Categories
essays

Mengapa saya Marah. Kritik terhadap Pidato Taufik Ismail di Pekan Raya Buku Frankfurt

Tahun 1996, seorang mahasiswa mengajukan ide “Rekonsiliasi”. Taufik Ismail marah-marah membentak mahasiswa itu yang dikatakan tidak tahu apa-apa (sampai keluar air mata pula karena marah) soal bahaya komunisme.

Dalam diskusi di Frankfurt Book Fair tahun 2015, penyair Taufik Ismail mengatakan bahwa rekonsiliasi kasus 65 dengan memberikan keadilan dan ganti rugi pada korban dianggap tidak perlu. Cukup lupakan saja semuanya. Tambahnya pula dengan emosional, komunis gaya baru akan ada terus dan itu berbahaya. (Berita dari RadioBuku).

Kecengengan dan fobia yang tidak perlu. Memperlihatkan kegagalan pemahaman persolan tragedi ’65 yang meliputi tragedi akademik, tragedi kamanusiaan, atau mungkin memang gejala kepikunan.

Sebagai ideologi negara Marxisme memang diburu di mana mana. Singkat cerita sebuah cerita panjang yang membutuhkan ruang argumen panjang lebar. Tapi sebagai sebuah metode berpikir dan berjuang, cerita bisa lain.

Sebagai metode, Marxisme mendapatkan tempat terhormat sampai saat ini karena menyediakan perangkat yang lengkap untuk mendeteksi ketidakadilan, dominasi, eksploitasi dan segala relasi timpang dalam sejarah masyarakat. Melalui perspektif tersebut studi studi tentang hubungan sosial, hubungan masyarakat dan negara, hubungan internasional, studi ekonomi pembangunan, sastra, kesenian dan banyak lagi turunan ilmu humaniora memiliki satu instrumen yang tidak dimiliki perspektif liberal yaitu kepekaan, empati, dan keberpihakan terhadap kaum lemah karena penyalahgunaan kekuasaan yang cenderung menindas. Secara metodologis, Marxisme punya mekanisme kritik diri sebagai bagian dari kerja analitiknya. Istilah-istilah “pasca-modernisme, pasca-kolonialisme, pasca-strukturalisme,” atau juga “critical theory”, “feminisme” adalah turunan tradisi Marxisme yang berkembang pesat sampai hari ini. Label-label itu menjadi tradisi kritik yang berguna dan penting untuk memahami betapa rentan masyarakat manusia saling menindas di bidang apapun atas nama apapun termasuk dengan cara-cara kebudayaan.

Scholar Marxist mengkritik studi-studi yang terlalu romantis tentang kebudayaan sendiri, studi yang obsesif tentang keunggulan kebudayaan sendiri, mengutamakan harmoni dan kearifan serta steril dari konflik-konflik. Studi-studi ini bagi para Marxist memiliki bias besar karena hanya menggambarkan suara (discourse) orang-orang dari kelas atas. Mereka yang punya kuasa untuk membentuk opini massa sesuai keinginan mereka. Contoh bias: Koentjaraningat dan Clifford Geertz (yang menganut teori sistem Durkheim, Talcott Parsons, dan genealogi terusannya) ketika mereka bicara budaya Jawa konsep sentral yang dipakai adalah “harmoni” atau keseimbangan. Sementara Benedict Anderson, Ruth Mc Vey seorang scholar Marxist, melihat sentral kebudayaan Jawa ada di konsep “Power” (kekuasaan besar). Ketika kekuasaan dijadikan sebagai konsep untuk mengerti Jawa, maka studi akan menghasilkan aneka potensi penindasan, konflik antara kelas. Maka sejarah adalah produksi dari relasi-relasi konflik antar kelas. Jika “sistem harmoni sosial” yang digunakan, maka sejarah adalah rentetan keberhasilan peradaban. Lantas bagaimana menempatkan keganasan sejarah Jawa dalam episode Perang Bubat, atau bagaimana menerangkan nafsu Ken Arok terhadap Ken Dedes serta kudeta-kudeta para Raja dengan menggunakan “kehalusan” kebudayaan Jawa itu? Atau bagaimana kita dapat memahami kekejaman Soeharto dan Orde Baru menggunakan alat analisis kehalusan dan etika kebudayaan Jawa?

Maka mengatakan bahwa Pram adalah omong kosong, adalah keterlaluan. Pram adalah penulis penting yang memahami Indonesia.  Geliatnya sebagai seorang Marxist menggunakan cara sederhana tapi tajam: Analisis Kelas. Maka Pram dan Tetralogi Pulau Buru adalah teori analitis tentang Indonesia. Sebuah “novel etnografis” yang tidak berhenti di nilai kejawaan feodalisme internal, tetapi menempatkan feodalisme itu sebagai kreasi kolonial yang lekat dengan modus operasi kapitalisme internasional dalam menguasai kawasan kolonial. Maka tidak heran jika buku itu menjadi bacaan wajib siapa saja di dunia yang ingin menekuni kajian Asia Tenggara. Pram memang seorang pemarah. Pemahaman mendalam tentang hambatan struktural historikal sebuah negara koloni-lah yang membuatnya jadi pemarah. Saya percaya Marxist Indonesia ’60-an marah karena sebab-sebab yang serius.

Mengatakan adanya “komunisme gaya baru yang bergerak terus-menerus” silakan saja, tokh dasar ucapan itu adalah “mentalitas paranoid” seperti militer yang memang sudah dirancang untuk selalu takut agar siaga bahkan dalam tidur. Persis seperti tahun 1993, Try Soetrisno mengatakan bahwa “menjamurnya aktivis HAM adalah bagian dari kebangkitan komunis generasi keempat”. Terserahlah. Kecerdasan argumen memang tak penting di masa itu. Bagaimanapun juga HAM tetap harus diperjuangkan sampai hari ini oleh komunis, agamis, penyair, atau siapapun juga yang sadar HAM. Dan tidak ada yang bisa mencegah iklim progresif dalam berpikir itu lahir dalam judul ideologi apa saja. Membaca Marxisme tidak perlu jadi Islam, Komunis, atau sosialis. Ketidakadilan tidak kenal isme-isme. Syarikat Islam Merah menjadi bangkit dari issue sektarian menuju issue perjuangan nasional karena pengaruh Marxisme. Dan tetap Islam. Marxisme bisa diterapkan di mana saja. Perangkatnya mudah, sederhana, maka itu jadi tajam. Dan sekelompok orang berpikiran tajam selalu menakutkan, apalagi bagi rezim yang lalim. Istilah 7 Setan Desa, 7 Setan Kota memang jargon metaforik (walau dibangun lewat metode analisis kelas). Jangan salahkan mereka terlalu heroik dalam membuat jargon. Sama juga Orde Baru terlalu teknokrat dalam membuat jargon “Trilogi Pembangunan”. “Trickle Down Effect”. Atau zaman sekarang “Good Governance”.

Saya masih ingat membaca Prahara Budaya zaman Orde Baru ketika mahasiswa. Lalu buku itu didiskusikan di FISIP-UI pada tahun yang sama yaitu 1996. Lalu ada seorang mahasiswa yang mengajukan ide “Rekonsiliasi”. Taufik Ismail marah-marah membentak mahasiswa itu yang dikatakan tidak tahu apa-apa (sampai keluar air mata pula karena marah) soal bahaya komunisme. Bagi kami yang tak mengalami, pertentangan Lekra dan Manifes Kebudayaan adalah polemik. Perkelahian brutal dengan pena. Maka lawanlah juga dengan pena. Kalau ada kekerasan fisik, kenapa tak panggil polisi atau serang balik? Berkelahi misalnya. Atau akui kalah berpolemik. Memelihara dendam pribadi puluhan tahun karena kalah polemik dengan Pram dkk. sungguh tidak kami pahami.

