Categories
essays

Kapital dan kekerasan itulah Indonesia

Kekerasan seperti pelanggaran HAM berat di Indonesia selalu berhubungan dengan ekspansi kapital asing. Pembantaian massal 1966 adalah bagian dari rencana Amerika dan Inggris untuk membuka paksa Indonesia 1960-an yang anti kolonialisme, imperialisme dan protektif terhadap pasar bebas. Melalui rekayasa-rekayasa dinas rahasia yang melibatkan militer lokal, CIA dan M16, dikobarkan kebencian rakyat terhadap kekuatan progresif anti Barat. Dibangunlah kebencian massal terhadap terhadap kekuatan nasionalis “kiri”. Kebencian terhadap kekuatan yang ironisnya adalah kiblat untuk bangsa yang masih muda ini untuk mengerti apa itu artinya dijajah Belanda.

Pembantaian massal pasca 1965 adalah kudeta terhadap kemandirian dan kedaulatan politik Indonesia dengan menggunakan rezim lokal yang seakan merdeka padahal boneka. Pelanggaran HAM berat yang berhasil menciptakan “kepatuhan, kepasrahan, dan keteraturan”.  Ketakutan menjadi soko guru bagi negara untuk melakukan pelanggaran HAM dan eksploitasi yang terus dilakukan sampai hari ini dari Aceh sampai Papua atas nama pembangunan nasional. Rakyat disuruh percaya pada ekonom dengan mantera pembangunan tanpa boleh bertanya mengapa kekayaan begitu besar hanya milik perusahaan-perusahaan dan kroni rezim?

Siapapun pemimpin Indonesia yang punya wawasan progresif dan cinta tanah air, memiliki beban untuk menjelaskan dengan jernih kepada rakyatnya mengapa ideologi kebangsaan digunakan untuk menjalankan kekerasan sistematis demi keuntungan kapital bagi segelintir orang.

Pemimpin Indonesia di masa depan memikul dosa cukup hanya dengan membiarkan dan melestarikan budaya impunitas atau budaya memaafkan dan melindungi kejahatan-kejahatan negara di masa lalu sebagai hal yang dianggap normal dan biasa.

Saya tidak bisa memilih Prabowo karena sikapnya yang menentang segala usaha untuk menegakkan HAM sampai ke akar-akarnya. Sikapnya ditulis dalam manifesto partai Gerindra yang menganggap bahwa pengadilan HAM adalah berlebihan dan merupakan instrumen asing untuk mengontrol negara. Artinya dia bagian dari masalah akut semenjak 1966 yaitu dosa menjadi budak Inggris dan Amerika dalam penguatan kapitalisme dan sepak terjang bisnis pribadi melalui kekerasan–dengan topeng “nasionalis kerakyatan”.

Saya juga ragu memilih Jokowi. Orang tulus yang mungkin sendirian dalam arus sejarah Indonesia yang sudah dibajak menjadi budak asing. Tapi saya lebih merasa rela menjadi rakyatnya sebab merasakan kebaikan dari dirinya dan setidaknya mengharapkan perubahan.

Jakarta, 22 Mei 2014

By meulia

Anthropologist.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *