Categories
essays

Pandemi dan Ekosistem Kultural

Kita di tengah ledakan pandemi Covid-19. Bagaimana melihatnya sebagai fenomena kultural?

Indonesia berada dalam posisi tertinggi dunia untuk jumlah kasus dan kematian baru karena Covid-19. Belum pernah berita kematian begitu banyak datang dari lingkaran pertemanan dekat bahkan saudara dalam waktu singkat seperti senapan mesin. Oksigen habis, IGD penuh, dokter, perawat, relawan berguguran, pasien bergelimpangan. Sosial media penuh teriakan minta tolong. Semua orang sedang menghindari mati sekitar tiga minggu ini. Dunia mencemaskan Indonesia sebagai episentrum Covid-19 saat ini. Tentu mereka bertanya mengapa negara ini begitu terlambat mengantisipasi dan membuat pilihan-pilihan salah? Ada beberapa faktor kultural yang membantu menjelaskan.

Absennya nilai budaya Risk Society

Kurang lebih 30 tahun lalu, sosiolog Jerman Ulrich Beck mengkhawatirkan bahwa ada suatu masa ketika semua pencapaian kehidupan modern yang identik dengan produksi, inovasi, dan teknologi akan menghantam seperti bumerang. Inilah ‘masa modern kedua’ (second modernity) ketika kegiatan produksi sehari-hari yang tadinya aman secara diam-diam memproduksi hal lain secara aktif tanpa disadari yaitu produksi risiko yang terus membesar. Beck memang menulis dalam konteks ledakan reaktor Chernobyl tahun 1986, tetapi tesisnya menjadi panutan dan relevan dalam studi-studi kritis tentang risiko peradaban sampai hari ini. Beck mengatakan bahwa jalan untuk selamat adalah adanya usaha untuk membangun iklim sosial yang disebut risk society atau model masyarakat yang memahami risiko skala katastrofe sebagai buah kemajuannya. Hal ini dilakukan melalui transparansi data melibatkan kerja sama antara politisi, penyelenggara negara, komunitas ilmuwan dan praktisi berbagai bidang dalam membangun kebijakan.

Dalam model risk society, surplus bisnis harus dialihkan untuk membiayai kesiapan penanganan risiko, dan bukan untuk ekspansi usaha. Dalam kondisi berubahnya ekosistem dan iklim sebagai konsekuensi kegiatan bisnis ekstraktif sumber daya alam, risk society seharusnya dianggap sebagai nilai budaya nasional. Diterjemahkan dalam tradisi riset dan kurikulum. Namun nilai budaya ini tidak dikenal di Indonesia sebagai sebuah negara yang membayar ongkos-ongkos politik dari kegiatan ekstraksi sumber daya alam. Justru kemudian Indonesia menjadi murid setia nilai-nilai ekonomi neoliberalisme yang minim memikirkan dampak-dampak jangka panjang terhadap kehidupan sosial dan alam.  

Tidak lampu peringatan yang menyala di negara ini ketika Wuhan melakukan lockdown dua tahun lalu. Tidak ada imajinasi kolektif di kalangan elite akan bahaya. Pemerintah berkelakar tentang virus ini. Padahal akses informasi terbuka. Banyak dokter-dokter yang menyempatkan diri menulis catatan-catatan dari rumah sakit masing-masing di seluruh dunia. Para ahli pun membuat ragam proyeksi tentang gelombang-gelombang melalui algoritma dan statistik yang mudah di-googling namun tidak dianggap sebuah prediksi ilmiah yang akan terjadi. Padahal film-film fiksi ilmiah sudah memperingatkan kita sejak lama. Film-film thriller tentang dunia distopia dan apokalips selalu bermula dari reaksi pemerintah yang lamban, memprioritaskan ekonomi, dan mengacuhkan peran ilmuwan.

Neoliberalisme Kesehatan

Prinsip Neoliberalisme percaya bahwa kinerja ekonomi menjadi sempurna ketika sektor-sektor publik yang dikuasai negara—dengan  alasan untuk kepentingan rakyat banyak—diserahkan pada swasta yang bersaing. Bisnis adalah bisnis dan jangan diberi rintangan atau beban. Banyak negara-negara kemudian mengalihkan tanggung-jawab sosial misalnya pelayanan kesehatan publik kepada swasta.  Ketika Covid-19 terlanjur meledak awal tahun 2020, negara-negara yang telah secara radikal memperbesar peran swasta berbayar di bidang pelayanan kesehatan cenderung untuk rentan terhadap menangani gelombang Covid-19.

Ketika sistem kesehatan rakyat dibayang-bayangi oleh dualisme pembiayaan antara negara dan swasta, maka terjadi standar ganda. Pelayanan negara yang murah atau gratis menjadi mundur kualitasnya. Orang yang tak mampu membayar jadi korban. Amerika Serikat, Inggris, Spanyol, Jerman, Italia lebih terpukul dibandingkan dengan negara-negara yang masih memiliki watak welfare state yang melayani semua orang tanpa pandang bulu misalnya Swedia, Finlandia, Norwegia. Sementara kesiapan Cina, Taiwan, Jepang, Cuba, Singapura, Selandia Baru sebagai negara-negara yang tidak asing dengan prinsip sosialisme relatif lebih responsif dan sigap.

Mudah dipahami meski nilai nasionalisme menjadi pakaian ritual harian, nafas Neoliberalisme terlanjur menduduki kabinet kita. Rakyat adalah beban kecuali mereka yang bayar. Tentu terjadi polemik karena bagaimana pun pada masa lalu konstitusi kita ditulis dengan semangat sosialisme. Polemik-polemik tentang vaksin berbayar menunjukkan pemerintahan yang bingung dan tidak kompak juga berakibat pada melambatnya penanganan pandemi. Jika pertumbuhan dan keselamatan ekonomi nasional harus berada di atas keselamatan rakyat, maka posisi rakyat adalah garda depan yang dikorbankan. Berakhir atau tidaknya wabah kemudian dianggap tergantung kepada kedisiplinan rakyat dalam melaksanakan protokol kesehatan sebagai jalan terakhir. Konsekuensinya UU Karantina Wilayah tidak akan pernah diaktifkan sekalipun itu sesuai konstitusi dan Pancasila.  Adalah sebuah tragedi bila kematian dianggap wajar sebagai sebuah statistik perhitungan skenario terburuk sebagai sebuah collateral damage sebagaimana operasi militer. Dalam polemik dan tarik-menarik kepentingan, kita akan kehilangan waktu dan momentum bertindak.

Neoliberalisme menghapus empati terhadap tragedi. Negara membandingkan angka kesembuhan dan angka kematian harian dengan menyimpulkan selisihnya sebagai berita baik lewat media. Propaganda ini bertujuan mengontrol kebenaran ilusif yaitu bahwa “kita-baik-baik saja”.  Virusnya tidak terlalu bahaya karena banyak yang sembuh. Usaha mengontrol kebenaran dengan terus menebarkan optimisme palsu tidak mempertimbangkan akibat psikologis dari matematika kejam dan minim empati untuk banyak keluarga yang kehilangan. Hal ini juga merupakan penghinaan terbuka terhadap tenaga kesehatan yang terus berguguran dan pasien yang sedang berebutan nafas. Apakah kita mau hidup dalam nilai ini?

Militansi hasil Algoritma Informasi

Mengenai informasi. Negara-negara underdog dengan internet lambat kemungkinan justru lebih bertahan. Jauh sebelum Covid-19, dunia sudah terjerembap dalam ketidakmampuan menghadapi risiko dari teknologi algoritma sosial media. Internet justru membuat manusia terkotak-kotak dalam ekstremnya opini politik hasil olahan kecerdasan buatan.  Merupakan pil pahit bahwa wabah ini subur dalam ekosistem favoritnya yaitu sifat suka meremehkan, sombong, egois, bebal, serakah, dan keras kepala yang dibentuk oleh opini-opini artifisial itu. Kita hidup dalam dunia yang berbahaya dan absurd ketika justru terbuai oleh hasrat-hasrat teknologi canggih tapi sekaligus menjadi tentara-tentara siber penyebar hoaks  yang diperbudak oleh gawai-gawai dan biaya sewa internet yang kita bayar sendiri. Filsuf Martin Heidegger sudah meramalkan bahaya dalam esai profetik tahun 1954 jauh sebelum adanya kecerdasan buatan yaitu jangan sekali-kali kita berpikir bahwa teknologi adalah instrumen yang membebaskan manusia. Teknologi punya kemampuan otonom untuk memerangkap manusia dan memaksanya bertindak sesuai logika teknologi itu. Persis dengan hari ini ketika teknologi sosial media justru melahirkan militansi yang galak misalnya gerakan anti-vaksin, teori konspirasi, anti-masker, nasionalis buta residu-residu pilpres dan sejenisnya.  

Categories
essays

 Film Milenial tentang “G30S/PKI”

 Respons Presiden untuk membuat film dokumenter sejarah 1965 versi “milenial” adalah langkah maju bagi bangsa. Ada jarak dua generasi dari film pendahulu.  Artinya sasaran utama penontonnya bukan lagi generasi muda 1980-an yang bagaikan kertas putih terhadap sejarah 1965. Mereka adalah generasi muda baru yang sempat kebagian propaganda Orba soal kebencian “kultural” terhadap PKI tapi sekaligus juga punya akses informasi alternatif.

Mereka adalah penonton kritis. Generasi yang berkesempatan mengakses riset-riset ilmiah di internet atau buku-buku yang terbit sejak era Reformasi 1998.  Setidaknya mahasiswa ilmu sosial dan politik di Indonesia hari ini sudah membaca pembantaian massal 65 sebagai bagian dari kuliah. Walaupun hari ini sedang terjadi rekrutmen massa lewat politisasi primordial anak muda yang alergi terhadap wacana 1965, faktanya kebangkitan publik muda ahistoris yang haus sejarah terjadi. Membaca tidak dapat dibendung.

Selain membaca, mereka pun kaya akan referensi pop culture dari film-film bioskop dan mini series di TV kabel.  Industri perfilman Amerika begitu terampil membuat film-film fiksi bertema spionase yang sangat seru.  Namun narasi cerita pun bergeser dibanding 20 tahun lalu. Dalam film negara tidak lagi tampil sebagai jagoan tunggal seperti seorang James Bond yang menyapu musuh-musuh politik. Tidak ada lagi penjelasan hitam putih tentang keterlibatan CIA, FBI, militer, teroris, bank, perusahaan, lembaga-lembaga negara dan presiden dalam pertarungan kekuasaan. Latar penceritaan pun terasa faktual mengikuti krisis politik yang terjadi dalam konteks politik ekonomi global. Memang ini semua ada dalam ranah fiksi, namun terlihat adanya otokritik konsisten sebuah film terhadap penyelewengan konstitusi, pelanggaran HAM, dan ragam kejahatan politik dengan menunjuk hidung sendiri.

