Categories
essays

Komentar “Selamat Tinggal Proletariat”

Artikel di Kompas 30 April 2022 berjudul: Selamat Tinggal Proletariat tulisan Rekson Silaban menceritakan bahwa buruh tidak lagi berada dalam situasi klasik yang tegang dengan majikannya. Tidak ada lagi konflik kelas antara proletar dan kapitalis. Kecerdasan kapitalisme membuat buruh “naik derajat” menjadi mitra bisnis startup. Maka perjuangan buruh di masa depan menjadi lebih halus, lebih pada strategi kerjasama dan dialog dengan majikan. Dalam situasi ini, buruh akan mendapatkan kesejahteraan dan dukungan publik.

Tapi apa betul? Hal yang tidak terjawab jelas adalah ketidakpastian masa depan bagi dunia yang terus melahirkan bonus demografi. Dunia terus melahirkan bayi-bayi yang kelak semakin terlibat dalam persaingan kerja makin ketat. Bayi-bayi itu kelak akan mendapatkan identitas ketika bekerja yaitu identitas buruh.

Dalam perspektif kewarganegaraan dan politik, mereka pun akan menjadi publik. Dalam perspektif kelas kita baru akan melihat ekosistem yang real. Piramida status sosial ekonomi makin lancip, dan generasi baru makin rentan kemiskinan. Jadi apa yang dimaksud dengan dukungan publik? Siapa publik yang dimaksud?

Bagaimana pun kita bekerja alias memburuh walau kadang majikan kita tidak pernah jelas. Di rumah, di kantor, di jalanan, di kendaraan umum. Mungkin dengan gadget masing-masing. Apa yang ada di kepala ketika membayangkan identitas diri? Sebagai bagian dari publik? Sebagai bagian dari buruh? Atau bagian dari yang lain? Apakah artikel “Selamat tinggal Proletariat” itu sebuah perpisahan bahagia? Atau sebuah firasat gelisah yang akan menjadi nyata?

Apakah kita atau Anda ini buruh?

Kita mulai dari Kelas Buruh. Kata buruh identik dengan orang yang bekerja di pabrik. Tetapi sebetulnya kelompok pekerja yang bekerja di perkantoran sebagai profesional, memiliki jenjang karier, asuransi, pensiun masih tatap masuk dalam kategori kelas buruh atau proletar. Sebab tetap ada kesamaan fundamental yaitu mereka tidak berada dalam posisi sangat mampu untuk memiliki alat-alat produksi.

Maka seorang ahli ekonomi Inggris Guy Standing  dalam buku The Precariat The New Dangerous Class (2011), ingin mempertajam kategori kelas dari sosiolog Karl Marx dengan menambahkan dua kategori kelas sesudah elite yaitu:  Salariat yang diisi oleh pekerja kantoran, pegawai negeri, Profician, atau para profesional seperti para teknisi dan tenaga ahli. Lalu baru kemudian kelas Proletariat dalam pengertian klasik analisis kelas Marx, dan ditutup oleh kelas prekariat. Sebuah kelas baru yang kabur sosoknya.

Salariat dan Profician, adalah klasifikasi buruh yang mungkin selamat dan berhasil negosiasi dengan kecerdasan kapitalisme. Namun bagaimana dengan Proletariat apalagi Prekariat?

Munculnya Kelas Prekariat

Siapakah mereka? Seiring peningkatan efisiensi produksi, semenjak akhir 1980-an neoliberalisme ekonomi menciptakan sistem fleksibel bagi bisnis untuk semakin ekspansif secara global. Pabrik dapat berdiri jauh di luar negeri asalnya untuk menekan ongkos produksi dengan mencari kawasan buruh murah dengan sistem kontrak jangka pendek dan tidak tetap. Kelas buruh di seluruh dunia terpengaruh. Kaum buruh pabrik atau proletar paling merasakan dampaknya karena segala kepastian hidup berangsur hilang. Namun keadaan makin parah ketika efisiensi produktivitas ini tidak menimbulkan  peningkatan kualitas ekonomi banyak orang. Inilah awal kondisi terbentuknya kelas prekariat.

Istilah buruh telah menjadi ikon yang dikenal internasional. Sebagai buruh, seseorang berada dalam kepastian identitas kelasnya. Mereka memiliki simbol bersama, serikat, jenjang karier, asuransi, jaminan pensiun, dan perlindungan hukum. Perpaduan itu membentuk kebudayaan buruh yang kita kenal sekarang. Tidak semua buruh di dunia bernasib sama, tapi kepastian hidup selalu ada dan dapat diperjuangkan sebagai hak-hak buruh.

Tidak ada kepastian dalam relasi kerja produksi prekariat. Seiring dengan kontrak kerja berjangka pendek, visi masa depan pun menjadi pendek. Mobilitas kerja cenderung semakin horizontal karena mereka akan mengerjakan pekerjaan yang kurang lebih sama di pabrik atau kantor yang baru dengan kontrak yang pendek juga. Mereka selalu jadi orang baru di kantor baru dengan pekerjaan yang sama, tidak punya jaringan pertemanan kuat untuk membangun kepercayaan (trust), tidak mendapat hak pensiun dan jaminan-jaminan lainnya. Kondisi hidup menjadi tidak pasti dan pekerjaan demi pekerjaan sifatnya datang dan pergi.