Buku Prahara Budaya tetap berguna. Setidaknya bagi saya. Mereka termasuk saya yang dulu tidak tahu apa-apa kemudian belajar banyak sehingga jadi tahu bahwa ketakutan pada komunisme adalah hasil fabrikasi sejarah dari suatu bangsa yang dibantai daya intelektual kritisnya demi terbukanya “pasar bebas” bagi kapitalisme internasional. Kami jadi tahu bahwa Angkatan ’66 itu rekayasa politik corong Orde Baru. Dan akhir-akhir ini kami semakin tahu bahwa militansi gerakan melawan penjajahan Belanda banyak transpirasi oleh tokoh-tokoh ISDV yang merupakan bibit PKI 1924. Kami semakin tahu bahwa Belanda dilawan bukan karena rasnya yang bule, tapi karena mereka bagian dari rezim kapitalisme internasional. Kami jadi tahu bahwa Politik Etis bukan sebuah kebetulan atau adanya sisi baik dan kemurahan hati kolonial. Politik Etis adalah bagian dari kesadaran kiri internasional untuk membebaskan bangsa-bangsa dari penindasan. Betapa baiknya “efek Marxisme” bagi perjuangan bangsa ini.

Kini biarkan generasi muda mencari kebenaran. Mencari sebab kenapa 500 ribu orang dibunuh tanpa pengadilan. Mengapa Orba yang inkonstitusional karena lahir lewat kudeta merangkak atau creeping coup, bisa bertahan sebegitu lama. Kenapa visum palsu 6 jenderal dapat tersebar luas dengan magnitude besar untuk menciptakan dendam kebencian dan pembantaian massal, Berdamai boleh saja tapi melupakan itu lain soal. Maka rekonsiliasi dan rehabilitasi itu perlu. Kas negara habis? Mungkin. Tapi biar saja. Uang bisa dicari, tokh hilang ke tangan yang berhak yaitu bangsa sendiri. Dulu juga Sukarno tidak memproklamirkan perusahaan Indonesia Incorporated, tapi Republik Indonesia. Permudahlah proses itu.

10 replies on “Mengapa saya Marah. Kritik terhadap Pidato Taufik Ismail di Pekan Raya Buku Frankfurt”

Seorang kawan, campuran Jerman – Belanda, yang juga membaca karya-karya Pram kirim sms begini ke saya setelah mendengar ‘pidato’ Taufik Ismail, “Saya sedih karena tokoh sebesar Pram dimasukkan dalam pembicaraan remeh temeh yang bukan saja didasari ketidakpahaman, tetapi juga keangkuhan bahwa yang bersangkutan ini orang yang paling benar. Nothing is more dangerous than sincere ignorance and conscientious stupidity.”

Terimakasih atas catatan cerdasnya, diungkapkan dengan sederhana , mudah dipahami.
Berdamai, tapi tidak untuk melupakan.

Sampai saat ini, saya tidak pernah mengetahui apa yang sebenarnya terjadi , hanya pengasingan yang dialami oleh keluarga saya, membuat saya untuk kembali mencari mencari puingan cerita yang terserak, terputus.
Tanpa ingin mengasihani, saya tidak bisa melupakannya.

Rasa takut itu luar biasa, bagian dari dominasi itu sendiri.

Saya membaca banyak buku, tentu saja karya pram, buku marxis itu sendiri, berusaha mencari tahu, tulisan ini sangat membantu saya.

Terimakasih

Terima kasih meninggalkan pesan personal untuk saya dan senang sekali dapat membantu. Tentunya kita dapat saling membantu bertukar informasi. Saya fokus kepada sejarah Orde Baru dalam perspetif ekonomi politik. Itu satu-satunya cara mengerti Peristiwa ’65 dengan benar! Artinya Persistiwa September ’65 berhubungan dengan usaha-usaha penciptaan market di Indonesia yang ketika itu sangat “nasionalis” serta anti asing. Maka pembantaian dianggap perlu untuk membersihkan hambatan-hambatan terbesar bagi pasar bebas yaitu “Partai Komunis Indonesia yang memang merupakan satu-satunya partai demokratik di Indonesia yang menjadi bagian dari gerakan kiri internasional dan anti-Barat. Gambaran ini dengan gamblang diuraikan John Pilger dalam buku dan film “The New Rulers of The World” (sekitar tahun 2000-an). Dengan pendekatan ekonomi-politik tadi maka peristiwa ini jelas hadir sebagai sebuah kejahatan politik dan pelanggaran HAM berat.

Saya seorang antropolog, maka efek terbesar dari genosida itu adalah apa yang disebut “culture of fear” atau rasa takut yang disebarkan, diformalkan, dibenarkan dan diwariskan secara sosial kepada anak cucu. Begitulah negara mengontrol potensi pikiran kritis warganegara.

