Categories
essays

Buset: Universitas sebagai pusat gen bangsa berkualitas?

Suatu hari ada poster lucu memberi ide bahwa bibit-bibit unggul berkumpul di Universitas Indonesia. Update: link poster sudah tidak ada. 

Coba ambil waktu sekali lagi dan baca baik-baik poster di atas.  Jika dibedah otak pembuat poster (updated: Ivan Ahda, calon ketua Iluni), kira-kira isinya begini: Universitas dianggap pusat berkumpulnya gen-gen manusia unggul.  Logikanya, keluarga dibangun dari bibit-bibit unggul. Di manakah bibit-bibit unggul berada? Di Universitas Indonesia. Maka alumninya yang tersebar ke seluruh muka bumi menjadi agen pembawa gen-gen unggulan untuk disebarkan demi membangun generasi bangsa berkualitas unggul.  Gambar pemuda-pemudi dengan simbol hati menjadi simbol pembawa benih-benih mulia sebagai agen-agen reproduktif bangsa.

Lalu apa yang salah? Bagi pembuat poster tentu tidak ada. Hal di atas adalah gambaran sempurna tentang masa depan gemilang dari sebuah bangsa yang beranggotakan manusia-manusia unggulan. Sebagaimana dulu Hitler memimpikan Jerman menjadi berkualitas karena keunggulan bibit-bibit ras Arya yang juga dianggap terbaik secara akademik dan mampu membangun peradaban Jerman jadi lebih tinggi lagi. Juga senada dengan angan-angan Dr. Mahathir Mohammad 1970-an tentang ras Melayu yang dianggap paling berhak secara historis untuk membangun kebudayaan Malaysia yang unggul.

Kampanye yang membawa Universitas Indonesia untuk membangun ruang pertemuan bagi bibit-bibit unggul sampai ke tingkatan mikrobiologis tentu punya sebab yang perlu diteliti secara antropologis. Hipotesa yang dapat diajukan adalah: pertama, UI dilekatkan pada mitos-mitos nasionalisme yang dibangun berdasarkan kualitas genetik. Studi-studi menunjukkan bahwa mitos keunggulan ras biasa diikuti oleh mitos senada yaitu sekterianisme. Dua hal di atas digunakan untuk memperteguh posisi kekuasaan. Mengapa UI dpercaya punya keunggulan genetik? Ini harus dijawab dengan hipotesa kedua: Terjadi perubahan fungsi-fungsi pedagogis untuk semakin adaptif terhadap tuntutan kapitalisme. Dulu, Ki Hadjar Dewantara membayangkan bahwa pedagogis itu bersifat kolektif dan sosial. Prestasi bukan berarti pintar sendirian dan meninggalkan yang lemah. Ketika Taman Siswa dibangun, tidak mungkin ada anak yang terlalu bodoh karena kawan-kawan dan gurunya yang lebih pandai memberikan ruang dan bantuan padanya. Kapitalisasi pendidikan berbeda 180 derajat. Orang yang pintar selalu berkumpul bersama yang pintar-pintar untuk saling berkompetisi untuk yang menjadi terpintar. Menjadi bibit unggul. Sebab buat apa mengeluarkan biaya ekstra untuk memintarkan orang yang bodoh?  Semua ini menunjukkan perubahan besar dalam ekologi pendidikan serta kehidupan akademik. Hipotesa ketiga dapat diajukan: Terjadi diskonektivitas (keterputusan) antara universitas dan kehidupan masyarakat. Universitas mencetak orang-orang pintar hanya untuk menjadi pengisi simbol-simbol populer tentang bangsa beradab. Mungkin universitas sudah lupa bahwa di masa 1960-an, seorang akademisi nyaris tidak dapat dibedakan dengan seorang aktivis. Mereka meyakini bahwa ilmunya dapat digunakan untuk menggerakan masyarakat untuk berubah menjadi lebih beradab dan manusiawi. Maka penelitian di masa lalu terkait dengan program-program “post-penelitian”, yaitu gerakan-gerakan “turba” (turun ke bawah) untuk memperbaiki masyarakat. Kini, penelitian dianggap selesai dalam bentuk laporan yang dipublikasikan. Lalu setelah itu, akademisi berjuang mencari beasiswa penelitian berikutnya. Kumpulan prestasi akademik itulah yang  kemudian dianggap membawa martabat bangsa. Meritokrasi diri sebagai akademisi yang patuh terhadap regulasi-regulasi Dikti, birokratisasi rapi dan transparansi dokumen keuangan penelitian, kemudian yang dianggap jadi produk unggulan.  Sementara pikiran-pikiran berdaya dobrak lebur dan luluh di dalamnya.

Kembali ke poster imut-imut di atas. Silahkan merayakan dan mencari jodoh bibit-bibit unggul dengan perkawinan silang a la Hukum Mendel tentang hereditas. Atau memakai metoda reklame biro jodoh. Lucu di mata mahasiswa baru, dan mendamaikan orangtua yang obsesif. Namun jangan biarkan fungsi universitas sebagai ruang penajaman logika, penanaman naluri kritis jadi arus kecil demi sebuah cita-cita nasionalisme kekanak-kanakan. Seharusnya anak UI mengerti.

Jakarta, 24 April 2016.

(catatan warna hijau: perbaikan redaksional seperlunya dilakukan tanpa mengubah isi).

Categories
essays

Mahasiswa: Parade Tubuh yang Melawan*)

Tubuh sebagai simbol politik bergerak

Minggu ini mahasiswa seindonesia mulai bergerak. Protes politik memang memerlukan tubuh yang menyuarakan dengan lantang. Tubuh yang bergerak menggunakan jaket almamater, bawa poster, boneka dan gambar untuk melawan. Namun apa yang sesungguhnya sedang dituntut oleh parade tubuh itu? Apa yang dibayangkannya sebagai “Orde Baru Jilid Dua?” Orde Baru bukan masalah sekadar periodesasi sejarah, tetapi sudah melembaga dalam kehidupan seperti sebagai norma atau katakanlah sikap hidup yang dianggap normal selama 30 tahun dan direproduksi terus-menerus: suap-menyuap, feodalisme, nepotisme, gemerlap konsumsi serta penggunaan kekerasan. Orde Baru sudah masuk dalam tubuh, sikap dan nalar. Menggugatnya bagaikan menggugat tubuh sendiri. Tuntutan mahasiswa memang terdengar progresif: demokrasi dengan standar yang bersih dan berjalan sesuai prosedur yang paling demokratis. Pilkada langsung itu murah, menutup peluang korupsi, dan efektif mencegah konflik. Namun sekaligus ada jarak antara apa yang dituntut dan musuh-musuh yang ingin dilawan sehingga suara protes menjadi normatif.   Menuntut demokrasi dari aspek prosedural menjebak pikiran pada hal-hal normatif dari demokrasi.

Saya berharap mahasiswa lebih dari sekadar ingin sistem yang baik. Mereka harus bisa membayangkan musuh-musuh demokrasi dengan konkret yaitu rezim Orba yang memang berada di sekitar kita dalam bentuk muka-muka lama dalam panggung politik kita. Mereka yang begitu ahli menggunakan negara dan undang-undang sebagai mesin untuk menguntungkan posisi politik diri sendiri dan sekutu-sekutunya. Oleh karena itu setiap mahasiswa Indonesia perlu pengetahuan mendalam tentang sejarah panjang Orde Baru dan bagaimana mekanismenya bekerja, bertahan, dan mengakar dalam kehidupan. Benang merah yang menghubungkan banyak rahasia. Tubuh mereka sendiri adalah sarang belajar sekaligus penjara karena disitulah Orde Baru bekerja secara simbolis melalui penajaman naluri konsumsi, glorifikasi terhadap patriotisme masa lalu, penanaman ketakutan terhadap aliran sesat, penanaman kesalehan religius, dan pemlintiran bahasa. Orba memang ahli menciptakan ketakutan akan musuh-musuh dari luar sehingga orang lupa pada kebusukan dalam diri sendiri.

Universitas sebagai Penjara Pikiran

Di masa Orba berkuasa bahkan mahasiswa ilmu sosial politik pun apolitis. Ilmu sosial yang diajarkan di universitas mengunci pikiran dengan menjadikan “teori-teori struktur sosial Durkhemian” dan “teori rasionalitas Weberian” sebagai model penjelas utama berbagai masalah sosial Indonesia. Di satu sisi mahasiswa belajar bahwa struktur masyarakat bagaikan organisme yang tersusun atas prinsip biologis. Sebagaimana organisme biologis, masyarakat diandaikan selalu mencari keadaan harmonis. Di sisi lain, mahasiswa dilatih berpikir dirinya selalu tunduk pada prinsip rasionalitas modern yaitu efisien, rajin, optimal dan menyerap ke dalam masyarakat industrial . Sepintas memang tak salah, hanya saja paduan dua model ini menciptakan tipe generasi “jinak”: kompromistis, tunduk pada struktur, konsumtif, dan apolitis.

Reformasi 1998 adalah produk generasi Orde Baru. Lahir tanpa bekal tradisi teori-teori progresif tentang perubahan sosial, tanpa pengalaman dan referensi terhadap gerakan sosial progresif Indonesia yang dibunuh sejak 1966. Maka seberapapun heroiknya mahasiswa 1998, mereka hanyalah ledakan katarsis sesaat dan tak heran umurnya pendek. Namun setidaknya saat itu ada kegelisahan terhadap ketiadaan demokrasi, matinya kebebasan berpendapat, dan banyak pertanyaan tak terjawab tentang ketidakadilan ekonomi. Kekesalan bertumpuk membuat mobilisasi massa menjadi mungkin. Mereka yang melawan terlebih pada ketakutannya sendiri akan bahaya “diculik negara”, melawan sekuat tenaga walau tidak ada cita-cita jangka panjang dan tak tahu apa yang akan dilakukan setelah Soeharto jatuh.

Profil mahasiswa “pasca Orba” kini masih berusia dua tahun ketika rezim Suharto jatuh. Generasi yang menerima ide demokrasi sebagai sesuatu yang given, yang sudah sepatutnya ada seperti udara tanpa harus diperjuangkan. Generasi yang merasa dicemaskan oleh sesuatu yang jauh berbeda dibandingkan generasi ‘98. Sebagai pengajar antropologi, saya sering mengangkat diskusi tentang Orde Baru dengan tujuan membuka mata mahasiswa akan bahaya. Namun Orde Baru tidak lagi dikenal sebagai terror, pembungkaman demokrasi, dan pembunuhan kebebasan bicara. Orde Baru adalah periode “aman” dan “harga-harga murah”. Mereka tahu Orde Baru itu salah urus ekonomi dan demokrasi tapi bagaimanapun dikenang sebagai sesuatu yang “banyak positifnya”.

Di sisi lain justru mahasiswa lebih sensitif dan khawatir pada lunturnya moral-moral, runtuhnya rasa cinta pada bendera dan garuda. Ketakutan yang melahirkan pemujaan pada simbol-simbol kebangsaan yang sudah “fixed” dan tua. Sepintas terlihat nasionalis-romantis. Media dan iklan pun turut mengulang nasionalisme primordial ini. Namun sebuah cinta tanpa argumen tak lebih hanya dogma. Ruang kelas perkuliahan yang dipenuhi oleh mahasiswa-mahasiswa cerdas tapi “rindu” stabilitas moral itu sebenarnya bahaya karena menggiring pada logika pikir berputar-putar. Begini contohnya: Korupsi menyabar di mana-mana karena pejabat tidak bermoral. Pejabat tidak bermoral karena melihat contoh korupsi dilakukan di mana-mana. Apa yang janggal adalah mahasiswa jinak pada persoalan politik domestik sementara untuk pemenuhan identitas-identitas primordial seperti “NKRI”, mereka sangat agresif cenderung fasis. Dengan menganggap konflik sebagai hal abnormal maka seseorang cenderung untuk menganggap persoalan penindasan, ketidakadilan, diskriminasi dan pelanggaran-pelanggaran di sekitarnya sebagai sesuatu yang disebabkan musuh imajiner dari luar. Memasukan diri sendiri sebagai bagian dari persoalan menjadi sulit ketika tubuh terbiasa menyalahkan orang lain.

Padahal membangkang terhadap struktur kekuasaan yang menindas itu sehat untuk membuat diri reflektif dan evaluatif. Hal ini yang tidak diinginkan Orde Baru. Mereka yang sadar bahaya dan berontak kemudian rentan dilabel asal-asalan sebagai “anarkis”. Padahal kepada anak-anak muda seperti merekalah bangsa ini menaruh harap untuk perubahan. Universitas itu luas maka rajinlah keluar kelas. Masih cukup waktu untuk terus berparade tubuh di jalan penuh simbol yang melawan.

*) Naskah asli sebelum pengeditan oleh redaksi Kompas Opini 16 Oktober 2014, dengan tambahan revisi sesudah cetak.