakan sosial hari ini tercabut dari  referensi historis yang kuat untuk dapat berhasil, bertahan, berjuang dan berkuasa. Hari ini hanya sebagaian kecil dari kita yang masih terampil dan cekatan bergerak. Kebudayaan yang didominasi oleh cara-cara untuk patuh pada kekuasaan akan menyisakan ruang sempit bagi cara-cara untuk melawan, memprotes, mengkritik.  Orba memenuhi ruang kebudayaan dengan strategi-strategi mereka untuk menciptakan kepatuhan demi tujuan mempertahankan kekuasaan. Maka kebudayaan dalam persepsi Orde Baru adalah kumpulan nilai-nilai, tradisi, dan norma-norma yang menjunjung kepentingan kekuasaan mereka.

Orde Baru masih ada dan kuat. Basis-basis kebudayaannya mengakar dalam pemimpin-pemimpin muda sekarang. Berkecambah di tubuh-tubuh mahasiswa baru. Ciri-ciri kuatnya Orba dilihat dari patuhnya generasi muda terhadap nilai-nilai abstrak rekayasa rezim masa lalu. Mereka yang muda tapi pikirannya tua dan penyakitan. Cemas terhadap persoalan moral, merasa kurang religius dan gampang gemetar, takut terhadap masa depan. Hidup seperti zombie yang rajin meniru petuah-petuah tanpa mengunyah. Bicara seperti mesin fotokopi pamflet-pamflet abad lalu. Pikirannya jinak dalam kotak-kotak sempit double standard yang saling memusuhi. Dia jinak bertanya tapi hiperaktif memangsa. Predator!

Belok Kiri Jalan Terus Fest

Emansipatoris artinya membawa terang. Membawa keberanian dan harapan. Menjadikan takutnya sebagai bahan bakar untuk senantiasa berani. Emansipatoris artinya memperluas cakrawala dengan belajar dari masa lalu yang kelam. Menciptakan masa depan yang maju. Mengedepankan pikiran jernih, argumen yang penuh, serta rasa keadilan yang bening. Maka melawan ketidakadilan, kebodohan dan kejahatan adalah bagian dari semangat emansipatoris itu.

(Sesungguhnya) basis kultural Indonesia untuk maju sangat banyak. Sejarah sosialnya kaya dengan pertemuan pikiran, perdebatan ideologis, akumulasi pengetahuan. Karakter alaminya beragam secara budaya. Tengoklah sejarah gerakan progresif awal abad 20 yang progresif. Tapi hidup adalah perjuangan panjang. Negara masih dikuasai oleh replika-replika kolonial Belanda. Mereka berlindung dibalik undang-undang dan agama untuk mempertahankan kekuasaan dan memaafkan kejahatan. Melahirkan kader-kader yang penuh racun nasionalis-agamis. Mereka banyak tetapi tidak dapat berpikir kecuali memikirkan ketakutannya sendiri.

Jadi gerakan sosial emansipatoris pro-rakyat yang kita cita-citakan masih jauh. Sejarahnya berserak, pengetahuan kita terhadap pentingnya gerakan terpecah-belah. Orde Baru alergi terhadap solidaritas, konsolidasi, rapat akbar dan seterusnya. Demikian yang kita alami seperti juga pendahulu kita para perempuan dan laki-laki yang berani menentang struktur kolonial di awal abad. Juga mereka yang gugur dibantai rezim militer tahun 66. Kini struktur yang kita lawan jauh lebih pelik. Negara kini pandai menggunakan elemen-elemen masyarakat non-negara sebagai pion-pion di garda depan. Menggunakan simbol-simbol yang jauh lebih banyak dan brutal dalam menciptakan musuh-musuh baru dan melenyapkannya.  Banyak orang bilang ini negara gagal (sementara negara selalu merasa berhasil). Dalam kenyataan negara berpihak pada kejahatan terhadap konstitusi dengan ambil sikap masa bodoh. Gerakan sosial yang emansipatoris justru memeluk musuh-musuh itu sebab mereka adalah kategori ditindas dan dihajar hak-haknya konstitusionalnya sebagai warganegara – oleh negaranya sendiri.

Gerakan progresif masih harus berkembang dan membesar untuk mengancam kondisi-kondisi struktural jahat di masa kini dan masa depan. Basis-basis kultural dan historis berupa sejarah perlawanan terhadap ketidakadilan perlu digali terus dan disebarkan secara sistematis. Demi bangsa yang akan terang-benderang dan beradab, kita harus tetap bertahan, berjuang dan menepis takut demi hal yang benar.

Categories
essays

Dampak Absennya Marxisme dalam Tradisi Akademik *)

 

Peran Kiri  yang dihapus dalam Nasionalisme Indonesia

Sejarah nasional Indonesia versi penguasa Orde Baru menghapuskan peranan gerakan Kiri dan Marxisme dalam  kelahiran nasionalisme Indonesia.

Tradisi akademik analisis kelas yang menjadi instrumen melihat kondisi sosial ekonomi dilarang digunakan karena dianggap tidak sesuai dengan kepentingan Indonesia. Hal ahistoris ini berbahaya.

Sejarah nasional mendudukkan perlawanan sporadis Dipenogoro, Hassanudin, Teuku Umar dll terhadap Belanda sebagai bagian dari nasionalisme Indonesia yang gemilang. Tanpa mengecilkan peranan mereka, perlawanan para pahlawan nasional itu digerakkan bukan oleh “Rasa Nasionalisme” melainkan oleh sentimen etnis, teritorial terbatas dan sektarian dipadu dengan kebencian pada Belanda. Baru pada awal abad ke-20, konsep nasionalisme dikenal luas sebagai perasaan solidaritas lintas agama, etnis dan teritorial kampung. Hal ini hanya mungkin terjadi ketika perlawanan menjadi terorganisir dan menyerap ideologi progresif kiri yang diperkenalkan oleh orang-orang Belanda yang menjadi tokoh oposisi di negaranya sendiri. Para sosialis Belanda melakukan radikalisme di kawasan kolonial semata-mata untuk mewujudkan internasionalisme anti penjajahan di muka bumi.

Ketidakadilan adalah sesuatu yang universal yang harus dilawan secara universal pula. Persentuhan Hindia Belanda dengan pemikiran progresif adalah episode penting yang menanamkan jiwa perlawanan terhadap struktur-struktur kolonial dan feodal yang menindas. Sebagai kawasan perkebunan rempah dan tanaman keras bagi negara koloni, perbudakan adalah peristiwa sehari-hari sebagai hal normal dalam kehidupan. Masuknya Politik Etis yang dibawa oleh intelektual dan aktivis-aktivis sosialis Belanda membawa angin segar di parlemen Belanda pada masa awal abad ke-20 yang mulai mengkritik kebijakan-kebijakan dalam negeri menyangkut penjajahan terhadap bangsa lain.  Hanya saja, penulisan sejarah Indonesia dipenuhi beban heroisme dan permusuhan terhadap segala hal yang berbau Belanda sehingga Politik Etis hanya diartikan sebagai sisi humanis dari kebijakan-kebijakan kolonial tanpa menyebutkan sama-sekali peranan internasionalisme gerakan kiri yang sedang bangkit dalam mengkritik kolonialisme di seluruh dunia. Aktivis-aktivis buruh Belanda yang merupakan bagian dari Partai Sosialis Belanda memperkenalkan ide-ide perlawanan terhadap rakyat terjajah. Menarik untuk memahami geliat sejarah bangsa kita yang mulai progresif sekitar setengah abad sebelum kemerdekaan tahun 1945. Pada periode 1915 organisasi Serikat Islam kemudian membuka mata terhadap persoalan penindasan dengan menerima ide-ide universal sosialisme dari Belanda. Serikat yang tadinya sektarian dan dimaksudkan untuk memperbaiki kehidupan internal para pedagang muslim mulai memahami bahwa kemiskinan bukan semata-mata takdir Tuhan, melainkan sesuatu yang dirancang oleh bangsa lain untuk kepentingan-kepentingan ekonomi yang tidak adil. Kelak iklim perlawanan non-sektarian terhadap Belanda ini melahirkan pemberontakan-pemberontakan patriotik termasuk membidani lahirnya partai demokratik pertama di kawasan jajahan Belanda yang sangat anti Belanda dalam pengertian menolak sistem kapitalisme Belanda — yaitu PKI tahun 1924 (McVey 2006).

Bagaimana iklim progresif tumbuh subur dalam bangunan struktur feodalistis tua ini melahirkan kekaguman bagi sarjana-sarjana ilmu politik Amerika. Hindia Belanda yang kelak menjadi Indonesia itu memperlihatkan wajah politiknya yang sangat modern, kritis terhadap kolonialisme, kapitalisme dan imperialisme, dan bahkan jauh lebih progresif daripada sejarah Eropa yang penuh sesak oleh pembantaian etnis dalam rangka membangun identitas nasionalismenya (Anderson 1983).

Tradisi Akademik. Pikiran Kiri Apa itu?

“Kiri” hanya satu istilah karena ada kanan dalam spektrum warna ideologis yang penuh warna dan istilah. Istilah yang juga dapat digunakan adalah “Kritis” dan “Progresif” dengan makna sama. Untuk meringkas tanpa mengurangi ketajaman, saya gunakan istilah paling generik yang juga digunakan dalam sedikit mata kuliah progresif yang masih ada yaitu “ekonomi-politik” yang merupakan warisan penting pemikiran Marxisme dalam koridor metodologi. Pada intinya setiap studi Marxisme yang paling kompleks sekalipun selalu mempertanyakan ini:

  1. Who owned What
  2. Who did What
  3. Who get What
  4. Used for What

Di atas itu hal mendasar yang mudah dihafal jadi pedoman kerja dan menghasilkan rangkaian jawaban kompleks yang memetakan relasi-relasi sosial produksi dari hulu sampai hilir dalam arus sejarah. Kasus yang terkesan sederhana dan berdiri sendiri ternyata terkait dengan konteks luas baik horizontal maupun vertikal. Hierarki kelas yang berimbas pada eksploitasi, penindasan dan ketidakadilan kemudian menjadi terang-benderang. Metode yang dikenal dengan sebagai Analisis Kelas ini menjadi bagian tradisi akademik dalam bekerja dan melahirkan pandangan-pandangan secara ringkas demikian:

  • Masyarakat terbentuk dari pengelompokan kelas sosial.
  • Ada stratifikasi sosial.
  • Hubungan antar kelas secara alamiah bersifat konflik.
  • Hubungan sosial yang tercipta selalu melibatkan relasi antar kelas.
  • Kapitalisme tidak dilihat sebagai sistem ekonomi, tetapi sistem sosial.
  • Kebudayaan adalah produk kelas sosial.
  • Kurva ekonomi tidak pernah jujur karena kekuasaan politik bermain dalam harga barang.
  • Empirisisme dan iobjektivisme harus dilihat secara historis.

Hal yang perlu digaris-bawahi adalah persoalan ketidakadilan dan penindasan adalah bagian perangkat metode berpikir dialektik seorang Marxist.  Perasaan dan emosi dengan sendirinya menjadi penting karena di situlah sebetulnya pemikiran dan teori menjadi selaras untuk kepentingan kemanusiaan. Maka biasanya seorang Marxist cenderung pemarah. Tentu saja marah karena sebab-sebab yang serius.

Pikiran kiri dalam dunia akademik pun cenderung bocor secara interdisipliner. Marx sebagai seorang sosiolog lebih banyak berpikir seperti ekonom, melakukan analisis seperti ahli politik, dan merenungkan pandangannya soal kebudayaan selayaknya antropolog untuk kemudian dituliskan dalam gaya seorang sejarawan. Menurut saya ini adalah ciri khas dan contoh baik bagaimana humaniora itu dipraktikkan secara lengkap. Jadi bayangkanlah bila peneliti memiliki gaya kerja seperti itu. Akan kompleks sekali penjelasannya namun juga mudah dipetakan dalam kerangka political-economy yang sesungguhnya sederhana. Kesederhanaan yang justru membuatnya tajam. Dan dilarang.

Dampak Matinya Marxisme dalam Lingkungan Akademik

Studi sosial menjadi kering. Teori-teori Sistem (Fungsionalisme-Struktural) menjadi satu-satunya penjelas dunia sosial di kampus-kampus Indonesia selama 30 tahun. Mahasiswa tidak memiliki alternatif penjelasan lain sebagai kawan dialog bagi pikirannya. Analogi biologi bahwa masyarakat selalu mencari titik equalibrium menjadi dogma yang pada akhirnya membuat kita semua percaya bahwa masyarakat manusia cenderung kompromistis, mencari keselamatan dalam harmoni. Mahasiswa pun tidak lagi terlalu terampil mengenali fenomena sosial secara historis. Analisis sosial lebih kepada relasi-relasi sosial sinkronik tentang suatu peristiwa selayaknya fotografer membuat foto.  Pandangan teori Sistem tercabut dari gerakan sosial di luar kampus. menempatkan gerakan sosial sebagai anomali

Studi Politik beralih dari demokrasi substansial menuju prosedural. Demokrasi secara konseptual dianggap sudah final sehingga apa yang perlu dilakukan adalah membuatnya lebih optimal. Kritik terhadap demokrasi lebih kepada pelaksanaan yang belum sempurna ke arah good governance. Marxisme melihat demokrasi prosedural sebagai definisi khas ideologi liberal yang mencari konsensus politik melalui proses pemilihan. Pandangan liberal bersifat pars-pro toto, abai terhadap manipulasi demokrasi yang cenderung menguntungkan bagi kelas elite. Keadaan ini belum tentu menyentuh persoalan substantif yaitu keadilan sosial. Walhasil komposisi partai politik sebetulnya terdiri dari elite-elite lama tanpa ideologi kerakyatan. Mereka yang kemudian mengatur “proletarian” (buruh, petani, nelayan, miskin kota, minoritas etnis-agama).  Maka nuansa penindasan dalam alam demokrasi sesungguhnya faktual tapi alat analisis yang mampu melihat itu tidak digunakan. Terlebih lagi status-quo dianggap normal karena undang-undang kepartaian sendiri hanya memungkinkan kelompok elite yang berkuasa berulang-ulang.

Kapitalisme hanya dipahami sebagai sistem ekonomi.  Bahasan kapitalisme dikuasai oleh ilmu ekonomi liberal sehingga dianggap sebagai fenomena ekonomi demi akumulasi modal secara efisien. Kapitalisme dianggap sebagai konsep akhir yang paling efisien dalam menciptakan tujuan ekonomi yaitu keuntungan sebesar-besarnya. Motivasi ekonomi kemudian dilembagakan sebagai nilai-nilai yang normal dalam kehidupan Kapitalisme dalam perspektif kiri jauh lebih rumit. Kita lupa bahwa Kapitalisme adalah sebuah sistem sosial yang melibatkan relasi-relasi sosial antar kelas dalam roda produksi yang problematik bagi kehidupan sosial. Maka kapitalisme melahirkan serangkaian konsep-konsep analisis kritis: alienasi, komodifikasi, eksploitasi, kekerasan, dll. Pemikiran kiri terbiasa untuk menyatukan analisis ekonomi-politik-sejarah sebagai kesatuan yang sulit dilepas-lepas.  Studi kapitalisme sesungguhnya luas menyinggung masalah politik, kebudayaan, sastra.  Matinya pemikiran kiri menciptakan reduksi besar cara kita memahami persoalan-persoalan sistemik bangsa ini.  Dengan merajanya ideologi kapitalisme dalam ilmu sosial, penyelewengan-penyelewengan dalam kehidupan bernegara tidak mampu dilihat sebagai problem cacat konseptual dalam sistem kapitalisme, melainkan (astagafirullah) sebagai indikasi dari kurang intensifnya masyarakat mengadopsi prinsip-prinsip liberal kapitalistik yang sudah dianggap sempurna itu! Maka analisis yang dianggap kontributif menyangkut “kegagalan negara” hanya ingin “mengobati gejala” yaitu perbaikan-perbaikan manajerial, optimalisasi kebijakan, perbaikan prosedural birokrasi, check-and-balance, good governance. Perbaikan struktural mendasar sampai akar (seperti yang ingin dilakukan KPK terhadap korupsi) justru dipersulit.

Dengan miskinnya analisis progresif, maka terjadi krisis pembentukan ilmu pengetahuan di basis-basis pendidikan tinggi seperti universitas. Mahasiswa tidak terbiasa untuk radikal dalam alam pikiran. Mereka cenderung menjadi “dokter-dokter” yang melakukan “diagnosa medis” terhadap persoalan-persoalan sosial. Mereka terlalu netral sebagai orang muda dan tidak sensitif dalam merasakan ketertindasan dan kemudian memilih keberpihakan. Analisis generik para mahasiswa terbatas pada kemampuannya menilai “dampak positif” dan “dampak negatif” dan mengambil jalan tengah dengan alih-alih netralitas sebagai akademisi. Ekologi pengetahuan “positif” dan “negatif” ini sesungguhnya mendorong kehidupan intelektual untuk masuk ke persoalan-persoalan “jelek” dan “bagus” yang akhirnya diselesaikan secara abstrak dengan intensifikasi dan optimalisasi moral.

Kiri sebagai Alat Juang

Sekarang kita bicara tentang universitas dan basis massa. Marxisme menjadi “berbahaya” (dalam tanda kutip, ya) ketika digunakan sebagai alat juang. Imajinasi sosialisme yang ditawarkan sebagai cara kritik terhadap kapitalisme bukan untuk dipikirkan, tetapi untuk dilakukan melawan penindasan untuk mewujudkan kehidupan yang lebih baik. Maka jika benih-benih berani ini disebarkan pada tanah yang begitu subur oleh ketidakadilan dan penindasan, segera saja benih tersebut berkecambah dengan giatnya sebagaimana yang terjadi dalam sejarah kita di masa lampau.  Lalu kemudian pikiran ini dianggap sangat mengganggu perkembangan ekonomi dunia yang memang dikuasai oleh rezim reaksioner (rezim kapitalis).  Cerita selanjutnya adalah kisah panjang tentang pertarungan ideologi yang sangat berdarah dan tidak dapat diterangkan di kesempatan singkat ini.  Penyingkiran pemikiran Kiri di universitas bukan saja pelarangan berpikir progresif seperti penjelasan di halaman sebelum ini, tetapi lebih jauh lagi adalah pemutusan kehidupan akademik terhadap basis-basis massa yang seharusnya diperjuangkan nasibnya. Intelektual di masa lalu adalah penggerak massa yang menerjemahkan analisis-analisisnya ke dalam bentuk siap cerna untuk digunakan rakyat mengorganisir diri sehingga kuat untuk melawan penindasan. Strategi di masa lalu para founding-fathers adalah menerjemakan analisis kelas ke dalam “bahasa-bahasa pamflet” seperti yang dilakukan oleh Sukarno, Tan Malaka, dll. Keberhasilan analisis kelas dalam praktik adalah ketika massa tidak lagi terikat oleh sentimen primordialnya melainkan terorganisir pikiran dan tindakannya pada agenda-agenda yang jauh lebih besar dan esensial dalam kehidupan seperti misalnya hak terhadap tanah, hak bersuara, hak berbudaya. Perlawanan dan penuntutan atas hak dilakukan secara organisasi masing-masing sektor (tani, nelayan, buruh, dll) dengan menggunakan pisau analisis kelas yang sama. Sejarah membuktikan bahwa hak-hak itu tidak akan datang sendiri dari langit tanpa perjuangan di bidang politik.

Mahasiswa tercabut dari gerakan sosial rakyat. Organisasi-organisasi sektor penting yang ada pada hari ini kebanyakan adalah organisasi perpanjangan tangan pemerintah yang lebih ditujukan untuk mengontrol massa rakyat agar tidak kritis dalam berjuang. Sementara organisasi-organisasi rakyat seperti serikat tani, nelayan, dan buruh masih membangun diri dengan susah payah. Mereka tidak terkonsolidasi dengan basis-basis massa yang berbeda sektor dan masih memperjuangkan agendanya sendiri-sendiri. Intelektual politik yang seharusnya membuat konsolidasi berasal dari kampus-kampus sebab partai-partai tidak dapat diharapkan. Namun mahasiswa sendiri tercabut dari realitas gerakan sosial. Mengembalikan mahasiswa kepada rakyat bukan perkara mudah. Mereka adalah generasi yang tercabut dan terkucil dalam penjara kampus. Sebagai langkah awal kita penting mengetahui dan mengenali kembali sosok mahasiswa itu. Siapakah mereka, dan apa harapan-harapannya untuk masa depan? Apa yang paling penting adalah bagaimana bayangan mereka tentang rakyat? Apakah rakyat itu terjangkau yang artinya bisa dipeluk, dipegang, disalami tangannya, dikenali kehidupan dan keluh-kesahnya, ataukah rakyat itu begitu jauh dan hanya ditemukan fosilnya dalam berita-berita di surat kabar?

Maka patut diduga, mahasiswa sekarang tidak setajam mahasiswa 1960-an.  Peralatan berpikir untuk melihat realitas sosial dan kemanusiaannya sudah dibuat tumpul. Harapan tentu selalu ada. Saya pikir semakin banyak mahasiswa—termasuk saya sendiri—yang mulai bertanya penasaran tentang apa sebetulnya yang terjadi pada tahun 1960-an, bagaimana organisasi-organisasi rakyat yang berwajah kiri itu bekerja pada masa itu dalam mewujudkan perubahan? Semua kepingan-kepingan itu terserak dalam kenangan, kesaksian bisu, dan catatan-catatan yang tersembunyi. Pemikiran progresif kiri sangat berjasa dan mustahil dilarang. Kita sudah mengenalnya dalam studi-studi terkini tentang feminisme, pasca-strukturalisme, pasca-kolonialisme, dan pasca-modernisme yang tidak mungkin hadir tanpa penafsiran ulang ide-ide klasik seorang Karl Marx. Tetapi kita mengenalnya terlalu akademik! Kita belum mengenalinya sebagai senjata berpikir untuk bertindak membela tetangga, orang miskin, petani, nelayan dan buruh walau sudah mulai fasih menggunakannya untuk kritik sana-sini dalam tulisan. IndoProgress itu penting dibaca, tetapi dia hanya satu warna akademik Marxisme yang memperkaya kehausan. Sementara keterampilan membangun basis massa tidak semerta-merta diperoleh dari membaca kritis.

Untuk itulah masa depan harus dibangun dari sekarang melalui ide-ide rekonsiliasi bangsa. Rekonsiliasi melalui pengungkapan kebenaran termasuk pengakuan negara terhadap pembantaian massal 1965 akan berimbas pada kesehatan dunia akademik. Generasi mahasiswa tidak lagi terbebani oleh beban-beban mistis masa lalu dengan mitos-mitos hantu seperti: “komunisme sosialisme adalah setan atheis”. Hal-hal fitnah yang direproduksi terus-menerus itu adalah cara-cara penguasa yang ingin mempertahankan kekuasaan selama mungkin lewat teror. Sangat mengganggu otak kita untuk belajar kritis. Oleh karena itu, hanya ada satu kata: “Lawan!”.

Selamat berjuang, semoga Tuhan yang Maha Kuasa Pengasih dan Penyayang selalu melindungi kita semua.

Selamat berdiskusi.

Jakarta, 3 Desember 2015.

*) Tulisan pengantar diskusi IPT 1965: Kampus, Organisasi Mahasiswa dan Peristiwa 1965 tanggal 3 Desember 2015 diselenggarakan oleh  kawan-kawan Semar UI, Ikohi dan IPT 1965. Lokasi Auditorium Gedung M (lantai 4) Fakultas Ilmu Administrasi FISIP, Universitas Indonesia.

Categories
Orba Resurrection Apocalypse

Teknologi murah mengamankan diri (sekaligus merepotkan lawan bag. 1)

Kemarau panjang ini akan berakhir dengan menguatnya gelagat negara dalam mengatur cara-cara rakyat bicara. Keterbukaan sipol (sipil politik) yang dimulai sejak 1999 akan segera berakhir. Pesta bicara lewat social-media akan jadi keran air yang mengucur kecil. Kebebasan dan rasa rileks untuk berpendapat mungkin segera berakhir. Kebanggaan sebagai warga Indonesia yang bebas berpendapat dibandingkan dengan kawan-kawan Malaysia, Thailand, Burma akan jadi bagian masa lalu. Dengan hadirnya peraturan-peraturan yang mengendalikan hak bicara, maka kritik warga yang paling membangun sekalipun justru paling rentan dikategorikan sebagai perbuatan kriminal. Dengan sedih, saya kembali buka-buka kenangan lama ketika internet masih jadi barang langka di tahun 1998. Orba berhasil menciptakan takut massal sehingga kita selalu merasa diintip dan didengar. Ketika itu saya hidup dalam rasa khawatir yang mengharuskan untuk berbuat pintar dalam berkomunikasi elektronik dengan menggunakan teknologi enkripsi PGP untuk e-mail. Saat itu enkripsi dilakukan bahkan untuk komunikasi dalam keluarga yang tinggal di kota-kota berbeda. Iya, entah bagaimana saya berhasil meyakinkan keluarga untuk menggunakan PGP dan mereka dapat melakukan dengan baik.  Padahal jika dibuka, pesan-pesannya sama sekali tidak bahaya dibandingkan “standar sekarang”. Kira-kira cuma laporan perkembangan kehidupan kampus untuk orangtua di rumah misalnya “, tadi siang ada intel polres yang ketangkep waktu konser musik, pakaiannya mahasiswa tapi di kantongnya ada buku laporan isinya blah-blah blah — aneh ya pertunjukkan musik kok ada intelnya?”  Atau seperti: “bagaimana kondisi teman-teman ITB, sudah pada siap belum?” Of course this was so romantic and was felt heroic, despite that government might had no clue at all how to tap e-mail communication that time”

Dari mana saya tahu hal itu? Coba-coba sendiri. Milis Apakabar@clark.net yang jadi kewajiban tiap warganegara kelas menengah yang punya internet supaya dapat tahu perkembangan “Indonesia di belakang layar” menawarkan teknologi PGP (Pretty Good Privacy) bagi para kontributor. Maka dengan demikian, isi email dan attachment tidak dapat dibuka oleh orang lain yang tidak berhak. Kita semua melakukannya sebagai kontributor. Ketakutan membuat orang belajar jadi cerdas teknologi keamanan dan privasi. Ketakutan dapat membuat kita terampil menggunakan senjata untuk bertahan hidup. Tidak terbayangkan dan malas rasanya masuk ke udara Orde Baru di tahun 2015. Tapi apa boleh buat.

Dan mungkin saya, Anda, atau ayah dan ibu kita harus melakukannya lagi sebagai warga sipil yang bertahan pada kebenaran dan percaya demokrasi. Oh, don’t underestimate my mom. She has three functional laptops!  Gue cuma satu.

Oke mari mulai dengan teknologi enkripsi. Teknik ini akan mengubah wujud teks atau file yang telanjang (plaintext) menjadi tidak dapat terbaca kecuali jika dibuka oleh kunci (key). Ide enkripsi adalah terpenuhnya 3 kondisi yaitu: menjaga kerahasiaan file sekaligus menjamin bahwa file itu sampai ke tangan yang tepat dan tidak berubah isinya.

Umumnya kita sudah tahu bahwa file dapat dilindungi dengan satu password, misalnya yang sering kita lakukan dengan dokumen Microsoft Office. Dalam dunia kriptografi teknik satu kunci ini disebut teknik simetris. Satu password itu mengandung satu kunci enkripsi. Artinya kondisi pertama (kerahasiaan file) terjamin. Tapi kondisi kedua dan ketiga tidak. Ketika password digunakan oleh orang yang tak berhak, maka dia dapat mengubah isi file dan melindungi kembali file malang tersebut dengan password yang sama dan mengirimkannya pada penerima yang terkecoh. Perlindungan satu password (satu kunci) memiliki kelemahan dalam implementasi misalnya ketidakdisiplinan, kecerobohan.

Pretty Good Privacy (PGP). Cara ini digunakan untuk enkripsi dan dekripsi teks-teks dalam badan e-mail dan enkripsi-dekripsi file-file antara dua pihak atau lebih. Enkripsi dan dekripsi terjadi dengan dua kunci yang berbeda yaitu private key dan public key.

  1. PGP tidak menggunakan password:  “kesepakatan satu password untuk semua” tidak aman secara implementatif. Cara satu password memang lebih gampang, tetapi tidak aman karena tiap orang harus tahu password yang sama. Ketika pertukaran informasi terjadi untuk banyak orang, maka mudah sekali password tersebut untuk bocor karena tekanan atau interogasi. Sistem kunci ganda public-private key memungkinkan penyebaran kode enkripsi secara terbuka oleh karena public key dapat disebar kemana-mana. Jadi silakan dicantumkan di e-mail, blog, atau dikirim via flashdisk. Jika tokh sampai ke tangan yang tidak berhak, public key tersebut tidak dapat dipakai. Karena public-key tersebut baru bekerja membuka e-mail yang disandikan dengan private-key penerima e-mail. Maka private-key yang harus dijaga baik-baik. Private key memiliki “password” atau yang disebut “paraphrase” yang hanya diketahui pengguna. Dalam keadaan darurat, private-key dapat dihancurkan dan tidak dapat dibuat ulang.
  2. Ada pertukaran kunci. Dua kunci ini harus ditukarkan secara “silang” untuk dapat melakukan proses enkripsi dan dekripsi. Maksudnya gini. Ketika si A ingin mengirim kepada si B, maka si A menggabungkan private keynya dan public key kepunyaan si B. Maka pesan hanya dapat dibuka oleh si B yang menggabungkan private-key miliknya dan public key milik si A sebagai pengirim. Si A dan si B hanya perlu bertukar public-key masing-masing saja. Ketika si B mengirimkan balasan, maka si B menggabungkan private key-nya dengan public key milik si A.  Cara yang sama berlaku jika ingin berkomunikasi dengan banyak orang misalnya group e-mail dengan persyaratan mereka saling membagi public-key masing-masing. Tapi bagaimana kita yakin bahwa public-key yang diterima adalah milik orang yang kita maksud? Kita tidak pernah benar-benar yakin sampai bertemu muka untuk sama-sama melakukan verifikasi. Maka, PGP biasa dilakukan oleh orang-orang yang pernah bertemu muka atau sengaja bertemu muka untuk saling memvalidasi.
  3. Seberapa aman? Public key bentuknya adalah barisan-barisan kombinasi huruf dan angka random yang merupakan kode. Kode tersebut dapat dibuat panjang, dapat pula pendek sesuai dengan rumus matematika yang digunakan. Gampangnya, panjangnya kunci ditentukan oleh besaran yang disebut “bit”. Makin besar angka “bit” maka artinya kunci makin panjang dan sukar dibongkar.  Misal sebuah kunci 56 bit artinya memiliki panjang karakter sebesar 2 pangkat 56 atau 72,057,594,037,927,936 digit yang terlalu kompleks kombinasinya. Besaran 56 bit digunakan oleh Departemen Pertahanan Amerika Serikat sampai tahun 2000-an. Sementara PGP menggunakan  minimum 768 bit (RSA) dan belum pernah dibobol (kecuali di film Holywood).  Menurut pakar kriptografi enkripsi model begini terlalu mahal untuk dibongkar sementara data Anda terlalu murah untuk jadi target intelijen.  Biaya untuk  beli ratusan komputer serta waktu puluhan tahun untuk menunggu hasil bongkar paksa tentu tidak sebanding dengan pentingnya data yang ingin dicari. Lagipula ketika berhasil, semua orang yang terkait dengan data itu termasuk para operator komputer yang kerja siang-malam sudah pada meninggal.  Pada intinya, walau secara teoretis pembobolan itu mungkin, itu hanya dapat dilakukan oleh organisasi, perangkat, dan dana sangat besar. Phillip Zimmerman pencipta PGP menggunakan RSA 1024 bit yang dijamin sudah aman untuk urusan homo sapiens dari hari ini sampai mereka punah kelak. Walau PGP memperbolehkan kita menggunakan 2048,3072,4096, 8192 bit untuk orang-orang yang susah tidur, pilihan default adalah RSA 1024.  Update: Standar baru untuk RSA keys saat ini adalah 3072 bit sebagai tindakan preventif terhadap serangan organisasi terbesar misalnya NSA.
  4. Kalau mau tahu detail silakan buka keylength.com. Public-key pun dapat diatur agar kadaluwarsa dalam waktu tertentu. Pemakai juga dapat menandai public-key dengan tingkat kepercayaan (trust-level) tertentu dalam address-book. Intinya, sebagaimana dalam hidup, ngga pernah ada kepastian dalam dunia keamanan elektronik. Resiko selalu ada.
  5. Digital Signing. Salah satu feature penting dari teknologi PGP adalah ‘tanda-tangan digital’.  Terkadang keperluan kita bukan untuk menyembunyikan data, tetapi untuk menjamin apakah data (teks email, ataupun file lain) tidak berubah ketika diterima (tidak diubah pihak lain). Ketika e-mail atau file “ditandatangani” dengan sistem PGP oleh si pengirim, maka modifikasi sedikit saja akan diketahui oleh penerima.
  6. Bagaimana caranya dan kapan harus mulai? PGP sudah lebih mudah pengoperasiannya dibanding tahun 1996. Lisensi PGP sebagai open-source  (GnuPG) memungkinkan kita pakai versi gratisan atau versi bayaran dengan keampuhan yang sama. Untuk pengguna gmail yang bekerja dengan browser Chorme dapat pakai ekstensi Mailvelope (cari sendiri ya). Untuk pengguna yang pakai software email non-web dapat pakai GPG4Win atau GPGTools (iOS) (cari sendiri yah), atau untuk pemakai Mozilla ThunderBird bisa gunakan Enigma. Tentu untuk yang techie akan senang dengan GnuPG yang berjalan dari command-prompt (terminal). Untuk pengguna Linux, enkripsi sudah bagian dari software-software email, jadi tinggal mengunduh modul-modul PGP saja.
  7. Siapa aja sih yang pakai? Orang-orang biasa yang berhati-hati. Ibaratnya, jika kita selalu mengirim surat menggunakan amplop tertutup, mengapa dalam email kita tidak menggunakan amplop tertutup juga?  PGP lazim digunakan oleh jurnalis dan aktivis di negara-negara anti-demokratis. Organiasi-organisasi yang giat memperjuangkan demokratisasi pun mempergunakan layanan ini untuk menjamin keselamatan kontributor.
  8. Harap diperhatikan bahwa PGP hanya melakukan enkripsi dan tidak terkait dengan usaha-usaha menyamarkan identitas pengirim termasuk IP-address dan alamat e-mail. Untuk keperluan anonimitas dan persembunyian, tunggulah bagian kedua.

PGP Public Key Saya. (RSA 1024 bit).

Silakan dipergunakan. Caranya adalah salin (copy) dan tempel (paste) di software edit teks apa saja misalnya Notepad. Lalu disimpan dengan nama file apa saja (misal iwan.asc). Setelah itu di-import dari software PGP yang disukai dan selamat menggunakan.

-----BEGIN PGP PUBLIC KEY BLOCK-----
Version: Encryption Desktop 10.3.1 (Build 13100)

mQCNBFY8MJkBBADVgDTUkzih3SzCMoQAFDXwq/ZWalRJHH9pGXGxhGOtbbUwvpVP
8Do4MObEOVkVx/PyEKlwbDmjwOLAllU99wcm36Q08NcxB51GKMm3nAoW3qh4UqIs
TJOhE6KcYaIL4oMleVxX13EoK1VpUOphgLa69QPoU5/hn+eOlLj54m8ywQARAQAB
tCNJd2FuIFBpcm91cyA8aXdhbi5waXJvdXNAZ21haWwuY29tPokA+AQQAQIAYgUC
VjwwmQUJAeKFADAUgAAAAAAgAAdwcmVmZXJyZWQtZW1haWwtZW5jb2RpbmdAcGdw
LmNvbXBncG1pbWUICwkIBwMCAQoCGQEFGwMAAAAFFgADAgEFHgEAAAAGFQgJCgMC
AAoJEMZzjcMXMO9fWhgD/2qlgMDUABO1oQyGjy+zR/xmkK60HLCuF2wguQeblzr8
BFgBSiBa4yapAFr5dpbT4HToOhxOEOw3tfLtYHodfnC1mM8uCrfyhd6AiuyJMyQ/
Bi1dajdrn1Z89xojnZ9Mzb0M3EqagiFRSaMHi9EtaTeyOiLdRDH2R7dkEF6I6zQv
uQCNBFY8MJkBBADdLyUPIorzO5U9RSHMBrqpFcBRdNId3pabek9QVYqmYPdUgKDf
VReUsYjCrDXo1Xw1oGRhBuGdTMAXyihFjhvkT4zjFCkl/+JddkfD3RremVqhfiS2
UloDKFESmr1R53YrvYxlJR/eA0i31T5re0OhO1bXGnKy7Qv5dF7LnHd5aQARAQAB
iQFGBBgBAgCwBQJWPDCaBQkB4oUABRsMAAAAnSAEGQEIAAYFAlY8MJkACgkQCaGI
9JjqU7UahwP+K5n7zO9bMKhV3DTT8pIFaX/mEXkrnqok08G/c+/W2VsBHD68QjCL
wLi5k9G0nxHUZC7vfaBF5ZGkZNp9GTXdP0o8zP6fPv02vu4Ib5bHQC5ZNkOJpkOh
P9VdUti6LsWvjdU2C8X2eS04jRyqvTZrxi4IsitQvji2Dqjf0lgFSigACgkQxnON
wxcw719XzgP/cqr9Gum/T6B75Frf5TJJbHm7VRfb06ye/nil+/tVdCBrk0zTg4QG
9i1cUjuoFKrAmSX4UpzOHy1Y3w0lwtzji/0yCQ+34bnA+u2+x5d5YCUlWDa4UyNj
3fdH+AiSWOYZBHDbhADAe84Qt70HsZ0yLQVOsqv/9DnlEdpJ76u4eq8=
=ayZ/
-----END PGP PUBLIC KEY BLOCK-----