Formalitas hubungan kerja tidak mengikat antara buruh dan majikan itu dibungkus aneka bentuk istilah “penghiburan” misalnya: partner, freelancer  dan  part-time.  Termasuk bahwa mereka sering berada dalam kondisi in-between jobs, sebuah istilah yang terlalu diromantiskan untuk menyembunyikan kecemasan “kerja serabutan”. Prekariat itu mungkin kita atau Anda juga yang merasa sebagai kelas menengah berpendidikan, punya keterampilan, sarat pengalaman,  tapi berada dalam kondisi tidak menentu (precarious condition). Secara psikologis pekerjaannya repetitif, membosankan, tidak memberi kebebasan berpikir, walau dapat saja diberi judul hebat misal “creative division”.  Dalam banyak kasus pendapatannya tidak seberapa, beban kerja besar, dan tetap dituntut membawa etos kerja profesional. Antropolog David Graeber menyebut suatu jenis perkerjaan ini sebagai bullshit jobs. Sebab pekerjaan-pekerjaannya bukan saja membosankan tapi miskin value dan tidak penting bagi manusia yang seharusnya punya waktu luang untuk berbudaya.

Masalahnya, jika ingin membandingkan, kaum prekariat tidak memiliki “perangkat kebudayaan” untuk menghadapi tekanan kemiskinan struktural. Berbeda dengan kategori lumpenproletariat (orang miskin strata terbawah) seperti gelandangan yang memang dipaksa untuk berstrategi sosial,  dan adaptif  hidup “di luar struktur formal negara” secara turun-temurun.  Gelandangan tanpa dokumen formal apa pun, walau berada dalam  kondisi kemiskinan absolut, akan tetap punya daya lenting.  Mereka mengembangkan jaringan sosial antar mereka dalam fungsi pengolahan dan penguraian sampah sebagai contoh. Sesuatu  yang terasa menakjubkan dan banyak ditulis dalam etnografi tentang kebudayaan kemiskinan di kota-kota besar.

Formasi kelas prekariat adalah proses dan tidak absolut. Lebih tepat mereka adalah merupakan generasi yang perlahan-lahan turun kelas mengarah pada posisi kelas prekariat. Bisa jadi kategorinya cair menampung para salariat dan profician yang mengalami dampak putus hubungan kerja. Generasi orang tuanya adalah kelas buruh yang mapan atau para salariat yang  membayangkan anak-anak mereka juga mendapatkan kenyamanan kaum buruh dengan bekerja di perkantoran dan mendapatkan gaji tetap, serta aneka tunjangan. Sebuah angan-angan yang sulit diwujudkan oleh generasi berikutnya yaitu generasi muda sekarang yang kerja paruh waktu. Bukan karena malas, tapi persaingan keras. Lalu kemudian terjebak di kerja-kerja mekanis dalam sekrup industri yang tidak terlalu bermakna untuk hidup berkebudayaan.

Mobilitas turun kelas terjadi di mana-mana. Kita dapat melihat dari berubahnya pola pemukiman Jakarta sebagai ilustrasi. Bukankah keluarga-keluarga yang dulu mampu tinggal di pusat kota satu-persatu pindah ke wilayah sub-urban yang lebih murah karena tidak mampu?  Tercipta sebuah gap antara generasi. Anak-anak merasa kecewa dan gagal karena tidak dapat memenuhi keinginan orang tua, sementara generasi tua merasa generasi muda menjadi milenial manja dan tidak mampu kerja keras untuk sukses. Padahal kondisi ini akibat dampak bonus demografi, persaingan makin tinggi dan biaya hidup makin mahal. Surplus tenaga kerja yang tidak dibarengi struktur pendukung kesejahteraan.

Sebagai kelas sosial, prekariat dapat sampai pada titik nadir. Tidak seperti kelas buruh yang identitasnya lebih jelas, prekariat tidak memiliki solidaritas karena cenderung tidak terlihat, anonim, dan merasa sendirian sekalipun jumlah mereka banyak. Seperti kita umumnya, mereka juga mengonsumsi citra kesuksesan para influencer, youtuber, atau gemerlap kemewahan pesohor yang membuat marah dalam kesepian. Mereka juga aktif menciptakan meme lucu atau shit-posting sebagai kritik. Namun sampai titik mana orang dapat membuat humor menertawai diri sendiri sementara kesenjangan makin tampil vulgar dan hidup makin susah?

Prekariat merupakan Bahaya?

Dalam kondisi serba tidak menentu, kelas prekariat cenderung mudah untuk menghantam kelompok lain termasuk sesamanya misalnya kaum migran, etnis, tertentu, kelompok minoritas atau siapa saja. Saling tuduh-menuduh antara “cebong” dan “kadrun” adalah contoh konflik horizontal dalam kelas Prekariat.  Premanisme, radikalisme, ekstrimisme,  dan cara-cara kekerasan adalah buah dari kondisi kelas prekariat itu. Wajah prekariat dapat bertopeng religius, dapat pula nasionalis. Mereka pun mudah direkrut untuk tujuan politik praktis. 

Dalam kondisi sosial Indonesia sekarang, bisa jadi para prekariat  ada di mana-mana. Mudah marah. Mereka hadir sebagai kerumunan asing di tengah massa, tapi gagal dikenali. Maka negara menggunakan kategori bias dengan pendekatan keamanan untuk menuduhnya dengan istilah-istilah sarat stigma. Misalnya anarkis, kaum intoleran, anti kebangsaan, provokator, penunggang, oknum, dan sebagainya. Sementara untuk merespons, negara akan makin banyak membuat pelatihan-pelatihan untuk penguatan karakter kebangsaan, kebinekaan dan anjuran-anjuran moral sebagai upaya memadamkan api.

Saatnya menyadari bahwa kondisi pembentukan kelas prekariat merupakan dampak dari kebijakan Neo-liberalisme seperti Omnibus Law. Sebuah kekerasan struktural yang tidak memihak pada keselamatan dan keamanan kerja rakyat Indonesia yaitu kita sendiri.  Sebagian besarnya adalah buruh part-time penuh kegelisahan. Situasi bagai api dalam sekam. Selamat Hari Buruh sepantasnya selalu diucapkan dalam medan perjuangan.

Categories
essays Orba Resurrection Apocalypse

Radikalisme itu baik, kok

Radikalisme itu baik atau buruk?

Bom meledak di Manchester dan Jakarta. Maka negara bersabda: gebuk terus radikalisme sampai ke akar-akarnya.  Tepatkah istilah radikalisme ini?

Dalam khazanah konseptual teori-teori politik, istilah radikalisme sesungguhnya bermakna netral. Radikalisme berarti suatu jalan untuk membuat perubahan mendasar sampai ke tingkat sistemik. Perubahan politik secara radikal bertujuan untuk membedah dan membuang penyakit-penyakit dalam sistem yang berjalan. Politisi korup, militer kejam, elite-elite feodal adalah penyakit yang harus dibuang agar demokrasi kembali ke jalan yang berpihak pada konstitusi.

Radikal versus Reaksioner

Sepanjang sejarah, gerakan radikal senantiasa mendapat tantangan dari gerakan anti-perubahan. Dalam literatur gerakan “Kiri”, menjadi Radikal artinya bertentangan dengan para elite pendukung kemapanan yang disebut kaum Reaksioner (reactionaries) atau mereka yang dianggap melanggengkan kekuasaan demi keuntungan-keuntungan dari sebuah keadaan status quo. Kaum Reaksioner misalnya adalah para pebisnis skala besar yang memang selalu ketar-ketir pada gejolak sosial sehingga memilih untuk konservatif.  Juga golongan pengusaha di atas tanah ukuran raksasa yang tak suka reforma agraria. Mereka merasa bahwa membagikan tanah pada petani miskin adalah perampokan kejam dan tak bermoral sehingga reforma agraria harus dilawan. Militer yang dekat dengan rezim berkuasa pun masuk dalam kategori yang sama termasuk juga kelas menengah yang mendapat fasilitas dari sistem.

Diskusi panas antitesis dua kubu antara kaum radikal dan reaksioner adalah perdebatan khas dalam analisis politik ekonomi gerakan sosial di masa 1960-an.  Namun era diskusi ini sudah lewat dengan kemenangan rezim “Kanan” di mana-mana yang membuat kapitalisme menjadi arus berpikir utama pada hari ini. Kini Kapitalisme bukan saja sebuah prinsip ekonomi namun juga menjadi jadi sistem sosial yang menciptakan nilai dan moralitas tentang salah dan benar yang disuka golongan Reaksioner di atas. Pada hari ini kita tidak lagi menemukan “debat ideologis” tentang arah pembangunan ekonomi dalam buku-buku baru.

Di Indonesia term “reaksioner” sebagai antonim “radikal” sudah lama dihapus dari Bahasa Indonesia sebagai sebuah “hukuman akademik” ketika negara melarang pemikiran Marxisme tahun 1966. Padahal dalam sejarah perjuangan bangsa kita mengenal istilah-istilah generik bagi kaum reaksioner tadi misalnya “golongan tua” yang dianggap kolot dan kompromistis pada prosedur-prosedur sistem kolonial. Sukarno-Hatta pernah dianggap reaksioner oleh golongan muda sehingga mereka sempat diculik dalam Peristiwa Rengasdengklok 1945. Kata “Reaksioner” pernah berguna untuk orientasi perjuangan di masa lalu. Untuk melihat batas yang tegas tentang siapa-siapa saja yang ingin perubahan progresif dengan meraih kemerdekaan dan mana-mana saja yang ingin bertahan di sistem lama.

Pada era Orde Baru (dan sesudahnya), istilah Radikalisme menjadi buruk maknanya. Bahkan dikaitkan dengan gerakan-gerakan yang jahat untuk mengkudeta kekuasaan yang sah. Terlepas mereka jahat atau tidak, dalam sistem sosial kapitalisme kata radikal mendapatkan posisi yang buruk karena dianggap mengganggu sistem yang sudah “terlanjur benar”. Hari ini sisanya masih ada. Alih-alih mengatakan “kita belum radikal memberantas korupsi”, kita lebih suka mengatakan “masih belum optimal”. Jadi sistemnya sendiri tidak pernah disalahkan. Gerakan radikal dianggap milik para penjahat, sebab orang baik tidak akan menempuh cara-cara radikal. Ini adalah keberhasilan rezim kapitalisme untuk menjaga bahasa agar selalu lunak terhadap kosa kata kritik. Perbaikan-perbaikan sistemik tidak lagi  memiliki perbendaharaan kata. Sehingga kritik dan perlawanan menjadi buntu.

Radikalisme pun secara sempit dikaitkan dengan terror.  Padahal kekerasan adalah kekerasan, titik. Ideologi yang membolehkan pembunuhan warga tak bersalah adalah kejahatan tanpa terkait dengan radikal atau tidak. Konsekuensinya, kita terbiasa menuduh sesuatu yang jahat sebagai gerakan radikal. Jadi bagaimana cara membangun sebuah gerakan radikal untuk kebaikan sebuah sistem publik?  Kita perlu radikalisme dalam pembersihan korupsi, transparansi birokrasi, penegakkan keadilan sesuai konstitusi serta perjuangan membela HAM semua orang.

Kini tumbuh generasi muda kelas menengah yang asing dengan pemaknaan radikalisme semacam di atas. Mereka jadi terbiasa berpikir penuh kompromi dan cenderung terlalu menurut pada normatif tanpa banyak tanya-tanya. Inilah generasi yang dibesarkan dalam zona kenyamanan dan keyakinan bahwa negara selalu baik-baik saja sebagai sebuah sistem. Demokrasi dianggap cukup baik dengan ukuran-ukuran mekanisme prosedural meskipun substansinya untuk keadilan sosial masih jauh. Gap yang menganga dianggap dapat diselesaikan oleh waktu, dengan permakluman: “tunggu sampai kita semua siap berdemokrasi.” Dalam masa-masa penantian tak kunjung berkesudahan sejak 1998, kehadiran kepemimpinan negara yang solid adalah kerinduan yang terisi dengan suburnya fanatisme-fanatisme atas kepemimpinan di kalangan kelas menengah kota. Ada kelompok muda nasionalis dengan jargon-jargon purifikasi merah putih yang cenderung fasis, di sisi lain kelompok haus kesalehan yang mencari identitas melalui agama. Dua kelompok ini rentan direkrut  lebih jauh menjadi massa normatif yang penurut kepada elite-elite politik yang punya uang banyak dan lihai.

Memperbaiki makna Radikalisme

Tapi tentu ada kaum di luar kelompok atas yang gelisah, yang sudah tidak sabar dan selalu bertanya. Mengapa negara merespons terlalu lamban terhadap bentuk-bentuk kekerasan organisasi sipil yang menggunakan elemen agama? Mengapa negara ragu-ragu untuk menjalankan amanah konstitusi? Mengapa negara seperti berwajah ambivalen? Di satu sisi berteriak ingin menjaga ideologi Pancasila, di sisi lain mengancam Pancasila dengan membiarkan kekerasan atas nama agama dimaklumi. Jadi bagaimana sistem kenegaraan itu berjalan? Mengapa tidak bisa diperbaiki secara radikal supaya jadi benar dan mengayomi seluruh warga? Mengapa negara terkesan takut pada ayat suci dibandingkan dengan ayat konstitusi?

Perbaikan tentu harus dimulai dengan radikal. Jadi mulailah untuk memperbaiki konsep radikal itu sendiri. Membuang jauh-jauh labelling dari media-media kapital yang seringkali dilakukan tanpa riset.  Mulailah kita mengenali kelompok-kelompok garis keras sesuai dengan maksud, metode, dan tujuan mereka. Misalnya “kelompok Islam pembunuh”. Kelompok “penegak negara Islam”, “kelompok pemuda fasis NKRI”. Penting untuk membedah relasi kelompok tersebut dengan elite-elite yang menjadi sponsor mereka. Itulah satu-satunya cara jitu untuk memasukkan mereka ke dalam golongan status quo, para reactionaries!

Kita masih perlu radikalisme untuk hal-hal yang lebih baik untuk kebaikan publik. Kita perlu lebih berani untuk menyatakan sikap sebagai generasi muda Indonesia yang tidak takut kepada ancaman neraka dan tidak mudah terpancing ngambek dengan issue-issue abstrak seperti penistaan simbol-simbol. Tapi sangat marah dengan penggelapan anggaran! Pemuda berbagai agama dan suku yang menggunakan otak dan mengenali musuh dengan baik tentu akan menjadi radikal yang cerdas untuk menyelamatkan bangsa.

Categories
essays

Dampak Absennya Marxisme dalam Tradisi Akademik *)

 

Peran Kiri  yang dihapus dalam Nasionalisme Indonesia

Sejarah nasional Indonesia versi penguasa Orde Baru menghapuskan peranan gerakan Kiri dan Marxisme dalam  kelahiran nasionalisme Indonesia.

Tradisi akademik analisis kelas yang menjadi instrumen melihat kondisi sosial ekonomi dilarang digunakan karena dianggap tidak sesuai dengan kepentingan Indonesia. Hal ahistoris ini berbahaya.

Sejarah nasional mendudukkan perlawanan sporadis Dipenogoro, Hassanudin, Teuku Umar dll terhadap Belanda sebagai bagian dari nasionalisme Indonesia yang gemilang. Tanpa mengecilkan peranan mereka, perlawanan para pahlawan nasional itu digerakkan bukan oleh “Rasa Nasionalisme” melainkan oleh sentimen etnis, teritorial terbatas dan sektarian dipadu dengan kebencian pada Belanda. Baru pada awal abad ke-20, konsep nasionalisme dikenal luas sebagai perasaan solidaritas lintas agama, etnis dan teritorial kampung. Hal ini hanya mungkin terjadi ketika perlawanan menjadi terorganisir dan menyerap ideologi progresif kiri yang diperkenalkan oleh orang-orang Belanda yang menjadi tokoh oposisi di negaranya sendiri. Para sosialis Belanda melakukan radikalisme di kawasan kolonial semata-mata untuk mewujudkan internasionalisme anti penjajahan di muka bumi.

Ketidakadilan adalah sesuatu yang universal yang harus dilawan secara universal pula. Persentuhan Hindia Belanda dengan pemikiran progresif adalah episode penting yang menanamkan jiwa perlawanan terhadap struktur-struktur kolonial dan feodal yang menindas. Sebagai kawasan perkebunan rempah dan tanaman keras bagi negara koloni, perbudakan adalah peristiwa sehari-hari sebagai hal normal dalam kehidupan. Masuknya Politik Etis yang dibawa oleh intelektual dan aktivis-aktivis sosialis Belanda membawa angin segar di parlemen Belanda pada masa awal abad ke-20 yang mulai mengkritik kebijakan-kebijakan dalam negeri menyangkut penjajahan terhadap bangsa lain.  Hanya saja, penulisan sejarah Indonesia dipenuhi beban heroisme dan permusuhan terhadap segala hal yang berbau Belanda sehingga Politik Etis hanya diartikan sebagai sisi humanis dari kebijakan-kebijakan kolonial tanpa menyebutkan sama-sekali peranan internasionalisme gerakan kiri yang sedang bangkit dalam mengkritik kolonialisme di seluruh dunia. Aktivis-aktivis buruh Belanda yang merupakan bagian dari Partai Sosialis Belanda memperkenalkan ide-ide perlawanan terhadap rakyat terjajah. Menarik untuk memahami geliat sejarah bangsa kita yang mulai progresif sekitar setengah abad sebelum kemerdekaan tahun 1945. Pada periode 1915 organisasi Serikat Islam kemudian membuka mata terhadap persoalan penindasan dengan menerima ide-ide universal sosialisme dari Belanda. Serikat yang tadinya sektarian dan dimaksudkan untuk memperbaiki kehidupan internal para pedagang muslim mulai memahami bahwa kemiskinan bukan semata-mata takdir Tuhan, melainkan sesuatu yang dirancang oleh bangsa lain untuk kepentingan-kepentingan ekonomi yang tidak adil. Kelak iklim perlawanan non-sektarian terhadap Belanda ini melahirkan pemberontakan-pemberontakan patriotik termasuk membidani lahirnya partai demokratik pertama di kawasan jajahan Belanda yang sangat anti Belanda dalam pengertian menolak sistem kapitalisme Belanda — yaitu PKI tahun 1924 (McVey 2006).

Bagaimana iklim progresif tumbuh subur dalam bangunan struktur feodalistis tua ini melahirkan kekaguman bagi sarjana-sarjana ilmu politik Amerika. Hindia Belanda yang kelak menjadi Indonesia itu memperlihatkan wajah politiknya yang sangat modern, kritis terhadap kolonialisme, kapitalisme dan imperialisme, dan bahkan jauh lebih progresif daripada sejarah Eropa yang penuh sesak oleh pembantaian etnis dalam rangka membangun identitas nasionalismenya (Anderson 1983).

Tradisi Akademik. Pikiran Kiri Apa itu?