Segala usaha-usaha propaganda anti komunisme yang akhir-akhir ini menguat ditujukan untuk menutup mata publik dari aspek ekonomi politik Peristiwa ’65. Artinya, Orde Baru masih ada secara de-facto di sekitar kita dan sedang giat bekerja. Maka generasi berikutnya tentu harus lebih giat melawan sebagai cara untuk waras dan sehat dalam mencintai bangsa.

Salam.

Ya, terimakasih atas referensi john pielger.
Dari tulisan replynya, saya juga menjadi lebih memahami tulisan Noam Chomsky, “how the world work”seperti yang disebutkan , yang ditakuti adalah rasa nasionalis yang bisa menghambat dominasi konglomerasi. Tentu saja saya membutuhkan banyak belajar memahami alur ini, yang juga penting buat kami saat ini , melepaskan diri dari rasa takut , dan memerdekakan dalam arti sesungguhnya,Saya kira tidak berlebihan, jika disebutkan de facto orde baru masih ada, rasa takut itu masih jadi belenggu, setidaknya masih bisa saya rasakan saat ini. Kegelisahan yang terus dirasakan, saya lahir tahun 1979, tentu saja saya bukan generasi yang terlibat langsung 1965, tapi rasa takut yang ditanamkan masih bisa dirasakan. Salam

Seandainya kegelisahan dan ketakutan itu dituliskan dan disebarkan pada generasi pasca-65, kita akan lebih cepat bangkit dan melawan rasa takut nasional itu.

Berjuang terus!

Tulisan Pak Iwan Pirous ada benarnya. Menyebutkan Komunisme di masyarakat Indonesia sama dengan menyebutkan Quran di Western Society. Mereka sudah menolaknya bahkan sebelum menyentuh nya. Jika saja Karl Marx dan Frederich Engel membaca Quran tentang Zakaat, mungkin mereka akan berbalik menyulut revolusi yg pernah digagas Rasulullah dahulu ketika menyebarkan Islam di semenanjung Arabian. Menurut Quran Zakaat = The Just Economic Order where everyone works according to one‟s capacity and is compensated according to the needs. People spend on others or give to the Central Authority (Islamic Government) whatever is surplus (QS 2:219). And they do so whenever they earn any income (QS 6:141).
The System of Zakaat is managed by the Central Authority that ensures the development of the individuals and the society. Notice the similarity? Or it might be Karl Marx and F. Engel know or had read Quran before writing Communist Manifesto? Wallahualam! Salam

Menarik tanggapanmu. Saya yakin sosialisme itu prinsip-prinsip universal jauh sebelum Marx dan Engels ada. Intinya kan adalah membagi, bukan menumpuk untuk sendiri. Dalam percakapan saya dengan seorang pendeta Filipina, dia melihat Yesus seorang socialist, dan dia menemukan persamaan-persamaan besar antara Marx dan Yesus. Marxisme dan agama bukan hal yang bertentangan. Di Amerika Latin malah bersenyawa dalam bentuk “teologia pembebasan”. Apa yang ditentang oleh Marx adalah organisasi-organisasi agama. Agama sebagai lembaga. Atau agama sebagai alat kontrol negara untuk membuat orang selalu percaya bahwa kesengsaraan adalah 100 persen keinginan Tuhan.

Religion is opium for the masses, itu yang ditentang. Marx tidak pernah menentang Tuhan, sebab dalam metode Marxisme, empirisisme memegang peranan penting. Tuhan tidak dapat dibuktikan secara empirik, jadi buat apa dijadikan musuh? Namun organisasi agama yang korup dan menindas itu tentu sangat empirik. Barang kaya begituan yang dilawan oleh ajaran Marxisme. Dalam hal ini tidak ada beda antara Marx dan Martin Luther dalam soal Reformasi Kristen Protestan. Ini pendapat saya, ya.

Demikian. Salam.

Wah saya senang bacanya Iwan. Saya juga melihat ketidakadilan akibat keangkuhan dari yg nerasa pemilik sejarah.

Betul sekali, Pak. Ketidakadilan begitu merajalela dalam sejarah bangsa ini. Terima kasih sudah mampir membaca. Salam.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *