Categories
essays Orba Resurrection Apocalypse

Radikalisme itu baik, kok

Menjadi Radikal artinya bertentangan dengan para elite pendukung kemapanan yang disebut kaum Reaksioner (reactionaries) atau mereka yang dianggap melanggengkan kekuasaan demi keuntungan-keuntungan dari sebuah keadaan status quo

Radikalisme itu baik atau buruk?

Bom meledak di Manchester dan Jakarta. Maka negara bersabda: gebuk terus radikalisme sampai ke akar-akarnya.  Tepatkah istilah radikalisme ini?

Dalam khazanah konseptual teori-teori politik, istilah radikalisme sesungguhnya bermakna netral. Radikalisme berarti suatu jalan untuk membuat perubahan mendasar sampai ke tingkat sistemik. Perubahan politik secara radikal bertujuan untuk membedah dan membuang penyakit-penyakit dalam sistem yang berjalan. Politisi korup, militer kejam, elite-elite feodal adalah penyakit yang harus dibuang agar demokrasi kembali ke jalan yang berpihak pada konstitusi.

Radikal versus Reaksioner

Sepanjang sejarah, gerakan radikal senantiasa mendapat tantangan dari gerakan anti-perubahan. Dalam literatur gerakan “Kiri”, menjadi Radikal artinya bertentangan dengan para elite pendukung kemapanan yang disebut kaum Reaksioner (reactionaries) atau mereka yang dianggap melanggengkan kekuasaan demi keuntungan-keuntungan dari sebuah keadaan status quo. Kaum Reaksioner misalnya adalah para pebisnis skala besar yang memang selalu ketar-ketir pada gejolak sosial sehingga memilih untuk konservatif.  Juga golongan pengusaha di atas tanah ukuran raksasa yang tak suka reforma agraria. Mereka merasa bahwa membagikan tanah pada petani miskin adalah perampokan kejam dan tak bermoral sehingga reforma agraria harus dilawan. Militer yang dekat dengan rezim berkuasa pun masuk dalam kategori yang sama termasuk juga kelas menengah yang mendapat fasilitas dari sistem.

Diskusi panas antitesis dua kubu antara kaum radikal dan reaksioner adalah perdebatan khas dalam analisis politik ekonomi gerakan sosial di masa 1960-an.  Namun era diskusi ini sudah lewat dengan kemenangan rezim “Kanan” di mana-mana yang membuat kapitalisme menjadi arus berpikir utama pada hari ini. Kini Kapitalisme bukan saja sebuah prinsip ekonomi namun juga menjadi jadi sistem sosial yang menciptakan nilai dan moralitas tentang salah dan benar yang disuka golongan Reaksioner di atas. Pada hari ini kita tidak lagi menemukan “debat ideologis” tentang arah pembangunan ekonomi dalam buku-buku baru.

Di Indonesia term “reaksioner” sebagai antonim “radikal” sudah lama dihapus dari Bahasa Indonesia sebagai sebuah “hukuman akademik” ketika negara melarang pemikiran Marxisme tahun 1966. Padahal dalam sejarah perjuangan bangsa kita mengenal istilah-istilah generik bagi kaum reaksioner tadi misalnya “golongan tua” yang dianggap kolot dan kompromistis pada prosedur-prosedur sistem kolonial. Sukarno-Hatta pernah dianggap reaksioner oleh golongan muda sehingga mereka sempat diculik dalam Peristiwa Rengasdengklok 1945. Kata “Reaksioner” pernah berguna untuk orientasi perjuangan di masa lalu. Untuk melihat batas yang tegas tentang siapa-siapa saja yang ingin perubahan progresif dengan meraih kemerdekaan dan mana-mana saja yang ingin bertahan di sistem lama.

Pada era Orde Baru (dan sesudahnya), istilah Radikalisme menjadi buruk maknanya. Bahkan dikaitkan dengan gerakan-gerakan yang jahat untuk mengkudeta kekuasaan yang sah. Terlepas mereka jahat atau tidak, dalam sistem sosial kapitalisme kata radikal mendapatkan posisi yang buruk karena dianggap mengganggu sistem yang sudah “terlanjur benar”. Hari ini sisanya masih ada. Alih-alih mengatakan “kita belum radikal memberantas korupsi”, kita lebih suka mengatakan “masih belum optimal”. Jadi sistemnya sendiri tidak pernah disalahkan. Gerakan radikal dianggap milik para penjahat, sebab orang baik tidak akan menempuh cara-cara radikal. Ini adalah keberhasilan rezim kapitalisme untuk menjaga bahasa agar selalu lunak terhadap kosa kata kritik. Perbaikan-perbaikan sistemik tidak lagi  memiliki perbendaharaan kata. Sehingga kritik dan perlawanan menjadi buntu.

