Categories
essays Orba Resurrection Apocalypse

Tunda Demokrasi demi “Kehendak Rakyat”

Menteri Koordinator Bidang Maritim dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan mendesak pemilu harus ditunda dengan alasan bahwa pemerintah mendengar “big data suara rakyat”. Dua parpol yaitu PKB dan PSI pun bersuara senada melalui mekanisme amandemen konstitusi. Kabar terakhir datang dari Asosiasi Pemerintah Desa Indonesia, yang mendeklarasikan “Jokowi tiga periode”, walau kemudian dibantah oleh ketuanya yang merasa dicatut. Presiden berkali-kali merespons dengan diplomatis: “wacana penundaan pemilu tidak bisa dilarang sebab hal itu bagian dari demokrasi, namun kita harus tunduk dan patuh pada konstitusi.”

Pernyataan berulang Presiden Jokowi ini bersayap dan lemah karena menyampaikan banyak makna pesan. Makna pertama adalah normatif bahwa demokrasi menjaga kebebasan berpendapat. Makna kedua pragmatis yaitu demokrasi memiliki tombol on-off yang dapat ditekan bila perlu. Suara-suara sekitar presiden melahirkan makna ketiga yang substantif dan merangkum sekaligus kabur: “demokrasi dapat ditunda, dikurangi jika rakyat menginginkan demikian”. Hal ini tidak biasa mengingat karakter Jokowi yang terbukti mampu dan tegas memberhentikan menteri yang “tidak sesuai dengan visi-misi presiden”.

Apakah demokrasi dapat dikorbankan? Studi-studi antropologi pada masyarakat-masyarakat skala kecil beragam etnis sudah lama mengungkap bahwa demokrasi adalah esensi masyarakat yang universal dilakukan untuk keselamatan umum. Demokrasi bukan barang impor, Ia adalah bagian naluri sosial manusia. Walau berbeda-beda nama dan kompleksitasnya, namun tetap bertujuan substantif yaitu menjamin kekuasaan selalu dapat dikontrol dalam bekerja membela suara rakyat. Kompleksitas dan macam-macam penerapan demokrasi dari mulai kelompok kecil sampai masyarakat skala negara bangsa sesungguhnya dapat diukur. Parameternya adalah bekerjakah sistem check and balance, sejauh mana perlindungan publik, dan apakah partisipasi publik bersifat inklusif? Dengan tiga ukuran itu, demokrasi tidak dapat dijadikan alasan untuk membela pembangunan, memupuk laba, apalagi memperlama masa kekuasaan. Jadi bila ada pertanyaan apakah demokrasi dapat ditunda? Kita harus bertanya balik: Apakah kehendak rakyat dapat ditunda karena kehendak rakyat? Jawabannya adalah sangat tidak. Jika kita menjawab ya. Maka ada pemahaman yang salah dalam cara kita berdemokrasi.

Dalam antologi Demokrasi di Indonesia dari Stagnasi ke Regresi (2021), 16 peneliti menulis hasil risetnya dengan khawatir tentang praktik-praktik pemunduran kualitas demokrasi Indonesia semenjak masa pasca Reformasi ’98 sampai sekarang. Buku itu penting karena mengungkap bahwa mundurnya demokrasi dapat terjadi oleh sesuatu yang seolah-olah tampak demokratis, apalagi bagi mata rakyat biasa yang bukan ahli ilmu politik. Berikut adalah salah satu contoh: pada periode pertama pemerintahan Jokowi-Kalla di tahun 2014, Ia menghadapi kenyataan bahwa walaupun menang pemilu, kekuasaannya terancam oleh oposisi yang bergabung dalam Koalisi Merah Putih (pimpinan Prabowo) yang dominan di DPRD. Pemerintahan baru ini menghimpun partai-partai pendukung yang gagal berkuasa sehingga satu-persatu menyatakan masuk ke dalam koalisi lingkaran kekuatan lembaga eksekutif dengan dukungan hukum dengan nama Koalisi Indonesia Hebat. Lama kelamaan partai yang bergabung bertambah sehingga menjadi mayoritas di parlemen dengan nama Koalisi Pendukung Pemerintah (KP3). Di tahap ini terjadilah ‘penggelembungan kekuasaan eksekutif ‘ yang melampaui wewenang sekaligus pengempisan kekuatan oposisi di parlemen atau proses executive aggrandiszement (Power 2021) yang merusak mekanisme check and balance dalam demokrasi dengan tidak kentara karena dilindungi hukum.

Bisa jadi rakyat pemilih presiden—atau kita yang awam politik—sangat senang karena Jokowi menjadi “jagoan” yang kuat. Apa yang tidak disadari adalah presiden sebetulnya sebuah hanyalah institusi politik yang menjalankan pemerintahan. Jika lembaga tersebut terlalu kuat tanpa oposisi institusional maka institusi tersebut menjadi raksasa tunggal tanpa kendali. Thomas Power menulis dengan melindungi nama informannya, yaitu menjelang pemilu 2019, terjadi mobilisasi politik sampai ke daerah-daerah yang memaksa para kepala daerah untuk mendukung Jokowi-Ma’ruf untuk jabatan periode kedua dengan ancaman apabila menolak maka ada kemungkinan kasus-kasus korupsi yang dilakukannya akan dibongkar kejaksaan agung (ibid. hal. 401). Tentu saja banyak dari kita termasuk saya tidak menduga bahwa keadaan dapat separah ini. Namun hasil riset tadi memberi tanda bahaya bahwa terlepas korupsi meraja-lela, kejahatan itu dilakukan sebagai alat pemerasan untuk tujuan rekrutmen politik. Padahal suara oposisi tidak boleh ditempatkan pada situasi yang menekan menyulitkan dan mengancam dari birokrasi maupun aparat keamanan karena sifat oposisinya itu. Jadi, wacana penundaan pemilu dengan memobilisasi “suara kepala desa”, sebetulnya skenario yang dapat diramalkan. Tapi sesungguhnya apa yang sedang terjadi?

Dunia yang Semakin Sulit untuk Demokrasi Sehat

Konteks sosial ekonomi dunia memang memburuk secara global dan berdampak pada demokrasi. Polarisasi antara kelas kaya dan miskin semakin lebar. Orang miskin makin banyak sementara basis kelas menengah yang sebetulnya menjadi reaktor progresif untuk perubahan semakin menghilang. Kita mungkin tidak sadar bahwa semakin tidak relevan untuk memimpikan menyekolahkan anak-anak menjadi ilmuwan, aktivis, seniman, novelis, filsuf dalam keadaan serba darurat dan harga pendidikan yang makin mahal. Kita hanya ingin anak-anak kita lolos dari kemiskinan dan semoga cepat kerja, makmur secara ekonomi. Maka cita-cita untuk membentuk kelas menengah kritis berpendidikan tinggi yang sadar politik semakin jauh. Generasi baru semakin tercabut dari angan-angan untuk menjadi pembaharu. Mereka menjadi buruh industri paruh waktu yang bekerja keras demi sekadar hidup. Tidak ada waktu untuk berpikir melawan, dan kritis. Mungkin malah justru mereproduksi pikiran pikiran para elite kolot atau diam, atau sekadar clueless ikut arus.

Hal ini juga turut menjelaskan mengapa retorika-retorika konservatif khas elite seperti: kejayaan, kesalehan dan kemakmuran dalam bungkusan ide nasionalisme puritan dianggap lebih menarik daripada diskusi kritis soal demokratisasi politik yang sehat, cerdas dan beradab. Di satu sisi kondisi ini dapat menjadi tanah yang subur untuk semakin tumbuhnya populisme bahkan fasisme jahat di kemudian hari. Di sisi lain rakyat yang jadi korban merasa diselamatkan oleh sebuah ilusi psikologis tentang kestabilan ekonomi yang diciptakan sekelompok elite politik.

Apa yang dapat dilakukan oleh warganegara terutama ketika kelas menengahnya semakin tipis dan tidak kritis? Pertama, dengan tetap berteriak sekeras-kerasnya bahwa demokrasi memang tidak dapat ditunda. Kedua, kita sebagai rakyat biasa perlu belajar ilmu politik lebih keras lagi supaya mengerti bahwa presiden adalah suatu bentuk institusi politik yang diatur konstitusi yang kita hormati. Kita harus mengubah cara menilai dari “moral seorang pemimpin menuju moral kelembagaan”. Artinya presiden bukan orang sakti yang menentukan kegagalan atau keberhasilan pembangunan. Ia ada hanya karena kita memilihnya bersama-sama. Ia akan selalu dikawal oleh lembaga legislatif dan yudikatif yang kapabel. Ketika tugas itu berakhir, kita akan memilih lagi sesuai amanah konstitusi. Ketiga, untuk jangka panjang perlu pendidikan demokrasi dan proses demokratisasi yang fokus pada substansi (bukan prosedur teknis) yaitu mengapa kekuasaan dalam demokrasi harus terbatas, dikawal sehingga akuntabel, serta melibatkan partisipasi publik dengan spektrum yang luas.

Harapan selalu ada. Tampilnya kaum muda dalam partai politik adalah berita baik bagi demokrasi. Namun melihat mereka berpikir untuk dapat melakukan amandemen konstitusi untuk tujuan memperpanjang jabatan presiden adalah pendidikan buruk untuk demokrasi. Mungkin ini memperlihatkan wajah sesungguhnya dari situasi kepartaian kita yang berada dalam situasi ideologi sentris dan berkompromi pada status-quo oligarki. Partai-partai masih berupa sekumpulan orang berebut pengaruh dan belum mewakili spektrum ideologi, kelas, dan kultural masyarakat Indonesia dari “ujung kiri ke ujung kanan”. Jangan sampai wacana “Tiga Periode” menjadi awal munculnya kekuasaan absolut di masa depan. Maka mencegah pemilu diperlambat adalah langkah penting yang harus dilakukan sekarang juga.

Referensi:

Power, T & E Warburton (Ed.) Demokrasi di Indonesia dari Stagnasi ke Regresi. Jakarta: Yayasan Kurawal, 2021.

Categories
Orba Resurrection Apocalypse quicknotes

Demokrasi Indonesia dari Stagnasi ke Regresi

Ini bukan sebuah resensi. Melainkan sebuah anjuran untuk membaca. Buku Demokrasi Indonesia dan Stagnansi ke Regresi (Penyunting: Thomas Power dan Eve Warburton, 2021), memberikan berita buruk tentang kualitas demokrasi Indonesia yang telah sampai pada titik terendah semenjak Soeharto jatuh. Sebanyak 16 peneliti menulis rusaknya pilar-pilar demokrasi. Berikut hal-hal yang saya ingat dan susah lupa:

  • Terjadi penguatan lembaga eksekutif yang meniadakan kekuatan oposisi di parlemen. Lembaga eksekutif justru malah menghimpun partai-partai yang gagal berkuasa sehingga satu-persatu masuk ke dalam lingkaran kekuatan lembaga eksekutif. Artinya demokrasi bekerja tanpa kontrol oposisi.
  • Saya pun kaget. Pada periode kedua pemerintahan JKW, terjadi usaha-usaha penggiringan suara kepada kepala-kepala daerah di berbagai tempat di Indonesia dengan ancaman pidana korupsi jika ada penolakan. Melibatkan partai tertentu sebagai mesin dan bekerja sama dengan Kejaksaan Agung (hal. 401).
  • Terjadinya polarisasi politik sampai ke tingkat keluarga.
  • UU ITE yang membuat takut dan menekan kebebasan sipil berpendapat.
  • Adanya usaha menumbuhkan kepercayaan publik, bahwa kekuatan ekstrem Islam (termasuk Islam transnasional) adalah bahaya bagi demokrasi sehingga boleh dibubarkan. Padahal demokrasi sejati tidak boleh membubarkan ormas karena sudah ada penegak hukum yang akan menindak dengan pasal-pasal hukum.
  • Represi dan kriminalisasi kepada aktivis-aktivis kontra kebijakan pemerintah. Bahkan tidak ada tempat aman bagi aktivis-aktivis yang sudah besar dan diakui dalam gerakan sosial. Ini adalah fenomena berbahaya karena kita tidak dapat melupakan sejarah bahwa aktivisme adalah nenek moyang dari perubahan sosial.
  • Semakin banyaknya media oligarki yang bermain politik sehingga sulit menemukan pers independen.
  • Pemerintah lebih menggunakan pendengung dan algoritma media sosial untuk membentuk opini publik. Bukannya menggunakan ruang-ruang diskusi nyata.
  • Adanya usaha-usaha sistematik dan terang benderang untuk melemahkan KPK. Padahal KPK dibentuk karena penanganan hukum kasus korupsi sudah lemah.
  • Terjadi akselerasi penggunaan kekerasan di Papua baik fisik, verbal, dan simbolis. Adanya kriminalisasi terhadap perjuangan kelompok separatis. Dalam aturan internasional kelompok perjuangan kemerdekaan tidak dapat disebut sebagai kelompok kriminal bersenjata.
  • Terjadi Zero Sum Game dalam politik Indonesia yang meniadakan jalan tengah dengan membayangkan lawan politik sebagai kategori hewan yang harus dibasmi (“kadal gurun”).
  • Ada peningkatan ambang batas dari 2,5 persen di tahun 2009 menjadi 3,5 persen di 2014 dan 4 persen di 2019 sebagai syarat sebuah partai masuk parlemen. Bahkan untuk partai partai baru, threshold ini sangat ketat. Konsekuensinya partai partai politik sebetulnya tidak mewakili realitas politik para pemilih yang luas. Kaum progresif spektrum kiri dan muslim puritan tidak terwakili dan bergerak menjadi massa mengambang di luar parlemen.

Waduh!

Menyimpulkan hal di atas, terlihat bahwa masalah yang cukup berat terletak pada strategi politik kebudayaan negara Indonesia sendiri yang didesain untuk pragmatis dan berpihak pada kepentingan-kepentingan sempit atau partisan bahkan investasi. Kebudayaan politik Indonesia jauh dari diskusi publik yang berasal dari nilai-nilai ideologis partai-partai, tapi sangat dekat pada usaha-usaha personal untuk melanggengkan kekuatan dan kekuasaan.

Buku ini adalah kenyataan buruk. Ditulis dengan riset berhati-hati, beragam metode, dan menggunakan sumber dokumen publik serta wawancara (dengan melindungi kerahasiaan informan). Siapa yang seharusnya membaca? Harusnya Anda, sehingga bisa membantahnya dengan tulisan lain, atau menjadi mengerti betapa jauhnya jarak antara harapan dan kenyataan. Buat saya buku ini berguna memberikan validasi ilmiah dan benang-benang merah berbagai kondisi penurunan demokrasi yang saya alami. Saya melihat gambaran yang cukup lengkap sebagai bekal mensikapi pemilu mendatang.

Categories
Orba Resurrection Apocalypse Uncategorized

Golput disambut pelukan mesra Orba

Saya membaca artikel Ariel Heryanto Setengah Abad Golput
(Tempo, 10 Februari 2019). Bagus, dengan bahasa lugas. Tulisan Ariel Heryanto ini menjadi “demotivator” yang baik. Juga karena kita mudah bosan dengan para motivator, kan.

Ada tiga hal penting yang saya temukan di tulisan itu. Pertama: sejarah mengapa Golput itu ada sejak 1971 sebagai gerakan politik aktif melawan Orde Baru yang memang nggak butuh pemilu. Negara berkembang memang cenderung tinggi partisipasi politiknya karena orang dipaksa voting. Sebaliknya di negara demokratis yang maju justru punya kecenderungan trend partisipasi politik yang rendah. Saya jadi ingat, di masa Orba, mahasiswa yang mampu menganalisis seperti di atas sudah dianggap kritis oleh dosennya. Sebab di masa itu, jika Golkar unggul tapi di bawah 80 persen, artinya para birokrat partai pucat-pasi. Apalagi kalau ada presentase orang yang nggak memilih. Oh, ya. Golkar memang aneh, bahkan di buku teks kuliah Pengantar Ilmu Politik (buku warna biru itu, lho) dari Prof. Miriam Budiardjo dikatakan: “Golkar bukan partai politik, tapi menjalankan fungsi-fungsi partai politik“.

Kedua, tahun 1998 tidak ada revolusi, yang ada adalah Reformasi. Gerakan ganti baju sementara orang-orangnya masih dia-dia juga. Walau sekarang susah untuk naik jadi RI 1 atau RI 2, “kerajaan-kerajaan” para aktor di bawah posisi itu masih langgeng. Walhasil, partai-partai baru di masa reformasi lebih banyak didominasi baju-baju baru yang dikenakan para kutu loncat berslogan anti Orba, tanpa “ideologi anti Orde Baru”. Isu-isu publik seperti kesejahteraan umum, kerusakan ekologis, korupsi, penyelesaian HAM masa lalu, tidak menjadi perhatian sungguh-sungguh di parlemen. Wakil-wakil rakyat itu sibuk oleh isu-isu overkill atau subyek-subyek persoalan yang dilebih-lebihkan secara sengaja supaya terdengar sangat gawat. Padahal isu-isu itu tak ada dalam rencana-rencana kerja. Apa yang dianggap penting: isu ancaman terhadap kehidupan beragama (kriminalisasi ulama), bahaya kebangkitan PKI, ancaman asing, orientasi seks menyimpang, dan pamer-pamer siapa yang paling nasionalis. Tuduhan-tuduhan dan diskusi panas jamak berlangsung di medsos. Seakan-akan politisi itu pada nggak ngantor. Semuaya sibuk serang-tangkis mencari simpati menjelang pilpres. Maka menurut Ariel Heryanto (atau menurut saya yang membaca beliau), rakyat Indonesia mengalami frustasi besar. Orba belum mati-mati.

Ketiga, adanya Golput “baru”. Golput zaman Soeharto adalah statement politik terhadap demokrasi yang senyap kritik. Masa itu Orba menciptakan massa mengambang dengan mencabut semua ekspresi politik dalam kegiatan-kegiatan publik termasuk kampus, kantor, birokrasi. Hari ini Golput “baru” hadir karena bising. Demokrasi televisi tampil dengan drama thriller mendekati horror yang menyalak di setiap saluran TV. Sebagaimana pun nyaringnya pemerintah menceritakan keberhasilan pembangunan infrastruktur dan ekonomi, suaranya selalu kalah besar oleh berisiknya para politisi oposisi. Mereka yang dulu disebut massa mengambang, kini pemirsa terpapar yang timbul tenggelam dalam badai emosi.

Melihat siapa para Golput “baru”. Menurut jejak pendapat surat-surat kabar, generasi muda “milenial” tidak terlalu suka model komunikasi politik yang menggurui, dogmatis, dan menyuruh-nyuruh. Mereka tidak tertarik dengan cara para orang tua meramaikan politik dengan festival, deklarasi, dan kegiatan publik yang menggunakan tubuh. Namun mereka tetap menggugat sesuatu. Setidaknya generasi orangtuanya yang terlihat primitif, cemas, dan arogan. Mereka yang suka melabel-label seenaknya orang-orang muda sebagai: “generasi mecin“, generasi milenial,gamers, malas turun ke jalan untuk protes politik.Dihubungkan dengan keadaan ekonomi yang relatif datar-datar saja: mengalami hidup nyaman dengan harga barang konsumsi terjangkau dan stabil.

Tentu “millenial” punya pertimbangan sendiri untuk memilih posisinya di pilpres nanti. Mereka adalah 14 juta suara yang mendengar Orba dari cerita. Mereka yang entah kangen Orba atau alergi terhadapnya lebih berbekal referensi cerita nostalgia orangtuanya daripada pengalaman aktual. Mereka yang dibentuk opininya oleh algoritma medsos yang selalu mengarahkan pada hal-hal yang trending. Survey CSIS 2017 mengatakan bahwa generasi “milenial” (mereka berusia 17-24 tahun pada tahun 2017) dan “non-milenial” (diatas 24 tahun), sebetulnya tidak terlalu jauh berbeda. Keduanya optimis melihat masa depan, rajin menonton televisi, cenderung memilih partai politik pemain lama, dan perilaku keagamaannya sama-sama konservatif. Selera dalam pemilihan kandidat presiden pun tidak jauh berbeda. Namun dalam survey lain, ditemukan juga pola skeptis terhadap institusi atau branding. Kelihatannya “milenial” tidak mudah menjadi fanatik untuk satu hal. Maka mengatakan bahwa “milenial” cenderung akan menjadi golput bisa jadi berlebihan. Beda milenial dan non-milenial hanyalah karena mereka masih muda dan tidak mudah percaya. Tapi mereka punya skill mencari data dan melakukan verifikasi lebih baik dan sigap terhadap kebenaran-kebenaran dibalik sebuah berita. Apalagi jika berita tersebut bersifat sensasional. Bukankah yang rajin mengirim ulang segala macam berita adalah orang-orang tua yang dulunya biasa dengan kehidupan analog?

Ada pula karakter golongan sempalan “Post-Orba” yang merupakan “veteran golputers“. Mereka menyatakan anti Orba, punya pengalaman Reformasi ’98, tapi tetap memilih menjadi golput di masa pemerintahan Jokowi. Katanya bahwa pemerintah sekarang dengan komposisi aktor oligarkinya masih merupakan wajah buram dari pemerintahan Orde Baru. Mereka pun sadar sepenuhnya tentang hal sipil politik warganegara untuk menjadi golput. Pemerintahan dianggap perpanjangan sistem korup lama. Jenderal-jenderal yang itu-itu saja masih hilir mudik dalam kabinet aktif. Pemerintahan belum berhasil membuka telanjang persoalan HAM. Semua persoalan dan keberhasilan atau pun kelambatan mereka tinjau dari parameter HAM. Kelompok “intelektual idealis” ini masih satu generasi dengan kelompok “intelektual realistis” 1998 yang juga kecewa, tapi masih bisa memberi apresiasi terhadap kinerja pemerintahan sekarang. Bagaimana pun juga banyak kebaikan dibuat dan tidak semuanya harus ditinjau dari kacamata HAM. Para realis memilih tidak golput.

Di atas semua itu, Orba masih kuat secara kultural dan adaptif. Bahkan Jokowi yang sama sekali tidak punya hubungan kekerabatan darah maupun sosial dengan “keluarga Orba” pun harus berstrategi dengan melibatkan wajah-wajah Orba dalam lingkaran terdalam kepresidenannya yang bagai dililit gurita. Kuatnya Orba berbuah reaksi  skeptis para veteran golputers. Mereka yang selalu bertanya: “ngapain sih, Jokowi deket-deket jendral Anu, Anu? Bakal kabur pemilihnya nanti!” Orba masa kini adaptif menggunakan simbol-simbol utama yang masih bisa dipakai dan efektif yaitu penguatan politisasi sektarian. Kendaraan yang ampuh untuk menyapu rintangan apa saja terhadap perubahan progresif. Dengan baju agama, metodenya masih resep sama yaitu menggunakan ketakutan-ketakutan dan ancaman untuk menciptakan solidaritas terhadap kebertahanan status-quo. Tidak mudah untuk melepaskan diri dari gurita tersebut.

Sekarang saya ingin meloncat. Saya pakai kata “kultural” karena teringat Antonio Gramsci yang selalu mengkritik gerakan sosial revolusioner sebagai angan-angan yang tak pernah terwujud dan bagaimana revolusi fisik selalu kemungkinan besar gagal. Kegagalan itu disebabkan setiap rezim yang mapan selalu tahan banting. Mereka melakukan hegemoni kultural atau membangun cara-cara berpikir massal yang masuk akal, melibatkan nilai-nilai kebangsaan yang sakral, dan menciptakan musuh-musuh bersama. Bahan bangunan yang digunakan adalah fondasi sejarah yang disusun sedemikian rupa untuk menjelaskan wajah rakyatnya. Hegemoni adalah wajah populer, pelukan mesra, sekaligus sebuah jaket anti peluru yang sulit tembus.

Maka perlawanan terhadapnya tidak pernah terlalu mudah. Strategi counter hegemony yang efektif harus menggunakan elemen-elemen kultural yang sama untuk mengambil hati rakyat. Dalam konteks Indonesia maka wajar sekali Jokowi harus menggunakan semua senjata. Tapi bagaimana kalau musuhnya kebal peluru? Dia masih bisa menembak dengan peluru good governance, menangkap sebanyak mungkin koruptor yang bisa ditangkap tapi merelakan yang benar-benar besar untuk lolos. Perlawanan terhadap korupsi disukai rakyat sebagai cara melawan Orba karena punya legitimasi kuat secara internasional dan telah menjadi barometer global. Tapi diluar ususan itu, jaket anti peluru masih tebal. Prabowo tentu paham itu. Jokowi memang bisa bersikap adil terhadap pelanggaran-pelanggaran hukum dengan membiarkan mekanisme hukum berjalan. Tapi tidak untuk membatalkan produk undang-undang jahat buatan Orba (TAP MPR XXV/1966), atau intervensi terhadap gejala penguatan sektarian dalam penyusunan perundang-undangan. Jika ia melakukannya maka usaha perlawanan nya berumur pendek, tidak sesuai kebudayaan nasional kita dan rakyat akan menolak. Juga sudah menjadi kebudayaan nasional Indonesia bahwa perubahan hanya dilakukan oleh pemerintahan dan bukan desakan-desakan kolektif berupa gerakan sosial yang teratur. Selagi HAM belum menjadi agenda rakyat melainkan hanya milik NGO, maka waktu yang diperlukan masih sangat panjang. Dalam kacamata idealis seorang human rights defender, tentunya insiden berdarah melibatkan aparat, atau penahanan tanpa pengadilan di Papua, lebih penting sebagai pertimbangan memilih (atau Golput) daripada usaha pemerintah untuk membangun infrastruktur demi cita-cita keadilan sosial.

Di sisi lain tentunya Orba melawan balik dengan jurus-jurus yang dipahaminya: yaitu manipulasi. Selagi rakyat masih rentan dalam membedakan dengan jelas antara politisasi dan ibadah, maka agama merupakan jaket kuat untuk Orba berlindung dan menyerang. Serang-menyerang menggunakan “logika kultural” yang sama akan terus dilakukan demi meraih simpati. Masih akan panjang membangun hegemoni tandingan itu. Kesadaran hak sipil politik itu penting sekali, oleh karena itu gunakan secara baik. Sebaik-baiknya adalah untuk menyerang yang jahat. Jika dulu jadi Golput dilarang Orba maka hari ini jadi Golput diketawain Orba.

Artikel Prof. Ariel ini bagus banget untuk menjadi referensi, tapi ditulis dari jauh. Dengan mengandalkan pada teks-teks pertarungan yang sedang terjadi sebagai analisis cultural studies, menurut saya belum menangkap kegelisahan dan keresahan orang Indonesia yang sedang emosional meraih harapan akan Indonesia. Dengan segala tarik menarik antara hal hal ilusif seperti nasionalisme, subsidi dan kebutuhan nyata tentang fasilitas-fasilitas kesejahteraan rakyat yang butuh kecerdasan manajerial. Belum menggambarkan tentang bagaimana berat hati untuk memilih seorang pemimpin dalam peperangan wacana yang melukai banyak orang ketika ketaatan beragama dan kerukunan keluarga menjadi taruhannya.

Jakarta 14 Februari 2019

Categories
essays Orba Resurrection Apocalypse

Radikalisme itu baik, kok

Radikalisme itu baik atau buruk?

Bom meledak di Manchester dan Jakarta. Maka negara bersabda: gebuk terus radikalisme sampai ke akar-akarnya.  Tepatkah istilah radikalisme ini?

Dalam khazanah konseptual teori-teori politik, istilah radikalisme sesungguhnya bermakna netral. Radikalisme berarti suatu jalan untuk membuat perubahan mendasar sampai ke tingkat sistemik. Perubahan politik secara radikal bertujuan untuk membedah dan membuang penyakit-penyakit dalam sistem yang berjalan. Politisi korup, militer kejam, elite-elite feodal adalah penyakit yang harus dibuang agar demokrasi kembali ke jalan yang berpihak pada konstitusi.

Radikal versus Reaksioner

Sepanjang sejarah, gerakan radikal senantiasa mendapat tantangan dari gerakan anti-perubahan. Dalam literatur gerakan “Kiri”, menjadi Radikal artinya bertentangan dengan para elite pendukung kemapanan yang disebut kaum Reaksioner (reactionaries) atau mereka yang dianggap melanggengkan kekuasaan demi keuntungan-keuntungan dari sebuah keadaan status quo. Kaum Reaksioner misalnya adalah para pebisnis skala besar yang memang selalu ketar-ketir pada gejolak sosial sehingga memilih untuk konservatif.  Juga golongan pengusaha di atas tanah ukuran raksasa yang tak suka reforma agraria. Mereka merasa bahwa membagikan tanah pada petani miskin adalah perampokan kejam dan tak bermoral sehingga reforma agraria harus dilawan. Militer yang dekat dengan rezim berkuasa pun masuk dalam kategori yang sama termasuk juga kelas menengah yang mendapat fasilitas dari sistem.

Diskusi panas antitesis dua kubu antara kaum radikal dan reaksioner adalah perdebatan khas dalam analisis politik ekonomi gerakan sosial di masa 1960-an.  Namun era diskusi ini sudah lewat dengan kemenangan rezim “Kanan” di mana-mana yang membuat kapitalisme menjadi arus berpikir utama pada hari ini. Kini Kapitalisme bukan saja sebuah prinsip ekonomi namun juga menjadi jadi sistem sosial yang menciptakan nilai dan moralitas tentang salah dan benar yang disuka golongan Reaksioner di atas. Pada hari ini kita tidak lagi menemukan “debat ideologis” tentang arah pembangunan ekonomi dalam buku-buku baru.

Di Indonesia term “reaksioner” sebagai antonim “radikal” sudah lama dihapus dari Bahasa Indonesia sebagai sebuah “hukuman akademik” ketika negara melarang pemikiran Marxisme tahun 1966. Padahal dalam sejarah perjuangan bangsa kita mengenal istilah-istilah generik bagi kaum reaksioner tadi misalnya “golongan tua” yang dianggap kolot dan kompromistis pada prosedur-prosedur sistem kolonial. Sukarno-Hatta pernah dianggap reaksioner oleh golongan muda sehingga mereka sempat diculik dalam Peristiwa Rengasdengklok 1945. Kata “Reaksioner” pernah berguna untuk orientasi perjuangan di masa lalu. Untuk melihat batas yang tegas tentang siapa-siapa saja yang ingin perubahan progresif dengan meraih kemerdekaan dan mana-mana saja yang ingin bertahan di sistem lama.

Pada era Orde Baru (dan sesudahnya), istilah Radikalisme menjadi buruk maknanya. Bahkan dikaitkan dengan gerakan-gerakan yang jahat untuk mengkudeta kekuasaan yang sah. Terlepas mereka jahat atau tidak, dalam sistem sosial kapitalisme kata radikal mendapatkan posisi yang buruk karena dianggap mengganggu sistem yang sudah “terlanjur benar”. Hari ini sisanya masih ada. Alih-alih mengatakan “kita belum radikal memberantas korupsi”, kita lebih suka mengatakan “masih belum optimal”. Jadi sistemnya sendiri tidak pernah disalahkan. Gerakan radikal dianggap milik para penjahat, sebab orang baik tidak akan menempuh cara-cara radikal. Ini adalah keberhasilan rezim kapitalisme untuk menjaga bahasa agar selalu lunak terhadap kosa kata kritik. Perbaikan-perbaikan sistemik tidak lagi  memiliki perbendaharaan kata. Sehingga kritik dan perlawanan menjadi buntu.

Radikalisme pun secara sempit dikaitkan dengan terror.  Padahal kekerasan adalah kekerasan, titik. Ideologi yang membolehkan pembunuhan warga tak bersalah adalah kejahatan tanpa terkait dengan radikal atau tidak. Konsekuensinya, kita terbiasa menuduh sesuatu yang jahat sebagai gerakan radikal. Jadi bagaimana cara membangun sebuah gerakan radikal untuk kebaikan sebuah sistem publik?  Kita perlu radikalisme dalam pembersihan korupsi, transparansi birokrasi, penegakkan keadilan sesuai konstitusi serta perjuangan membela HAM semua orang.

Kini tumbuh generasi muda kelas menengah yang asing dengan pemaknaan radikalisme semacam di atas. Mereka jadi terbiasa berpikir penuh kompromi dan cenderung terlalu menurut pada normatif tanpa banyak tanya-tanya. Inilah generasi yang dibesarkan dalam zona kenyamanan dan keyakinan bahwa negara selalu baik-baik saja sebagai sebuah sistem. Demokrasi dianggap cukup baik dengan ukuran-ukuran mekanisme prosedural meskipun substansinya untuk keadilan sosial masih jauh. Gap yang menganga dianggap dapat diselesaikan oleh waktu, dengan permakluman: “tunggu sampai kita semua siap berdemokrasi.” Dalam masa-masa penantian tak kunjung berkesudahan sejak 1998, kehadiran kepemimpinan negara yang solid adalah kerinduan yang terisi dengan suburnya fanatisme-fanatisme atas kepemimpinan di kalangan kelas menengah kota. Ada kelompok muda nasionalis dengan jargon-jargon purifikasi merah putih yang cenderung fasis, di sisi lain kelompok haus kesalehan yang mencari identitas melalui agama. Dua kelompok ini rentan direkrut  lebih jauh menjadi massa normatif yang penurut kepada elite-elite politik yang punya uang banyak dan lihai.

Memperbaiki makna Radikalisme

Tapi tentu ada kaum di luar kelompok atas yang gelisah, yang sudah tidak sabar dan selalu bertanya. Mengapa negara merespons terlalu lamban terhadap bentuk-bentuk kekerasan organisasi sipil yang menggunakan elemen agama? Mengapa negara ragu-ragu untuk menjalankan amanah konstitusi? Mengapa negara seperti berwajah ambivalen? Di satu sisi berteriak ingin menjaga ideologi Pancasila, di sisi lain mengancam Pancasila dengan membiarkan kekerasan atas nama agama dimaklumi. Jadi bagaimana sistem kenegaraan itu berjalan? Mengapa tidak bisa diperbaiki secara radikal supaya jadi benar dan mengayomi seluruh warga? Mengapa negara terkesan takut pada ayat suci dibandingkan dengan ayat konstitusi?

Perbaikan tentu harus dimulai dengan radikal. Jadi mulailah untuk memperbaiki konsep radikal itu sendiri. Membuang jauh-jauh labelling dari media-media kapital yang seringkali dilakukan tanpa riset.  Mulailah kita mengenali kelompok-kelompok garis keras sesuai dengan maksud, metode, dan tujuan mereka. Misalnya “kelompok Islam pembunuh”. Kelompok “penegak negara Islam”, “kelompok pemuda fasis NKRI”. Penting untuk membedah relasi kelompok tersebut dengan elite-elite yang menjadi sponsor mereka. Itulah satu-satunya cara jitu untuk memasukkan mereka ke dalam golongan status quo, para reactionaries!

Kita masih perlu radikalisme untuk hal-hal yang lebih baik untuk kebaikan publik. Kita perlu lebih berani untuk menyatakan sikap sebagai generasi muda Indonesia yang tidak takut kepada ancaman neraka dan tidak mudah terpancing ngambek dengan issue-issue abstrak seperti penistaan simbol-simbol. Tapi sangat marah dengan penggelapan anggaran! Pemuda berbagai agama dan suku yang menggunakan otak dan mengenali musuh dengan baik tentu akan menjadi radikal yang cerdas untuk menyelamatkan bangsa.

Categories
Orba Resurrection Apocalypse

Teknologi murah mengamankan diri (sekaligus merepotkan lawan bag. 1)

Kemarau panjang ini akan berakhir dengan menguatnya gelagat negara dalam mengatur cara-cara rakyat bicara. Keterbukaan sipol (sipil politik) yang dimulai sejak 1999 akan segera berakhir. Pesta bicara lewat social-media akan jadi keran air yang mengucur kecil. Kebebasan dan rasa rileks untuk berpendapat mungkin segera berakhir. Kebanggaan sebagai warga Indonesia yang bebas berpendapat dibandingkan dengan kawan-kawan Malaysia, Thailand, Burma akan jadi bagian masa lalu. Dengan hadirnya peraturan-peraturan yang mengendalikan hak bicara, maka kritik warga yang paling membangun sekalipun justru paling rentan dikategorikan sebagai perbuatan kriminal. Dengan sedih, saya kembali buka-buka kenangan lama ketika internet masih jadi barang langka di tahun 1998. Orba berhasil menciptakan takut massal sehingga kita selalu merasa diintip dan didengar. Ketika itu saya hidup dalam rasa khawatir yang mengharuskan untuk berbuat pintar dalam berkomunikasi elektronik dengan menggunakan teknologi enkripsi PGP untuk e-mail. Saat itu enkripsi dilakukan bahkan untuk komunikasi dalam keluarga yang tinggal di kota-kota berbeda. Iya, entah bagaimana saya berhasil meyakinkan keluarga untuk menggunakan PGP dan mereka dapat melakukan dengan baik.  Padahal jika dibuka, pesan-pesannya sama sekali tidak bahaya dibandingkan “standar sekarang”. Kira-kira cuma laporan perkembangan kehidupan kampus untuk orangtua di rumah misalnya “, tadi siang ada intel polres yang ketangkep waktu konser musik, pakaiannya mahasiswa tapi di kantongnya ada buku laporan isinya blah-blah blah — aneh ya pertunjukkan musik kok ada intelnya?”  Atau seperti: “bagaimana kondisi teman-teman ITB, sudah pada siap belum?” Of course this was so romantic and was felt heroic, despite that government might had no clue at all how to tap e-mail communication that time”

Dari mana saya tahu hal itu? Coba-coba sendiri. Milis Apakabar@clark.net yang jadi kewajiban tiap warganegara kelas menengah yang punya internet supaya dapat tahu perkembangan “Indonesia di belakang layar” menawarkan teknologi PGP (Pretty Good Privacy) bagi para kontributor. Maka dengan demikian, isi email dan attachment tidak dapat dibuka oleh orang lain yang tidak berhak. Kita semua melakukannya sebagai kontributor. Ketakutan membuat orang belajar jadi cerdas teknologi keamanan dan privasi. Ketakutan dapat membuat kita terampil menggunakan senjata untuk bertahan hidup. Tidak terbayangkan dan malas rasanya masuk ke udara Orde Baru di tahun 2015. Tapi apa boleh buat.

Dan mungkin saya, Anda, atau ayah dan ibu kita harus melakukannya lagi sebagai warga sipil yang bertahan pada kebenaran dan percaya demokrasi. Oh, don’t underestimate my mom. She has three functional laptops!  Gue cuma satu.

Oke mari mulai dengan teknologi enkripsi. Teknik ini akan mengubah wujud teks atau file yang telanjang (plaintext) menjadi tidak dapat terbaca kecuali jika dibuka oleh kunci (key). Ide enkripsi adalah terpenuhnya 3 kondisi yaitu: menjaga kerahasiaan file sekaligus menjamin bahwa file itu sampai ke tangan yang tepat dan tidak berubah isinya.

Umumnya kita sudah tahu bahwa file dapat dilindungi dengan satu password, misalnya yang sering kita lakukan dengan dokumen Microsoft Office. Dalam dunia kriptografi teknik satu kunci ini disebut teknik simetris. Satu password itu mengandung satu kunci enkripsi. Artinya kondisi pertama (kerahasiaan file) terjamin. Tapi kondisi kedua dan ketiga tidak. Ketika password digunakan oleh orang yang tak berhak, maka dia dapat mengubah isi file dan melindungi kembali file malang tersebut dengan password yang sama dan mengirimkannya pada penerima yang terkecoh. Perlindungan satu password (satu kunci) memiliki kelemahan dalam implementasi misalnya ketidakdisiplinan, kecerobohan.

Pretty Good Privacy (PGP). Cara ini digunakan untuk enkripsi dan dekripsi teks-teks dalam badan e-mail dan enkripsi-dekripsi file-file antara dua pihak atau lebih. Enkripsi dan dekripsi terjadi dengan dua kunci yang berbeda yaitu private key dan public key.

  1. PGP tidak menggunakan password:  “kesepakatan satu password untuk semua” tidak aman secara implementatif. Cara satu password memang lebih gampang, tetapi tidak aman karena tiap orang harus tahu password yang sama. Ketika pertukaran informasi terjadi untuk banyak orang, maka mudah sekali password tersebut untuk bocor karena tekanan atau interogasi. Sistem kunci ganda public-private key memungkinkan penyebaran kode enkripsi secara terbuka oleh karena public key dapat disebar kemana-mana. Jadi silakan dicantumkan di e-mail, blog, atau dikirim via flashdisk. Jika tokh sampai ke tangan yang tidak berhak, public key tersebut tidak dapat dipakai. Karena public-key tersebut baru bekerja membuka e-mail yang disandikan dengan private-key penerima e-mail. Maka private-key yang harus dijaga baik-baik. Private key memiliki “password” atau yang disebut “paraphrase” yang hanya diketahui pengguna. Dalam keadaan darurat, private-key dapat dihancurkan dan tidak dapat dibuat ulang.
  2. Ada pertukaran kunci. Dua kunci ini harus ditukarkan secara “silang” untuk dapat melakukan proses enkripsi dan dekripsi. Maksudnya gini. Ketika si A ingin mengirim kepada si B, maka si A menggabungkan private keynya dan public key kepunyaan si B. Maka pesan hanya dapat dibuka oleh si B yang menggabungkan private-key miliknya dan public key milik si A sebagai pengirim. Si A dan si B hanya perlu bertukar public-key masing-masing saja. Ketika si B mengirimkan balasan, maka si B menggabungkan private key-nya dengan public key milik si A.  Cara yang sama berlaku jika ingin berkomunikasi dengan banyak orang misalnya group e-mail dengan persyaratan mereka saling membagi public-key masing-masing. Tapi bagaimana kita yakin bahwa public-key yang diterima adalah milik orang yang kita maksud? Kita tidak pernah benar-benar yakin sampai bertemu muka untuk sama-sama melakukan verifikasi. Maka, PGP biasa dilakukan oleh orang-orang yang pernah bertemu muka atau sengaja bertemu muka untuk saling memvalidasi.
  3. Seberapa aman? Public key bentuknya adalah barisan-barisan kombinasi huruf dan angka random yang merupakan kode. Kode tersebut dapat dibuat panjang, dapat pula pendek sesuai dengan rumus matematika yang digunakan. Gampangnya, panjangnya kunci ditentukan oleh besaran yang disebut “bit”. Makin besar angka “bit” maka artinya kunci makin panjang dan sukar dibongkar.  Misal sebuah kunci 56 bit artinya memiliki panjang karakter sebesar 2 pangkat 56 atau 72,057,594,037,927,936 digit yang terlalu kompleks kombinasinya. Besaran 56 bit digunakan oleh Departemen Pertahanan Amerika Serikat sampai tahun 2000-an. Sementara PGP menggunakan  minimum 768 bit (RSA) dan belum pernah dibobol (kecuali di film Holywood).  Menurut pakar kriptografi enkripsi model begini terlalu mahal untuk dibongkar sementara data Anda terlalu murah untuk jadi target intelijen.  Biaya untuk  beli ratusan komputer serta waktu puluhan tahun untuk menunggu hasil bongkar paksa tentu tidak sebanding dengan pentingnya data yang ingin dicari. Lagipula ketika berhasil, semua orang yang terkait dengan data itu termasuk para operator komputer yang kerja siang-malam sudah pada meninggal.  Pada intinya, walau secara teoretis pembobolan itu mungkin, itu hanya dapat dilakukan oleh organisasi, perangkat, dan dana sangat besar. Phillip Zimmerman pencipta PGP menggunakan RSA 1024 bit yang dijamin sudah aman untuk urusan homo sapiens dari hari ini sampai mereka punah kelak. Walau PGP memperbolehkan kita menggunakan 2048,3072,4096, 8192 bit untuk orang-orang yang susah tidur, pilihan default adalah RSA 1024.  Update: Standar baru untuk RSA keys saat ini adalah 3072 bit sebagai tindakan preventif terhadap serangan organisasi terbesar misalnya NSA.
  4. Kalau mau tahu detail silakan buka keylength.com. Public-key pun dapat diatur agar kadaluwarsa dalam waktu tertentu. Pemakai juga dapat menandai public-key dengan tingkat kepercayaan (trust-level) tertentu dalam address-book. Intinya, sebagaimana dalam hidup, ngga pernah ada kepastian dalam dunia keamanan elektronik. Resiko selalu ada.
  5. Digital Signing. Salah satu feature penting dari teknologi PGP adalah ‘tanda-tangan digital’.  Terkadang keperluan kita bukan untuk menyembunyikan data, tetapi untuk menjamin apakah data (teks email, ataupun file lain) tidak berubah ketika diterima (tidak diubah pihak lain). Ketika e-mail atau file “ditandatangani” dengan sistem PGP oleh si pengirim, maka modifikasi sedikit saja akan diketahui oleh penerima.
  6. Bagaimana caranya dan kapan harus mulai? PGP sudah lebih mudah pengoperasiannya dibanding tahun 1996. Lisensi PGP sebagai open-source  (GnuPG) memungkinkan kita pakai versi gratisan atau versi bayaran dengan keampuhan yang sama. Untuk pengguna gmail yang bekerja dengan browser Chorme dapat pakai ekstensi Mailvelope (cari sendiri ya). Untuk pengguna yang pakai software email non-web dapat pakai GPG4Win atau GPGTools (iOS) (cari sendiri yah), atau untuk pemakai Mozilla ThunderBird bisa gunakan Enigma. Tentu untuk yang techie akan senang dengan GnuPG yang berjalan dari command-prompt (terminal). Untuk pengguna Linux, enkripsi sudah bagian dari software-software email, jadi tinggal mengunduh modul-modul PGP saja.
  7. Siapa aja sih yang pakai? Orang-orang biasa yang berhati-hati. Ibaratnya, jika kita selalu mengirim surat menggunakan amplop tertutup, mengapa dalam email kita tidak menggunakan amplop tertutup juga?  PGP lazim digunakan oleh jurnalis dan aktivis di negara-negara anti-demokratis. Organiasi-organisasi yang giat memperjuangkan demokratisasi pun mempergunakan layanan ini untuk menjamin keselamatan kontributor.
  8. Harap diperhatikan bahwa PGP hanya melakukan enkripsi dan tidak terkait dengan usaha-usaha menyamarkan identitas pengirim termasuk IP-address dan alamat e-mail. Untuk keperluan anonimitas dan persembunyian, tunggulah bagian kedua.

PGP Public Key Saya. (RSA 1024 bit).

Silakan dipergunakan. Caranya adalah salin (copy) dan tempel (paste) di software edit teks apa saja misalnya Notepad. Lalu disimpan dengan nama file apa saja (misal iwan.asc). Setelah itu di-import dari software PGP yang disukai dan selamat menggunakan.

-----BEGIN PGP PUBLIC KEY BLOCK-----
Version: Encryption Desktop 10.3.1 (Build 13100)

mQCNBFY8MJkBBADVgDTUkzih3SzCMoQAFDXwq/ZWalRJHH9pGXGxhGOtbbUwvpVP
8Do4MObEOVkVx/PyEKlwbDmjwOLAllU99wcm36Q08NcxB51GKMm3nAoW3qh4UqIs
TJOhE6KcYaIL4oMleVxX13EoK1VpUOphgLa69QPoU5/hn+eOlLj54m8ywQARAQAB
tCNJd2FuIFBpcm91cyA8aXdhbi5waXJvdXNAZ21haWwuY29tPokA+AQQAQIAYgUC
VjwwmQUJAeKFADAUgAAAAAAgAAdwcmVmZXJyZWQtZW1haWwtZW5jb2RpbmdAcGdw
LmNvbXBncG1pbWUICwkIBwMCAQoCGQEFGwMAAAAFFgADAgEFHgEAAAAGFQgJCgMC
AAoJEMZzjcMXMO9fWhgD/2qlgMDUABO1oQyGjy+zR/xmkK60HLCuF2wguQeblzr8
BFgBSiBa4yapAFr5dpbT4HToOhxOEOw3tfLtYHodfnC1mM8uCrfyhd6AiuyJMyQ/
Bi1dajdrn1Z89xojnZ9Mzb0M3EqagiFRSaMHi9EtaTeyOiLdRDH2R7dkEF6I6zQv
uQCNBFY8MJkBBADdLyUPIorzO5U9RSHMBrqpFcBRdNId3pabek9QVYqmYPdUgKDf
VReUsYjCrDXo1Xw1oGRhBuGdTMAXyihFjhvkT4zjFCkl/+JddkfD3RremVqhfiS2
UloDKFESmr1R53YrvYxlJR/eA0i31T5re0OhO1bXGnKy7Qv5dF7LnHd5aQARAQAB
iQFGBBgBAgCwBQJWPDCaBQkB4oUABRsMAAAAnSAEGQEIAAYFAlY8MJkACgkQCaGI
9JjqU7UahwP+K5n7zO9bMKhV3DTT8pIFaX/mEXkrnqok08G/c+/W2VsBHD68QjCL
wLi5k9G0nxHUZC7vfaBF5ZGkZNp9GTXdP0o8zP6fPv02vu4Ib5bHQC5ZNkOJpkOh
P9VdUti6LsWvjdU2C8X2eS04jRyqvTZrxi4IsitQvji2Dqjf0lgFSigACgkQxnON
wxcw719XzgP/cqr9Gum/T6B75Frf5TJJbHm7VRfb06ye/nil+/tVdCBrk0zTg4QG
9i1cUjuoFKrAmSX4UpzOHy1Y3w0lwtzji/0yCQ+34bnA+u2+x5d5YCUlWDa4UyNj
3fdH+AiSWOYZBHDbhADAe84Qt70HsZ0yLQVOsqv/9DnlEdpJ76u4eq8=
=ayZ/
-----END PGP PUBLIC KEY BLOCK-----