Jika ditonton  dengan kecerdasan hari ini, film Arifin C Noer akan terlihat naif dari segi penuturan sejarah. Sebuah konflik internal berujung pembantaian di Lubang Buaya yang dilakukan oleh kaum militer muda terhadap beberapa orang petinggi militer. Kemudian satu bangsa repot dibuatnya selama bertahun-tahun. Tragedi Lubang Buaya dianggap sentral sebagai alasan normal untuk membubarkan PKI, memenjarakan, dan membunuh semua orang yang dianggap terkait. Negara tidak mengeluarkan catatan resmi tertulis mengenai pembantaian massal yang terjadi sesudahnya.  Walhasil pembantaian tersebut hanya bisa direkonstruksi susah-payah melalui metode sejarah lisan bertahun-tahun kemudian. Bagian-bagian penting ini yang sama sekali tidak ada film Pengkhianatan G30S/PKI tadi.

Tidak lagi hitam putih

Maka kita perlu sebuah film baru buatan dalam negeri yang cocok untuk generasi sekarang. Film yang dibangun dari hasil riset ilmiah yang teruji.  Berbeda dengan masa lalu, kajian Indonesia 1965 beraneka ragam dan dapat diakses . Tinggal mengemasnya dalam bentuk gurih yang disukai penonton dan memenuhi prinsip-prinsip pembuatan film yang bersuasana faktual, tetap seru dan dramatis, tapi juga memberikan pesan-pesan penting tanpa harus hitam putih.

Dalam konteks kekinian, sudah tentu film ini harus bicara tentang isu penguatan HAM. Jika hari ini rakyat Indonesia dapat merasa marah dengan pembantaian Rohingya, artinya ada sentimen kemanusiaan yang terusik di dalam hati kita semua sebagai orang baik. Jika kita marah kepada ISIS yang hobi menggorok orang sambil mengabadikannya dengan kamera video, artinya kita protes dan mual terhadap kekejaman. Sebuah pembantaian bagaimanapun tidak normal untuk terjadi pada siapa pun dengan alasan apa pun. Genosida 65 pun harus diungkap sebagai penyesalan, bukan kepahlawanan.

Sebagai sebuah film mutakhir, film ini harus pula menyertakan konteks-konteks politik mengapa peristiwa pembantaian 65 itu ada. Tragedi ini bukan sebuah kebetulan, bukan pula sebuah kemarahan yang meluas secara alami. Dari referensi film sejenis seperti misalnya Hotel Rwanda berlatar pembunuhan massal yang dilakukan etnis mayoritas Hutu terhadap minoritas Tutsi di Rwanda pada tahun 1994, penonton dapat memahami bahwa kekerasan terjadi sangat terencana dan terkoordinasi. Terjadi dalam waktu singkat dan bermula dari pembunuhan para elite politik yang kemudian meluas dalam hitungan jam. Ekstrimis Hutu dalam bentuk tentara resmi maupun milisi mengadakan pemburuan manusia dengan teliti mengandalkan daftar orang-orang yang harus dibunuh, pemeriksaan KTP di jalan-jalan yang diblokir, dan menyebarluaskan pengumuman pembantaian melalui siaran radio. Ada peranan negara, ada aktor-aktor elite militer yang menjadi dalang ambisius dalam genosida itu.

Film Hotel Rwanda tidak hitam putih dan sangat jelas menggambarkan bahwa tokoh utama yaitu manajer hotel yang beretnis Hutu melindungi seribu orang Tutsi yang menjadi target. Dari riset-riset HAM tentang konflik Rwanda, ditemukan sangat banyak tetangga atau keluarga yang saling membunuh bukan karena benci tapi karena takut dibunuh. Setidaknya 800 ribu sampai satu juta orang dibantai dan sejumlah 250 ribu perempuan Tutsi diperkosa dalam waktu 100 hari. Penonton bioskop terkesima bukan karena sedang diarahkan film untuk menangis kasihan atau berlinang dendam, tetapi lebih kepada menyaksikan makna universal dari tragedi yang utuh. Mereka bertanya dengan perikemanusiaannya yang campur aduk: “bagaimana mungkin sebuah bangsa yang membiarkan pembantaian manusia sebagai hal rutin dan normal?”

Luruskan yang perlu diluruskan

Tentu selain mengasah kemanusiaan, film mutakhir tentang PKI harus meluruskan hal-hal yang perlu diluruskan. Penonton zaman sekarang sudah tidak mempan dengan jargon picisan tentang “komunis setan anti Tuhan” dan sejenisnya. Ada baiknya film mendatang menjadi jembatan sejarah untuk menampilkan fakta-fakta jujur tak terbantahkan tentang argumen berdirinya sebuah partai komunis di Indonesia. Termasuk mengapa dia mesti dihancurkan semata-mata karena mengganggu roda bisnis internasional. Bagaimanapun “partai nista” ini pernah punya peran penting dalam membangun solidaritas kebangsaan dan membangun keberanian untuk mandiri di antara negara-negara raksasa ekonomi. Belum lagi peranannya dalam membangun kebijakan pro rakyat di masa lalu. Luruskanlah pengertian-pengertian mendasar tentang komunisme sebagai ideologi, dan sosialisme sebagai prinsip yang bahkan nyata-nyata ada dalam Pancasila. Jangan juga terlalu naif. Kita harus mengaku bahwa Marxisme sebagai alat analisis  ekonomi politik berperan, berkembang dan digunakan sampai hari ini untuk memetakan dan menangkis bahaya globalisasi kapital yang kebablasan. Jika hari ini kita dapat ngomong enak dan lancar tentang rencana kedaulatan pangan, reforma agraria, Tunjangan Hari Raya, atau hal-hal yang pro rakyat, itu bukan geledek ahistoris di siang bolong. Maka mulailah bersikap historis dan intelektual terhadap semua itu . Semoga film tentang PKI versi milenial segera terwujud. ***

Categories
essays Orba Resurrection Apocalypse

Radikalisme itu baik, kok

Radikalisme itu baik atau buruk?

Bom meledak di Manchester dan Jakarta. Maka negara bersabda: gebuk terus radikalisme sampai ke akar-akarnya.  Tepatkah istilah radikalisme ini?

Dalam khazanah konseptual teori-teori politik, istilah radikalisme sesungguhnya bermakna netral. Radikalisme berarti suatu jalan untuk membuat perubahan mendasar sampai ke tingkat sistemik. Perubahan politik secara radikal bertujuan untuk membedah dan membuang penyakit-penyakit dalam sistem yang berjalan. Politisi korup, militer kejam, elite-elite feodal adalah penyakit yang harus dibuang agar demokrasi kembali ke jalan yang berpihak pada konstitusi.

Radikal versus Reaksioner

Sepanjang sejarah, gerakan radikal senantiasa mendapat tantangan dari gerakan anti-perubahan. Dalam literatur gerakan “Kiri”, menjadi Radikal artinya bertentangan dengan para elite pendukung kemapanan yang disebut kaum Reaksioner (reactionaries) atau mereka yang dianggap melanggengkan kekuasaan demi keuntungan-keuntungan dari sebuah keadaan status quo. Kaum Reaksioner misalnya adalah para pebisnis skala besar yang memang selalu ketar-ketir pada gejolak sosial sehingga memilih untuk konservatif.  Juga golongan pengusaha di atas tanah ukuran raksasa yang tak suka reforma agraria. Mereka merasa bahwa membagikan tanah pada petani miskin adalah perampokan kejam dan tak bermoral sehingga reforma agraria harus dilawan. Militer yang dekat dengan rezim berkuasa pun masuk dalam kategori yang sama termasuk juga kelas menengah yang mendapat fasilitas dari sistem.

Diskusi panas antitesis dua kubu antara kaum radikal dan reaksioner adalah perdebatan khas dalam analisis politik ekonomi gerakan sosial di masa 1960-an.  Namun era diskusi ini sudah lewat dengan kemenangan rezim “Kanan” di mana-mana yang membuat kapitalisme menjadi arus berpikir utama pada hari ini. Kini Kapitalisme bukan saja sebuah prinsip ekonomi namun juga menjadi jadi sistem sosial yang menciptakan nilai dan moralitas tentang salah dan benar yang disuka golongan Reaksioner di atas. Pada hari ini kita tidak lagi menemukan “debat ideologis” tentang arah pembangunan ekonomi dalam buku-buku baru.

Di Indonesia term “reaksioner” sebagai antonim “radikal” sudah lama dihapus dari Bahasa Indonesia sebagai sebuah “hukuman akademik” ketika negara melarang pemikiran Marxisme tahun 1966. Padahal dalam sejarah perjuangan bangsa kita mengenal istilah-istilah generik bagi kaum reaksioner tadi misalnya “golongan tua” yang dianggap kolot dan kompromistis pada prosedur-prosedur sistem kolonial. Sukarno-Hatta pernah dianggap reaksioner oleh golongan muda sehingga mereka sempat diculik dalam Peristiwa Rengasdengklok 1945. Kata “Reaksioner” pernah berguna untuk orientasi perjuangan di masa lalu. Untuk melihat batas yang tegas tentang siapa-siapa saja yang ingin perubahan progresif dengan meraih kemerdekaan dan mana-mana saja yang ingin bertahan di sistem lama.

Pada era Orde Baru (dan sesudahnya), istilah Radikalisme menjadi buruk maknanya. Bahkan dikaitkan dengan gerakan-gerakan yang jahat untuk mengkudeta kekuasaan yang sah. Terlepas mereka jahat atau tidak, dalam sistem sosial kapitalisme kata radikal mendapatkan posisi yang buruk karena dianggap mengganggu sistem yang sudah “terlanjur benar”. Hari ini sisanya masih ada. Alih-alih mengatakan “kita belum radikal memberantas korupsi”, kita lebih suka mengatakan “masih belum optimal”. Jadi sistemnya sendiri tidak pernah disalahkan. Gerakan radikal dianggap milik para penjahat, sebab orang baik tidak akan menempuh cara-cara radikal. Ini adalah keberhasilan rezim kapitalisme untuk menjaga bahasa agar selalu lunak terhadap kosa kata kritik. Perbaikan-perbaikan sistemik tidak lagi  memiliki perbendaharaan kata. Sehingga kritik dan perlawanan menjadi buntu.

Radikalisme pun secara sempit dikaitkan dengan terror.  Padahal kekerasan adalah kekerasan, titik. Ideologi yang membolehkan pembunuhan warga tak bersalah adalah kejahatan tanpa terkait dengan radikal atau tidak. Konsekuensinya, kita terbiasa menuduh sesuatu yang jahat sebagai gerakan radikal. Jadi bagaimana cara membangun sebuah gerakan radikal untuk kebaikan sebuah sistem publik?  Kita perlu radikalisme dalam pembersihan korupsi, transparansi birokrasi, penegakkan keadilan sesuai konstitusi serta perjuangan membela HAM semua orang.

Kini tumbuh generasi muda kelas menengah yang asing dengan pemaknaan radikalisme semacam di atas. Mereka jadi terbiasa berpikir penuh kompromi dan cenderung terlalu menurut pada normatif tanpa banyak tanya-tanya. Inilah generasi yang dibesarkan dalam zona kenyamanan dan keyakinan bahwa negara selalu baik-baik saja sebagai sebuah sistem. Demokrasi dianggap cukup baik dengan ukuran-ukuran mekanisme prosedural meskipun substansinya untuk keadilan sosial masih jauh. Gap yang menganga dianggap dapat diselesaikan oleh waktu, dengan permakluman: “tunggu sampai kita semua siap berdemokrasi.” Dalam masa-masa penantian tak kunjung berkesudahan sejak 1998, kehadiran kepemimpinan negara yang solid adalah kerinduan yang terisi dengan suburnya fanatisme-fanatisme atas kepemimpinan di kalangan kelas menengah kota. Ada kelompok muda nasionalis dengan jargon-jargon purifikasi merah putih yang cenderung fasis, di sisi lain kelompok haus kesalehan yang mencari identitas melalui agama. Dua kelompok ini rentan direkrut  lebih jauh menjadi massa normatif yang penurut kepada elite-elite politik yang punya uang banyak dan lihai.

Memperbaiki makna Radikalisme

Tapi tentu ada kaum di luar kelompok atas yang gelisah, yang sudah tidak sabar dan selalu bertanya. Mengapa negara merespons terlalu lamban terhadap bentuk-bentuk kekerasan organisasi sipil yang menggunakan elemen agama? Mengapa negara ragu-ragu untuk menjalankan amanah konstitusi? Mengapa negara seperti berwajah ambivalen? Di satu sisi berteriak ingin menjaga ideologi Pancasila, di sisi lain mengancam Pancasila dengan membiarkan kekerasan atas nama agama dimaklumi. Jadi bagaimana sistem kenegaraan itu berjalan? Mengapa tidak bisa diperbaiki secara radikal supaya jadi benar dan mengayomi seluruh warga? Mengapa negara terkesan takut pada ayat suci dibandingkan dengan ayat konstitusi?

Perbaikan tentu harus dimulai dengan radikal. Jadi mulailah untuk memperbaiki konsep radikal itu sendiri. Membuang jauh-jauh labelling dari media-media kapital yang seringkali dilakukan tanpa riset.  Mulailah kita mengenali kelompok-kelompok garis keras sesuai dengan maksud, metode, dan tujuan mereka. Misalnya “kelompok Islam pembunuh”. Kelompok “penegak negara Islam”, “kelompok pemuda fasis NKRI”. Penting untuk membedah relasi kelompok tersebut dengan elite-elite yang menjadi sponsor mereka. Itulah satu-satunya cara jitu untuk memasukkan mereka ke dalam golongan status quo, para reactionaries!

Kita masih perlu radikalisme untuk hal-hal yang lebih baik untuk kebaikan publik. Kita perlu lebih berani untuk menyatakan sikap sebagai generasi muda Indonesia yang tidak takut kepada ancaman neraka dan tidak mudah terpancing ngambek dengan issue-issue abstrak seperti penistaan simbol-simbol. Tapi sangat marah dengan penggelapan anggaran! Pemuda berbagai agama dan suku yang menggunakan otak dan mengenali musuh dengan baik tentu akan menjadi radikal yang cerdas untuk menyelamatkan bangsa.

Categories
essays

Buset: Universitas sebagai pusat gen bangsa berkualitas?

Suatu hari ada poster lucu memberi ide bahwa bibit-bibit unggul berkumpul di Universitas Indonesia. Update: link poster sudah tidak ada. 

Coba ambil waktu sekali lagi dan baca baik-baik poster di atas.  Jika dibedah otak pembuat poster (updated: Ivan Ahda, calon ketua Iluni), kira-kira isinya begini: Universitas dianggap pusat berkumpulnya gen-gen manusia unggul.  Logikanya, keluarga dibangun dari bibit-bibit unggul. Di manakah bibit-bibit unggul berada? Di Universitas Indonesia. Maka alumninya yang tersebar ke seluruh muka bumi menjadi agen pembawa gen-gen unggulan untuk disebarkan demi membangun generasi bangsa berkualitas unggul.  Gambar pemuda-pemudi dengan simbol hati menjadi simbol pembawa benih-benih mulia sebagai agen-agen reproduktif bangsa.

Lalu apa yang salah? Bagi pembuat poster tentu tidak ada. Hal di atas adalah gambaran sempurna tentang masa depan gemilang dari sebuah bangsa yang beranggotakan manusia-manusia unggulan. Sebagaimana dulu Hitler memimpikan Jerman menjadi berkualitas karena keunggulan bibit-bibit ras Arya yang juga dianggap terbaik secara akademik dan mampu membangun peradaban Jerman jadi lebih tinggi lagi. Juga senada dengan angan-angan Dr. Mahathir Mohammad 1970-an tentang ras Melayu yang dianggap paling berhak secara historis untuk membangun kebudayaan Malaysia yang unggul.

Kampanye yang membawa Universitas Indonesia untuk membangun ruang pertemuan bagi bibit-bibit unggul sampai ke tingkatan mikrobiologis tentu punya sebab yang perlu diteliti secara antropologis. Hipotesa yang dapat diajukan adalah: pertama, UI dilekatkan pada mitos-mitos nasionalisme yang dibangun berdasarkan kualitas genetik. Studi-studi menunjukkan bahwa mitos keunggulan ras biasa diikuti oleh mitos senada yaitu sekterianisme. Dua hal di atas digunakan untuk memperteguh posisi kekuasaan. Mengapa UI dpercaya punya keunggulan genetik? Ini harus dijawab dengan hipotesa kedua: Terjadi perubahan fungsi-fungsi pedagogis untuk semakin adaptif terhadap tuntutan kapitalisme. Dulu, Ki Hadjar Dewantara membayangkan bahwa pedagogis itu bersifat kolektif dan sosial. Prestasi bukan berarti pintar sendirian dan meninggalkan yang lemah. Ketika Taman Siswa dibangun, tidak mungkin ada anak yang terlalu bodoh karena kawan-kawan dan gurunya yang lebih pandai memberikan ruang dan bantuan padanya. Kapitalisasi pendidikan berbeda 180 derajat. Orang yang pintar selalu berkumpul bersama yang pintar-pintar untuk saling berkompetisi untuk yang menjadi terpintar. Menjadi bibit unggul. Sebab buat apa mengeluarkan biaya ekstra untuk memintarkan orang yang bodoh?  Semua ini menunjukkan perubahan besar dalam ekologi pendidikan serta kehidupan akademik. Hipotesa ketiga dapat diajukan: Terjadi diskonektivitas (keterputusan) antara universitas dan kehidupan masyarakat. Universitas mencetak orang-orang pintar hanya untuk menjadi pengisi simbol-simbol populer tentang bangsa beradab. Mungkin universitas sudah lupa bahwa di masa 1960-an, seorang akademisi nyaris tidak dapat dibedakan dengan seorang aktivis. Mereka meyakini bahwa ilmunya dapat digunakan untuk menggerakan masyarakat untuk berubah menjadi lebih beradab dan manusiawi. Maka penelitian di masa lalu terkait dengan program-program “post-penelitian”, yaitu gerakan-gerakan “turba” (turun ke bawah) untuk memperbaiki masyarakat. Kini, penelitian dianggap selesai dalam bentuk laporan yang dipublikasikan. Lalu setelah itu, akademisi berjuang mencari beasiswa penelitian berikutnya. Kumpulan prestasi akademik itulah yang  kemudian dianggap membawa martabat bangsa. Meritokrasi diri sebagai akademisi yang patuh terhadap regulasi-regulasi Dikti, birokratisasi rapi dan transparansi dokumen keuangan penelitian, kemudian yang dianggap jadi produk unggulan.  Sementara pikiran-pikiran berdaya dobrak lebur dan luluh di dalamnya.

Kembali ke poster imut-imut di atas. Silahkan merayakan dan mencari jodoh bibit-bibit unggul dengan perkawinan silang a la Hukum Mendel tentang hereditas. Atau memakai metoda reklame biro jodoh. Lucu di mata mahasiswa baru, dan mendamaikan orangtua yang obsesif. Namun jangan biarkan fungsi universitas sebagai ruang penajaman logika, penanaman naluri kritis jadi arus kecil demi sebuah cita-cita nasionalisme kekanak-kanakan. Seharusnya anak UI mengerti.

Jakarta, 24 April 2016.

(catatan warna hijau: perbaikan redaksional seperlunya dilakukan tanpa mengubah isi).

Categories
essays

Negara versus Pikiran Jernih: Catatan untuk Belok Kiri Jalan Terus Festival

Gerakan sosial emansipatoris adalah agenda penting untuk dilakukan terus oleh warganegara.  Basis kebudayaan dapat selalu digunakan. Belok Kiri jalan terus. 

Kebudayaan adalah kumpulan strategi kolektif untuk berjuang bertahan, dan berkuasa. Kebudayaan digunakan sebagai pedoman yang disesuaikan kebutuhan untuk menyelesaikan persoalan-persoalan manusia melalui aksi-aksi tindakan. Maka gerakan sosial selalu menggunakan basis kebudayaan dalam bekerja. Termasuk juga penguasa (baca elite penyelenggara negara) menggunakan basis-basis kebudayaan untuk bertahan selama mungkin.

Bagi kita yang bukan penguasa, persoalan timbul jika basis-basis kebudayaan untuk gerakan sosial kosong. Maka gerakan sosial hari ini tercabut dari  referensi historis yang kuat untuk dapat berhasil, bertahan, berjuang dan berkuasa. Hari ini hanya sebagaian kecil dari kita yang masih terampil dan cekatan bergerak. Kebudayaan yang didominasi oleh cara-cara untuk patuh pada kekuasaan akan menyisakan ruang sempit bagi cara-cara untuk melawan, memprotes, mengkritik.  Orba memenuhi ruang kebudayaan dengan strategi-strategi mereka untuk menciptakan kepatuhan demi tujuan mempertahankan kekuasaan. Maka kebudayaan dalam persepsi Orde Baru adalah kumpulan nilai-nilai, tradisi, dan norma-norma yang menjunjung kepentingan kekuasaan mereka.

Orde Baru masih ada dan kuat. Basis-basis kebudayaannya mengakar dalam pemimpin-pemimpin muda sekarang. Berkecambah di tubuh-tubuh mahasiswa baru. Ciri-ciri kuatnya Orba dilihat dari patuhnya generasi muda terhadap nilai-nilai abstrak rekayasa rezim masa lalu. Mereka yang muda tapi pikirannya tua dan penyakitan. Cemas terhadap persoalan moral, merasa kurang religius dan gampang gemetar, takut terhadap masa depan. Hidup seperti zombie yang rajin meniru petuah-petuah tanpa mengunyah. Bicara seperti mesin fotokopi pamflet-pamflet abad lalu. Pikirannya jinak dalam kotak-kotak sempit double standard yang saling memusuhi. Dia jinak bertanya tapi hiperaktif memangsa. Predator!

Belok Kiri Jalan Terus Fest

Emansipatoris artinya membawa terang. Membawa keberanian dan harapan. Menjadikan takutnya sebagai bahan bakar untuk senantiasa berani. Emansipatoris artinya memperluas cakrawala dengan belajar dari masa lalu yang kelam. Menciptakan masa depan yang maju. Mengedepankan pikiran jernih, argumen yang penuh, serta rasa keadilan yang bening. Maka melawan ketidakadilan, kebodohan dan kejahatan adalah bagian dari semangat emansipatoris itu.

(Sesungguhnya) basis kultural Indonesia untuk maju sangat banyak. Sejarah sosialnya kaya dengan pertemuan pikiran, perdebatan ideologis, akumulasi pengetahuan. Karakter alaminya beragam secara budaya. Tengoklah sejarah gerakan progresif awal abad 20 yang progresif. Tapi hidup adalah perjuangan panjang. Negara masih dikuasai oleh replika-replika kolonial Belanda. Mereka berlindung dibalik undang-undang dan agama untuk mempertahankan kekuasaan dan memaafkan kejahatan. Melahirkan kader-kader yang penuh racun nasionalis-agamis. Mereka banyak tetapi tidak dapat berpikir kecuali memikirkan ketakutannya sendiri.

Jadi gerakan sosial emansipatoris pro-rakyat yang kita cita-citakan masih jauh. Sejarahnya berserak, pengetahuan kita terhadap pentingnya gerakan terpecah-belah. Orde Baru alergi terhadap solidaritas, konsolidasi, rapat akbar dan seterusnya. Demikian yang kita alami seperti juga pendahulu kita para perempuan dan laki-laki yang berani menentang struktur kolonial di awal abad. Juga mereka yang gugur dibantai rezim militer tahun 66. Kini struktur yang kita lawan jauh lebih pelik. Negara kini pandai menggunakan elemen-elemen masyarakat non-negara sebagai pion-pion di garda depan. Menggunakan simbol-simbol yang jauh lebih banyak dan brutal dalam menciptakan musuh-musuh baru dan melenyapkannya.  Banyak orang bilang ini negara gagal (sementara negara selalu merasa berhasil). Dalam kenyataan negara berpihak pada kejahatan terhadap konstitusi dengan ambil sikap masa bodoh. Gerakan sosial yang emansipatoris justru memeluk musuh-musuh itu sebab mereka adalah kategori ditindas dan dihajar hak-haknya konstitusionalnya sebagai warganegara – oleh negaranya sendiri.

Gerakan progresif masih harus berkembang dan membesar untuk mengancam kondisi-kondisi struktural jahat di masa kini dan masa depan. Basis-basis kultural dan historis berupa sejarah perlawanan terhadap ketidakadilan perlu digali terus dan disebarkan secara sistematis. Demi bangsa yang akan terang-benderang dan beradab, kita harus tetap bertahan, berjuang dan menepis takut demi hal yang benar.

Categories
quicknotes

requiescat in pace, professor!

Ben Anderson @ Jishu shrine, Kyoto, 30 April 2005 (Foto Dave Lumenta)
Ben Anderson @ Jishu shrine, Kyoto, 30 April 2005 (Foto Dave Lumenta)

Ben Anderson meninggal tadi pagi. Saya merasa senyap dan sedih. Ini catatan kecil mengenai bukunya yang mengganggu saya. Mau dimasukkan ke kategori buku politik terasa sangat antropologis, mau dimasukkan dalam sejarah terasa sangat ilmu politik, mau dimasukkan ke dalam lemari filsafat kok terasa sangat empirik. Ini buku klasik yang menarik dan penting.

Imagined Communities adalah buku teks pelajaran yang pertama kali kubaca dari halaman pertama sampai terakhir waktu jadi mahasiswa antropologi tahun 1995. Artinya 12 tahun setelah terbit. Itu prestasi karena stamina membacaku untuk baca buku antropologi sampai tuntas tergolong pas-pasan (gampang tidur).

Bukan berarti membacanya langsung paham. Layaknya mahasiswa kelas menengah dengan prestasi sedang dan bukan tipe pemberontak, Marxisme adalah benda asing. Maka membaca Ben Anderson adalah lompatan terlalu jauh. Ada bolong konseptual tentang pengertian paling esensiil dari konsep-konsep umum ‘kesadaran kelas’, ‘determinasi teknologi’, ‘relasi sosial produksi’, dll yang membuat saya membaca asyik tapi sesungguhnya tidak dalam kesadaran marxisme sebagai metode baca. Bagian menarik tentang bahasan novel Semarang Hitam, dan Rasa Merdika serta hubungannya dengan penerbitan suratkabar dan perkembangan jaringan kereta api hanya mampir di kepala sebagai cerita asyik. Ben memang pencerita ulung.

Bagian terpenting yang membuat “putus asa” adalah ketika dia menerangkan bagaimana konsep Imagined Communities dibangun. Bagian ini mengharuskan saya paham sumber lain yaitu ’10 tesis sejarah’ tulisan Walter Benjamin yang dikumpulkan dalam buku Illuminations. Benjamin menulis tentang waktu, tentang tragedi, tentang revolusi dan semuanya dilakukan dalam suasana murung (kelak saya mengerti kemurungan itu sebagai dampak psikologis dan psikiatris dari kapitalisme bagi seorang Yahudi yang dikejar-kejar Nazi). Di sana ada apa yang disebut homogenous empty time atau kira-kira waktu seragam non-linear yang rupanya menjadi tipe waktu yang bekerja dalam naskah-naskah epik dan kitab suci. Dan untuk paham maksudnya, maka harus membaca Dialogic Imaginations: Four Essays dari Mikhail Bakhtin karena di sana diterangkan bagaimana Benjamin meminjam cara-cara Bakhtin membedah fisika waktu dan ruang dalam cara bertutur orang-orang Eropa, untuk memahami sejarah asal-usul novel. Banyak sub-konsep yang menarik di sana misalnya: “answeribility” (cerita-cerita kuno selalu sebuah puzzle yang bertanya dan mampu menjawab sendiri), “chronotope” (bagaimana susunan ruang dan waktu disampaikan dalam sastra). Metafora atau analogi kritik sastra Bakhtin plus Benjamin di atas dirangkai menjadi konsep kunci Imagined Communities.

Jadi ini yang saya duga saya paham:

  1. Konsep bangsa, memiliki ruang dan waktu yang bekerja secara absolut. Bangsa hanya mungkin dibayangkan dalam masa kini secara aktual, tetapi pada saat yang sama mengundang arwah-arwah dari zaman purba seperti Majapahit, untuk melihat masa depan yang sudah dapat dipastikan (masa depan selalu abadi). Waktu bergerak seperti “menunggu” sang Messiah. Ruang pun demikian. Pengertian ruang bangsa adalah “sejauh mata memandang peta”, tidak ada awal dan akhir dalam merasakan sebuah kedaulatan.
  2. Ruang waktu absolut itu menyebar melalui teknologi dan kapitalisme cetak. Surat kabar memungkinkan waktu mengalami efek distorsi yang tidak terbayangkan sebelumnya oleh pembaca. Seseorang yang membaca koran jam 7 pagi masuk ke dalam petualangan bersama dengan pembaca-pembaca lain sesuai jumlah edisi yang terbit pada hari itu. Mereka tidak saling mengenal tapi membaca peristiwa yang terjadi dalam “ruang waktu bangsa” dari Sabang sampai Merauke selebar koran. Efek membaca adalah menciptakan khayalan (imajinasi) kolektif tentang Indonesia.
  3. Tragedi. Darah dan kematian adalah energi bagi bangsa untuk memupuk bayangan ruang dan waktu dengan cerita-cerita sentimental. Semakin brutal, maka bangsa semakin signifikan untuk ada. Darah siapa? Bukan darah raja-raja, melainkan pejuang-pejuang musuh para raja dan seringkali tidak bernama yang gugur. Anonimitas jasad itu penting.
  4. Communities, atau community? Apakah karena bangsa terdiri dari berbagai-bagai kelompok? Ketika menerangkan bangsa dia selalu pakai singular (imagined political community is sovereigned and inherently limited), tapi dalam menuliskan judul buku kok plural? Sejujurnya saya tidak tahu.

Memetakan Ben sebagai Marxist terlalu sederhana. Atau dengan kata lain seorang Marxist yang menjadi filsuf akan sangat sophisticated dibandingkan yang memilih jadi tentara merah atau ideolog-ideolog penyebar propaganda. Tentu saja Ben Anderson adalah peneliti, penulis, pemikir yang tidak dapat mudah dimasukkan ke dalam label-label di atas.

Sumbangan terbesar bagi antropologi adalah terbukannya studi-studi tentang bagaimana bangsa sebagai komunitas bekerja. Antropologi politik berkembang dan membuka diri kepada studi-studi bagaimana negara terbentuk, dan yang lebih penting bagaimana negara dirasakan hadir secara kultural. Bagaimana negara dialami dan diberi makna selayaknya seperti pemaknaan ketubuhan, kekerabatan yang sangat kental intim, namun berskala nasional.Buku Siam Mapped: A History of Geo-body of a Nation  karangan seorang murid: Thongchai Winichakul jadi buku etnografi klasik juga untuk melihat bagaimana imagned communities terbentuk melalui metafora tubuh bangsa dalam konteks “tubuh raja” di Thailand. Juga melalui Ben, pengertian kita tentang studi perbatasan negara terutama Asia Tenggara sebagai area kultural menjadi luas dan tajam. Terakhir adalah sumbangannya bagi para murid se-Asia dan dunia yang kemudian mengembangkan studi-studi koneksi kultural dalam konteks globalisasi.

Dua tahun lalu saya membeli bukunya Under the Three Flags di Manila. Cerita tentang ledakan pikiran-pikiran anarkisme ternyata tidak berpusat di Eropa dengan orang kulit putih sebagai detonator. Kaum Mestizo Filipina pada saat yang bersamaan dengan pemikir Eropa, keduanya memiliki radikalisme yang sama terhadap penindasan. Dia melihat itu sebagai fenomena anarkisme. Saya belum selesai membacanya, tetapi dapat melihat bahwa “Timur-Barat” itu dibuat dengan sangat menindas secara intelektual. Lalu teringatlah pada betapa keren internasionalisme di masa lalu. Tokoh-tokoh “dunia ketiga” benar-benar sangat percaya diri dan melawan dengan berani mati. Bukan sebagai hamba yang melawan, tetapi intenationalist-anarchists yang berpikir bebas lepas merdeka.

Indonesia adalah bumi lahirnya bayi teori-teori penting humaniora kelas dunia. Seorang ibu teori penting telah berpulang.

Selamat jalan Indonesianist, Anarchist, Marxist, Libertarian.

Semangatmu selalu tumbuh di hati.

13 Desember 2015

Tambahan catatan dari keluarga:
Iwan, Ayah juga sangat sedih dan terharu dg meninggalnya Ben Anderson, dia orang yg banyak sekali memberikan perhatian untuk Indonesia. Ayah masih teringat 51 tahun yg lalu, ketika dia datang kepesta selamatan lulusnya studi Ayah di Senirupa ITB dirumah Prof Sumardja, bersama Ruth Mc Vey dan Daniel Lev, pada th 1964, Walaupun sejak ituntidak pernah bertemu lagi. Semoga dia menemukan Rest in Peace dan buku2 pikirannya nasih tetap terus berguna utk dunia pengetahuan di Indonesia dan dunia.
Wan , Ayah sudah baca kedua tulisan Iwan, dan Ayah senang sekali, teutama tulisan Dampak........, ekselen. Salam.
Sent from my iPhone
Dear Iwan,

Thanks for sending me this sad news.  I met Ben once at Cornell, he was quite kind, and his scholarship has touched so many of us.  We will miss him, but I feel comofted that he passe away in his sleep, and in Java, whcih he loved so much.

Big hugs to you and the whole family
K
Kenneth M. George
Categories
essays

Tuan Presiden, rakyat hanya ingin bahagia

”Saya menolak memaksa mahasiswa untuk membayar lebih banyak atau menghapus tunjangan kesehatan orang miskin, cacat, dan berusia lanjut, dan terus akan menolak pemotongan pajak untuk orang-orang yang kaya.”

Kutipan di atas adalah pidato penerimaan Presiden Obama untuk ikut kembali dalam pemilihan periode empat tahun ke depan dalam Konvensi Demokrat 2012, Kamis tanggal 6 September lalu. Katanya lagi, ”Selama saya jadi presiden, saya takkan pernah minta kepada keluarga kelas menengah untuk membayar pajak lebih besar hanya semata-mata untuk membantu orang kaya membayar kewajiban pajak mereka! Kenapa begitu? Sebab itu bukan Amerika yang kita mau!”

Pidato Obama menggetarkan bukan karena menggunakan bahasa biasa, matematika biasa, dan logika yang gampang dicerna. Dia tahu apa yang harus dikatakan dan yang tidak.

Menggetarkan karena dia meyakinkan rakyat pemilihnya bahwa Amerika bisa berubah ke arah yang lebih baik. Dia tunjukkan rutenya lewat program-program yang paling mendasar: kepastian tentang keadilan sosial yang bisa dilalui bersama. Menggetarkan karena dia hangat, bersemangat, dan merangkul pendengarnya.

Menyaksikan Obama bicara 39 menit menukik ke persoalan paling penting, yaitu kewarganegaraan, kepala penuh dengan pertanyaan sederhana: apakah saya sudah merasa dilindungi di negara sendiri? Apakah presiden saya sudah melindungi saya seperti bapak melindungi anak-anaknya? Apakah dia memikirkan saya yang berpenghasilan pas-pasan dengan pengeluaran terlalu banyak? Apakah dia memikirkan dana pensiun rakyat? Apakah dia resah dan berdoa untuk keselamatan rakyatnya yang 200 juta lebih? Apakah UUD 1945 digunakannya untuk melindungi hak-hak dasar saya?

Saya tidak yakin. Raut wajah presiden terlalu muram di depan publik dan malah cenderung pemarah. Mungkin dia bahagia ketika mencipta lagu, tetapi rakyat tidak butuh itu. Saya membutuhkan pemimpin yang memberikan harapan bahwa bahagia itu tak terlalu jauh di depan mata. Saya butuh presiden yang bisa membangkitkan harga diri. Bukan dengan monolog mitos-mitos romantis bangsa besar, bukan dengan pencapaian statistik, bukan dengan instruksi-instruksi moralitas di depan TV, tetapi presiden yang bisa memahami perasaan rakyat yang terlalu lama menunggu perbaikan nasib setelah 67 tahun merdeka.

Tentu saja Indonesia tak sama dengan Amerika. Namun, kesamaan mendasar sebagai negara modern pasti ada. Sama-sama percaya pada demokrasi walau dikuasai korporasi, kerepotan dengan utang dan jumlah pengangguran rakyat tinggi, serta diancam oleh terorisme. Bahkan, secara kultural ada miripnya: sama- sama religius, fobia komunisme, dan secara alamiah multietnis. Kita sama-sama jatuh-bangun, sakit, dan terancam oleh ”musuh” dari luar dan dari dalam.

Bedanya, Amerika berusaha sembuh dan bangkit: kita tidak! Bedanya, Amerika tidak membiarkan rakyatnya berjuang sendirian. Kita semua tahu presiden bukanlah Superman, tetapi setidaknya dia harus terbiasa menepuk-nepuk punggung rakyatnya agar rileks menghadapi kehidupan keras.

Kewarganegaraan

Perasaan kebangsaan berawal dari mitos-mitos heroik revolusioner. Namun itu tidak kekal. Nasionalisme sesungguhnya harus dipelihara dari perlakuan baik negara kepada rakyatnya. Maka, kewarganegaraan ini apa artinya jika tidak ditunjang dengan pelayanan publik? Ke mana pajak yang dibayar itu, apakah dikembalikan dalam bentuk pelayanan dan pemberian rasa aman?

Apa yang hilang dari Indonesia adalah rasa aman sebagai warga negara. Dalam hal ini, rakyat sudah berada dalam kondisi bahaya. Kita bisa dibunuh karena kebebasan beragama, mati di jalan karena hukum rimba lalu lintas, kelaparan karena uang belanja habis, atau tidak ada uang berobat. Bahkan, kita mungkin saja dihilangkan karena terlalu galak kepada negara. Keamanan satu-satunya tersisa dalam lingkup kecil keluarga, kerabat, dan tetangga, itu pun jika ada. Keluarga adalah teritori hangat yang tak butuh negara dan presiden.

Mungkin presiden saya tertekan oleh banyak beban sejarahnya sendiri. Dia terpilih karena koalisi-koalisi dan lobi-lobi yang membuat posisinya sulit. Mungkin dia punya ”masalah kebudayaan sendiri” karena harus memihak patron politik serta keluarganya sebagai balas budi dan sopan santun. Mungkin dia takut dibunuh oleh organisasi teroris seperti yang pernah diakuinya di televisi. Jangan-jangan presiden merasa sendirian juga ketika menuju ke puncak kekuasaan sehingga tidak perlu memandang pada tangan-tangan rakyat yang membawanya ke puncak itu. Saya hanya menduga.

Maka, saya butuh presiden baru yang tak punya beban-beban yang membuatnya tersandung. Orang jujur yang membuka sejarah diri dan bangsanya kepada publik. Seorang figur yang cepat minta maaf jika melakukan salah atau meleset dalam menjalankan program. Presiden yang berani memihak pada kebenaran sekalipun mengancam kredibilitas. Seorang presiden yang mencintai dan menegakkan hak asasi manusia tanpa pandang bulu, yang malu terhadap korupsi, dan yang yakin untuk memulai segala hal dari kejujuran yang bersih. Juga bukan bagian dari masalah kronis Indonesia. Ya, seseorang yang membuat saya bahagia.

Categories
papers

Searching for Malay Identity: Understanding the dynamics of becoming Malay in contemporary East Malaysia

Abstract
This paper illustrates the issue in defining Malay identity in the context of cultural relation between Indonesia and Malaysia. As ethnical category, Malay-ness is shared by numerous groups across Malaysia, Singapore, Borneo and Sumatra as well as Eastern Indonesia, referring to language and religion attributes which is Malay for language and Islam for religion. However, since Malay culture has been ‘selected’ as a part for promoting the hegemony of Malaysian national identity, the term Malay has consequently shifted from cultural to political identity. If nation is portrayed as a collective imagined community which represents unity and fixity, what Indonesian possibly imagines about Malaysia and Malaysian is referred to its single-face identity as Muslim-Malay state, which is obviously constructed through over generalisation and stereotyping. As prove, the Ambalat dispute and repatriation policy has provoked bitter reaction in which Malaysia is portrayed as arrogant and intolerant, narrow, puritan, closed and exclusive. Not many Indonesian knows that Eastern Malaysia (Sarawak and Sabah) has close cultural and historical ties to Indonesia due to the same geographical location (Borneo), demographic and ethnic composition. This research investigates that Malay identity for Malaysia is still in the process of becoming and contesting, particularly in the context of Eastern Malaysia with not ‘very Malay’ in nature. This research is done to promote a bridge of understanding between two neighbouring states, rather than to intensify the state of ‘conflict’ between Indonesia and Malaysia. Data was mainly gathered through intensive interviews in Sabah and Sarawak, March-April 2005.

Keywords: identity construction, narrative, nationalism

THEORETICAL FRAMEWORK
Globalisation, migration
The discourse of globalization and localization has been widely explored since the early 1990s. Globalization stands for the emergence a world economy, a world polity, and perhaps a world culture, in short, for the emergence of a world society in the widest sense of them (Giddens, 1991). Localization stands for the rise of localized, culturally defined identities, sometimes within, sometime transcending, the boundaries of a state (Kloos, 1991). In the dialectical nature of globalization and localization, the problems of identities emerge as an important theme. How do social, political and economic relations in certain countries influence the identity formation amongst migrant communities? In other words, how do the dynamic relations between state, society and market construct and deconstruct migrant identities? It is important to formulate discourses on migration theories in the context of globalization’s divergent effects. The Southeast Asian context, where cultural and nation-state boundaries have not always intersected in a neatly fashion and globalization’s divergent effects are dynamically at work, is a significant starting point in characterizing migration dynamics and migrant identities and finding new discourses for migration theories. Many scientists believe that international and internal migration are part of the same process, they should be analysed together. Many cases show that international migration may be over short distances and between culturally similar people such as between the Southern Philippines and Sabah in Malaysia, while internal migration can span great distances and bring together very different people (e.g. movements of Ulgar ‘national minority’ people from the western provinces of China to cities in the East) (Castells, 2000: 270).
Migration is not a new phenomenon in the annals of human history, particularly in the Southeast Asian context. In the context of contemporary Southeast Asia, issues of human migrations have increasingly gained attention. The post-colonial creation of nation-states and the impact of free-flow capital driven by global economic movement (liberalization) had led to various economic disparities and inequality relations between various nation-states. However, as most Southeast Asian nation-state boundaries are basically colonial creations, the national, cultural, political and economic boundaries never really intersect in a neatly fashion. This is complicating the analysis of human migration, as current transnational mobility is not always purely driven by economic factors alone. Some movements are culturally driven, others might be related to the ambivalent partition of communities into different nation-states creating ‘transnational’ homelands, some are driven by repression on minorities falling victim to nation-state projects. In the discourse of International Relations, international migration is categorized as transnational activity, which is defined by Keohane and Nye (1972) as the movement of information, money, physical objects, people or other tangible or intangible items across state boundaries, when at least one of the actors involved in this movement is non-governmental (see also Basch, Schiller, and Szanton, 1994, and Bali 2001).

Culture, Place, Space and Identity
As noted by Kalb and Van Der Land (2000), culture is deeply and thoroughly implicated in the social shifts associated with international migrations, and it is so in multiples and manifold ways. In the heart of the cultural body, the problem of identity is of central importance to understand deeply the nature of migrant communities in several parts of the world. Place and space are, of course, constituted by sedimented social structures and cultural practices. Sensing and moving are not presocial; the lived body is the result of habitual cultural and social processes. This means recognizing that place, body, and environment integrate with each other; that places gather things, thoughts, and memories in particular configurations; and that place, more an event than a thing, is characterized by openness rather than by a unitary self-identity. Space and cultural identity are intertwined and the ‘disruption’ of the space configuration will disturb the embedded configuration of existing cultural identity. (Escobar, 2001: 142).Parallel with the migrant cultural identities, migration simultaneously affects migrant’s configuration of identity since the ties between culture and space are put into question. Anthropologically, the sense of location, place and belonging of migrants are always in the process of reconceptualization following their recurrent mobility. Here the focus is on the relation between identity, place and power-between “placemaking” and “peoplemaking” where locality and community cease to be obvious, and certainly not inhabited by rooted or natural identities but very much produced by complex relations of culture and power that go well beyond local bounds. (Gupta & Ferguson, 1997). The task of anthropology becomes to recover the bodily, place-based, and practical aspects of social life (Escobar, 2001: 150) and to certain extent requestioning what Ferguson and Gupta called as “isomorphism” of place, culture, and space which has already taken for granted (Gupta & Ferguson, 1999: 66). Here we deal with “sensing the place”, perception, and experience of place and the local constructions of particular localities as something which are continously constructed, contested and given multiple meanings. We learnt that it has become axiomatic today, owing to Fredrik Barth’s seminal social constructionist framework in examining identity formation, to view the process of identity construction as being contingent, dynamic, responsive, permutable, and constantly reconstructed or reinvented. (e.g. Barth 1969; Clifford 1988; Gupta and Ferguson 2002; Jenkins 1997), as well as being constructed in webs of subjectivities and narrative processes where it is assumed that, “social action can only be intelligible if we recognize that people are guided to act by the relationships in which they are embedded.” (Somers and Gibson 1994).

Lastly, there are two kinds of identity, identity as being (which offers a sense of unity and commonality) and identity as becoming (or a process of identification, which shows the discontinuity in our identity formation.). The first position defines cultural identity as something fixed, shared among members with an essential past as a point of reference. Within this term, cultural identities not only reflect common historical experiences and shared cultural codes, but also assume that culture and identity are stable, pre-given and unchanging (Hall, 1994: 393). The second position characterizes identity as something fluid and emerging. The historical past is not regarded as an absolute reference, and needs to be rediscovered and is waiting to be found, but rather as a source of retelling to produce identity in the context of present . Moreover, a constant transformation of cultural identities brings two significant consequences. First, cultural identities are actively constructed not only through a set of relations between powers, but also through its relation to the Other. Not only, in Said’s ‘Orientalist’ sense, were we constructed as different and other within the categories of knowledge of the West by those regimes, but also they had the power to make us see and experience ourselves as the Other. Secondly, cultural identities are seen as unstable points of identification which are made within the discourses of history and culture. Not an essence but a positioning which is unifying us through difference.

Identity is realised through language as a process that we do rather than something that we are, and however it needs to be articulated (and represented). Gramsci described this articulation as ‘the starting point of critical elaboration’: it is the consciousness of what one really is, and in ‘knowing thyself’ as a product of the historical process to date which has deposited an infinity of traces, without leaving an inventory’. Identity marks the conjuncture of our past with the social, cultural and economic relations we live within. ‘Each invididual is the synthesis not only of existing relations but of the history of these relations. Individual as a historical subject is a precis of the past (Rutherford, 1990: 19). Since it articulates or speaks through language, the construction of identity takes form of narrativity, or mode of telling. It is, either, processual and relational which time, place, and space are embedded within. In other words, we can, first, understand that the actual event of telling experience through stories cannot be separated from time and spatial relationships. Secondly, the articulation of identities through narrative is a kind of action which performed in specific diachronic context where either speakers or storytellers (performers) are temporarily beginning his/her presencing as well setting their social positions. It is within these temporal and multi-layered narratives that identities are formed; hence narrative identity is processual and relational (Somers and Gibson 1994: 58-67). Since the nature of time is narratively structured through language, the analysis of time as a linear series of “nows” hides the true constitution of time, or in other words, he makes a distinction between linear time (historical) and the way time is experienced (human time) in what he calls as “within-time-ness” (Ricoeur, 1981:166). Historical time becomes human time “to the extent that it is articulated through a narrative mode, and narrative attains its full significance when it becomes a condition of temporal existence (Ricoeur, 1984:52). History (in terms of scientific and objective study) is different from story. Ricoeur opposes this anti-narrative approach and proposes the way to understand history and time by stressing the importance of re-telling history, rather than historical accuracy. In this sense, history can be fictional using various forms of expression like oral history. Narratives combine fact and fiction. Narrative identity occupies a central position between historical narratives and narratives of literary fiction. Moreover, the cross interplay of these two types of narratives is the mode of how narratives are articulated (Ricoeur 1987, 244-9, Johnson, 2003:120).

Addressing Issues
The issue of migrant workers has long been a key for Indonesia-Malaysia diplomatic relations and in the last three years, this problem had caused a tension between both states. The intensity of the issue itself had drastically increased during the financial crisis of 1997. In the mid December 1997, over 6,000 illegal migrant workers were detained by the Malaysian immigration authority. Throughout 1997, the Malaysian government had deported over 38,500 Indonesian illegal migrant workers, followed by another trend in 1998, whereas the number held another increase. From January to April, the figure was around 30,000, and followed by a greater number in August, reaching around 200,000 workers. In the year 2001 Malaysian authorities continued to deport over 1,600 illegal workers, followed with the handling issue of Nunukan a year later. At this period, over 450.000 Indonesian illegal migrant workers were put in Nunukan, East Kalimantan in their massive deportation process.
In the Malaysian context, many studies on migrant workers have been conducted with political economic approaches, by highlighting the attractiveness of Malaysian economy and some push factors from the countries of origin (See, for instance, Hj. Johari and Goddos, 2001; Hollifield, 2000; Pillai, 1999). However, the reality of Sabah & Sarawak is often forgotten in the context of international migration studies even though it has the largest number of foreign migrants especially from Phillipines and Indonesia.

During first week of our field working, the relation between Indonesia and Malaysia is worsening by Ambalat dispute. Malaysia claims the sea, which according to Indonesian nautical border law is part of its sovereignty. Since Malaysia has not ratified United Nations Conference on Law of Sea (UNCLOS) they started to drill for oil in this region, which very near to Sabah. Interesting to see how most Indonesian is psychologically affected by this incident by rallying political protest against Malaysia and even some of protestors burnt Malaysian flag in front of its embassy in Jakarta; while Sabahan and Sarawakian (Eastern Malaysian) are not easily get provoked. Why? There is a different perspective to see this problem for both Malaysia and Indonesia. For Indonesian, the sovereignty is mostly understood in terms of national dignity, a psychological and ideological so it seems. While for Malaysian, they see this as mainly diplomatic disagreement between two governments.

I feel ashamed to admit that most Indonesian including me shares the popular belief that every Malaysian citizens (by omitting China and India) are “culturally Malay” and this is surely misguiding. When Indonesian think of the word “Malaysia” we refer to a whole group of Malay people which 100 per cent Muslim as we thought equally the same as the ethnic Malay (orang Melayu) in Riau, Sumatera Island. The only difference is that they are Malay people who run their own country. As a “postscript” we tend to believe that the Malay culture predominates the West and and East Malaysia as we jump into conclusion that Brunei Kingdom is also very Malay and Muslim. In contrast, when Indonesian hears the word “dayak”, they refer to Kalimantan (Indonesian Borneo) with combination of pagan attributes and Christianity. In short we are misguided by stereotypical vision that Kalimantan and Borneo are so ideologically different as a result of different nationalities and history. What we know about ourselves and others is “isolated” by lack of information, stereotyping, and racism. Most of anthropological research that has been conducted in Indonesia for more than fifty years was basically framed by assuming that, by definition, indigenous people are equally the same in meaning with ‘isolated communities’. They are seen as asymmetrical with the modern progress, and imagined as an anti-thesis of modernity, as Koentjaraningrat, the founding father of Indonesian anthropology, a Javanese notable scholar exemplifies (Koentjaraningrat, 1993: 28):

“…[isolated communities are] communities that are isolated with limited capacities of communication with other communities that are more developed, the nature of which is that they are getting behind and staying behind in the process of developing life economically, politically, psychologically, culturally, religiously and ideologically…”

However, the isolation that is spoken of in Koentjaraningrat’s definition should therefore not be understood only as geographical isolation, but also the isolation from the Indonesian cultural main narrative, although isolated groups do not experience this as such. I believe this is the root of the problem which can be solved by promoting more critical way of thinking about social identities, identity politics and local history to create a bridge of understanding. In fact, for the case of Sarawak and Sabah, who joined later in Malaysia in 1963, a historical and cultural connection to Indonesia is inevitable. Sarawakian with more or less 30 percent population of Iban and Kenyah (sub-categories of Dayak ) people has been upholding family or kinship with Indonesian (Kalimantan Borneo) Iban and Kenyah long before the presence of modern nation: Indonesia-Malaysia.

The complexity of Sabah and Sarawak can be “summarised” by showing these figures as a wide picture :

  • Sarawak has 42.6 per cent of Christian population adherenced by Dayak and Chinese, while Islam as the religion of Malay is 31.3 per cent. This portrays a sheer difference of political and cultural aspiration comparing to all districts in Malaysia peninsula where Muslim average percentage is 65.36 per cent for each district and undoubtedly Malay race).
  • Sabah has 23.6 per cent non-Malaysian citizen and half of it is Bugis migrants from Indonesia.

The ‘ragged’ relationship between East and West Malaysia is often articulated in daily conversation with them. Malay ethnic is portrait as ‘different’ since they are historically control the rest of Malaysia ‘from a far’. Malay ethnic is also self-evidently Muslim which does not fit with present-day Sarawak and Sabah realities. The Ambalat incident is not significant enough to boost the national sentiments for Sabahans and Sarawakians to go against Indonesian protesting who were broadcasted in national television.

A sense of belonging to Indonesia is a matter of horizontal comradeship which works beyond politics and ethnicity. We often heard that Sarawakian Kenyah are familiar to the illegal migrants from Bugis, Jawa, Tator (Tana Toraja, South Sulawesi) and Sambas (Indonesian) which regularly ask for protection each time they are raided by Malaysian immigration police. Again this is identity that matters. But how this operates? On the journey to upriver Baram to find Indonesian irregular migrants, we settled at Long Mekaba village, one of the most remote Kenyah settlements in Sarawak. This is an entry point to Jerenai (Camp E) logging camp where many undocumented Indonesian working as timber worker, found on the bank of Silat’s river. Many of Kenyah elder in Long Mekaba originally came from Long Nawang (Indonesia) and they are helpful for illegal workers (including ‘non-Dayak’) from Indonesia. Tracing back to their oral histories, evidently migration plays a significant part in their historical identities. Long Mekaba has long historical and cultural relationship with Long Nawang (Apo Kayan region in East Kalimantan, Indonesia) and both shared common geographical origin that is Usun Apau area, now is part of Sarawak, Malaysia . At the early of 19th century, they originally lived there as single community until they moved and split into two directions. One migrated to Apo Kayan basin at East Kalimantan and became the origin of Long Nawang, the other moved to upriver Baram river at Sarawak and founded Long Mekaba. The reason beyond migration and splitting was mainly caused by avoiding conflict between Kenyah and Iban .

Borneo was once a fluid space even when Dutch and British government agreed to mark the land which at present becomes international border between Malaysia and Indonesia. Long journeys to Sarawak, Brunei, and Dutch Borneo (Kalimantan) back forth are carried out by Iban and Dayak as part of their rites of passage and economic activities to seek either social or economic advantages. For Kenyah, peselai is performed by males as they followed their destiny. Literally means ‘to walk’, peselai metaphorically can be seen as ‘opening the door’ which take months and years of voyage of experience in achieving identity. Crossing over borders, cruising numerous rivers, living in the camps, facing different cultures, upholding allies and confronting enemies, continuous living and get killed were matter of fates. However once the door was open the horizon gets wider. Kenyah in Sarawak was historically maintained relationship with official government and developed mutual relationship as trader and this experience provide much chance to learn about outside world. The historical transition from colonial era to a new nation state however had a greater impact. This is the first event when nation-state as a political community ruled by the state was imposed to them. International border became a recent reality and experience and it promoted the ‘the much larger community’ which extend their understanding of geographical space, ethnic composition, and of course, identity formation. Many of elder Kenyah were recruited to join the Indonesian army during Confrontation Era (1963-1965).

Our informants G:

I was at Indonesian’s side back to 1963 because I was born in Nawang Baru, Indonesia and I was recruited as sukarelawan (volunteer) to defend Long Jawe from the enemy as commanded by Jauhari and President Sukarno. Those who joined the army, probably 4,500 of Kenyahs had no rifle. We were so proud and I still could remember the song: “Pasukan TNKU (Tentara Nasional Kalimantan Utara) samber nyawa, sampai Sabah-Sarawak telah bersatu, pasukan TNKU samber nyawa” [roughly translated: National Army of North Kalimantan will sudden takes one’s life up to Sabah-Sarawak unite].

Interested to hear how informant bluntly saying that he, by today Indonesian standard, was politically stigmatized as a communist supporter: “I was a PKI because I helped, or get involved with Sukarno and Jauhari [probably Syekh Azhari] from Brunei and 4,500 fellow Kenyah recruitments.” But put his confession on early 60s context, communist or not, that statement points to his thick sentiment towards Indonesia as he vaguely remember the lines joyful and pride:

“…Negara Indonesia berjaya, bersatu pertahankan Indonesia melambangkan Negara (sic!)…Kami dari Indonesia, bukan Indonesia punya tentara, tapi TNKU…” [ great Indonesia, be united and defend your state.]

His destiny to become Malaysian Kenyah somehow scares him to think back that he was-by historical accident-positioned as Indonesian enemy. But his 1970s ‘ peselai from Long Nawang (Indonesia) to Long Mekaba (Sarawak, Malaysia) created his new shelter which serving as a place of safety if not a sanctuary. His deep horizontal comradeship with fellow Indonesian is proven by his service and treatment to every illegal worker from Indonesia (mostly Javanese, Tator, and Bugis). Common troubles for Indon workers are difficulties to get insurance, pay the doctors, outdated documents and paperless. Nationality (or should we say nationhood) takes form as emotional sentiments rather than officially inscribed on papers. Here the ‘nationhood’ is not only defined by formal status and citizenship (suchlike every Malaysian is Malaysian passport holding) and a sense of common historical and geographical origin (Indonesian Kenyah and Sarawakian Kenyah), but also encompassed by the imposition of national identity through historic moments. This explains why as remotest villager in Sarawak with limited access to Indonesia can be so familiar and helpful to their new friends: Indonesian illegal workers.

The connection to Indonesia is also maintained through language which shares a similar dialect and vocabularies with present-day Indonesian language . While the way of using Malay language in peninsula has been continually changing and becoming different from Indonesian Malay (Bahasa Indonesia) today, Long Mekaba people speaks entirely the same as Indonesian. This is obviously noticeable by me, as native Indonesian speaker who surely would find Malay peninsular way of speaking as simply hard to be understood. The S.I.B. protestant church in Long Mekaba uses “a very Indonesian” in both grammar and vocabularies since they use the same translated bible.

Specific Notes on Sabah Case
In the context of Sabah, the official ‘Malay-ization’ of migrant workers defies the commonly practiced ‘foreign-ization’ of migrants in other parts of Malaysia or other recipient countries of foreign labour. The presence of Bugis migrants presents a unique and rare situation where migrants play a vital part in to consolidate the national identity. As mentioned before, this is partly caused by their adherence to Islam as the religion of the Malay majority represented by UMNO which for a long-time has dominated Malaysian national politics notably in West Malaysia or ‘peninsular Malaysia’. In contrast, East Malaysia (Sarawak and Sabah located in Borneo) provides a more fluid picture. The relationship between the migrant and native populations is more liquid, and the distinctions among them often blurred because of geographical nearness, common historic experiences, and ethnic compositions. According Pelras (1996: 319-320), the rational motive behind the Bugis migration cannot be understood through a simply economic ‘push and pulling’ factors. The resolution of personal conflicts, political insecurity or the wish to escape either unsatisfactory social conditions or undesirable repercussions of an act of violence committed at home were playing a major causal for migration. This is however related to Bugis ‘cultural values’ locally called as siri, equally means to ‘dignity’ for male and his family as a matter of life and death. One is socially obliged to defend his self and family’ siri especially in case of land, women and local struggling for political achievement which lose or win are part of the social risk. Loss sometimes can only be redress by moving away to different place for years. Migration then can be seen as permanently moving away and developing new strategies of living at the new homelands. Generally Bugis migrants will choose a new homeland by four characteristics: low dense population, located at coastal area to make them easier to “domineers” the coastal line, wet or swamp area so it possible for rice cultivation, and has easy access to seaports. These abovementioned criterions signify the basic character of trader as expansive trader (Pelras, 1996, Acciaioli, 1998). But also, Bugis migrants are well-known as adaptive Muslim hard workers who share the Malay culture. Sabah has been seen as the new land of opportunities for Bugis long before the creation of Malaysia in 1963. It was stated on a book published by PERKISA (Indonesian Bugis organization in Sabah), that according to Islamic values of Khafillah, means ‘leader’, it is an obligatory for Bugis to go on journey and opening new lands as it is inscribed in Al-Qur’an that every Muslim should be a leader on Earth (Perkisa, 1995: ? )
The demographic composition in Sabah has to be explained by focusing on the dynamics of transnational migration between neighbouring countries since the British colonization era. If we look back to Sabah political economic history, the large wave of migration from Indonesia marked the colour of this state’s history. During the early development of Sabah under the British North Borneo Company (BNBC), most of the Javanese were forcefully recruited and placed to open the land and work in the rubber plantations as well as constructions (Kaur, 2004: 89). Nowadays, we can still find communities in Sabah who apparently Javanese descendants in some part of Sabah.

The mass recruitment of Javanese labour migrant into Sabah by the company was on the year of 1907. Although according to 1891 population census in Sabah, there were already 962 Javanese people living in Sabah. Between 1907 until 1931 (when the recruitment process were stopped) the total population of the Javanese in Sabah was around 10.000 worker, which account 42 percent of total 33,4 percent population of migrant worker that had been employed in the plantation sector (Haba et. al, 2002: 30). The migrant worker that had not gone back to their ‘homeland’ after finishing the 3 years contracts stay would automatically be a Sabahan.

After the World War II, between 1950s, Sabah again becomes the destination of migrant worker to get a better life. Indonesian migrant worker (mostly Bugis), Javanese and Timorese again entering Sabah using the traditional sea route via the harbour city of Tawau. What makes this era different from the previous era is most of the migrant worker went Sabah on their own initiative to see Sabah as a land of opportunities. Most of them work in the logging and plantation sectors. Most of this migrant succeeded in gaining their Malaysian citizenship (Haba et.al, 2002). This then made Sabah to be called the land of migrant workers, where identity and citizenship as only a matter to gain a better life. Although they were historically came to Malaysia peninsula and elsewhere in Southeast Asia, the largest wave of migration happened during the 1970s when the Malaysian government supporting the migrant worker from around the region (mostly from Indonesia, specifically Bugis) to be the backbone of early development in Sabah. At that time many Malaysian peninsular workers (Malay people) who were firstly recruited to work in Sabah as rubber planter and plantation worker refused to continue their job due to harsh environment of Sabah. Government had no choice except to open new recruitment to neighbouring country, anybody who fit the character of Malay people (Ongkili, 1972). The plausible preference is Bugis and Javanese who are Muslim and compatible with Malaysian politics to create Muslim “buffer state” at the final frontier of its Malay Kingdom.

This policy of ‘importing’ a migrant worker into Sabah from the neighbouring country was more stressed during the early rise of Mahathir as Prime Minister. In Mahathir plan, Sabah will support the Malaysian industrialization plan by providing their raw material to the peninsular. To do so, realizing the shortage of labour in Sabah, importation of ‘low class migrant’ is the short cut. This large wave of migration is also used by the Malaysian government to add their Malay constituency in Sabah, by giving an easy process of becoming a Malaysian citizenship for the migrant communities. According to the early research, based on the population census in Sabah in the early 1990s, one third of Sabah’s population is based on migrant workers (Uesugi, 1998 cf Haba, 2002).
What matters today is the changing context of Malaysian political view on migrant policies. Migrants are seen as problematic due to the increasing criminal rate. Malaysian (mostly peninsular) media point their finger at Indonesian migrants and labelling them as “indon” worker, a disturbing predicate for every Indonesian live in their homeland. However, in Sabah and Sarawak, on the local level, the term “indon” does not degrading Indonesian migrant’s dignity as for them “indon” is commonly used as shortcuts for Indonesian people (orang Indonesia). Interesting to see how Kadazan people who claiming themselves as the native people of Sabah portrays Indonesian migrant as their good partner since they work harder than any Malay from peninsula. As stated by my informant ( I):
If I am being asked about my impression towards orang Indon, I would say that they speak better (halus) than Kadazan or Sabahan. Indon speaks so polite and poetic, not like us. Often we use the term “Kau” while Indon prefer “kamu”. Also Indon works harder than peninsular Malay who only works for money. We have three cooks here from Java and as you see they are good at cooking.

This is also true for Muslim Kadazan (or Dusun people) who still refuse to be called Malay, feel their existence as “The Other” of Malay peninsular and disagree with repatriation policy for illegal Indonesian migrants since they knew the first developer of Sabah was Indonesian who had been working very hard over generations.
Finally, the most puzzling question is to define Malay identity itself which is ambivalent. On the one hand, the Malay identity purely refers to Islam since all of Malay people embrace Islam. In speaking of the meaning of Malay, a Muslim Kadazan once said:
If I am being asked Am I Malay? My response will be like this: You cannot Malay-nised (Memelayukan) me only because we speak the same Malay and we both Muslim. For me, there is nothing important in Malay culture and I always have no interest in their culture. I am a Kadazan and I am worried that soon Kadazan children speak the language through dictionary. I want the children to be modern and scientific, but they must not forget where they come from.
This is the dominant discourse of politics-religion on the eyes of Peninsular Malay. On the other hand, in Sabah, especially for Kadazan Muslim (Dusun), their being-ness as Muslim does not correspond with their “Malay-ness” since for Kadazan Muslim, Malay also refers to an orthodoxy and aristocracy, a ruler capacity which they do not have . Consequently, instead of being “othered” they prefer to exclude Malay category as the Other for them. Malay is just an outsider Muslim who ideally lives in peninsula. However, further investigation indicates that their identification with Malay is inevitably or even ambiguous. If they are being asked about the history of Sabah and its people, they can only explain it through peninsular perspective of becoming Malaysian, which is very Malay and parallel with Mahathir concept of “ideal Malay” and Malay nationalism. My informant explained:
Have you ever heard Hang Tuah? He was our famous hero, once he sworn that no Malay ever perish from this earth. He was true, we should not be perished and let ourselves drifted away, becoming a too western minded. That I would call as charismatic spirit, a sort of identity… we should not talk about this, but Sabahan had been living in a very difficult way for 15 years when PBS ruled, because [lowering his voice] there were no development until UMNO came here.
The presence of Malay-based peninsular party (UMNO) since 1994 signifies the continuing effort of Kuala Lumpur to embrace the non-Malay bumiputera as as new political partner. However, for Muslim Kadazan, being a Malaysian does not automatically fit them as the member of Malay culture and politics . If we imagine that identity is constructed in sediment layers, it seems that the essence of Malay-ness lies on wobble ground and make them ceaselessly inconsistent. It negates as well embraces, reformulates in their narrative articulations. Example, The peninsular project of endorsing national sentiments slowly penetrates and be accepted hegemonically as illustrates here when he was asked about Ambalat case: “we have border, but I know that oil does not spread along the tiny lines, so why Indonesia has to drill in our territory?” Hegemony works through media, of course, interesting to see how informant represents Malaysian phobia towards political freedom in Indonesia: “…I can not understand your people, who speaks so poetic, can be so barbaric, why you forced Bapak Suharto down and treat him with no respect?..”
Or, when he was asked about illegal migrants from Indonesia:
I think we don’t want to throw out people (kami tidak buang orang), as long as Indon has a legal documents, they are welcome to work here, we never shutdown the gate. [But] Don’t use our backdoor, and I think it is also same in your country [Indonesia] that you don’t accept people without papers. Sorry, I don’t mean to be harsh but I feel like there is not much air to breathe here.
For Bugis migrant however we captured inconsistency in their narrative expression in referring their identity as “ideal Malay”, Sabahan, Malaysian, and Indonesian. It portrays a multilayered identities or intersection between many realms, let say ethnicity, nationality, and citizenship as part of their identity formation. On the one hand, in relating to the concept of “Ideal Malay” they wholeheartedly embrace it as it has been historically proved that their migration history is written by golden ink due the relation with Bugis aristocracy (Pelras, 1996) in peninsular which make them feel secure as part of Malay who has the same right in claiming Malaysia as their homeland as their fellow indigenous race, namely Kadazan. D who left Indonesia in 1980 illustrates his hesitation as he told me his view as Malaysian Bugis:
Bugis is Malay, as for me, I feel belong to this soil, no matter where I step in this land, this is my country. But, I still do not understand why the government let Indian and Chinese to be their cabinet member. To this point, I feel that Indonesia is more Malay than Malaysia.. I am worried.

Or M (60 years old), migrated to Sabah in 1971:

Bugis is not foreigner here in Malaysia, because there are three provinces who have Bugis origin Kings [Sultans] in Johor, Selangor, and Trengganu. They still speak Bugis for daily conversations…. But look, since three years ago, the number of Bugis everywhere in Sabah has become lesser, because Malaysian government now so fuss about us “

On the other hand, when it comes to present realities of how they maintain their cultural ties with ‘authentic’ homeland (Indonesia), “becoming part of the Malay world” is not sufficient enough due to Malaysian immigrant policies which become stricter to Indonesian migrants in the last ten year. Even successful Bugis who already has citizenship feel psychologically marginalized. Insecurity is expressed through their narrative which often vague and inconsistent. Indonesia is portrayed as better, civilized and tolerant but very weak in diplomacy. Malaysia in contrast is too strict, too discipline but a good place for seeking fortune. To conclude, Indonesian identity is inscribed deeply rooted in their blood and Malaysian identity is a matter of high achievement. They cannot be a ‘true’ Malaysian using their citizenship, and bitterly speaking their “ideal Malay” is ironically illusive. Ambivalence is part of their formation of identity.

Closing Remark
The formation of cultural identity is actively constructed through its relation to the Other and act of mobility. For Eastern Malaysian Malay identity is not exactly appears as point of reference. For Dayak (either Iban or Kenyah) what can be taken as source of identity construction is merely language and common historical experience of Konfrontasi. Islamic attributes which is culturally integrated in Malay culture do not fit with their realities. As a Malaysian citizen they prefer to maintain close cultural proximity with their Indonesian counterparts (most of them still practicing cross-border journey as significant cultural value). International border cannot be seen as a thin red line which divides but rather an open space, a specific zone which simultaneously affects migrant’s configuration of identity since the ties between culture and space are put into question. Anthropologically, the sense of location, place and belonging of migrants are always in the process of reconceptualization following their recurrent mobility.

The changing power affects the meaning of becoming Malay. It is proven that a set of relations of power constellations as the points of identification appears as fluid, unstable and constantly change in accordance with the relationship of centre and periphery. As Malaysian, Kadazan and Bugis ambiguously define themselves as a part of Malay culture. Although Bugis and some of Kadazan are Muslim, they are unsure about their sense of belonging to Malay realm. As the immigration policy becomes stricter for Bugis people, they feel ‘politically’ marginalized. For Kadazan who historically owns Sabah, they slowly embrace the Malay culture specifically in terms of becoming a modern and scientific Malaysian. But if they asked to put themselves in Malay historical narrative (such as Hang Tuah), inconsistencies occurs since they wholeheartedly endorse the Malay charismatic figure, but reluctant to be called Malay. This might be related to the semenanjung politics which positions Sabah as the Malay bumper in “non-Malay Borneo” where language teaching has been used as power agency for Malay-nization. The Kadazan Dusun language (then Kadazan) ceased to be taught in schools, to favour the adoption of Malay, or Bahasa Malaysia. The Kadazan Dusun had effectively become a rather powerless group in the state, lacking leaders and organization

References Cited

A.B., Shamsul (2004), ‘A History of An Identity, an Identity of A History: The Idea and Practice of “Malayness” in Malaysia Reconsidered’, Contesting Malayness: Malay Identity across Boundaries (Timoty W. Barnhard, ed.). Singapore: Singapore University Press.

Acciaioli, G. L (1998) ‘Bugis Enterpreneurialism and Resource Use: Structure and Practice’ in Antropologi Indonesia Journal. 21(57). Depok: Department of Anthropology and Yayasan Obor Indonesia.

Åsgård, Björn (2002) ‘Ethnic Awareness and Development: A Study of Kadazan Dusun, Malaysia. (Unpublished). Göteborg.

Basch, L.N., Glick- Schiller and C. Blanc-Szanton. (1994). Nations Unbound: Transnational Projects, Post-Colonial Predicaments, and Deterritorialized Nation-States. Langhorn, Pa: Gordon and Breach.

Bali, S. (2001). Migration and Refugees. In Brian White, Richard Little and Michael Smith (eds). Issues in World Politics. New York: Palgrave. 171-190.

Barth, F. (1969). Ethnic Groups and Boundaries: The Social Organization of Culture Difference. Oslo: Universitetsforlaget.

Escobar, A (2001) ‘Culture Sits in Places: Reflections on Globalism and Subaltern Strategies of Localization, Political Geography (20) Pp.: 139-174.

Castells, S. (2000) ‘International Migration at the beginning of Twenty-first Century: Global Trends and Issues’, International Social Science Journal no. 165. Unesco and Blackwell).

Clifford, James. (1988). The Predicament of Culture: Twentieth-Century Ethnography, Literature, and Art. Cambridge and London: Harvard University Press.

Ferguson, J. & A. Gupta (1997) “Culture, Power, Place: Ethnography at the End of an Era”, Culture, Power, Place: Explorations in Critical Anthropology. J. Ferguson & A. Gupta (ed.). Durham: Duke University Press.

——————————— (1997) “Beyond ‘culture’: Space, Identity and The Politics of Differences, Anthropology of Globalisation ( Inda

Giddens, Anthony. (1991). The Consequences of Modernity. Cambridge: Polity Press

Haba J, R. Tirtosudarmo, et.al (2002) Dinamika Sosial Budaya Daerah Perbatasan Kalimantan Timur dan Sabah. Jakarta: Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.

Hall, S. (1990) ‘Introduction: Who Needs Cultural Identity’, in Questions of Cultural Identity (S. Hall and P. du Gay, ed.). London: Sage.

Jenkins, Richard. (1997). Rethinking Ethnicity. London: Sage.

Johnson, R (et.al) (2003) The Practice of Cultural Studies. London: Sage Publications.

Kassim, A. (2003) ‘International Migration: Prospects and Challenges in Malaysia’, Reinventing Sabah: Global Challenges and Political Responses, (M. Yaakub Hj. Johari & Chong Shu Yau, eds.). Kota Kinabalu: Institute for Development Studies (Sabah).

Kaur A. (1998) Economic Change in East Malaysia. Sabah and Sarawak since 1850. London: MacMillan Press.

Kloos, P. (2000) ‘The Dialectics of Globalization and Localization’. In The Ends of Globalization, Don Kalb, Marco Van der Land, et.al (eds). Lanham, Maryland: Rowman & Littlefield. 281-297.

Ongkili, J. (1972) Modernization in East Malaysia 1960-1970. Oxford: Oxford University Press.

Ooi, K (2003) ‘Three-Tiered Social Darwinism in Malaysian Ethnography’, Southeast Asian Studies 2(41). Pp. 162-179.

Pelras, C. (1996) The Bugis. Oxford: Blackwell Publisher.

Pringle R (1971) ‘The Brookes of Sarawak: The Reformers in Spite of Themselves’, The Sarawak Museum Journal. 20:41. Kuching: The Museum Sarawak.

Ricoeur (1987) Time and Narrative III. Chicago: The University of Chicago Press.

Somers, M.R. and Gibson, G.D (1994) ‘Reclaiming the Epistemological “Other”: Narrative and the Social Construction of Identity’, in Social Theory and The Politics of Identity (C. Calhoun, ed.) Oxford: Blackwell Press. pp. 37-99.