Radikalisme pun secara sempit dikaitkan dengan terror.  Padahal kekerasan adalah kekerasan, titik. Ideologi yang membolehkan pembunuhan warga tak bersalah adalah kejahatan tanpa terkait dengan radikal atau tidak. Konsekuensinya, kita terbiasa menuduh sesuatu yang jahat sebagai gerakan radikal. Jadi bagaimana cara membangun sebuah gerakan radikal untuk kebaikan sebuah sistem publik?  Kita perlu radikalisme dalam pembersihan korupsi, transparansi birokrasi, penegakkan keadilan sesuai konstitusi serta perjuangan membela HAM semua orang.

Kini tumbuh generasi muda kelas menengah yang asing dengan pemaknaan radikalisme semacam di atas. Mereka jadi terbiasa berpikir penuh kompromi dan cenderung terlalu menurut pada normatif tanpa banyak tanya-tanya. Inilah generasi yang dibesarkan dalam zona kenyamanan dan keyakinan bahwa negara selalu baik-baik saja sebagai sebuah sistem. Demokrasi dianggap cukup baik dengan ukuran-ukuran mekanisme prosedural meskipun substansinya untuk keadilan sosial masih jauh. Gap yang menganga dianggap dapat diselesaikan oleh waktu, dengan permakluman: “tunggu sampai kita semua siap berdemokrasi.” Dalam masa-masa penantian tak kunjung berkesudahan sejak 1998, kehadiran kepemimpinan negara yang solid adalah kerinduan yang terisi dengan suburnya fanatisme-fanatisme atas kepemimpinan di kalangan kelas menengah kota. Ada kelompok muda nasionalis dengan jargon-jargon purifikasi merah putih yang cenderung fasis, di sisi lain kelompok haus kesalehan yang mencari identitas melalui agama. Dua kelompok ini rentan direkrut  lebih jauh menjadi massa normatif yang penurut kepada elite-elite politik yang punya uang banyak dan lihai.

Memperbaiki makna Radikalisme

Tapi tentu ada kaum di luar kelompok atas yang gelisah, yang sudah tidak sabar dan selalu bertanya. Mengapa negara merespons terlalu lamban terhadap bentuk-bentuk kekerasan organisasi sipil yang menggunakan elemen agama? Mengapa negara ragu-ragu untuk menjalankan amanah konstitusi? Mengapa negara seperti berwajah ambivalen? Di satu sisi berteriak ingin menjaga ideologi Pancasila, di sisi lain mengancam Pancasila dengan membiarkan kekerasan atas nama agama dimaklumi. Jadi bagaimana sistem kenegaraan itu berjalan? Mengapa tidak bisa diperbaiki secara radikal supaya jadi benar dan mengayomi seluruh warga? Mengapa negara terkesan takut pada ayat suci dibandingkan dengan ayat konstitusi?

Perbaikan tentu harus dimulai dengan radikal. Jadi mulailah untuk memperbaiki konsep radikal itu sendiri. Membuang jauh-jauh labelling dari media-media kapital yang seringkali dilakukan tanpa riset.  Mulailah kita mengenali kelompok-kelompok garis keras sesuai dengan maksud, metode, dan tujuan mereka. Misalnya “kelompok Islam pembunuh”. Kelompok “penegak negara Islam”, “kelompok pemuda fasis NKRI”. Penting untuk membedah relasi kelompok tersebut dengan elite-elite yang menjadi sponsor mereka. Itulah satu-satunya cara jitu untuk memasukkan mereka ke dalam golongan status quo, para reactionaries!

Kita masih perlu radikalisme untuk hal-hal yang lebih baik untuk kebaikan publik. Kita perlu lebih berani untuk menyatakan sikap sebagai generasi muda Indonesia yang tidak takut kepada ancaman neraka dan tidak mudah terpancing ngambek dengan issue-issue abstrak seperti penistaan simbol-simbol. Tapi sangat marah dengan penggelapan anggaran! Pemuda berbagai agama dan suku yang menggunakan otak dan mengenali musuh dengan baik tentu akan menjadi radikal yang cerdas untuk menyelamatkan bangsa.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *