Categories
essays

Angklung dan Rasa Solidaritas (bagian 1)

Catatan Hari Incu*) di hari ulangtahun Daeng Sutigna ke-108. Dalam bentuknya yang awal, angklung dikenal secara terbatas di Jawa sebagai alat musik ritual perladangan padi yang dimainkan berkelompok. Para pemain menggetarkan angklung lebih pada tujuan menciptakan ritmis yang membangun atmosfer upacara penghormatan pada Dewi Sri, bukan berkesenian, apalagi membawakan komposisi.

Pernah hanya pengemis yang main angklung untuk hidup. Sampai pada tahun 1938, seorang guru yang sangat musikal di Kuningan bernama Daeng Sutigna melakukan eksperimen inovatif dengan membuat satu set angklung yang membawakan tangga nada beda. Angklung gaya baru yang kemudian dikenal dengan nama Angklung Padaeng dapat menghasilkan nada laras “do-re-mi-fa-sol”.  Angklung yang bisa bahasa “modern”.

Sang guru muda membawa angklung ke sekolah dan mengajarkannya pada anak-anak di kepanduan. Alasannya sederhana, jika anak gembira maka dia gampang belajar. Berhasil! Bahkan murid-murid yang paling badung pun terpesona dan termotivasi untuk disiplin dalam kegiatan beregu. Kalau mereka tak disiplin, atau anggotanya kurang satu, maka lagunya akan kurang nada. Maka bagi Daeng, angklung jadi penting karena fungsi solidaritas yang dikandungnya. Fungsi alat musiknya sendiri nomor dua. Aransemen musik yang dibuatnya sengaja tidak pernah rumit. Dengan bentuk sederhana, pemain paling pemula pun dapat menghayati birama, nada, harmoni dan menikmatinya.

Dalam wujudnya yang kita kenal sekarang, angklung Padaeng  sarat fungsi-fungsi sosial. Pertama: cara memainkan angklung secara kolektif tetap dipertahankan sebagaimana angklung Sunda dulu kala. Walau satu set angklung yang digantung berbaris dapat dimainkan oleh satu orang demi efisiensi, gagasan awalnya adalah komunalitas. Nilai individualitas bermain angklung justru  minimal. Setiap pemain sekaligus menonton dirinya sendiri melalui pemain lainnya. Kedua, bentuk angklung, bahan, dan prinsip mekanika angklung tetap mengandalkan warisan teknologi awal yang sudah optimal yaitu resonansi tabung dari bahan bambu-bambu tropis yang ada di sekitar tanpa harus impor

Angklung dan KAA 1955

Daeng Sutigna terpengaruh oleh ide-ide internasionalisme yang menjadi ciri zaman mudanya. Dia seorang kosmopolit yang sekaligus nasionalis. Baginya, angklung terlalu kecil untuk dikaitkan dengan nilai-nilai tradisi etnis Sunda. Walaupun publik Jawa Barat mengenangnya sebagai tokoh Sunda, dirinya merasa bagian dari peradaban dunia. Pakaiannya selalu kemeja, jas dasi, dan kostum kebanggaannya  adalah seragam pandu yang lengkap. Musik angklung adalah musik peradaban dunia. Anak-anak sekolah dan pramuka asuhannya membawakan The Blue Danube,  dan Mars Jambore. Sikap nasionalisnya terlihat dengan kemauan mengubah ejaan pada namanya mengikuti standar ejaan negara yaitu Ejaan Suwandi. Namanya pun ditulis Sutigna.

Saya tahu dari cerita nenek tentang Abah yang pernah membawa perangkat angklung dengan kereta api tahun 1947 ke Cirebon. Peti-petinya dibongkar patroli Belanda karena dicurigai membawa senjata.  Apa yang Belanda tidak duga, saat itu angklung dikirim ke Linggarjati sebagai “senjata” diplomatis untuk melunakkan perundingan yang alot lewat pertunjukkan hiburan musik. Angklung diedarkan dan dimain-mainkan dua seteru yang sedang berunding. Lalu angklung naik pamor dan dipertunjukkan di Konferensi Asia Afrika tahun 1955. Bung Karno bangga bahwa musik bisa memperkuat solidaritas Asia Afrika. Para delegasi juga belajar kilat main angklung lagu sederhana. Tidak tahu suasana hati Abah seperti apa saat itu. Dia jadi orang yang benar-benar penting: penyambung internasionalisme lewat jalur kebudayaan!

Lantas bagaimana internasionalisme kebudayaan dipahami saat ini? (bersambung).

Selamat Ulang Tahun!

*) Hari Incu atau Hari cucu adalah sejenis hari raya keluarga yang jatuh tiap 13 Mei.  ulangtahun Abah Ulang tahun yang identik dengan pesta bersama cucu-cucu yang meriahnya sama dengan lebaran. Lokasi selalu Jalan Mangga 28, Bandung.