“Kiri” hanya satu istilah karena ada kanan dalam spektrum warna ideologis yang penuh warna dan istilah. Istilah yang juga dapat digunakan adalah “Kritis” dan “Progresif” dengan makna sama. Untuk meringkas tanpa mengurangi ketajaman, saya gunakan istilah paling generik yang juga digunakan dalam sedikit mata kuliah progresif yang masih ada yaitu “ekonomi-politik” yang merupakan warisan penting pemikiran Marxisme dalam koridor metodologi. Pada intinya setiap studi Marxisme yang paling kompleks sekalipun selalu mempertanyakan ini:

  1. Who owned What
  2. Who did What
  3. Who get What
  4. Used for What

Di atas itu hal mendasar yang mudah dihafal jadi pedoman kerja dan menghasilkan rangkaian jawaban kompleks yang memetakan relasi-relasi sosial produksi dari hulu sampai hilir dalam arus sejarah. Kasus yang terkesan sederhana dan berdiri sendiri ternyata terkait dengan konteks luas baik horizontal maupun vertikal. Hierarki kelas yang berimbas pada eksploitasi, penindasan dan ketidakadilan kemudian menjadi terang-benderang. Metode yang dikenal dengan sebagai Analisis Kelas ini menjadi bagian tradisi akademik dalam bekerja dan melahirkan pandangan-pandangan secara ringkas demikian:

  • Masyarakat terbentuk dari pengelompokan kelas sosial.
  • Ada stratifikasi sosial.
  • Hubungan antar kelas secara alamiah bersifat konflik.
  • Hubungan sosial yang tercipta selalu melibatkan relasi antar kelas.
  • Kapitalisme tidak dilihat sebagai sistem ekonomi, tetapi sistem sosial.
  • Kebudayaan adalah produk kelas sosial.
  • Kurva ekonomi tidak pernah jujur karena kekuasaan politik bermain dalam harga barang.
  • Empirisisme dan iobjektivisme harus dilihat secara historis.

Hal yang perlu digaris-bawahi adalah persoalan ketidakadilan dan penindasan adalah bagian perangkat metode berpikir dialektik seorang Marxist.  Perasaan dan emosi dengan sendirinya menjadi penting karena di situlah sebetulnya pemikiran dan teori menjadi selaras untuk kepentingan kemanusiaan. Maka biasanya seorang Marxist cenderung pemarah. Tentu saja marah karena sebab-sebab yang serius.

Pikiran kiri dalam dunia akademik pun cenderung bocor secara interdisipliner. Marx sebagai seorang sosiolog lebih banyak berpikir seperti ekonom, melakukan analisis seperti ahli politik, dan merenungkan pandangannya soal kebudayaan selayaknya antropolog untuk kemudian dituliskan dalam gaya seorang sejarawan. Menurut saya ini adalah ciri khas dan contoh baik bagaimana humaniora itu dipraktikkan secara lengkap. Jadi bayangkanlah bila peneliti memiliki gaya kerja seperti itu. Akan kompleks sekali penjelasannya namun juga mudah dipetakan dalam kerangka political-economy yang sesungguhnya sederhana. Kesederhanaan yang justru membuatnya tajam. Dan dilarang.

Dampak Matinya Marxisme dalam Lingkungan Akademik

Studi sosial menjadi kering. Teori-teori Sistem (Fungsionalisme-Struktural) menjadi satu-satunya penjelas dunia sosial di kampus-kampus Indonesia selama 30 tahun. Mahasiswa tidak memiliki alternatif penjelasan lain sebagai kawan dialog bagi pikirannya. Analogi biologi bahwa masyarakat selalu mencari titik equalibrium menjadi dogma yang pada akhirnya membuat kita semua percaya bahwa masyarakat manusia cenderung kompromistis, mencari keselamatan dalam harmoni. Mahasiswa pun tidak lagi terlalu terampil mengenali fenomena sosial secara historis. Analisis sosial lebih kepada relasi-relasi sosial sinkronik tentang suatu peristiwa selayaknya fotografer membuat foto.  Pandangan teori Sistem tercabut dari gerakan sosial di luar kampus. menempatkan gerakan sosial sebagai anomali

Studi Politik beralih dari demokrasi substansial menuju prosedural. Demokrasi secara konseptual dianggap sudah final sehingga apa yang perlu dilakukan adalah membuatnya lebih optimal. Kritik terhadap demokrasi lebih kepada pelaksanaan yang belum sempurna ke arah good governance. Marxisme melihat demokrasi prosedural sebagai definisi khas ideologi liberal yang mencari konsensus politik melalui proses pemilihan. Pandangan liberal bersifat pars-pro toto, abai terhadap manipulasi demokrasi yang cenderung menguntungkan bagi kelas elite. Keadaan ini belum tentu menyentuh persoalan substantif yaitu keadilan sosial. Walhasil komposisi partai politik sebetulnya terdiri dari elite-elite lama tanpa ideologi kerakyatan. Mereka yang kemudian mengatur “proletarian” (buruh, petani, nelayan, miskin kota, minoritas etnis-agama).  Maka nuansa penindasan dalam alam demokrasi sesungguhnya faktual tapi alat analisis yang mampu melihat itu tidak digunakan. Terlebih lagi status-quo dianggap normal karena undang-undang kepartaian sendiri hanya memungkinkan kelompok elite yang berkuasa berulang-ulang.

Kapitalisme hanya dipahami sebagai sistem ekonomi.  Bahasan kapitalisme dikuasai oleh ilmu ekonomi liberal sehingga dianggap sebagai fenomena ekonomi demi akumulasi modal secara efisien. Kapitalisme dianggap sebagai konsep akhir yang paling efisien dalam menciptakan tujuan ekonomi yaitu keuntungan sebesar-besarnya. Motivasi ekonomi kemudian dilembagakan sebagai nilai-nilai yang normal dalam kehidupan Kapitalisme dalam perspektif kiri jauh lebih rumit. Kita lupa bahwa Kapitalisme adalah sebuah sistem sosial yang melibatkan relasi-relasi sosial antar kelas dalam roda produksi yang problematik bagi kehidupan sosial. Maka kapitalisme melahirkan serangkaian konsep-konsep analisis kritis: alienasi, komodifikasi, eksploitasi, kekerasan, dll. Pemikiran kiri terbiasa untuk menyatukan analisis ekonomi-politik-sejarah sebagai kesatuan yang sulit dilepas-lepas.  Studi kapitalisme sesungguhnya luas menyinggung masalah politik, kebudayaan, sastra.  Matinya pemikiran kiri menciptakan reduksi besar cara kita memahami persoalan-persoalan sistemik bangsa ini.  Dengan merajanya ideologi kapitalisme dalam ilmu sosial, penyelewengan-penyelewengan dalam kehidupan bernegara tidak mampu dilihat sebagai problem cacat konseptual dalam sistem kapitalisme, melainkan (astagafirullah) sebagai indikasi dari kurang intensifnya masyarakat mengadopsi prinsip-prinsip liberal kapitalistik yang sudah dianggap sempurna itu! Maka analisis yang dianggap kontributif menyangkut “kegagalan negara” hanya ingin “mengobati gejala” yaitu perbaikan-perbaikan manajerial, optimalisasi kebijakan, perbaikan prosedural birokrasi, check-and-balance, good governance. Perbaikan struktural mendasar sampai akar (seperti yang ingin dilakukan KPK terhadap korupsi) justru dipersulit.

Dengan miskinnya analisis progresif, maka terjadi krisis pembentukan ilmu pengetahuan di basis-basis pendidikan tinggi seperti universitas. Mahasiswa tidak terbiasa untuk radikal dalam alam pikiran. Mereka cenderung menjadi “dokter-dokter” yang melakukan “diagnosa medis” terhadap persoalan-persoalan sosial. Mereka terlalu netral sebagai orang muda dan tidak sensitif dalam merasakan ketertindasan dan kemudian memilih keberpihakan. Analisis generik para mahasiswa terbatas pada kemampuannya menilai “dampak positif” dan “dampak negatif” dan mengambil jalan tengah dengan alih-alih netralitas sebagai akademisi. Ekologi pengetahuan “positif” dan “negatif” ini sesungguhnya mendorong kehidupan intelektual untuk masuk ke persoalan-persoalan “jelek” dan “bagus” yang akhirnya diselesaikan secara abstrak dengan intensifikasi dan optimalisasi moral.

Kiri sebagai Alat Juang

Sekarang kita bicara tentang universitas dan basis massa. Marxisme menjadi “berbahaya” (dalam tanda kutip, ya) ketika digunakan sebagai alat juang. Imajinasi sosialisme yang ditawarkan sebagai cara kritik terhadap kapitalisme bukan untuk dipikirkan, tetapi untuk dilakukan melawan penindasan untuk mewujudkan kehidupan yang lebih baik. Maka jika benih-benih berani ini disebarkan pada tanah yang begitu subur oleh ketidakadilan dan penindasan, segera saja benih tersebut berkecambah dengan giatnya sebagaimana yang terjadi dalam sejarah kita di masa lampau.  Lalu kemudian pikiran ini dianggap sangat mengganggu perkembangan ekonomi dunia yang memang dikuasai oleh rezim reaksioner (rezim kapitalis).  Cerita selanjutnya adalah kisah panjang tentang pertarungan ideologi yang sangat berdarah dan tidak dapat diterangkan di kesempatan singkat ini.  Penyingkiran pemikiran Kiri di universitas bukan saja pelarangan berpikir progresif seperti penjelasan di halaman sebelum ini, tetapi lebih jauh lagi adalah pemutusan kehidupan akademik terhadap basis-basis massa yang seharusnya diperjuangkan nasibnya. Intelektual di masa lalu adalah penggerak massa yang menerjemahkan analisis-analisisnya ke dalam bentuk siap cerna untuk digunakan rakyat mengorganisir diri sehingga kuat untuk melawan penindasan. Strategi di masa lalu para founding-fathers adalah menerjemakan analisis kelas ke dalam “bahasa-bahasa pamflet” seperti yang dilakukan oleh Sukarno, Tan Malaka, dll. Keberhasilan analisis kelas dalam praktik adalah ketika massa tidak lagi terikat oleh sentimen primordialnya melainkan terorganisir pikiran dan tindakannya pada agenda-agenda yang jauh lebih besar dan esensial dalam kehidupan seperti misalnya hak terhadap tanah, hak bersuara, hak berbudaya. Perlawanan dan penuntutan atas hak dilakukan secara organisasi masing-masing sektor (tani, nelayan, buruh, dll) dengan menggunakan pisau analisis kelas yang sama. Sejarah membuktikan bahwa hak-hak itu tidak akan datang sendiri dari langit tanpa perjuangan di bidang politik.

Mahasiswa tercabut dari gerakan sosial rakyat. Organisasi-organisasi sektor penting yang ada pada hari ini kebanyakan adalah organisasi perpanjangan tangan pemerintah yang lebih ditujukan untuk mengontrol massa rakyat agar tidak kritis dalam berjuang. Sementara organisasi-organisasi rakyat seperti serikat tani, nelayan, dan buruh masih membangun diri dengan susah payah. Mereka tidak terkonsolidasi dengan basis-basis massa yang berbeda sektor dan masih memperjuangkan agendanya sendiri-sendiri. Intelektual politik yang seharusnya membuat konsolidasi berasal dari kampus-kampus sebab partai-partai tidak dapat diharapkan. Namun mahasiswa sendiri tercabut dari realitas gerakan sosial. Mengembalikan mahasiswa kepada rakyat bukan perkara mudah. Mereka adalah generasi yang tercabut dan terkucil dalam penjara kampus. Sebagai langkah awal kita penting mengetahui dan mengenali kembali sosok mahasiswa itu. Siapakah mereka, dan apa harapan-harapannya untuk masa depan? Apa yang paling penting adalah bagaimana bayangan mereka tentang rakyat? Apakah rakyat itu terjangkau yang artinya bisa dipeluk, dipegang, disalami tangannya, dikenali kehidupan dan keluh-kesahnya, ataukah rakyat itu begitu jauh dan hanya ditemukan fosilnya dalam berita-berita di surat kabar?

Maka patut diduga, mahasiswa sekarang tidak setajam mahasiswa 1960-an.  Peralatan berpikir untuk melihat realitas sosial dan kemanusiaannya sudah dibuat tumpul. Harapan tentu selalu ada. Saya pikir semakin banyak mahasiswa—termasuk saya sendiri—yang mulai bertanya penasaran tentang apa sebetulnya yang terjadi pada tahun 1960-an, bagaimana organisasi-organisasi rakyat yang berwajah kiri itu bekerja pada masa itu dalam mewujudkan perubahan? Semua kepingan-kepingan itu terserak dalam kenangan, kesaksian bisu, dan catatan-catatan yang tersembunyi. Pemikiran progresif kiri sangat berjasa dan mustahil dilarang. Kita sudah mengenalnya dalam studi-studi terkini tentang feminisme, pasca-strukturalisme, pasca-kolonialisme, dan pasca-modernisme yang tidak mungkin hadir tanpa penafsiran ulang ide-ide klasik seorang Karl Marx. Tetapi kita mengenalnya terlalu akademik! Kita belum mengenalinya sebagai senjata berpikir untuk bertindak membela tetangga, orang miskin, petani, nelayan dan buruh walau sudah mulai fasih menggunakannya untuk kritik sana-sini dalam tulisan. IndoProgress itu penting dibaca, tetapi dia hanya satu warna akademik Marxisme yang memperkaya kehausan. Sementara keterampilan membangun basis massa tidak semerta-merta diperoleh dari membaca kritis.

Untuk itulah masa depan harus dibangun dari sekarang melalui ide-ide rekonsiliasi bangsa. Rekonsiliasi melalui pengungkapan kebenaran termasuk pengakuan negara terhadap pembantaian massal 1965 akan berimbas pada kesehatan dunia akademik. Generasi mahasiswa tidak lagi terbebani oleh beban-beban mistis masa lalu dengan mitos-mitos hantu seperti: “komunisme sosialisme adalah setan atheis”. Hal-hal fitnah yang direproduksi terus-menerus itu adalah cara-cara penguasa yang ingin mempertahankan kekuasaan selama mungkin lewat teror. Sangat mengganggu otak kita untuk belajar kritis. Oleh karena itu, hanya ada satu kata: “Lawan!”.

Selamat berjuang, semoga Tuhan yang Maha Kuasa Pengasih dan Penyayang selalu melindungi kita semua.

Selamat berdiskusi.

Jakarta, 3 Desember 2015.

*) Tulisan pengantar diskusi IPT 1965: Kampus, Organisasi Mahasiswa dan Peristiwa 1965 tanggal 3 Desember 2015 diselenggarakan oleh  kawan-kawan Semar UI, Ikohi dan IPT 1965. Lokasi Auditorium Gedung M (lantai 4) Fakultas Ilmu Administrasi FISIP, Universitas Indonesia.